Waktu yang Hilang- Kafe Kasturi Moana asyik bermain di kamarnya. Main masak-masakan di temani Tini. Bocah kecil itu bercerita pada pengasuhnya kalau tadi bertemu sang mama. Dibelikan mainan, baju, jepit rambut, dan sepatu.Tini bolak-balik mengusap air mata di pipinya karena sedih. Entah sudah berapa kali ia mengambil foto Moana untuk dikirimkan pada Melati. Supaya wanita di ujung sana bahagia bisa melihat putrinya. Entah Melati berada di mana, Tini tidak pernah tahu. Dan ia pun tidak pernah menanyakannya.Selama ini dia yang sering menyaksikan Melati banyak menghabiskan air mata di kamar Moana. Ketika Akbar sedang tergila-gila pada Nara. Apalagi setelah sang suami memintanya menandatangani surat izin menikah lagi. Tiap malam Melati meringkuk di kamar putrinya sambil menangis. Tini melihat semuanya. Wanita yang berusaha tegar itu sesungguhnya telah hancur lebur di saat pertama kali mendapati suaminya berselingkuh.Makanya sekarang, dengan suka rela ia sering mengabarkan keadaan Moan
Ia merasa bersalah, karena tidak bisa melindungi ibunya Saga. Pak Norman ingat ketika jatahnya bermalam di rumah Bu Ariani. Dengan arogannya Bu Rista menyusul dan mengamuk disaat dirinya dan Bu Ariani tengah memadu cinta. Menjambak perempuan yang tubuhnya hanya berbalut selimut. Kala itu Saga masih umur sekitar lima tahun. Bu Hasanah datang dan menggendong Saga yang menjerit ketakutan dan mengajak anak itu ke rumahnya.Pak Norman mendesah pelan, kemudian memejam. Menikmati segala sesal dan kenangannya bersama perempuan yang sangat dicintainya. Rasa bersalah yang tak lagi bisa ditebusnya. Bersalah pada istri pertama dan bersalah pada istri kedua yang tidak bisa ia lindungi.***LS***Nara duduk di lantai kamar dan bersandar di tepi ranjang. Setelah rahasianya terungkap, hampir setiap hari hanya mengurung diri di kamar berteman sepi dan air mata.Hubungannya dengan sang suami sekarang seperti terhalang tembok tinggi. Akbar tidak pernah lagi tidur di kamar mereka. Laki-laki itu memilih ti
Waktu yang Hilang- Speechless Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya pintu terkuak perlahan. Saga menahan napas. Berharap Mbak Mel yang disebut karyawan tadi adalah Melati. Gadis berjilbab warna krem keluar lebih dulu. Kemudian ... degup jantung Saga seolah terhenti ketika melihat perempuan berhijab warna biru di belakang pelayan tadi. Sosoknya yang melekat dalam ingatan Saga tidak bisa ditutupi. Saga hafal di luar kepala. Bahkan suara langkah kaki Melati saja sangat ia kenali.Saga berdiri dari duduknya. "Mel," panggilnya dengan perasaan yang sulit diuraikan. Ini sebuah kejutan yang luar biasa.Wanita itu mengangkat wajah dan alangkah kagetnya ketika bersipandang dengan Saga yang mematung ke arahnya."Ga," panggil Melati tak kalah kaget. Wanita itu terpaku sesaat. Tak percaya bertemu Saga malam itu. Melati menghampiri dengan netra berkaca-kaca. Bibirnya yang tersenyum tampak bergetar. Berbagai rasa membuncah dalam dadanya."Kamu di sini?" tanya Melati dengan nada tak percaya."Y
Saga mengulas tentang kejadian di Surabaya waktu itu. Dibilang kecewa, ya sudah pasti kecewa. Namun Alita sebenarnya juga bukan perempuan yang ia sukai. Jadi rasa sakitnya tidak berlangsung lama."Kamu sendiri bagaimana? Kenapa sampai bisa di Jogja."Melati menarik napas sejenak. Mengingat ketika ia mengambil keputusan besar untuk merantau meski tanpa pengalaman sama sekali. Apalagi pengalaman membuka restoran. Sedangkan selama ini ia hanya bisa masak sekedarnya saja. Masakan rumahan."Kamu tahu Mbak Yuli, 'kan? Pengacaraku waktu itu.""Aku ingat.""Setelah selesai masa Iddah, aku bersama Budhe Tami bertemu dengan Mbak Yuli dan Bu Romlah. Niatnya hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih dan silaturahmi. Lalu dia bertanya apa rencanaku selanjutnya. Aku jujur bilang mau bekerja. Tapi nggak tahu mau kerja apa dan di mana. Kemudian ia menawari untuk buka kafe dan aku setuju. Akhirnya kami join modal. Aku pakai uang mut'ah dan Iddah dari Mas Akbar juga uang dari pemberian Papa Norman." Me
Waktu yang Hilang- Kenangan Jika dulu ucapan begini dianggap hal biasa oleh Melati, lain pula terasa sekarang. Mereka tak lagi ada ikatan sebagai kerabat. Namun dua orang dewasa yang kembali dipertemukan setelah beberapa waktu berpisah. Dua insan yang sudah berteman semenjak masih kecil lagi. Namun Melati tetap menjaga sikap, meski dadanya bergemuruh. Senyum wanita itu terbit seraya tengadah memandang Saga. "Pulanglah, sambangi Papamu, Ga. Dia pasti kangen sama kamu."Saga mengangguk. "Ya, pasti aku pulang. Tapi belum bisa nentuin kapan waktunya. Bulek Ariana juga ingin bertemu papa. Aku belum bisa menyanggupi kapan akan mengajaknya ke Malang."Keduanya menatap gerimis yang berubah menjadi hujan lebat. Beberapa orang pengunjung nekat pulang dan sebagian lagi masih duduk di bawah kanopi tempat parkir. Yang membawa mobil juga langsung pergi."Duduklah dulu, Ga." Melati mengajak Saga duduk di kursi teras kafe."Kamu tidur di sini juga?" tanya Saga memandang ke arah dalam."Ya. Bersama
Melati masuk ke kafe, tidak lama kemudian keluar sambil membawa mantel dan memberikannya pada Saga."Mel, lihat ini kekecilan!" Saga menunjukkan mantel milik Melati yang hanya numpang di tubuhnya."Astaga, aku nggak mikir kalau mantelnya nggak bakalan muat, Ga." Melati tertawa lepas sambil menutup mulutnya."Percuma juga kupakai. Udahlah, nggak apa-apa aku kehujanan. Nanti sampai kosan aku ganti baju.""Hati-hati kalau gitu. Jalanan licin soalnya."Saga mengangguk. Kemudian melangkah ke arah motornya. Melambaikan tangan pada Melati lantas melaju pergi.Melati baru masuk ke dalam kafe setelah Saga menghilang dalam derasnya hujan. Wanita itu menyapa Mbak Harti yang masih di dapur, makan malam bersama dua karyawannya. "Mbak Mel, nggak mau makan dulu. Ini saya bikin ayam geprek." Wanita setengah baya dengan tubuh berisi itu menawari Melati makan."Nggak usah, Mbak. Saya sudah makan sore tadi." Setelah mengambil satu botol air mineral, Melati bergegas menaiki tangga. Di lantai dua ada dua
Waktu yang Hilang- Malam Minggu "Tadi malam kamu dari mana? Pulang telat banget," tanya Giri pada Saga yang tengah memakai sepatunya di depan pintu kamar kos pagi itu."Karena hujan makanya aku menepi dulu." Saga belum ingin jujur kalau ia baru dari Kafe Kasturi. Bahkan bertemu dengan seseorang yang istimewa di kafe itu.Saga berdiri dan melangkah ke arah motornya. Giri pun mengikuti. Setiap hari mereka memang berangkat bebarengan meskipun beda kantor."Ssstt, tadi malam kamu di cariin Farhana," ucap Giri lirih.Saga yang tengah memakai sarung tangannya mengernyit heran. "Untuk apa nyariin aku?""Tadi malam kan ada acara pengajian di rumah Bu Ipah. Makanya mereka ngirimi makanan anak-anak kos."Bu Ipah ini ibu kostnya mereka. Juga mamanya calon dokter, Farhana."Kebetulan ada temanku yang mampir karena kehujanan, akhirnya jatahmu kukasihkan sama dia.""Ya, tak apa. Lain kali kalau aku tidak ada di kosan, misalnya ada yang ngasih makanan, kamu ambil nggak apa-apa. Sayang kan, itu rez
Kenyataannya sekarang jauh dari segala impian. Siapa menduga kalau orang tua Sindi berteman baik dengan mertuanya. Porak-poranda sudah harapannya."Tolong beritahu aku, apa dengan kata maaf dariku bisa merubah segalanya? Nggak, 'kan?" Akbar menatap tajam Nara. Membuat perempuan itu ciut nyalinya."Kepada siapa kamu berikan kehormatanmu? Pak Yahya atau bosmu yang juga rekan bisnisku? Atau malah pada laki-laki yang aku tidak tahu."Nara menunduk. Sakit rasanya mendengar pertanyaan itu dari sang suami. Tapi wajar saja, kalau Akbar penasaran. Sebab ia sudah terlanjur kecewa dan marah karena kebohongannya."Lupakan pertanyaanku jika kamu nggak mau menjawab." Akbar bangkit dari duduknya, lantas melangkah masuk kamar. Membuka pintu dan keluar lalu turun ke lantai bawah. Tidur di kamar lain dan membiarkan Nara sendirian di balkon.Tangis Nara pecah. Pulang malu pada keluarga, kerabat, dan teman-temannya. Karena dia sudah pamer kalau hidup bahagia dengan Akbar. Kalau pergi, hendak pergi ke man