Beranda / Rumah Tangga / Wanita Dambaan Tuan Otoriter / Bab 4 : Undangan Makan Malam

Share

Bab 4 : Undangan Makan Malam

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-12 07:10:19

Mendengar ucapan Bang Rizal sontak aku terkejut.

Aku tak mengira, akhirnya kata-kata itu keluar dari lisan suamiku.

Kukira selama ini dia tidak mempermasalahkan jika kami belum mempunyai keturunan.

Aku juga sering melihat Bang Rizal seperti tidak peduli dengan anak-anak. Dia tidak menyukai anak-anak.

Aku tahu itu karena terkadang aku membawa bayi Ana—tetanggaku—untuk sekadar bermain sebentar di rumah ini, tapi Bang Rizal tidak pernah mempedulikannya. Padahal bayi itu kelihatan sangat lucu. Perkataannya membuatku semakin merasa tak berguna. Apa mungkin memang ini akhir semuanya? Apakah ini jalan agar kami berpisah?

*****

TOK! TOK! TOK!

Aku tersentak kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang menggedor pintu rumah dengan sangat kasar.

Baru saja diri hendak merebahkan badan di tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, karena mencuci serta menyetrika pakaian Ana yang banyak.

Waktu pun sudah cukup malam, sudah pukul 21.15 WIB. Siapa sih, malam-malam begini berisik? Mana Bang Rizal belum pulang lagi. Aku merutuk di dalam hati.

Semenjak hasil panen kebun Bang Rizal tidak seberapa akibat hama yang menyerang, aku berinisiatif untuk menambah penghasilan keluarga dengan mengambil upah dari pekerjaan itu.

Kebetulan, tukang cuci-setrika Ana sedang pulang kampung, jadi aku bisa menggantikan sementara.

Aku membutuhkan uang, selain untuk menambah uang belanja, aku juga harus mengirim kepada Hendi—adikku—sebagai uang sakunya di pondok.

"Tunggu ... tunggu sebentar!" pekikku. Paling tidak mereka sebentar menghentikan gedoran yang berisik itu. Aku segera meraih bergo yang tersampir di balik pintu kamar, lalu gegas melangkah menuju ke luar.

Ketika baru saja aku buka kunci selop, tanpa tedeng aling-aling orang-orang yang ada di depan mendorong pintu dan masuk ke dalam rumah. Apa-apaan? Tidak sopan!

"Mana si Rizal?" tanya salah seorang dari mereka tanpa basa-basi.

Alisku bertaut. "Abang-abang ini siapa?" Balik aku bertanya. Dengan seenaknya mereka masuk rumah orang tanpa permisi.

Empat orang laki-laki berumur tiga puluh tahun ke atas itu memasang wajah sangar.

"Rizal harus membayar utangnya!" tegas salah seorang dari mereka.

Bang Rizal berutang lagi. Aku lelah sebenarnya. Ini bukan kali pertama orang melabrak rumah kami. Beberapa sudah dibayar, eh, yang lainnya pula datang. Dan utang kepada Tuan Steven Arnold itu memang yang paling banyak. Sebab itu dulu untuk kami memodali usaha perkebunan yang waktu itu tengah gagal panen.

Sebenarnya, beberapa kali hasil panen setelah itu bagus dan hasilnya bisa untuk mencicil utang kami. Akan tetapi, Bang Rizal justru menghamburkannya di meja judi. Padahal Bang Rizal sudah berjanji untuk tidak berjudi lagi, tapi setahun belakangan malah ia kembali ke lembah kotor itu kembali. Aku sudah kehabisan kata-kata untuk melarangnya.

"Ada apa ini?"

Nah, itu dia Bang Rizal. Alhamdulillah ... aku merasa lega dengan kedatangannya.

"Kamu Rizal, 'kan?" tanya salah seorang yang berbadan tambun dan perutnya buncit.

"Iya. Kalian siapa?" tanya suamiku heran.

Aku kira Bang Rizal kenal dengan mereka. Ternyata tidak.

"Kami suruhan Juragan Dimas. Kamu harus bayar utangmu sekarang juga, Rizal," ujar lelaki dengan perut buncit itu.

Pria itu meraih kerah baju Bang Rizal, membuatku bergidik. Takut kejadian seperti beberapa hari lalu kembali terjadi, suamiku dipukuli oleh Bang Hanan.

"Oh, sabar-sabar!" Bang Rizal mengangkat kedua tangannya, "ini aku ada uangnya. Tenaaang ...," katanya menenangkan pria-pria berwajah garang itu.

Mendengar hal itu, sontak si pria tambun melepaskan cengkraman tangannya dari kerah Bang Rizal.

"Utangku pada Dimas cuma dua juta, 'kan? Tenang ... ini duitnya," tutur Bang Rizal sembari merogoh kocek celananya, lalu ia mengeluarkan segepok uang merah lalu menghitungnya.

Aku heran, Bang Rizal dapat uang banyak dari mana?

"Ini!" Bang Rizal menyerahkan sejumlah uang ke arah orang-orang tersebut.

Orang-orang itu pun segera pergi setelah mendapat apa yang mereka harapkan.

Aku menutup pintu rumah dan menguncinya. Kemudian berjalan mengekori Bang Rizal ke arah kamar kami.

"Ini!" Lelaki berkumis tipis di hadapanku itu tiba-tiba meraih bantal dan selimut kemudian menyerahkan barang tersebut kepadaku dengan sekonyong-konyong.

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Maksudnya apa coba?

"Kamu tidur di sofa sana!" katanya sambil memonyongkan mulutnya menunjuk ke arah luar.

"Kenapa kok–" Belum juga aku mempertanyakan perihal dari mana datangnya uang tadi, malah hal lain pula ia lakukan kepadaku.

"Kamu kuceraikan. Jadi, sekarang kamu sudah berada di masa iddah." Dengan santainya Bang Rizal berkata demikian, kemudian pria itu duduk dan bersender di ranjang.

"Ap–apa?" Aku bukan tak mendengar ucapannya, tetapi benarkah dengan semudah itu Bang Rizal menalaq-ku?

"Kamu tidak tuli, Nay ... tunggu tiga bulan. Kamu nanti dinikahi oleh si Steven itu." Bang Rizal menatapku dengan tanpa beban.

"Bang ... Abang kok, tega sama aku? Abang benar-benar menyerahkan aku ke penjahat perempuan itu?" ucapku memelas sambil menatap wajah orang yang selama ini kuhormati sebagai suami.

"Sudahlah, Nay. Steven itu kaya raya. Kamu pasti senang jadi istrinya," ujar Bang Rizal lagi, ia lalu merebahkan badannya dan memeluk guling.

Aku berlutut, lalu memegang lengan Bang Rizal. "Aku ... aku rela Abang ceraikan. Mungkin memang aku wanita yang tidak berguna untuk jadi istri Abang. Aku tidak bisa memberi keturunan buat Abang. Tapi aku gak mau dinikahi oleh Tuan Steven, Bang ... antar saja aku ke rumah Bi Eli."

Lebih baik aku tinggal bersama bibiku dibandingkan aku harus menikah dengan lelaki penjahat kelamin seperti Tuan Steven itu. Biarlah aku makan hati dengan perlakuan dan ucapan bibiku dibandingkan hidup menderita bersama lelaki yang sudah menjandakan tiga wanita itu.

"Aah, udah sana! Aku lelah, mau tidur!" Bang Rizal menepis tanganku dan berbalik membelakangiku.

Hatiku terasa hancur. Aku harus mencari cara agar bisa menghindari pernikahan dengan Tuan Steven Arnold. Lebih baik jadi janda selamanya, daripada harus menikah dengannya.

"Jangan bodoh kamu, Nay! Aku tahu ... dulu kamu suruh aku cepet ngelamar karena gak mau tinggal sama bibimu yang cerewet itu, 'kan? Sekarang sok-sokan mau tinggal sama dia. Huh!" Bang Rizal kembali berbalik menghadapku dan menyindir apa yang pernah aku lakukan dulu.

"Mmm ... tapi ... tapi aku gak mau dinikahkan dengan Tuan Steven, Bang." Aku menunduk sedih. Bang Rizal sudah menceraikan aku, ke mana lagi tempat aku mengadu? Lebih baik setiap hari mendengar ucapan Bi Eli yang nyelekit dibandingkan bersama pria seperti Tuan Steven Arnold.

"Kamu jangan macam-macam, Nay! Aku sudah ambil uang dari si Steven itu. Kamu tahu 'kan, apa yang terjadi kalau sampe keinginan dia gak terpenuhi. Habis aku dihajar sama si Hanan dan anak buahnya yang lain. Atau kamu memang mau aku cacat kayak si Jarwo itu, hah?!" cecar Bang Rizal.

Jarwo adalah pekerja dari Tuan Steven. Ia pernah meminjam uang juga dari tuan tanah itu, tapi tak sanggup mengembalikan. Kini ia bekerja dengan kaki yang pincang karena dianiaya oleh para ajudan lelaki blasteran itu.

"Bu–bukan begitu, Bang ... aku cum–"

"Sudah! Sana tidur! Aku gak mau dengar alasan kamu lagi!" Bang Rizal mendorong bahuku hingga aku terduduk.

Semakin lama, Bang Rizal semakin sering berlaku kasar kepadaku. Apa yang harus kulakukan ya Allah?

Aku lalu bangkit dan beranjak membawa bantal serta selimut yang diberikan oleh Bang Rizal tadi ke ruang tamu.

Kamar di rumah ini hanya satu. Sekarang, karena aku dan Bang Rizal harus berpisah, maka kami pun tidak boleh tidur satu kamar lagi.

Di awal pernikahan, kami sebenarnya tidak tinggal di rumah kecil ini.

Ini semua terjadi semenjak ibu mertuaku meninggal dunia satu setengah tahun yang lalu.

Ayah mertua jadi stress dan Bang Rizal juga seperti kehilangan arah.

Kebiasaan lamanya yang senang berjudi kembali lagi. Sedikit demi sedikit harta kami ludes. Ayah mertua berang dan mengusir kami dari rumahnya.

Bang Rizal akhirnya menjual sebagian kebun dan membeli rumah kecil yang kini kami tempati.

Pengusiran dari ayah mertuaku dan habisnya harta berharga satu per satu bukan menjadi pelajaran bagi Bang Rizal. Malah hasil kebun pun tidak diserahkan untuk membayar utang-utangnya. Bahkan ia terus-menerus tenggelam di meja judi yang haram.

Benar kata orang. Judi hanya meninggalkan harapan palsu. Ingin kaya, tetapi malah sebaliknya. Bahkan hal itu merupakan salah satu dosa besar.

****

Sudah dua bulan dari hari ketika aku resmi berstatus janda secara agama.

Bang Rizal, seorang diri, bolak-balik ke pengadilan mengurus perceraian kami.

Dia juga menyewa seorang pengacara agar semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan.

Uang dari mana untuk mengurus itu semua? Tentu saja dari Tuan Steven.

Tidak lama lagi akan diadakan sidang mediasi. Semakin hari, aku semakin pasrah dengan keadaan. Aku tidak bisa memaksa Bang Rizal untuk mempertahankan rumah tangga kami. Apalagi ia selalu diberikan uang oleh Tuan Steven, ia semakin digelapkan mata oleh harta.

"Nih!" Tiba-tiba saja Bang Kamal melempar sebuah paper bag ke arahku.

"Ini apa, Bang?" tanyaku sembari memegang barang itu.

Saat ini, ada Ana yang sedang membawa bayinya bertandang ke rumah. Ia hanya diam ketika melihat kedatangan Bang Rizal.

Dia sudah tahu perangai suami, eh, mantan suamiku itu, walaupun ia tidak tahu bahwa aku sudah di-talaq. Karena aku tidak pernah menceritakan hal itu kepadanya.

"Nanti malam kita ke rumah Steven. Kamu pake itu!" suruh Bang Rizal.

Bab terkait

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 5 : Acara Makan Malam

    Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya."Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya."Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-12
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 6 : Pertengkaran

    Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang."Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 7 : Bersikap Semakin Buruk

    Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 8 : Dipaksa Melayaninya

    Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 9 : Bi Eli

    Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 10 : Telepon

    Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-18
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 11 : Bang Rizal

    "Kenapa gak kamu jawab itu telepon si Rizal?" tanya Bi Eli heran seraya mencelupkan tangannya ke kobokan karena sudah selesai makan.Hendi melihatku dengan tatapan yang juga heran. Ponselku tidak berhenti bergetar di atas meja makan ini."Nanti aja, Bi. Biarin, nanti aku telepon balik. Mau bersihkan ini dulu," kilahku, kemudian bangkit berdiri dan mengemaskan piring bekas kami makan dan membawanya ke wastafel. Aku hanya beralasan. Sebenarnya aku bingung harus menjawab apa jika Bang Rizal bertanya aku ke mana. Bagaimana kalau dia tahu aku memang berniat kabur darinya?Hendi juga menyusul selesai makan. Ia lalu meletakkan piring bekasnya ke wastafel di hadapanku. "Biar Kakak aja, Hen!" Aku mencegahnya ketika ingin membantu mencuci piring bekas kami makan dan beberapa panci serta wajan bekas memasak tadi.Hendi menurut. "Bang Rizal nelepon terus tuh, Kak! Aku angkat ya? Biar aku bilangin nanti Kakak telepon balik." Adikku berjalan hendak mengambil gawai itu dari atas meja makan."Eeeh,

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 12 : Lelaki Berwajah Manis

    "Bibi heran, kamu kok, bisa nikah sama dia? Seperti gak ada laki-laki lain saja. Banyak yang mau sama kamu dulu, Nay! Tapi malah milih si begajulan, Rizal. Aneh kamu, nih!" celoteh Bibi. Untung saja Bibiku ini terkadang mengalihkan pembicaraan dengan sendirinya. Hanya saja pertanyaannya membuat aku tertunduk. Dulu memang banyak yang berusaha mendekati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang berani serius, selain Bang Rizal. Waktu itu juga lelaki berkumis tipis itu sudah berubah lebih baik. Ia sudah menjadi lelaki yang rajin ke masjid dan tidak lagi berjudi. Apalagi aku terdesak dengan keadaan. Ayah dan ibu sudah tiada. Aku tak mau tinggal dengan Bibi. Cukup Hendi saja yang memang disayangi olehnya.Bang Rizal dulu sangat perhatian kepadaku. Sebelum menikah dan di awal-awal pernikahan kami. Namun, semakin hari perangainya malah berubah kembali seperti sedia kala. Bahkan semakin parah ketika ibundanya meninggal dunia. Entahlah, aku juga tidak m

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-20

Bab terbaru

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   EKSTRA PART

    Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 140 : Bicara dari Hati ke Hati

    "Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 139 : Ucapan yang Sangat Menusuk

    Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 138 : Kunjungan

    Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 137 : Perhatian

    Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 136 : Bayi Mungilku

    Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 135 : Mengapa Kamu Pergi

    "Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 134 : Yang dinantikan

    Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 133 : HPL

    "Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status