Perjalanan pulang dari Surabaya, Nara yang biasanya ceria bercerita dengan mama mertuanya, kini diam dengan tatapan kosong.Bu Rista yang duduk disebelahnya sambil memangku Moana yang terlelap tampak heran. "Kamu sakit, Ra," tegurnya pada sang menantu."Tubuhku tiba-tiba agak meriang, Ma," jawab Nara memeluk tubuhnya sendiri. Badannya memang panas dingin sejak bertemu dengan Bu Yahya tadi."Matiin saja AC-nya." Bu Rista menggeser tombol pendingin mobil bagian belakang yang ada di kabin. "Bar, kamu nggak bawa jaket?"Akbar melihat istri dan mamanya dari spion tengah. Dari sana ia bisa melihat Nara yang bersandar dengan wajahnya yang pucat. "Nggak ada, Ma," jawab Akbar tanpa khawatir. Justru Bu Rista yang khawatir melihat menantu kesayangannya kian pucat. Menantu yang membuatnya bangga karena semua orang kagum melihat kecantikannya.Saking bangganya, sampai Bu Rista tidak peka dengan hubungan anak dan menantunya yang berjarak. Sebab meski Akbar cuek, tapi Nara selalu ceria setiap hari.
Saga tidak menjawab. Dia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu kamar. "Kamu mau ikut aku?""Ke mana?""Makan. Aku belum makan tadi.""Aku juga." Giri berdiri dan melangkah keluar untuk mengambil jaket dan helm di kamarnya sendiri. Tak lama laki-laki itu sudah menyusul Saga di tempat parkiran motor yang berada paling pinggir dari kamar kosnya."Kita ke Kafe Kasturi, Ga. Enak makanannya di sana.""Kafe yang rame itu. Aku males ngantrinya, Ri.""Kata temanku, owner-nya orang Malang. Cantik dan masih muda."Saga tidak menanggapi. Ia sibuk memakai helmnya. Setelah berada di Jogja, Malang adalah kota yang sangat dirindukannya. Sejuta kenangan terukir di lereng Arjuno. Namun teman masa kecilnya juga telah meninggalkan kota mereka. Entah di mana Melati sekarang. Ana juga tidak bisa dihubungi lagi. Sepertinya gadis itu telah ganti nomer."Cepatlah naik, aku udah lapar ini," perintahnya pada Giri supaya segera naik ke bocengan.Seperti biasa, mereka makan di angkringan tempat langganan
Waktu yang Hilang- Pertemuan Saga turun dari motornya dan memperhatikan ke arah rumah makan yang lumayan ramai pengunjung. Dia masih diam dengan dada yang berdebar-debar. Pak Benowo mengundangnya makan malam di tempat yang baginya istimewa. Tempat yang mungkin ada kaitan dengan almarhumah ibunya.Pria tampan itu masih mematung di samping motornya sambil memandang ke seberang jalan. Losmen Wijaya Kusuma yang asri dan klasik dengan bangunannya bergaya khas Jawa. Saga melangkah memasuki restoran. Di salah satu meja bulat dan besar, tampak Pak Benowo melambaikan tangannya pada Saga. Bosnya itu tidak sendirian. Ada lima orang yang duduk di sana. Tiga laki-laki dan dua perempuan yang kesemuanya sudah berusia di atas lima puluhan. Mereka memandang ke arah Saga.Dengan sikap tenang dan sopan, Saga menyapa dan tersenyum ke arah mereka. Menyalami satu per satu dengan takzim."Mirip banget dengan Gama. Cuman lebih tinggian dia dari anakmu, Mas," ujar perempuan sekitar usia lima puluhan pada P
Malam itu Saga tidak bisa tidur. Sepulangnya bertemu dengan kerabat sang ibu. Pertemuan yang jauh dari ekspektasinya selama ini. Bertemu dengan cara yang tidak pernah diduga dan jauh dari segala drama yang menguras waktu dan kata-kata untuk meyakinkan mereka. Ternyata sejauh ini diam-diam dia diselidiki. Mereka adalah orang-orang baik. Bagaimana mungkin ibunya dibuang kala itu? Setelah bertemu dengan mereka, mungkin akan tersibak masa lalu kedua orang tuanya.Jika kelak Saga memberitahukan hal ini pada sang papa, semoga dia bisa merasakan kebahagiaan seperti yang Saga rasakan.Ia rindu pada lelaki tua yang membesarkannya dengan penuh cinta. Saga kangen dengan suasana perkebunan yang sejuk. Kangen dengan Moana, kangen dengan Melati yang entah sekarang berada di mana.Andai saja Melati tahu kalau ia telah bertemu dengan keluarga ibunya, pasti wanita itu juga turut bahagia. Selama ini Melati yang menjadi tempatnya bercerita, menjadi saksi perjalanan hidupnya.***LS***Pagi berselimut k
Waktu yang Hilang- Terungkap Sindi tampak sangat akrab dengan Akbar, karena mereka memang sudah lama saking kenal. Namun kedekatan itu membuat dada Nara terasa panas. Hanya saja ia tidak berani menghampiri. Ada yang lebih ditakuti daripada rasa cemburunya. Jika perempuan itu sampai nekat menyindir, tamat sudah riwayatnya. Jujur, dia sangat takut kehilangan Akbar.Masa lalunya memang kelam. Hidupnya penuh catatan hitam. Namun ia masih punya harapan. Ingin hidup normal seperti wanita-wanita di luar sana. Ingin membina rumah tangga bersama laki-laki yang diinginkannya."Nara, kenapa kamu di situ? Ke mari lah!" seloroh Sindi yang melihat Nara ada di ambang pintu.Akbar juga menoleh sekilas, karena sibuk mengupas buah jeruk untuk Moana. Hubungannya dengan Nara sejak awal sudah hambar. Kadang ia merasa menjadi lelaki yang paling pengecut. Harusnya ia bisa menerima perempuan itu apa adanya. Perempuan yang ia perjuangkan sampai harus kehilangan Melati. Namun rasa kecewanya lebih mendominasi.
Wajah Nara memerah menahan amarah. Ingin sekali ia menjambak atau mencakar wajah cantik Sindi."Kamu itu sok suci, Sindi. Padahal kamu juga keturunan dari laki-laki yang doyan main perempuan."Sindi tersenyum sinis. Orang lain tahunya dia memang anak kandung pasangan Yahya. Padahal sebenarnya, Sindi hanya anak angkat mereka. Sindi putri dari adik bungsu Bu Yahya yang telah ditinggal meninggal kedua orang tuanya sejak Sindi baru berumur dua bulan. Orang tua Sindi meninggal dalam sebuah kecelakaan."Ya, kuakui aku memang anak dari laki-laki yang pernah memeliharamu. Membelikanmu apapun yang kamu inginkan. Laki-laki yang kamu keruk hartanya hingga keluargamu bisa hidup mewah. By the way, berapa kamu jual keperawananmu?"Darah Nara kian mendidih, tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya karena menahan amarah."Hei, nggak usah marah gitu. Rileks saja, Bestie. Bukankah yang aku omongkan ini fakta. Siapa yang memerawanimu? Papaku? Atau orang lain. Kalau bosmu itu pasti hanya dapat sisa saja.
Waktu yang Hilang- RinduSaga berhenti lama di depan sebuah rumah bergaya mediterania dengan halaman yang lumayan luas. Beberapa pohon buah-buahan berjajar menjadi pagar hidup. Ada pohon mangga, jambu air, kelengkeng, dan satu pohon besar di pojok halaman sebelah kanan. Buahnya lebat, kehitaman mirip anggur dan sebagian telah berjatuhan di tanah. Buah Juwet. Buahnya manis agak sepet, kalau di makan membuat bibir berwarna ungu pekat.Matahari sore menerobos dedaunan dan sinarnya jatuh ke pelataran. Suasana pedesaan di tengah perkotaan.Seorang perempuan muncul dari pintu. "Saga," panggilnya pada Saga yang tengah memperhatikan beberapa burung liar yang asyik memakan buah-buahan. Kicaunya bersahutan, terdengar merdu. Ia jadi rindu dengan perkebunan."Masuklah, Nak," kata Bu Ariana bergitu bahagia menunggu kedatangan Saga.Saga melepaskan sepatunya. Mencium tangan buleknya kemudian mengikuti wanita itu masuk ke ruang tamu yang lumayan luas. Ada guci-guci mahal menghiasi pojok ruangan. "
Saga yang awalnya cuek, kini mulai penasaran. Ia memperhatikan kafe di seberang jalan. Kafe bergaya minimalis industrial yang unik. Sekilas terkesan usang, tapi tampak modern. Furniture yang dipilih terlihat hangat dan manis."Masakannya juga enak, Ga. Apa kamu belum pernah ke situ?""Belum.""Padahal banyak diminati anak-anak muda lho. Dari depan kelihatan sempit, tapi ada space lagi di bagian belakang. Ada beberapa gazebo yang di bawahnya ada kolam ikan. Seperti suasana di pedesaan."Kendaraan mulai berjalan. Saga mengikuti petunjuk Bu Ariana, hingga mereka sampai di sebuah rumah klasik modern yang memiliki halaman sangat luas. Model rumah ini mirip dengan Losmen Wijaya Kusuma, juga restoran Wijaya Kusuma. Bentuk bangunan yang menunjukkan ciri khas tersendiri bagi pemiliknya. Masih keturunan darah bangsawan. Itu profil yang ia ketahui dari sosok Pak Benowo."Ayo, Nak. Kita turun!" ajak Bu Ariana saat melihat masih diam.Jujur saja ia nervous. Apalagi di halaman sudah berjajar bebera