Share

Bab 6 : Pertengkaran

Penulis: Adny Ummi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-17 08:01:39

Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang.

"Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.

Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.

Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.

Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?

"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya.

"Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.

Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya.

"Nay siapa namamu?" tanya Nyonya Sarah di tengah-tengah acara makan kami.

Aku meraih gelas air putih dan meneguk sedikit isinya. "Naysilla, Nyonya," jawabku sekenanya.

Nyonya Sarah hanya mengangguk-angguk mendengar jawabanku.

"Mbok!" panggil Tuan Steven kepada salah seorang pembantunya.

Seorang wanita paruh baya bergegas meraih sebuah teko untuk mencuci tangan dan menyiramkan airnya ke tangan Tuan Steven. Ia kemudian memberikan sebuah serbet bersih kepada lelaki itu.

Melihat itu, dalam hati aku hanya bisa menggerutu, 'Begitu saja perlu dibantu. Dasar orang kaya!'

*****

Kami kemudian makan malam.

Nyonya Sarah juga menyusul menyelesaikan makannya. Kulihat dia tidak membutuhkan bantuan dari si Mbok tadi untuk mencuci tangannya. Berarti hanya Tuan Steven saja yang manja. Aku hanya bisa menghela napas melihat hal itu.

Aku juga segera menyelesaikan makanku setelah melihat Bang Rizal juga selesai. Tak berapa lama, ada beberapa pelayan yang menyajikan sebuah puding berwarna merah muda dengan fla putih di hadapan kami. Kelihatannya enak dan segar.

"Ini puding stroberi hasil panen warga sini juga," ucap Nyonya Sarah menjelaskan.

Aku hanya mengangguk pelan. Kemudian aku meraih sendok kecil yang sudah disediakan untuk mencicipi puding ber-fla putih tersebut setelah melihat Nyonya Sarah memakannya dengan nikmat.

"Stroberi di lahan warga bagian atas memang bagus-bagus, Nyonya!" seru Bang Rizal seraya tersenyum.

Desa kami cukup luas dan kontur wilayahnya tidak rata. Jadi, yang tinggal di dataran lebih tinggi kami menyebutnya dengan warga bagian atas.

"Iya, ini hasil kebun mereka," jawab Nyonya Sarah membenarkan.

"Leha!" panggil Tuan Steven dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Ia terlihat tidak senang. Ada apa?

"Iya, Tuan?"

Seorang wanita muda menghadapnya dengan tergopoh-gopoh.

"Kamu tahu, 'kan, aku gak suka stroberi?" Tuan Steven menggeser sloki wadah puding tersebut dengan agak kasar, hampir saja menumpahkan isinya.

"Ma–maaf, Tuan. Saya lupa." Wanita muda bernama Leha tadi segera meraih sloki puding di hadapan Tuan Steven dan menyingkirkan dari pandangan pria itu.

"Lupa ... lupa," sindir Tuan Steven masih dengan tampangnya yang tidak senang dengan kelalaian sang pembantu.

"Sudah ... sudah," interupsi Nyonya Sarah, "sana kamu!" usirnya ke arah pembantu tersebut.

"Kerja gak becus," sambung Tuan Steven lagi.

Hal remeh seperti itu bisa membuatnya marah begitu? Aku hanya bisa beristighfar di dalam hati. Padahal puding ini enak. Bahkan sangat enak.

"Dia baru sebulan kerja, maklumi saja." Nyonya Sarah menenangkan sang putra.

Tuan William hanya mendengkus mendengar ucapan sang ibu.

"Ngomong-ngomong, kapan kalian akan menikah, heh?" Nyonya Sarah mengalihkan pembicaraan dan melihat ke arah putranya, kemudian bergiliran ke arahku.

"Segera setelah selesai masa iddahnya, Nyonya," sela Bang Rizal.

"Kok, kamu yang jawab?" tanya Nyonya Sarah heran.

Bang Rizal langsung terdiam.

"Segera, Mom. Tunggu semua beres," jawab Tuan Steven.

"Apanya yang tunggu beres? Masa iddah apa? Dia baru jadi janda?" cecar Nyonya Sarah lagi.

"Tunggu selesai urus akta cerai kami dulu, Nyonya," sahut Bang Rizal menjelaskan lebih lanjut.

"Maksudnya?" Alis Nyonya Sarah bertaut. Dahinya yang sudah mulai berkerut semakin kentara kerutannya.

Bang Rizal lanjut bicara, "Iya, kami masih harus mengur–"

"Steven!" bentak Nyonya Sarah memotong omongan Bang Rizal, "apa maksud dia ini, hah?"

Sepertinya Nyonya Sarah tidak mengetahui apa yang terjadi.

Tuan Steven menggaruk tengkuknya. Ia tampak tidak enak hati. "Nay ini mantan istrinya Rizal, Mom. Mereka sedang mengurus perceraian di pengadilan agama," jelas pria blasteran itu kemudian.

"Hah?" Netra Nyonya Sarah semakin nanar melihat bergiliran ke arah kami bertiga.

Aku hanya diam menyimak pembicaraan dua orang ibu dan anak itu. Begitu juga Bang Rizal yang dua kali diinterupsi oleh Nyonya Sarah. Ia pun terdiam, bisu.

"Iya. Jadi, aku nunggu mereka resmi dulu. Baru aku akan nikahi Nay," lanjut pria blasteran itu.

Nyonya Sarah terlihat heran dan semakin marah.

"Kamu yang suruh mereka bercerai? Iya?" Tuduhan itu sangat tepat sasaran. Sepertinya Nyonya Sarah sangat memahami siapa anaknya.

"Bukan begitu, Nyonya. Saya memang berniat untuk menceraikan Nay sudah lama," sela Bang Rizal seolah membela pria blasteran di hadapan Nyonya Sarah, dan hal itu membuatku ternganga.

Benarkah? Aku tidak menyangka. Benarkah Bang Rizal memang sudah lama berniat menceraikanku?

"Steve! Seperti gak ada perempuan lain aja kamu! Istri orang pun kamu mau jadikan istrimu!" Nyonya Sarah Dramawan tampak berang.

Aku semakin bingung harus berbuat apa di situ.

"Sudahlah, Mom. Mommy yang suruh aku cari istri lagi, 'kan? Nih, aku sudah dapat calonnya," tutur Tuan Steven sembari mengusap wajahnya, tampak bosan dengan percakapan ini.

"Iya tentu saja Mommy suruh kamu menikah lagi. Mau berapa lama lagi kamu jadi duda? Kamu 'kan, sudah empat puluh tahun! Lagian, kamu baru punya anak satu perempuan. Tapi, bukan berarti kamu harus ngambil istri orang!" geram Nyonya Sarah.

Aku sangat tidak nyaman masih berada di sini. "Se–sebaiknya saya permisi dulu." Aku bangkit dan hendak permisi pulang saja. Suasana tampak semakin panas di sini.

"Apa-apaan, sih, Nay?" bisik Bang Rizal sembari meraih lenganku, menahan aku untuk melangkah pergi.

"Kamu! Perempuan macam apa yang rela bercerai untuk menikah dengan lelaki lain?"

Bab terkait

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 7 : Bersikap Semakin Buruk

    Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 8 : Dipaksa Melayaninya

    Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 9 : Bi Eli

    Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-17
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 10 : Telepon

    Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-18
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 11 : Bang Rizal

    "Kenapa gak kamu jawab itu telepon si Rizal?" tanya Bi Eli heran seraya mencelupkan tangannya ke kobokan karena sudah selesai makan.Hendi melihatku dengan tatapan yang juga heran. Ponselku tidak berhenti bergetar di atas meja makan ini."Nanti aja, Bi. Biarin, nanti aku telepon balik. Mau bersihkan ini dulu," kilahku, kemudian bangkit berdiri dan mengemaskan piring bekas kami makan dan membawanya ke wastafel. Aku hanya beralasan. Sebenarnya aku bingung harus menjawab apa jika Bang Rizal bertanya aku ke mana. Bagaimana kalau dia tahu aku memang berniat kabur darinya?Hendi juga menyusul selesai makan. Ia lalu meletakkan piring bekasnya ke wastafel di hadapanku. "Biar Kakak aja, Hen!" Aku mencegahnya ketika ingin membantu mencuci piring bekas kami makan dan beberapa panci serta wajan bekas memasak tadi.Hendi menurut. "Bang Rizal nelepon terus tuh, Kak! Aku angkat ya? Biar aku bilangin nanti Kakak telepon balik." Adikku berjalan hendak mengambil gawai itu dari atas meja makan."Eeeh,

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-19
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 12 : Lelaki Berwajah Manis

    "Bibi heran, kamu kok, bisa nikah sama dia? Seperti gak ada laki-laki lain saja. Banyak yang mau sama kamu dulu, Nay! Tapi malah milih si begajulan, Rizal. Aneh kamu, nih!" celoteh Bibi. Untung saja Bibiku ini terkadang mengalihkan pembicaraan dengan sendirinya. Hanya saja pertanyaannya membuat aku tertunduk. Dulu memang banyak yang berusaha mendekati. Akan tetapi, tak ada satu orang pun yang berani serius, selain Bang Rizal. Waktu itu juga lelaki berkumis tipis itu sudah berubah lebih baik. Ia sudah menjadi lelaki yang rajin ke masjid dan tidak lagi berjudi. Apalagi aku terdesak dengan keadaan. Ayah dan ibu sudah tiada. Aku tak mau tinggal dengan Bibi. Cukup Hendi saja yang memang disayangi olehnya.Bang Rizal dulu sangat perhatian kepadaku. Sebelum menikah dan di awal-awal pernikahan kami. Namun, semakin hari perangainya malah berubah kembali seperti sedia kala. Bahkan semakin parah ketika ibundanya meninggal dunia. Entahlah, aku juga tidak m

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-20
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 13 : Sidang Keputusan

    "Ma-mau ke mana, Bang?" tanyaku gugup sembari bangkit dari duduk. Aku takut ia akan membawaku kembali ke rumah. Jantungku berdebar sangat kencang karena kedatangan yang tiba-tiba dari pria ini. Aku nggak mau kembali ke rumah itu. Tidak mau!"Apa-apaan ini, Rizal? Kamu masuk gak pake salam. Main nyelonong aja!" omel Bi Eli.Mas Wahyu terlihat heran melihat ke arah mantan suamiku dari tempat duduknya."Hari ini kita sidang keputusan," sahut Bang Rizal. Memang ia tampak rapi hari ini. Rambutnya klimis."Tumben kamu kelihatan rapi begini, Zal? Mau ke mana tadi kamu bilang? Sidang?" Bi Eli nampak penasaran. Dahinya yang memang sudah mulai berkerut semakin bertambah kerutannya.Sontak aku menyeret lelaki itu masuk ke dapur. Entah apa yang dipikirkan Bi Eli dan Mas Wahyu di sana, biarlah."Eh, kalian mau ke mana?" panggil Bi Eli.Aku tak tahu apa tanggapan Mas Wahyu melihatku menyeret Bang Rizal masuk ke dalam dapur barusan.

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-21
  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 14 : Pria yang Berkuasa

    Degup jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang. Aku melihat ke arah pandangan mata Bang Rizal. Ya, pria otoriter itu datang. Ma–mau apa dia? Hatiku seketika saja menduga-duga. Apa dia akan menyeretku saat ini juga?Aku kembali menyusut air mata yang hampir saja terjatuh. "Hmm ... bagaimana?" Suara bariton itu terdengar anggun dan begitu kental terasa bahwa si pemilik ialah orang yang sangat-sangat berkuasa.Aku menghindari tatapan matanya yang begitu tajam menusuk. Sungguh aku membenci dia. Mungkin bukan dia penyebab utama hancurnya rumah tanggaku. Karena memang komunikasiku dengan Bang Kamal di akhir-akhir waktu kami memang sudah semakin berantakan. Akan tetapi, pria inilah pemicunya!Ah ... betapa ingin kulupakan semuanya. Namun, hatiku masih belum bisa menerima begitu saja kalau realita yang ada adalah aku harus menghadapi kenyataan kalau kelak lelaki inilah yang akan menjadi suami pengganti Bang Rizal. Tidak! Tidak mungkin aku menerima hal ini.B

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-22

Bab terbaru

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   EKSTRA PART

    Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 140 : Bicara dari Hati ke Hati

    "Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 139 : Ucapan yang Sangat Menusuk

    Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 138 : Kunjungan

    Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 137 : Perhatian

    Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 136 : Bayi Mungilku

    Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 135 : Mengapa Kamu Pergi

    "Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 134 : Yang dinantikan

    Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu

  • Wanita Dambaan Tuan Otoriter   Bab 133 : HPL

    "Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam

DMCA.com Protection Status