Kembali kulihat jam ke layar ponsel. Sudah lebih dari satu jam Steven meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku heran. Apa yang terjadi dengan pria blasteran itu? Apa dia tidak rindu setelah hampir sepekan pergi ke Kalimantan? Tidak ... tidak!Aku tahu dan sangat paham tadi ia juga berhasrat, sama denganku. Namun, mengapa di tengah percumbuan tadi dia tiba-tiba berubah pikiran?Ah, sebaiknya aku cari dia!Segera aku turun dari tempat tidur dan meraih baju kimono untuk menutupi gaun tidurku yang menerawang. Lantas aku ke luar dari kamar.Aku berjalan ke arah ruang tengah, tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Kemudian aku menuju ke kamar tamu, kamar di mana waktu itu Steven menginap di situ. Kubuka pintu berwarna coklat tersebut. Hmm, tidak ada siapa-siapa di situ."Ke mana Steven?" gumamku pada diri sendiri.Ah, aku coba saja mencarinya di ruang gym. Apa mungkin dia di sana?Kulangkahkan kaki de
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. "Sudahlah, kamu nggak usah mikir yang macam-macam. Kamu mau barang apa, mau makan apa, bilang aja sama aku," ujarnya santai.Aku masih mengerutkan kening. Masak selama hamil nggak boleh berhubungan intim? Hamil muda katanya tadi. Jadi, kalau sudah hamil tua baru boleh? Lama dong? Yang benar aja. Memang ini kehamilanku yang pertama. Sebelumnya aku belum punya pengalaman sama sekali. Tapi ... kok, rasanya aku tidak bisa menerima jika hanya karena alasan hamil, sepasang suami-isteri tidak boleh melakukan hubungan seksual yang mana jelas-jelas itu kebutuhan biologis yang halal bagi yang sudah sah. "Ada buah nggak?" tanya Steven."Kok, kamu jadi ngalihin omongan?" tanyaku lagi."Kita bikin rujak, yuk!" ajaknya.Aku menyambar pergelangan tangan suamiku ketika ia hendak beranjak dari sofa, sehingga gerakannya pun terhenti. Kembali ia menatap lekat ke arah mataku.
Lebih dari satu pekan telah berlalu. Terus terang saja, aku benar-benar merasa rindu dengan sentuhan Steven. Usia kandunganku kalau dihitung-hitung, sudah menginjak pekan ke sembilan. Artinya sudah dua bulan lebih.Aku masih sering merasa mual dan muntah. Namun, Mommy selalu perhatian. Beliau selalu rewel kepada para asisten agar menjagaku. Beliau menyuruh mereka untuk segera menyediakan minuman hangat untukku jika mual atau pun jika aku sampai muntah.Leha juga selalu siap memijat-mijat tubuhku jika aku merasa tidak enak badan. Aku bersyukur, walaupun Steven selalu sibuk, tetapi masih ada Mommy di sampingku. Beliau sudah seperti ibuku sendiri.Karena alasan sibuk pula, Steven kembali meralat janjinya. Ia masih belum bisa menemani aku untuk berkonsultasi kepada Dokter Risa.Padahal sesekali aku merasakan kalau dia juga berhasrat untuk menyentuhku. Namun, tiap kali ia terlihat seperti itu, maka pria itu pun keluar dari kamar. Bahkan kemarin dia tid
"Memang Mommy bilang begitu?" tanya Steven ketika aku menjelaskan apa yang Mommy sampaikan tadi pagi sebab ia kembali ingin tidur di kamar tamu. Hal itu karena ia tidak mau tergoda untuk menyentuhku. Akhir-akhir ini dia memang tampak lebih sensitif jika aku sedikit saja mendekat."Iya, memang begitu," tegasku."Oke, lusa kita ketemu dengan Risa. Kita tanya kejelasannya," ujar Steven sembari melangkah menuju keluar kamar."Loh, kok, nanya Dokter Risa lagi? Kamu nggak percaya dengan Mommy?" protesku.Steve menghentikan langkahnya. "Bukan nggak percaya ... tapi, biar lebih memastikan saja. 'Kan, dia ahlinya.""Steveee ...," rengekku sembari melangkah lebar lantas memegang tangannya mencegah ia untuk melangkah pergi, "aku kangen tahuuuu ...!"Pria itu menatapku lekat. Begitu juga aku, menatapnya penuh permohonan. Aku lelah, sudah mau sebulanan kami begini. Seperti bukan suami-istri saja. Apa lagi sekarang, dia mulai tidur d
Aku melirik ke arah Steven yang sibuk menyetir di sana. Ya, kami pergi tidak bersama Pak Hardi karena pria itu izin untuk pemeriksaan rutin sang istri.Suami buleku itu hanya diam tidak berkata apa-apa sejak dari klinik Dokter Risa tadi. Apa dia juga berpikir sama sepertiku tentang bagaimana menjalani kehamilanku ini? Kembali aku mengarahkan pandangan ke depan dengan tatapan yang kosong."Kamu jangan sedih."Terdengar suara bariton itu yang memecah keheningan di antara kami.Aku menoleh ke arahnya dan begitu juga ia. Menoleh ke arahku sejenak, lantas kembali melihat ke depan mengendalikan laju kendaraan roda empat ini."Aku kangen kamu, Steve," lirihku sembari menundukkan pandangan.Pria itu meraih sebelah tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku nggak ke mana-mana," timpalnya."Tapi kamu rasanya makin menjauh ...," ujarku menahan sesak di dalam dada.Ya, beberapa waktu belakangan, aku merasa ia semakin jauh saja.
"Belum ... tapi nanti bakalan aku kasih tahu," sahutku."Kapan?" tanya pria bule itu dengan sorot mata yang menuntut."Steve ... Bibi baru aja siuman dari koma. Aku nggak mau nanti Bibi kaget jika mendengar berita aku sudah nikah sama kamu, kamu tahu sendiri gimana penilaian Bi Eli tentang kamu," jelasku, "mmm, dan aku mau nginepnya sepuluh hari, ya?" lanjutku bertanya."Sepuluh hari?" Steven mengulang omonganku, "Nggak ... nggak!" tegasnya sembari bangkit berdiri."Steve ... aku mau kamu ngerti. Aku butuh waktu untuk mencari momen yang tepat untuk memberitahukan hubungan kita ke Bibi!" jelasku pada pria keras itu."Biar aku yang ngomong ke Bibi kamu kalau kamu bingung mau bicara bagaimana!" ujarnya mulai tampak menegang."Ck!" Steven kenapa sih, nggak mau ngerti begini? "Apa? Benar, 'kan? Kalau kamu bingung mau ngomong apa, biar aku yang bicara ke Bibimu!" ulangnya sekali lagi."Steve, kamu ngertiin posisi aku
Aku mencebik dan menautkan kedua alis. Kenapa dia? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Hmm ... ya. Ya ... ya. Aku tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta sebelum ini kepadanya. Ini pertama kalinya. Tapi ... kenapa sikapnya aneh seperti itu? Apa dia tidak pernah mendapat ungkapan cinta sebelumnya dari seorang wanita? Dari istri-istri sebelumnya? No, no ... mustahil. Eh, tapi Steve sendiri belum pernah bilang ke aku kalau dia juga cinta. Namun, ia bersikap posesif. Apa itu karena cinta? Atau hanya karena keegoisan semata? Ah, entah mengapa pikiranku bertengkar satu sama lain. "Ah, iya!" Aku menepuk dahiku sendiri. Tiba-tiba kembali aku teringat kalau saat ini aku harus menjemput Bibi di rumah sakit. Aku pun lekas berkemas, menyiapkan perlengkapan dan pakaian yang bakal aku bawa ke rumah Bibiku. Selagi diizinkan oleh suami. Jangan sampai Steven berubah pikiran.Setelah beres, aku pun mendatangi Mommy yang masih di teras belakang rumah. Dan ternyata Steven pun kembali duduk di situ.
"Assalamualaikum!" Mas Wahyu mengucap salam dengan wajah semringah.Kami pun menjawab salamnya dengan serentak. Aku hanya bisa menundukkan pandangan. Ya, Allah. Kenapa Mas Wahyu ke sini?"Sudah siap pulang, Bi?" tanya pria itu sembari mendudukkan bokongnya di samping Bi Eli di kursi panjang ini.Hmm, berarti dia tahu hari ini Bibiku pulang. Siapa yang memberi tahu? Manda kah?"Lagi nungguin Manda, Nak Wahyu!" Bi Eli terlihat sangat senang dengan kedatangan pria manis berkacamata itu.Mas Wahyu mengangguk-angguk.Kemudian matanya beralih ke arahku. "Apa kabar, Nay?" Aku menarik kedua sudut bibir ini ke atas dengan tipis. "Alhamdulillah, baik, Mas," jawabku.Tak lama kemudian datang Manda. Dengan langkah sedikit berjingkrak ia semakin mendekat. Wajah gadis itu tampak ceria. "Ayo, kita pulang! Cepat pesan mobil, Nan!" suruhnya kepada sang adik."Eh, Mas bawa mobil!" sambar Mas Wahyu cepat."