"A–pa?" pekikku tertahan.Pria gila! Aku tidak mau jadi korban lelaki yang dikenal sudah menjandakan tiga wanita ini. Aku ini istri orang, dan tentu saja aku tidak mau jadi korban ke sekian dari pria sejenis Steven Arnold yang terkenal kasar, arogan, dan penjahat kelamin.Sekasar-kasarnya ucapan dan sikap Bang Rizal selama ini kepadaku, ia bukanlah orang yang suka mempermainkan perempuan. Dia suami yang setia.Tiga tahun kami menikah, walau aku belum memberinya keturunan, ia tidak pernah kedengaran bermain wanita di luar sana dan berniat poligami, atau bahkan berniat menceraikanku. Aku tidak mau dicerai!Sayangnya, sebelah alis Tuan Steven seketika naik mendengar pekikanku."Apa yang kamu harapkan dengan lelaki seperti dia?" tanyanya seakan tidak membutuhkan jawaban dariku dan terkesan menyindir, "lebih baik kamu jadi istriku."Tuan Steven Arnold tiba-tiba tersenyum. Namun, aku seketika merinding karena senyumnya bagai vonis kematian untukku.Aku pun menunduk dan bergidik ketika pria
Sontak aku menatap Bang Rizal. Apa? Jadi, ini yang dimaksud suamiku itu soal kompensasi? "Mak--maksud Abang apa, Bang?" tanyaku memastikan kepada suamiku.Bang Rizal hanya melirikku sebentar tanpa menjawab."Kamu mau kompensasi berapa? Apa tidak cukup aku anggap lunas semua utangmu, heh?" tanya Tuan Steven dengan menyatukan alisnya.Bang Rizal tersenyum tipis. "Nay ini istri yang baik, Tuan. Pintar masak ... dan dia juga cantik. Tuan lihat saja," ujar Bang Rizal sambil memegang lutut yang berbalut daster lusuhku. Baru kali ini dia memuji rupaku. Akan tetapi, entah mengapa aku malah tidak senang. Alisku bertaut. "Bang ...." bisikku memajukan sedikit badanku ke arahnya. Aku coba meraih punggung tapak tangan Bang Rizal, tapi segera ia lepaskan. Mengapa Bang Rizal malah bernegosiasi atas diriku untuk kompensasi? Bang Rizal tentu tidak serius untuk menyerahkan istrinya ke penjahat wanita seperti Tuan Steven Arnold. Tidak mungkin!Anehnya, ketika aku mendekati Bang Rizal, Tuan Steven tam
Mendengar ucapan Bang Rizal sontak aku terkejut.Aku tak mengira, akhirnya kata-kata itu keluar dari lisan suamiku. Kukira selama ini dia tidak mempermasalahkan jika kami belum mempunyai keturunan. Aku juga sering melihat Bang Rizal seperti tidak peduli dengan anak-anak. Dia tidak menyukai anak-anak.Aku tahu itu karena terkadang aku membawa bayi Ana—tetanggaku—untuk sekadar bermain sebentar di rumah ini, tapi Bang Rizal tidak pernah mempedulikannya. Padahal bayi itu kelihatan sangat lucu. Perkataannya membuatku semakin merasa tak berguna. Apa mungkin memang ini akhir semuanya? Apakah ini jalan agar kami berpisah?*****TOK! TOK! TOK!Aku tersentak kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang menggedor pintu rumah dengan sangat kasar. Baru saja diri hendak merebahkan badan di tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, karena mencuci serta menyetrika pakaian Ana yang banyak. Waktu pun sudah cukup malam, sudah pukul 21.15 WIB. Siapa sih, malam-malam begini berisik? Mana Bang Rizal belum
Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya."Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya."Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelar
Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang."Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa
Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili
Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i
Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam