Wajah Nara memerah menahan amarah. Ingin sekali ia menjambak atau mencakar wajah cantik Sindi."Kamu itu sok suci, Sindi. Padahal kamu juga keturunan dari laki-laki yang doyan main perempuan."Sindi tersenyum sinis. Orang lain tahunya dia memang anak kandung pasangan Yahya. Padahal sebenarnya, Sindi hanya anak angkat mereka. Sindi putri dari adik bungsu Bu Yahya yang telah ditinggal meninggal kedua orang tuanya sejak Sindi baru berumur dua bulan. Orang tua Sindi meninggal dalam sebuah kecelakaan."Ya, kuakui aku memang anak dari laki-laki yang pernah memeliharamu. Membelikanmu apapun yang kamu inginkan. Laki-laki yang kamu keruk hartanya hingga keluargamu bisa hidup mewah. By the way, berapa kamu jual keperawananmu?"Darah Nara kian mendidih, tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya karena menahan amarah."Hei, nggak usah marah gitu. Rileks saja, Bestie. Bukankah yang aku omongkan ini fakta. Siapa yang memerawanimu? Papaku? Atau orang lain. Kalau bosmu itu pasti hanya dapat sisa saja.
Waktu yang Hilang- RinduSaga berhenti lama di depan sebuah rumah bergaya mediterania dengan halaman yang lumayan luas. Beberapa pohon buah-buahan berjajar menjadi pagar hidup. Ada pohon mangga, jambu air, kelengkeng, dan satu pohon besar di pojok halaman sebelah kanan. Buahnya lebat, kehitaman mirip anggur dan sebagian telah berjatuhan di tanah. Buah Juwet. Buahnya manis agak sepet, kalau di makan membuat bibir berwarna ungu pekat.Matahari sore menerobos dedaunan dan sinarnya jatuh ke pelataran. Suasana pedesaan di tengah perkotaan.Seorang perempuan muncul dari pintu. "Saga," panggilnya pada Saga yang tengah memperhatikan beberapa burung liar yang asyik memakan buah-buahan. Kicaunya bersahutan, terdengar merdu. Ia jadi rindu dengan perkebunan."Masuklah, Nak," kata Bu Ariana bergitu bahagia menunggu kedatangan Saga.Saga melepaskan sepatunya. Mencium tangan buleknya kemudian mengikuti wanita itu masuk ke ruang tamu yang lumayan luas. Ada guci-guci mahal menghiasi pojok ruangan. "
Saga yang awalnya cuek, kini mulai penasaran. Ia memperhatikan kafe di seberang jalan. Kafe bergaya minimalis industrial yang unik. Sekilas terkesan usang, tapi tampak modern. Furniture yang dipilih terlihat hangat dan manis."Masakannya juga enak, Ga. Apa kamu belum pernah ke situ?""Belum.""Padahal banyak diminati anak-anak muda lho. Dari depan kelihatan sempit, tapi ada space lagi di bagian belakang. Ada beberapa gazebo yang di bawahnya ada kolam ikan. Seperti suasana di pedesaan."Kendaraan mulai berjalan. Saga mengikuti petunjuk Bu Ariana, hingga mereka sampai di sebuah rumah klasik modern yang memiliki halaman sangat luas. Model rumah ini mirip dengan Losmen Wijaya Kusuma, juga restoran Wijaya Kusuma. Bentuk bangunan yang menunjukkan ciri khas tersendiri bagi pemiliknya. Masih keturunan darah bangsawan. Itu profil yang ia ketahui dari sosok Pak Benowo."Ayo, Nak. Kita turun!" ajak Bu Ariana saat melihat masih diam.Jujur saja ia nervous. Apalagi di halaman sudah berjajar bebera
Waktu yang Hilang- Kafe Kasturi Moana asyik bermain di kamarnya. Main masak-masakan di temani Tini. Bocah kecil itu bercerita pada pengasuhnya kalau tadi bertemu sang mama. Dibelikan mainan, baju, jepit rambut, dan sepatu.Tini bolak-balik mengusap air mata di pipinya karena sedih. Entah sudah berapa kali ia mengambil foto Moana untuk dikirimkan pada Melati. Supaya wanita di ujung sana bahagia bisa melihat putrinya. Entah Melati berada di mana, Tini tidak pernah tahu. Dan ia pun tidak pernah menanyakannya.Selama ini dia yang sering menyaksikan Melati banyak menghabiskan air mata di kamar Moana. Ketika Akbar sedang tergila-gila pada Nara. Apalagi setelah sang suami memintanya menandatangani surat izin menikah lagi. Tiap malam Melati meringkuk di kamar putrinya sambil menangis. Tini melihat semuanya. Wanita yang berusaha tegar itu sesungguhnya telah hancur lebur di saat pertama kali mendapati suaminya berselingkuh.Makanya sekarang, dengan suka rela ia sering mengabarkan keadaan Moan
Ia merasa bersalah, karena tidak bisa melindungi ibunya Saga. Pak Norman ingat ketika jatahnya bermalam di rumah Bu Ariani. Dengan arogannya Bu Rista menyusul dan mengamuk disaat dirinya dan Bu Ariani tengah memadu cinta. Menjambak perempuan yang tubuhnya hanya berbalut selimut. Kala itu Saga masih umur sekitar lima tahun. Bu Hasanah datang dan menggendong Saga yang menjerit ketakutan dan mengajak anak itu ke rumahnya.Pak Norman mendesah pelan, kemudian memejam. Menikmati segala sesal dan kenangannya bersama perempuan yang sangat dicintainya. Rasa bersalah yang tak lagi bisa ditebusnya. Bersalah pada istri pertama dan bersalah pada istri kedua yang tidak bisa ia lindungi.***LS***Nara duduk di lantai kamar dan bersandar di tepi ranjang. Setelah rahasianya terungkap, hampir setiap hari hanya mengurung diri di kamar berteman sepi dan air mata.Hubungannya dengan sang suami sekarang seperti terhalang tembok tinggi. Akbar tidak pernah lagi tidur di kamar mereka. Laki-laki itu memilih ti
Waktu yang Hilang- Speechless Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terkuak perlahan. Saga menahan napas. Berharap Mbak Mel yang disebut karyawan tadi adalah Melati. Gadis berjilbab warna krem keluar lebih dulu. Kemudian ... degup jantung Saga seolah terhenti ketika melihat perempuan berhijab warna biru di belakang pelayan tadi. Sosoknya yang melekat dalam ingatan Saga tidak bisa ditutupi. Saga hafal di luar kepala. Bahkan suara langkah kaki Melati saja sangat ia kenali.Saga berdiri dari duduknya. "Mel," panggilnya dengan perasaan yang sulit diuraikan. Ini sebuah kejutan yang luar biasa.Wanita itu mengangkat wajah dan alangkah kagetnya ketika bersipandang dengan Saga yang mematung ke arahnya."Ga," panggil Melati tak kalah kaget. Wanita itu terpaku sesaat. Tak percaya bertemu Saga malam itu. Melati menghampiri dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya yang tersenyum tampak bergetar. Berbagai rasa membuncah dalam dadanya."Kamu di sini?" tanya Melati dengan nada tak percaya."Y
Saga mengulas tentang kejadian di Surabaya waktu itu. Dibilang kecewa, ya sudah pasti kecewa. Namun Alita sebenarnya juga bukan perempuan yang ia sukai. Jadi rasa sakitnya tidak berlangsung lama."Kamu sendiri bagaimana? Kenapa sampai bisa di Jogja."Melati menarik napas sejenak. Mengingat ketika ia mengambil keputusan besar untuk merantau meski tanpa pengalaman sama sekali. Apalagi pengalaman membuka restoran. Sedangkan selama ini ia hanya bisa masak sekedarnya saja. Masakan rumahan."Kamu tahu Mbak Yuli, 'kan? Pengacaraku waktu itu.""Aku ingat.""Setelah selesai masa Iddah, aku bersama Budhe Tami bertemu dengan Mbak Yuli dan Bu Romlah. Niatnya hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih dan silaturahmi. Lalu dia bertanya apa rencanaku selanjutnya. Aku jujur bilang mau bekerja. Tapi nggak tahu mau kerja apa dan di mana. Kemudian ia menawari untuk buka kafe dan aku setuju. Akhirnya kami join modal. Aku pakai uang mut'ah dan Iddah dari Mas Akbar juga uang dari pemberian Papa Norman." Me
Waktu yang Hilang- Kenangan Jika dulu ucapan begini dianggap hal biasa oleh Melati, lain pula terasa sekarang. Mereka tak lagi ada ikatan sebagai kerabat. Namun dua orang dewasa yang kembali dipertemukan setelah beberapa waktu berpisah. Dua insan yang sudah berteman semenjak masih kecil lagi. Namun Melati tetap menjaga sikap, meski dadanya bergemuruh. Senyum wanita itu terbit seraya tengadah memandang Saga. "Pulanglah, sambangi Papamu, Ga. Dia pasti kangen sama kamu."Saga mengangguk. "Ya, pasti aku pulang. Tapi belum bisa nentuin kapan waktunya. Bulek Ariana juga ingin bertemu papa. Aku belum bisa menyanggupi kapan akan mengajaknya ke Malang."Keduanya menatap gerimis yang berubah menjadi hujan lebat. Beberapa orang pengunjung nekat pulang dan sebagian lagi masih duduk di bawah kanopi tempat parkir. Yang membawa mobil juga langsung pergi."Duduklah dulu, Ga." Melati mengajak Saga duduk di kursi teras kafe."Kamu tidur di sini juga?" tanya Saga memandang ke arah dalam."Ya. Bersama