"Memang Mommy bilang begitu?" tanya Steven ketika aku menjelaskan apa yang Mommy sampaikan tadi pagi sebab ia kembali ingin tidur di kamar tamu. Hal itu karena ia tidak mau tergoda untuk menyentuhku. Akhir-akhir ini dia memang tampak lebih sensitif jika aku sedikit saja mendekat.
"Iya, memang begitu," tegasku."Oke, lusa kita ketemu dengan Risa. Kita tanya kejelasannya," ujar Steven sembari melangkah menuju keluar kamar."Loh, kok, nanya Dokter Risa lagi? Kamu nggak percaya dengan Mommy?" protesku.Steve menghentikan langkahnya. "Bukan nggak percaya ... tapi, biar lebih memastikan saja. 'Kan, dia ahlinya.""Steveee ...," rengekku sembari melangkah lebar lantas memegang tangannya mencegah ia untuk melangkah pergi, "aku kangen tahuuuu ...!"Pria itu menatapku lekat.Begitu juga aku, menatapnya penuh permohonan. Aku lelah, sudah mau sebulanan kami begini. Seperti bukan suami-istri saja. Apa lagi sekarang, dia mulai tidur dAku melirik ke arah Steven yang sibuk menyetir di sana. Ya, kami pergi tidak bersama Pak Hardi karena pria itu izin untuk pemeriksaan rutin sang istri.Suami buleku itu hanya diam tidak berkata apa-apa sejak dari klinik Dokter Risa tadi. Apa dia juga berpikir sama sepertiku tentang bagaimana menjalani kehamilanku ini? Kembali aku mengarahkan pandangan ke depan dengan tatapan yang kosong."Kamu jangan sedih."Terdengar suara bariton itu yang memecah keheningan di antara kami.Aku menoleh ke arahnya dan begitu juga ia. Menoleh ke arahku sejenak, lantas kembali melihat ke depan mengendalikan laju kendaraan roda empat ini."Aku kangen kamu, Steve," lirihku sembari menundukkan pandangan.Pria itu meraih sebelah tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku nggak ke mana-mana," timpalnya."Tapi kamu rasanya makin menjauh ...," ujarku menahan sesak di dalam dada.Ya, beberapa waktu belakangan, aku merasa ia semakin jauh saja.
"Belum ... tapi nanti bakalan aku kasih tahu," sahutku."Kapan?" tanya pria bule itu dengan sorot mata yang menuntut."Steve ... Bibi baru aja siuman dari koma. Aku nggak mau nanti Bibi kaget jika mendengar berita aku sudah nikah sama kamu, kamu tahu sendiri gimana penilaian Bi Eli tentang kamu," jelasku, "mmm, dan aku mau nginepnya sepuluh hari, ya?" lanjutku bertanya."Sepuluh hari?" Steven mengulang omonganku, "Nggak ... nggak!" tegasnya sembari bangkit berdiri."Steve ... aku mau kamu ngerti. Aku butuh waktu untuk mencari momen yang tepat untuk memberitahukan hubungan kita ke Bibi!" jelasku pada pria keras itu."Biar aku yang ngomong ke Bibi kamu kalau kamu bingung mau bicara bagaimana!" ujarnya mulai tampak menegang."Ck!" Steven kenapa sih, nggak mau ngerti begini? "Apa? Benar, 'kan? Kalau kamu bingung mau ngomong apa, biar aku yang bicara ke Bibimu!" ulangnya sekali lagi."Steve, kamu ngertiin posisi aku
Aku mencebik dan menautkan kedua alis. Kenapa dia? Apa ada yang salah dengan ucapanku? Hmm ... ya. Ya ... ya. Aku tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta sebelum ini kepadanya. Ini pertama kalinya. Tapi ... kenapa sikapnya aneh seperti itu? Apa dia tidak pernah mendapat ungkapan cinta sebelumnya dari seorang wanita? Dari istri-istri sebelumnya? No, no ... mustahil. Eh, tapi Steve sendiri belum pernah bilang ke aku kalau dia juga cinta. Namun, ia bersikap posesif. Apa itu karena cinta? Atau hanya karena keegoisan semata? Ah, entah mengapa pikiranku bertengkar satu sama lain. "Ah, iya!" Aku menepuk dahiku sendiri. Tiba-tiba kembali aku teringat kalau saat ini aku harus menjemput Bibi di rumah sakit. Aku pun lekas berkemas, menyiapkan perlengkapan dan pakaian yang bakal aku bawa ke rumah Bibiku. Selagi diizinkan oleh suami. Jangan sampai Steven berubah pikiran.Setelah beres, aku pun mendatangi Mommy yang masih di teras belakang rumah. Dan ternyata Steven pun kembali duduk di situ.
"Assalamualaikum!" Mas Wahyu mengucap salam dengan wajah semringah.Kami pun menjawab salamnya dengan serentak. Aku hanya bisa menundukkan pandangan. Ya, Allah. Kenapa Mas Wahyu ke sini?"Sudah siap pulang, Bi?" tanya pria itu sembari mendudukkan bokongnya di samping Bi Eli di kursi panjang ini.Hmm, berarti dia tahu hari ini Bibiku pulang. Siapa yang memberi tahu? Manda kah?"Lagi nungguin Manda, Nak Wahyu!" Bi Eli terlihat sangat senang dengan kedatangan pria manis berkacamata itu.Mas Wahyu mengangguk-angguk.Kemudian matanya beralih ke arahku. "Apa kabar, Nay?" Aku menarik kedua sudut bibir ini ke atas dengan tipis. "Alhamdulillah, baik, Mas," jawabku.Tak lama kemudian datang Manda. Dengan langkah sedikit berjingkrak ia semakin mendekat. Wajah gadis itu tampak ceria. "Ayo, kita pulang! Cepat pesan mobil, Nan!" suruhnya kepada sang adik."Eh, Mas bawa mobil!" sambar Mas Wahyu cepat."
"Bibi istirahat dulu, ya!" suruhku kepada Bibi.Terus terang, aku pun merasa agak pusing. Ini tentu bawaan bayi. Ditambah dengan semua sikap dan ucapan bibi tadi soal Mas Wahyu."Hmm, iya. Bibi mau rebahan!" Bibiku memegang pegangan sofa dan berusaha bangkit.Dengan cepat aku memegang lengan Bibi satunya hendak membantu beliau berdiri. Kemudian aku menggiring Bibi yang ingin istirahat ke dalam kamarnya.Setelah beliau merebahkan badan, beliau menatapku. "Bibi makasih sama kamu, Nay," ucap Bibi dengan sorot mata sayu.Aku menautkan kedua alis demi mendengar apa yang beliau ucapkan. Tidak pernah Bibi seperti ini sebelumnya."Sini!" titahnya sembari menepuk bibir ranjang menyuruhku duduk.Dengan perlahan aku pun menurut, mendaratkan bokong ke pinggir tempat tidur itu. "Kamu selama udah bantu Bibi, Nay. Selama Bibi nggak sadarkan diri, kamu pasti repot untuk cari uang perawatan Bibi. Kamu dapat uang dari mana, Nay?
Kami terdiam untuk beberapa menit. Aku menyusut kedua sudut mata, membersihkan air yang tadi mengalir dari sana. Berusaha menenangkan diri sendiri. Manda dan Nanda pun hanya terpaku di tempatnya masing-masing. Kami sama-sama menanti tanggapan Bi Eli berikutnya."Jadi ...." Akhirnya suara Bibi kembali terdengar. Aku menanti omongannya."Kamu sekarang sudah hamil ...?" tanya Bibi dengan sorot mata mulai sayu.Aku mengangguk pelan. "Iya, Bi ... alhamdulilah, akhirnya aku hamil, Bi." Bibir ini mengulas sebuah senyuman.Ya, Bibi tahu, kalau selama ini aku sangat menginginkan sebuah kehamilan menghampiri diriku. Ternyata tuduhan mandul kepadaku itu tidak benar ...."Kamu bahagia dengan pernikahan kamu ini?" tanya Bibi lagi.Kembali aku mengangguk-anggukkan kepala. "Iya, Bi. Aku bahagia. Steven sangat baik sama aku."Bibi pun akhirnya mengangguk. "Rasanya masih belum bisa dipercaya. Tapi ya sudahla
Kukecup dan kumainkan cuping telinganya. "Aku kangen ...," bisikku sembari menghidu aroma tubuhnya yang khas di indera penciumanku itu."Hmm, nanti lagi ya! Nanti aku hubungi lagi." Steven terlihat memutuskan saluran telepon selularnya. Ia pun memasukkan benda segi empat itu ke dalam saku celananya."Kamu sudah pulang?" tanyanya sembari tetap menggenggam telapak tanganku yang berada di dadanya."Hu um ...," jawabku masih asik bersandar di pundak dan punggungnya."Kamu teleponan dengan siapa? Tes apa yang enam bulan?" tanyaku sambil terus memeluknya."Ooh, itu. Soal kerjaan. Tes pasar ...." Steve mengurai pelukanku, ia lalu melangkah menuju meja kerjanya. Kemudian mendaratkan bokongnya ke kursi kebesarannya di sana. "Gimana, Bibimu sudah sehat?" tanyanya sembari menarik laptopnya mendekat.Aku mencebik dan menaikkan alis. "Alhamdulillah, aku senang ... Bibiku semakin sehat. Perkembangan lumayan bagus," jawabku atas pertanyaannya sambil berjalan menyusul mendekatinya, kemudian kembali m
"Kenapa apa, Mom?" tanya Steven dengan nada santai seperti tanpa beban.Aku sedikit memutar mata melihat gayanya."Ya, kalian diam-diaman begini?" Mommy mengernyitkan dahinya.Entahlah, aku memang sedang malas bicara sekarang.Sambil mengunyah Steven mencebikkan bibirnya. "Nggak ada apa-apa," kilahnya sembari mengendikkan bahu lebarnya itu."Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik. Jangan diam-diaman. Udah pada dewasa juga," cetus Mommy."Kita nggak ada masalah 'kan, Sayang?" Steven meraih telapak tanganku dengan tangan kanannya.Dengan terpaksa aku menaikkan kedua ujung bibir ini ke atas. "Iya, Mom. Nggak ada masalah apa-apa, kok," ujarku sambil menatap ibu mertuaku sebentar.Aku tidak mau Mommy anggap seperti anak kecil yang tengah merajuk. Biarlah Steven saja yang tahu kalau aku sedang tidak enak hati kepadanya. Itu pun kalau dia masih punya kepekaan. Akan tetapi, entah mengapa aku malah sangsi. Hhhh ....