Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?
"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya."Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya."Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelarang kamu nyuci di tempatku lagi ya," tuturnya lagi dengan sok tahu.Sungguh aku tak bisa menyahuti ibu muda yang memang bawel ini. Aku hanya bisa tersenyum mendengar apa yang dikatakannya. Jangan sampai Ana tahu kalau Tuan Steven Arnold ingin menikahiku. Bisa terkenal aku nanti satu kampung."Hmm ... aku mau beres-beres dulu, An," ujarku sembari meraih gamis yang dipegang Ana. Lalu kuserahkan Lala ke gendongannya."Ciyeee ... yang mau main ke rumah gede Tuan Steven," ucap Ana sambil mengejekku, "aku boleh ikut gak, Nay?" lanjutnya melantur."Eng–enggak bisa, An. Bang Rizal pasti gak ngebolehin." Aku melipat gamis yang kupegang dengan terburu-buru lalu memasukkan asal ke paper bag tadi.Ana mengerucutkan bibirnya lucu. Wajahnya memang imut. Akan tetapi, aku tidak sanggup dengan rasa penasarannya yang sering di luar batas."Maaf ya, An. Kamu pulang dulu. Dah, Lala sayang ...." Aku mendorong tubuh kecil Ana dan mengecup singkat kening bayinya yang harum aroma minyak telon."Iya deh, hari juga udah sore." Ana hanya bisa pasrah aku usir, "eh, Nay!" panggilnya.Huuuft. Apa lagi? Aku terpaksa menahan untuk tidak segera menutup pintu. Kuarahkan pandangan ke mata wanita muda itu dengan sorot tanda tanya."Jangan lupa, nanti cerita-cerita ya soal bisnis Bang Rizal dengan Tuan Steven. Proyek besar sepertinya." Sambil tersenyum Ana mengucapkan hal itu, setelahnya ia langsung berbalik pulang.Aku mengembuskan napas lega. Si tukang kepo akhirnya bisa disingkirkan.Setelah menutup pintu, aku melangkah menuju ke kamar.Kukeluarkan lagi setelan gamis-kerudung yang ada si tas kertas. Baju terusan itu sangat bagus, bahannya ringan, tapi jatuh. Bercorak bunga-bunga kecil merah berwarna dasar pink muda. Warna kerudungnya juga kalem, senada dengan gamisnya.Alangkah bahagia seandainya ini adalah pemberian suamiku. Hati ini meringis mengingat kalau hal itu tidaklah terjadi.Bahkan, ini adalah pemberian Tuan Steven yang semakin hari, entah mengapa aku menjadi semakin membencinya. Ia menggunakan kekuasaan dan kekayaannya dengan sewenang-wenang hanya untuk kesenangannya.Bang Rizal memang bukan suami idaman setiap wanita dengan perangainya yang demikian. Namun, dialah yang selama ini melindungi dan menjagaku setelah kehilangan kedua orang tua. Dengan sifat buruknya mungkin tidak banyak yang akan mampu bertahan. Akan tetapi, aku masih menyimpan harapan kalau ia akan kembali berubah seperti baru-baru kami menikah dulu.Entahlah, Ana sendiri sering bertanya kepadaku. Mengapa aku yang cantik masih mau bertahan dengan lelaki penjudi dan berlisan kasar seperti Bang Rizal?Ibu muda itu sering mendengar teriakan Bang Rizal ketika memerintah ataupun aku dianggap salah melakukan sesuatu. Pria berkumis tipis tersebut juga sering mencaci-maki dan merendahkan serta mengungkit tentang keluargaku yang miskin.Sering aku menertawai diri sendiri. Aku menghindari perangai dan lisan jahat Bi Eli, tetapi malah mendapatkan perangai dan lisan jahat dari Bang Rizal, suamiku sendiri. Saat ini, aku merenungkan nasib diri. Mungkin jalannya memang aku harus berpisah dari Bang Rizal.Namun, apakah aku sanggup kembali dikumpulkan dengan orang yang lebih jahat lagi seperti Tuan Steven?Lelaki seperti apa yang sudah menjandakan tiga orang wanita? Tidak heran, bahkan Jarwo yang telah lama bekerja dengannya saja sampai cacat dikarenakan kekejamannya. Yaa, Rabb ... aku tidak boleh menikah dengannya. Tidak boleh!***"Kamu sudah siap, Nay?" Bang Rizal terlihat rapi dengan kemeja berwarna abu dan celana hitam. Wajahnya terlihat lebih manis semenjak ia semakin mudah memperoleh uang. Ya, dengan berkala Tuan Steven memberikan sejumlah uang kepadanya dikarenakan ia mesti menjagakanku selama masa iddah di rumah ini. Uang itu juga di luar kompensasi yang mesti diterimanya karena menceraikanku. Dari uang itu juga Bang Rizal membeli pakaian dan kendaraan baru.Aku sendiri? Aku merasa seperti hewan ternak yang mesti dipelihara yang kemudian di suatu hari nanti siap untuk disembelih. Malam ini entah mengapa, Tuan Steven mengundang kami untuk makan malam. Aku sebenarnya malas jika harus bertemu dengannya. Semakin hari, aku semakin muak dengan lelaki berkuasa itu. Bang Rizal begitu tega. Aku seakan dijual olehnya kepada lelaki blasteran tersebut."Tunggu, Bang," sahutku sembari meraih tas selempang yang biasa kubawa-bawa jika hendak keluar rumah. Sehabis shalat Isya, aku langsung berkemas diri tadi."Ini apa-apaan?" Bang Rizal menarik tasku dan melemparkannya ke sofa.Aku terkejut diperlakukan demikian."Tas jelek begitu kamu bawa. Nanti kita beli yang baru!" katanya, "ayo cepat, Hanan sudah nunggu di luar." Ia berjalan mantap di depanku.Aku hanya bisa pasrah, lalu mengekorinya ke depan rumah. Di sana sudah menunggu di depan sebuah mobil mewah, Bang Hanan bersama seorang temannya."Gak telat, 'kan, Nan?" tanya Bang Rizal kepada Bang Hanan sambil ia melingkari mobil dan membuka pintunya untuk segera masuk. Ia nampak terburu-buru, padahal ini masih pukul setengah delapan."Tuan Steven sudah menunggu," jawab Bang Hanan kaku, begitulah pria tinggi besar itu, ka–ku, "silakan ...." Ia membukakanku pintu mobil.Dengan tidak enak hati, aku memasuki mobil bagian belakang yang pintunya telah dibukakan oleh Bang Hanan. Seperti seorang majikannya saja aku diperlakukan seperti itu olehnya.Bang Hanan menutup pintu kemudian ia masuk dan duduk ke kursi depan di sebelah temannya yang menyupiri kami semua."Mimpi apa kamu, Nay? Bisa menaiki mobil mewah seperti ini, hehehe," ujar Bang Rizal sembari melirikku, ia terkekeh senang.Huh! Dulu kami juga memiliki mobil walau tentu tidak semewah ini.Sudah habis terjual untuk membayar utang judinya. Bang Rizal akhirnya ke mana-mana hanya menggunakan motor butut yang sering kali mogok. Aku merutuk di dalam hati.*****Sesampainya di depan rumah sang tuan tanah di desa ini, tampaklah tembok setinggi dua meter setengah yang mengelilingi rumah besar di baliknya.Ada dua orang lelaki yang membukakan pintu pagar rumah tersebut untuk mobil yang kami kendarai masuk.Setelah memasuki halaman rumah itu Bang Rizal berdecak kagum. "Luas sekali pekarangan rumah ini!" pujinya.Rumah besar dengan halaman yang dikelilingi pohon-pohon buah di sekitarnya. Sangat teduh dan asri.Di dekat teras rumah tampak pot-pot yang berisi tanaman berbunga. Macam-macam bunga ada di sana. Ada yang mekar, dan ada yang kuncup kelopaknya. Kalau di siang hari, pasti cantik sekali bunga-bunga itu terkena sinar matahari.Mobil pun berhenti di bawah sebuah pendopo. Bang Rizal kembali bergegas turun dan segera membukakanku pintu mobil. Sementara Bang Rizal sudah turun duluan di pintu sebelah kanan.Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis tanda terima kasihku kepada Bang Hanan. Namun, percuma saja, wajahnya tetap saja kaku."Silakan masuk! Tuan sudah menunggu," ucap Bang Hanan seraya melangkah sekaligus mempersilakan kami mengikuti arah langkahnya.Bang Rizal tak henti terkagum-kagum melihat suasana di dalam rumah besar itu dengan segala pernak-pernik mahalnya. "Harusnya aku minta lebih dari Steven itu," bisiknya ke telingaku.Mendengar hal itu rahangku mengetat. Aku benci Bang Rizal seperti ini. Dia pikir aku barang dagangan yang seenaknya bisa dia tukar dengan uang?"Ke mari " tutur Bang Hanan setelah kami masuk ke sebuah ruang makan."Hmm, sudah datang?"Tiba-tiba terdengar suara bariton yang sudah tak asing di telingaku. Siapa lagi, selain Tuan Steven Arnold.Bang Hanan mengangguk ke arah sang majikan, tanda permisi, kemudian ia pergi."Silakan," ucap Tuan Steven lagi mempersilakan kami duduk. Ia melangkah anggun menuju ke kursi utama meja makan tersebut.Bang Rizal tersenyum lebar, kemudian melangkah dan mendaratkan bokongnya di salah satu kursi. Begitu juga aku, tak ada pilihan lain selain ikut duduk. Aku memposisikan diri di samping Bang Rizal.Tak berapa lama, terdengar seperti barang yang terseret dari arah belakangku. Ternyata itu Nyonya Sarah, ibunda Tuan Steven. Dengan kursi rodanya ia didorong oleh seorang wanita paruh baya ke posisi di seberang kami. Aku berusaha mengulas senyum.Kami mengenalnya, sebab Nyonya Sarah sering berjalan-jalan dengan ibu-ibu yang mendorong kursi rodanya itu bersama satu atau dua orang ajudan lelakinya. Terkadang kami menjumpai Nyonya di dekat pasar, atau di dekat perkebunan teh warga. Ya, kami mengenali mereka, walau tentu mereka tidak mengenal kami.Siapa yang tidak kenal dengan keluarga paling kaya dan tuan tanah di desa ini? Sisa kecantikan di masa muda Nyonya Sarah Dramawan masih tampak jelas, walaupun kini mungkin usianya sudah menginjak hampir tujuh puluh tahunan saat ini dan ia juga mesti duduk di kursi roda karena stroke menyebabkan kelumpuhan di kakinya."Nyonya, apa kabar?" tanya Bang Rizal basa-basi."Hmmm." Nyonya Sarah hanya berdeham dengan wajah datar ke arah kami berdua.Sungguh, aku tidak suka berada di sini. Nyonya Sarah yang biasanya tersenyum kepada warga desa, kini tampak tidak ramah sama sekali."Mom, kenalkan ini Kamal," ucap Tuan Steven memperkenalkan."Rizal, Nyonya." Bang Rizal berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Nyonya Sarah.Akan tetapi, sekali lagi. Nyonya Sarah hanya menjawabnya dengan tatapan tidak bersahabat, dan dehaman saja. Tangan Bang Rizal dibiarkan tergantung di udara."Duduk saja, kamu, Zal." Tuan Steven mengisyaratkan dengan matanya agar Bang Rizal kembali duduk. Tidak perlu bersalaman.Bang Rizal pun kembali duduk dengan malu-malu."Di sebelahnya itu calon istriku, namanya Nay." Tuan Steven juga memperkenalkanku.Terus terang, aku tidak suka dengan predikat yang disematkannya terhadapku itu. Namun, aku hanya bisa tersenyum getir ke arah Nyonya Sarah."Oh, ini calon istrimu? Tumben, malah milih orang kampung sini kamu," cetus Nyonya Sarah sembari menatap tajam ke arahku.Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang."Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa
Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili
Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i
Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali
Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan
"Kenapa gak kamu jawab itu telepon si Rizal?" tanya Bi Eli heran seraya mencelupkan tangannya ke kobokan karena sudah selesai makan.Hendi melihatku dengan tatapan yang juga heran. Ponselku tidak berhenti bergetar di atas meja makan ini."Nanti aja, Bi. Biarin, nanti aku telepon balik. Mau bersihkan ini dulu," kilahku, kemudian bangkit berdiri dan mengemaskan piring bekas kami makan dan membawanya ke wastafel. Aku hanya beralasan. Sebenarnya aku bingung harus menjawab apa jika Bang Rizal bertanya aku ke mana. Bagaimana kalau dia tahu aku memang berniat kabur darinya?Hendi juga menyusul selesai makan. Ia lalu meletakkan piring bekasnya ke wastafel di hadapanku. "Biar Kakak aja, Hen!" Aku mencegahnya ketika ingin membantu mencuci piring bekas kami makan dan beberapa panci serta wajan bekas memasak tadi.Hendi menurut. "Bang Rizal nelepon terus tuh, Kak! Aku angkat ya? Biar aku bilangin nanti Kakak telepon balik." Adikku berjalan hendak mengambil gawai itu dari atas meja makan."Eeeh,
"Bibi heran, kamu kok, bisa nikah sama dia? Seperti gak ada laki-laki lain saja. Banyak yang mau sama kamu dulu, Nay! Tapi malah milih si begajulan, Rizal. Aneh kamu, nih!" celoteh Bibi. Untung saja Bibiku ini terkadang mengalihkan pembicaraan dengan sendirinya. Hanya saja pertanyaannya membuat aku tertunduk. Dulu memang banyak yang berusaha mendekati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang berani serius, selain Bang Rizal. Waktu itu juga lelaki berkumis tipis itu sudah berubah lebih baik. Ia sudah menjadi lelaki yang rajin ke masjid dan tidak lagi berjudi. Apalagi aku terdesak dengan keadaan. Ayah dan ibu sudah tiada. Aku tak mau tinggal dengan Bibi. Cukup Hendi saja yang memang disayangi olehnya.Bang Rizal dulu sangat perhatian kepadaku. Sebelum menikah dan di awal-awal pernikahan kami. Namun, semakin hari perangainya malah berubah kembali seperti sedia kala. Bahkan semakin parah ketika ibundanya meninggal dunia. Entahlah, aku juga tidak m
"Ma-mau ke mana, Bang?" tanyaku gugup sembari bangkit dari duduk. Aku takut ia akan membawaku kembali ke rumah. Jantungku berdebar sangat kencang karena kedatangan yang tiba-tiba dari pria ini. Aku nggak mau kembali ke rumah itu. Tidak mau!"Apa-apaan ini, Rizal? Kamu masuk gak pake salam. Main nyelonong aja!" omel Bi Eli.Mas Wahyu terlihat heran melihat ke arah mantan suamiku dari tempat duduknya."Hari ini kita sidang keputusan," sahut Bang Rizal. Memang ia tampak rapi hari ini. Rambutnya klimis."Tumben kamu kelihatan rapi begini, Zal? Mau ke mana tadi kamu bilang? Sidang?" Bi Eli nampak penasaran. Dahinya yang memang sudah mulai berkerut semakin bertambah kerutannya.Sontak aku menyeret lelaki itu masuk ke dapur. Entah apa yang dipikirkan Bi Eli dan Mas Wahyu di sana, biarlah."Eh, kalian mau ke mana?" panggil Bi Eli.Aku tak tahu apa tanggapan Mas Wahyu melihatku menyeret Bang Rizal masuk ke dalam dapur barusan.
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam