Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan
"Kenapa gak kamu jawab itu telepon si Rizal?" tanya Bi Eli heran seraya mencelupkan tangannya ke kobokan karena sudah selesai makan.Hendi melihatku dengan tatapan yang juga heran. Ponselku tidak berhenti bergetar di atas meja makan ini."Nanti aja, Bi. Biarin, nanti aku telepon balik. Mau bersihkan ini dulu," kilahku, kemudian bangkit berdiri dan mengemaskan piring bekas kami makan dan membawanya ke wastafel. Aku hanya beralasan. Sebenarnya aku bingung harus menjawab apa jika Bang Rizal bertanya aku ke mana. Bagaimana kalau dia tahu aku memang berniat kabur darinya?Hendi juga menyusul selesai makan. Ia lalu meletakkan piring bekasnya ke wastafel di hadapanku. "Biar Kakak aja, Hen!" Aku mencegahnya ketika ingin membantu mencuci piring bekas kami makan dan beberapa panci serta wajan bekas memasak tadi.Hendi menurut. "Bang Rizal nelepon terus tuh, Kak! Aku angkat ya? Biar aku bilangin nanti Kakak telepon balik." Adikku berjalan hendak mengambil gawai itu dari atas meja makan."Eeeh,
"Bibi heran, kamu kok, bisa nikah sama dia? Seperti gak ada laki-laki lain saja. Banyak yang mau sama kamu dulu, Nay! Tapi malah milih si begajulan, Rizal. Aneh kamu, nih!" celoteh Bibi. Untung saja Bibiku ini terkadang mengalihkan pembicaraan dengan sendirinya. Hanya saja pertanyaannya membuat aku tertunduk. Dulu memang banyak yang berusaha mendekati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang berani serius, selain Bang Rizal. Waktu itu juga lelaki berkumis tipis itu sudah berubah lebih baik. Ia sudah menjadi lelaki yang rajin ke masjid dan tidak lagi berjudi. Apalagi aku terdesak dengan keadaan. Ayah dan ibu sudah tiada. Aku tak mau tinggal dengan Bibi. Cukup Hendi saja yang memang disayangi olehnya.Bang Rizal dulu sangat perhatian kepadaku. Sebelum menikah dan di awal-awal pernikahan kami. Namun, semakin hari perangainya malah berubah kembali seperti sedia kala. Bahkan semakin parah ketika ibundanya meninggal dunia. Entahlah, aku juga tidak m
"Ma-mau ke mana, Bang?" tanyaku gugup sembari bangkit dari duduk. Aku takut ia akan membawaku kembali ke rumah. Jantungku berdebar sangat kencang karena kedatangan yang tiba-tiba dari pria ini. Aku nggak mau kembali ke rumah itu. Tidak mau!"Apa-apaan ini, Rizal? Kamu masuk gak pake salam. Main nyelonong aja!" omel Bi Eli.Mas Wahyu terlihat heran melihat ke arah mantan suamiku dari tempat duduknya."Hari ini kita sidang keputusan," sahut Bang Rizal. Memang ia tampak rapi hari ini. Rambutnya klimis."Tumben kamu kelihatan rapi begini, Zal? Mau ke mana tadi kamu bilang? Sidang?" Bi Eli nampak penasaran. Dahinya yang memang sudah mulai berkerut semakin bertambah kerutannya.Sontak aku menyeret lelaki itu masuk ke dapur. Entah apa yang dipikirkan Bi Eli dan Mas Wahyu di sana, biarlah."Eh, kalian mau ke mana?" panggil Bi Eli.Aku tak tahu apa tanggapan Mas Wahyu melihatku menyeret Bang Rizal masuk ke dalam dapur barusan.
Degup jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Aku melihat ke arah pandangan mata Bang Rizal. Ya, pria otoriter itu datang. Ma–mau apa dia? Hatiku seketika saja menduga-duga. Apa dia akan menyeretku saat ini juga?Aku kembali menyusut air mata yang hampir saja terjatuh. "Hmm ... bagaimana?" Suara bariton itu terdengar anggun dan begitu kental terasa bahwa si pemilik ialah orang yang sangat-sangat berkuasa.Aku menghindari tatapan matanya yang begitu tajam menusuk. Sungguh aku membenci dia. Mungkin bukan dia penyebab utama hancurnya rumah tanggaku. Karena memang komunikasiku dengan Bang Kamal di akhir-akhir waktu kami memang sudah semakin berantakan. Akan tetapi, pria inilah pemicunya!Ah ... betapa ingin kulupakan semuanya. Namun, hatiku masih belum bisa menerima begitu saja kalau realita yang ada adalah aku harus menghadapi kenyataan kalau kelak lelaki inilah yang akan menjadi suami pengganti Bang Rizal. Tidak! Tidak mungkin aku menerima hal ini.B
"Apa?! Kamu sudah bercerai dari Rizal?!" Bi Eli sangat terkejut mendengar berita yang baru saja aku sampaikan kepadanya.Ya, setelah aku pikir-pikir, lebih baik sedikit membuka apa yang telah terjadi. Aku tak mau kelak Bi Eli malah mengetahuinya dari orang lain. Seperti kata pepatah, borok yang disimpan dan disembunyikan, suatu saat pun akan tercium baunya. Suatu hari nanti kalaupun itu terus dirahasiakan, pasti akan terungkap. Tidak akan mungkin status jandaku ini terus-menerus ditutupi."Iya, Bi," jawabku sembari menundukkan kepala."Apa? Kak Nay bercerai?" Tiba-tiba Manda dan Nanda keluar dari kamar mereka demi mendengar sang ibu terpekik menanggapi beritaku. Wajah mereka pun tampak penasaran. Entah suara siapa barusan yang bertanya. Manda atau Nanda? Aku sampai kehilangan fokus disebabkan hati yang gundah ini."Sana kalian masuk ke kamar!" Bi Neli mengusir kedua anaknya dari ruang tamu rumah itu.Wajah kedua sepupuku memberengut. Mau tidak mau mereka pun menurut.Aku menyenderkan
Pagi ini langit tampak cerah. Mentari bersinar dengan gagah. Walau masih malu-malu, bintang terbesar di galaksi Bimasakti tersebut terus merangkak, menanjak tinggi menyebarkan cahayanya yang hangat. Akan tetapi, cerahnya hari tidak seperti suasana yang melingkupi hatiku. Penuh kabut gelap yang terasa sangat sendu dan kelam.Dalam beberapa hari ini pikiranku begitu ruwet juga butek. Statusku kini sudah menjadi seorang janda, belum lagi urusan dengan niat Tuan Steven yang aah ... membuatku tidak bersemangat sama sekali untuk menjalani hidup. Andai boleh meminta mati, mungkin lebih baik mati saja. Ya, daripada harus menerima kenyataan kalau aku bakal menikah dengan pria jahat seperti dia. Huuft ...."Ini, kue brownies dari Nak Wahyu." Tiba-tiba Bi Eli meletakkan sebuah kotak kertas lalu membukanya di atas meja di sampingku yang tengah mengelap beberapa perkakas dapur yang baru saja dicuci. Alisku bertaut. "Mas Wahyu? Kapan dia datang?" tanyaku heran pada Bi Eli yang mendaratkan bokong k
"Loh, Rizal? Ngapain kamu masih aja kemari?" tanya Bi Eli dengan memasang wajah tidak ramah. Mas Wahyu hanya diam di tempat duduknya. Sekali lagi Bang Rizal datang tiba-tiba di hadapannya."Aku ada perlu dengan Nay, Bi," jawab Bang Rizal santai."Ada apa, Bang?" tanyaku dengan hati kebat-kebit."Sini!" Bang Rizal mengajak aku keluar ke teras rumah.Mau tidak mau aku mengikuti langkah Bang Rizal. Khawatir nanti Bi Eli dan Mas Wahyu mendengar urusan persiapan pernikahan oleh Tuan Steven—kalau memang Bang Rizal membahas hal itu.Setelah berdua saja di teras, Bang Rizal pun bicara, "Kamu aku hubungi di WA gak dilihat-lihat, Nay. Sana berkemas sekarang. Steven mau ngajak kamu diskusi soal pernikahan."Nah, 'kan ... seperti yang aku duga. Ini soal Tuan Steven lagi.Aku mengernyitkan dahi. "Bang, selama ini Tuan Steven mengatur semuanya tanpa melibatkan aku. Kenapa sekarang dia butuh pendapatku?" tanyaku sengit kepada lelaki itu, "Lagian Abang 'kan, tahu, kalau aku gak mau nikah dengan dia!"
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam