Melati tersenyum ketika menjabat tangan laki-laki yang kini sudah menjadi mantan suami. Senyum yang serupa sabetan parang bagi Akbar. Menerabas organ paling vitalnya, paru, jantung, ulu hati, dan nadi yang serasa mati seketika."Izinkan aku untuk bertemu Moana sesekali waktu. Kabari juga jika dia sakit," ujar Melati dengan suara bergetar.Akbar tidak sanggup menjawab sepatah kata pun. "Aku minta maaf jika memiliki banyak kesalahan selama kita bersama. Semoga kamu bahagia, Mas." Ini kalimat terakhir Melati untuk Akbar sebelum melangkah menghampiri mantan mertuanya. Kalimat yang mengiris hati laki-laki itu.Melati mencium tangan Pak Norman. Meminta maaf dan mengucapkan banyak terima kasih. Ia melakukan hal yang sama pada Bu Rista. Meski tidak begitu dipedulikan, setidaknya ia sudah meminta maaf. Apa salahnya melakukan itu, meminta maaf duluan bukan sebuah kehinaan.Terakhir ia menyalami Nara. "Semoga kalian menjadi keluarga bahagia," ucapnya sambil tersenyum. Kemudian Melati pamitan pa
Saga melaju pergi dengan kecepatan tinggi. Ia makin muak dengan situasi di sana. Apalagi sekarang ada Nara yang tingkahnya sudah seperti putri raja saja. Tertawa ceria ketika berbincang dengan Bu Rista. Terbahak-bahak begitu akrabnya. Dia tidak sadar, telah menghancurkan hidup wanita lain. Namun istri kedua kakaknya itu akan bungkam seribu bahasa jika Saga ada di sana. Hanya Saga yang bisa menciutkan nyalinya.Sepi. Hari Minggu seluruh karyawan perkebunan memang libur. Hanya ada Pak Radi dan istrinya.Beberapa saat Saga termenung di samping kantor, menatap kejauhan dalam perasaan yang kian hampa. Semalaman dia masih berbalas pesan dengan Melati. [Aku mau pergi, Ga.][Pergi ke mana?][Belum tahu. Tapi aku masih nunggu masa iddahku selesai. Aku ingin menenangkan diri. Aku juga butuh pekerjaan. Jika ingin buka usaha, aku harus mencari pengalaman dulu, kan?][Beritahu aku, ke mana kamu akan pergi?][Aku juga belum tahu.][Jangan pergi tanpa tujuan, Mel.][Aku punya tujuan. Aku butuh kerj
Waktu yang Hilang- PergiSaga menatap gerimis yang turun malam itu. Gerimis yang yang membawa galau dalam kalbu. Layar ponselnya masih sepi. Tak ada pendar yang menandakan pesannya di balas. Bahkan ponsel Melati sudah tidak aktif lagi."Jam berapa Melati pergi dari rumah?" tanya Izam. Malam itu mereka berdua duduk di teras rumah Izam. Saga gelisah sejak siang tadi setelah tahu Melati sudah meninggalkan desa mereka."Pagi. Waktu aku ke rumah Budhe Tami. Melati sudah berangkat satu jam sebelumnya.""Masa iya mereka juga nggak tahu ke mana tujuan Melati?""Tentu saja tahu. Hanya mereka tak mau ngasih tahu aku," jawab Saga dengan nada kecewa."Apa mungkin Melati ganti nomer, Ga?""Dia tidak mungkin ganti nomer. Sebab masih perlu berkomunikasi dan tahu kabar Moana. Seorang ibu, sekecewa apapun, nggak bakalan tega dan masa bodoh dengan anaknya. Aku tahu Melati itu seperti apa. Sepertinya Melati memblokir nomerku, Zam," jawab Saga sambil terus mengutak-atik ponselnya.Dahi Izam mengernyit
Nara menyambutnya dengan senyuman. Tiap malam wanita itu senantiasa bergaun se*si untuk menggoda suaminya. Namun Akbar bergeming. Bahkan waktunya lebih banyak dengan sang anak daripada dengan dirinya."Kamu jijik banget sih, Mas, sama aku. Kamu nggak ingat gimana kita dulu." Nara berteriak dalam hati. Meluapkan emosinya sendiri. Dia sudah bersabar menunggu. Berkali-kali membunuh has*atnya sendiri. "Aku buatin teh, Mas. Sejak dari tadi, makanya udah dingin," ujar Nara sambil meraih gelas di atas meja rias dan mengulurkan pada sang suami.Akbar enggan, tapi tetap mengambil gelas dari tangan Nara. Menyesap sedikit, kemudian merebahkan diri. Nara duduk di samping Akbar dan mulai memijit kakinya. Akbar menolak, tapi perempuan itu memaksa. Dengan berbagai upaya, Nara berusaha menggoda sang suami dengan memberikan sentuhan-sentuhan manis. Namun Akbar menepis pelan tangan Nara. "Tidurlah, sudah malam."Nara mendengkus kesal. Apa yang sebenarnya diinginkan Akbar? Dulu begitu menggebu ingin m
"Om." Moana berlari memeluk kaki Saga yang baru pulang dari perkebunan.Sontak pria itu menunduk. Mengangkat Moana seperti biasanya. Menatap wajah cantik gadis kecil yang sekarang berada dalam gendongannya.Rasa haru merayap di segenap kisi-kisi hati. Berat rasanya berpisah dari sang keponakan. Namun tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan perkebunan. Meninggalkan segala kenangan masa kecilnya di sana. Dan entah kapan akan kembali.Meski dengan perasaan berat, Pak Norman akhirnya merestui putranya untuk mencari kerabat dari pihak sang ibu. Memang sudah waktunya Saga tahu silsilah keluarganya."Aku hanya ingin tahu mereka, Pa. Aku ingin tahu dari mana Ibuku berasal.""Papa menunggumu di sini. Pulanglah sewaktu-waktu, Nak," pesan Pak Norman tadi malam. Saat mereka bicara berdua cukup lama di ruang kerja sang papa. Laki-laki sepuh itu juga memberikan satu debit card untuk Saga. "Simpan ini untukmu.""Om," panggilan dari Moana membuat Saga sadar dari lamunan."Hai." Saga menyentuhkan keni
Saga menggeleng. Dia sendiri tidak tahu mau berapa lama. Karena kepergiannya bukan semata-mata hanya ingin mencari kerabat ibunya. Tapi juga memulai merintis hidup baru di luar sana. Mungkin tidak mudah, tapi ia akan berusaha. Tidak ada yang mustahil selagi ada kemauan."Kamu nggak akan kembali ke sini?""InsyaAllah, suatu hari nanti, Mas," jawab Saga sambil tersenyum getir. Meski tidak dekat, tapi berat juga berpisah dari satu-satunya saudara yang ia punya.Entah kapan dia akan kembali. Sebab kemarin mama tirinya sudah bilang, setelah menemukan keluarga ibunya, tidak usah punya pikiran untuk kembali ke perkebunan. Satu kalimat yang sangat menyakitkan bagi Saga. Tapi ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Memang sejak dulu, Mama Rista membenci kehadirannya.Rencana awal Saga ingin pergi secara diam-diam dan hanya sang papa saja yang tahu. Namun setelah dipikir ulang, rasanya tidak etis. Bagaimanapun juga ia pernah melakukan kesalahan pada orang-orang di rumah itu. Makanya se
Perjalanan pulang dari Surabaya, Nara yang biasanya ceria bercerita dengan mama mertuanya, kini diam dengan tatapan kosong.Bu Rista yang duduk disebelahnya sambil memangku Moana yang terlelap tampak heran. "Kamu sakit, Ra," tegurnya pada sang menantu."Tubuhku tiba-tiba agak meriang, Ma," jawab Nara memeluk tubuhnya sendiri. Badannya memang panas dingin sejak bertemu dengan Bu Yahya tadi."Matiin saja AC-nya." Bu Rista menggeser tombol pendingin mobil bagian belakang yang ada di kabin. "Bar, kamu nggak bawa jaket?"Akbar melihat istri dan mamanya dari spion tengah. Dari sana ia bisa melihat Nara yang bersandar dengan wajahnya yang pucat. "Nggak ada, Ma," jawab Akbar tanpa khawatir. Justru Bu Rista yang khawatir melihat menantu kesayangannya kian pucat. Menantu yang membuatnya bangga karena semua orang kagum melihat kecantikannya.Saking bangganya, sampai Bu Rista tidak peka dengan hubungan anak dan menantunya yang berjarak. Sebab meski Akbar cuek, tapi Nara selalu ceria setiap hari.
Saga tidak menjawab. Dia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu kamar. "Kamu mau ikut aku?""Ke mana?""Makan. Aku belum makan tadi.""Aku juga." Giri berdiri dan melangkah keluar untuk mengambil jaket dan helm di kamarnya sendiri. Tak lama laki-laki itu sudah menyusul Saga di tempat parkiran motor yang berada paling pinggir dari kamar kosnya."Kita ke Kafe Kasturi, Ga. Enak makanannya di sana.""Kafe yang rame itu. Aku males ngantrinya, Ri.""Kata temanku, owner-nya orang Malang. Cantik dan masih muda."Saga tidak menanggapi. Ia sibuk memakai helmnya. Setelah berada di Jogja, Malang adalah kota yang sangat dirindukannya. Sejuta kenangan terukir di lereng Arjuno. Namun teman masa kecilnya juga telah meninggalkan kota mereka. Entah di mana Melati sekarang. Ana juga tidak bisa dihubungi lagi. Sepertinya gadis itu telah ganti nomer."Cepatlah naik, aku udah lapar ini," perintahnya pada Giri supaya segera naik ke bocengan.Seperti biasa, mereka makan di angkringan tempat langganan