Share

Bab 3 : Penjatuhan Talaq

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-12 07:08:54

Sontak aku menatap Bang Rizal. Apa? Jadi, ini yang dimaksud suamiku itu soal kompensasi?

"Mak--maksud Abang apa, Bang?" tanyaku memastikan kepada suamiku.

Bang Rizal hanya melirikku sebentar tanpa menjawab.

"Kamu mau kompensasi berapa? Apa tidak cukup aku anggap lunas semua utangmu, heh?" tanya Tuan Steven dengan menyatukan alisnya.

Bang Rizal tersenyum tipis. "Nay ini istri yang baik, Tuan. Pintar masak ... dan dia juga cantik. Tuan lihat saja," ujar Bang Rizal sambil memegang lutut yang berbalut daster lusuhku.

Baru kali ini dia memuji rupaku. Akan tetapi, entah mengapa aku malah tidak senang. Alisku bertaut.

"Bang ...." bisikku memajukan sedikit badanku ke arahnya. Aku coba meraih punggung tapak tangan Bang Rizal, tapi segera ia lepaskan. Mengapa Bang Rizal malah bernegosiasi atas diriku untuk kompensasi? Bang Rizal tentu tidak serius untuk menyerahkan istrinya ke penjahat wanita seperti Tuan Steven Arnold. Tidak mungkin!

Anehnya, ketika aku mendekati Bang Rizal, Tuan Steven tampak sedikit mencebik. "Oke ... oke. Kamu mau berapa?" tanyanya to the point.

"Seratus juta," jawab Bang Rizal juga tanpa basa-basi.

Mendengar itu membuatku berpikir, ah, Bang Rizal memang pintar!

Aku rasa dia sengaja biar Tuan Steven mundur.

Tidak mungkin dia mau, kan?

Sudahlah merelakan piutang sejumlah dua ratus juta, eh, ditambah lagi dengan kompensasi seratus juta, seperti permintaan Bang Rizal!

Suamiku pandai untuk mengulur waktu pelunasan juga ternyata.

"Seratus juta?" tanya Tuan Steven pada akhirnya.

Nah, 'kan ... tidak mungkin Tuan Steven Arnold mau.

"Oke!"

Hah?? Betapa terkejutnya aku mendengar persetujuan dari Tuan Steven. "Apa?" Aku berdesis seakan tak percaya dengan apa yang kudengar.

Pandangan kuarahkan ke Bang Rizal. Dia tersenyum lebar dan terkekeh senang.

"Bang!" pekikku tertahan.

"Hmm," sahut Bang Rizal santai.

"Hanan! Sini berkas yang tadi!" Tuan Steven meraih sebuah map dari tangan Bang Hanan. Map tersebut tadi memang sudah dibawa oleh ajudannya itu dan diletakkan di lemari bufet kami di sebelahnya berdiri.

"Kalian tanda tangan di sini!" tunjuk Tuan Steven.

"Bang, aku gak mau cerai!" Panik rasanya melihat Bang Rizal meraih pulpen dari Bang Hanan. Kemudian, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas itu.

"Nay ...." Bang Rizal memberi isyarat kepadaku untuk menandatangani juga.

Aku pun bangkit dari sofa dan menggeleng.

"Nur ... cepat tanda tangan," ucap Bang Rizal lembut. Sangat jarang ia menyuruhku dengan nada selembut itu.

Aku kembali menggeleng keras. "Gak mau, aku gak mau tanda tangan!" cetusku keras.

"Ayolah!" Bang Rizal meraih lenganku.

Tuan Steven tampak menunggu di tempat duduknya dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas. Ia hanya tampak bosan berada di rumah ini sepertinya.

"Abang tega nyeraiin aku hanya demi uang?" tanyaku sengit ke arah Bang Rizal.

"Nay, kita juga tidak cocok selama ini, 'kan. Mungkin ini jalan terbaik." Bang Rizal membujukku.

Tidak cocok? Jadi, selama ini Bang Rizal merasa kami pasangan yang tidak cocok satu sama lain? Apa karena aku belum memberinya keturunan?

"Maksud Abang tidak cocok bagaimana? Tidak, Bang ... aku gak mau cerai, aku gak mau jadi janda." Air mata yang dari tadi kutahan sudah nyaris keluar.

"Ya, kamu 'kan, gak suka Abang keluar malam. Sementara Abang suka. Kamu suka pakai jilbab, Abang gak suka kamu pake jilbab begitu. Kamu memang nurut kalo Abang suruh ini itu. Tapi, kamu juga suka bandel soal yang lain. Tuan Steven suka tuh, dengan kamu walau kamunya pake jilbab."

Aku menatap Tuan Steven Arnold yang tampak menarik napas. Sepertinya, ia semakin bosan menunggu. "Sudah-sudah. Aku kira ini sudah final," katanya.

"Aku gak bakal mau cerai dan kemudian nikah sama penjahat wanita kayak pria ini!" ketusku.

Baru kali ini aku berani berkata sekasar itu di hadapan Bang Rizal, bahkan orang lain.

Bang Rizal sampai tampak heran melihatku. Selama ini, aku selalu menurutinya.

"Oke, sorry, Zal. Kalau istri kamu tidak mau tanda tangan, maka besok kalian tinggalkan rumah ini, kebunmu juga aku sita." Tuan Steven pun melangkah pergi diikuti Bang Hanan di belakangnya yang dengan sengaja menyenggol bahu Bang Rizal ketika berjalan pergi.

Setelah Tuan Steven keluar dari pintu, rahang Bang Rizal tampak mengeras. Tiba-tiba saja ia mendekat dan–

Plak!

"Perempuan tidak tahu diuntung!"

Aku terjerembab jatuh ke lantai. Telingaku terasa berdenging. Kepala juga refleks terasa pening. Bang ... Bang Rizal menamparku?

"Abang ...." Mataku terasa kabur karena tiba-tiba ada kaca-kaca yang menghalangi pandangan ke arah suamiku.

"Derajatmu sudah aku angkat dari keluargamu yang miskin itu! Mestinya, kamu bayar semua kebaikanku!" Suara lelaki itu menggelegar membahana di ruang yang tak seberapa besar ini.

Air mata pun mengalir tak dapat kutahan. Bang Rizal mengapa tega terus berkata seperti itu? Jadi, selama ini sebenarnya aku dianggap apa?

"Aku tidak mau tahu! Kamu tanda tangani ini, sekarang juga!" Bang Rizal meraih kasar kertas dan map yang berada di meja. Kemudian ia sodorkan di hadapanku.

Aku menangis sesegukan. Mengapa hidupku begini ya, Rabb ...?

"Cepat tanda tangan!" bentaknya sembari menyerahkan pulpen ke arahku dengan sangat kasar.

Bang Rizal selama ini memang sering berkata kasar. Tapi dia tidak pernah sekasar ini, bahkan aku tak menyangka sama sekali lelaki itu sampai memukulku. Ini pertama kalinya.

Dengan hati yang ciut dan terasa perih sekali, tanganku bergetar memegang pulpen tersebut. Yaa Allah, sungguh kalaupun aku harus berpisah dengan suamiku, tapi tidak dengan cara seperti ini ....

"Cepat tanda tangan!" Bang Rizal mendorong kepalaku, dia terlihat geram.

"I–iya, Bang ...." jawabku terbata dan sambil terisak. Lalu aku bubuhkan tanda tanganku di kertas itu. Betapa perih batin ini. Air mata pun jatuh berderai membasahi pipi.

Bang Rizal memungut map dan kertas itu dari lantai dengan kasar. Ia lalu bangkit dan melangkah pergi keluar dari rumah ini.

"Anggap saja ini bayaran dari semua utang budimu kepadaku! Dasar perempuan mandul!"

Bab terkait

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 4 : Undangan Makan Malam

    Mendengar ucapan Bang Rizal sontak aku terkejut.Aku tak mengira, akhirnya kata-kata itu keluar dari lisan suamiku. Kukira selama ini dia tidak mempermasalahkan jika kami belum mempunyai keturunan. Aku juga sering melihat Bang Rizal seperti tidak peduli dengan anak-anak. Dia tidak menyukai anak-anak.Aku tahu itu karena terkadang aku membawa bayi Ana—tetanggaku—untuk sekadar bermain sebentar di rumah ini, tapi Bang Rizal tidak pernah mempedulikannya. Padahal bayi itu kelihatan sangat lucu. Perkataannya membuatku semakin merasa tak berguna. Apa mungkin memang ini akhir semuanya? Apakah ini jalan agar kami berpisah?*****TOK! TOK! TOK!Aku tersentak kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang menggedor pintu rumah dengan sangat kasar. Baru saja diri hendak merebahkan badan di tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, karena mencuci serta menyetrika pakaian Ana yang banyak. Waktu pun sudah cukup malam, sudah pukul 21.15 WIB. Siapa sih, malam-malam begini berisik? Mana Bang Rizal belum

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 5 : Acara Makan Malam

    Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya."Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya."Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 6 : Pertengkaran

    Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang."Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 7 : Bersikap Semakin Buruk

    Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 8 : Dipaksa Melayaninya

    Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 9 : Bi Eli

    Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 10 : Telepon

    Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-18
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 11 : Bang Rizal

    "Kenapa gak kamu jawab itu telepon si Rizal?" tanya Bi Eli heran seraya mencelupkan tangannya ke kobokan karena sudah selesai makan.Hendi melihatku dengan tatapan yang juga heran. Ponselku tidak berhenti bergetar di atas meja makan ini."Nanti aja, Bi. Biarin, nanti aku telepon balik. Mau bersihkan ini dulu," kilahku, kemudian bangkit berdiri dan mengemaskan piring bekas kami makan dan membawanya ke wastafel. Aku hanya beralasan. Sebenarnya aku bingung harus menjawab apa jika Bang Rizal bertanya aku ke mana. Bagaimana kalau dia tahu aku memang berniat kabur darinya?Hendi juga menyusul selesai makan. Ia lalu meletakkan piring bekasnya ke wastafel di hadapanku. "Biar Kakak aja, Hen!" Aku mencegahnya ketika ingin membantu mencuci piring bekas kami makan dan beberapa panci serta wajan bekas memasak tadi.Hendi menurut. "Bang Rizal nelepon terus tuh, Kak! Aku angkat ya? Biar aku bilangin nanti Kakak telepon balik." Adikku berjalan hendak mengambil gawai itu dari atas meja makan."Eeeh,

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19

Bab terbaru

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   EKSTRA PART

    Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 140 : Bicara dari Hati ke Hati

    "Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 139 : Ucapan yang Sangat Menusuk

    Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 138 : Kunjungan

    Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 137 : Perhatian

    Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 136 : Bayi Mungilku

    Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 135 : Mengapa Kamu Pergi

    "Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 134 : Yang dinantikan

    Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 133 : HPL

    "Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam

DMCA.com Protection Status