Kota bagian timur laut Eropa bernama Ełlona terletak ditengah-tengah antara Rusia, Estonia dan Latvia. Bahasa umum yang digunakan antara lain : Russian, Latvian, dan English. Populasi di Ełlona cukup banyak untuk kota yang kecil dan setiap bulan kota ini menerima turis dengan total empat ratus orang baik dari luar kota maupun luar negeri untuk melihat keindahan alam dan taman bunga - plus Ełlona juga merupakan asal keluarga Amerika-Eropa terkaya di dunia yang terkenal karena gen ketampanannya.
OK, bagian terakhir hanyalah pendapatku sendiri dan bukan dari Wikipedia. Setelah aku dan ayahku duduk di interior mewah limusin berwarna hitam yang mengantar kami dari landasan pribadi West. Aku menghabiskan sembilan jam di langit pagi dari JFK ke langit malam Rusia ke bandara Sheremetyevo, plus satu jam di pesawat pribadi menuju Ełlona, aku googling tentang apa saja yang tidak aku ketahui tentang kota ini - yang mana cukup banyak. Di setiap kesempatan ayahku mengintip teleponku dan menyuarakan pendapatnya dengan keras tentang tuan rumah kami seminggu ini.
"Ayah Albert mungkin sedikit brengsek," Aku berkata dengan suara pelan. "Tapi Dad, hanya satu minggu ini saja, please bersikap baiklah."
Dia memberengut padaku, seperti anak kecil umur lima tahun, walaupun ini adalah anak kecil umur lima tahun yang menyukai celana panjang dan kaus polo "Tentu saja, Mylady." Katanya menggunakan aksen British yang dibuat-buat dengan wajah yang datar dan aku tidak bisa menolong diriku sendiri untuk tertawa.
"Kau benar-benar konyol. Penjinak binatang pun kurasa tidak akan bisa menjinakkanmu."
Ayahku mendengus, mengalihkan pandangannya ke jendela. Sekarang matahari mulai mendekati horizon, kami akhirnya bisa menikmati pemandangan Ełlona yang bersalju. Ada kumpulan kabut asap yang tidak terlalu tebal, tanah terutupi salju dengan sempurna yang tampak bermil-mil jauhnya dan pepohonan gundul berjajar di sepanjang jalan seperti barisan tentara. Sangat mudah untuk mengagumi tempat ini. Ini sangat damai namun juga begitu jauh dari sentuhan.
Tiga puluh menit kemudian, mansion keluarga West terlihat dari puncak bukit, mengalahkan bangunan lainnya di kota, dan aku tiba-tiba saja mengalami deja vu. Mengeratkan genggaman tanganku, aku mencoba mengumpulkan diriku sendiri. Aku bukan lagi remaja delapan belas tahun yang halusional dan naif yang berpikir seks dengan pria yang sempurna adalah cara yang terbaik untuk mengobati patah hati.
Berbulan-bulan berikutnya, aku menyadari bahwa aku tidak pernah mencintai Kyle dan 'patah hati' ku mungkin memiliki hubungan dengan fantasi ku akan cinta sejati.
Gee, aku menyalahkan Charlotte untuk itu, pikirku dengan senyum terpatri di bibirku. Setelah masa kecil yang berantakan, kepalaku terisi dengan romantisme dan dongeng dan bunga ketika dia datang, hal-hal yang tidak dia percaya — sampai dia jatuh cinta dengan ayahku, tentu saja.
"Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?"
Suara pria yang menanyaiku menembus otak jetlag ku. "Apakah senyum juga termasuk kejahatan sekarang?" Aku menjulurkan lidahku padanya ketika dia memberiku tatapan yang gelap.
"Hanya karena kau berusia dua puluhan, tidak berarti aku tidak akan menghukummu."
"Kurasa itu kata lainnya adalah ancaman disertai tindakan fisik, Dad." Aku membalas, memutar mataku sembari mencabut charger ponselku. Ketika aku melihat keluar jendela, kita ada di gerbang masuk yang terbuat dari besi tempa yang rumit dan begitu detail yang berada di pintu masuk mansion. Sumpah aku kadang merasa tempat ini lebih seperti kastil.
Keringat muncul di alisku walaupun cuacanya dingin dan aku menyumpah dibawah napasku. Ini konyol. Setelah lima tahun lamanya, Dean - Dean West - mungkin sudah lupa tentang ku dan jika dia tidak lupa, dia hanyalah pria tua yang jarang mendapatkan wanita. Hell, aku bahkan tidak pernah menyebutkan namaku padanya. Aku khawatir pada hal yang tidak perlu. Hal yang perlu aku lakukan hanyalah melewati minggu ini tanpa mengingat kalau aku pernah tidur dengan paman dari mempelai pria.
Ini tidak begitu sulit kan?
*~*
Suite ku berukuran seperti apartemenku dan tetanggaku digabung - yang merupakan arsitektur abad ke depalan belas yang tidak perlu dan dekorasi abad dua puluh satu yang suka pamer - dan sejauh ini aku hanya melihat ruang tamunya saja. Temboknya berwarna ivory dengan garis garis membungkus ruang tamu - slash - perpustakaan mini. Seriously, dengan inspeksi yang lebih dekat, rak buku berjajar di tembok memegang buku-buku tebal yang kurasa berbahasa German; seperti koleksi puisi Woedsworth, Lord Byron, Edgar Allen Poe dan Cummings; dan edisi pertama dari Stephen King - mimpi basah setiap kutu buku.
Setidaknya aku tahu apa yang akan aku lakukan di malam hari. Pikirku, sesudah menggeser Carrie ke pinggiran.
Aku berputar dan menaruhnya di meja kopi kaca yang diapit oleh dua kursi cokelat yang ditata di seberang TV yang setidaknya empat kali lebih besar daripada punyaku dan digantung di tembok seperti lukisan, penampilan capek-perjalanan ku terpantul dari kaca hitamnya yang mengingatkanku kalau aku perlu mandi.
Menendang sepatu flatku, aku menarik koperku melewati beberapa tangga yang memisahkan antara ruang tamu dan kamar, sekali lagi aku terpana dengan luasnya ruangan ini. Seluruhnya berpusat pada ranjang besar bertiang empat. Kain jaring tipis ditata sedemikian rupa di empat tiang ya hingga terlihat menutupi kasur seperti kabut. Duvetnya merah tua dan hitam dan bantal-bantalnya tebal dan putih seperti marshmallow yang seolah memanggilku untuk mengetes keempukannya. Furnitur antik mengelilingi ranjang. Gorden tebal merah tua digantung di jendela, mengimbangi kemewahannya, karpet putih digelar di seluruh suite.
Kamar mandinya pun tidak beda jauh, semuanya porselen putih-tulang dan kacanya benar-benar spotless, lantainya berwarna arang-dan-putih gading dan jacuzzi yang berada di tengah. Kulit ku mendamba untuk ditenggelamkan di air panas yang setara dengan delapan tub tapi sepertinya tidur dulu akan lebih baik? Aku tidak pernah bisa tidur di pesawat (sesuatu tentang takut akan tidur dan tidak bisa bangun lagi karena pesawat memutuskan untuk terbang menukik ke laut) jadi aku sedikit kehabisan tenaga mengingat disini siang dan malam di lain tempat, aku seharusnya memaksa diriku untuk tetap terjaga untuk terbiasa dengan waktu di sini tapi begitu kepalaku menyentuh bantal, it was lights out dan ketika aku bangun, ada bau sarapan yang lezat. Seseorang menaruh trolley makanan ke kamarku dan meninggalkannya di samping ranjang. Perutku berbunyi, aku membuka tutupnya, menampilkan bacon yang masih berasa, sosis, dan toast ditata dengan hati-hati hingga membentuk masterpiece.
“Sweet Jesus,” Aku bergumam senang, melepas jaket yang kubawa tidur dan melepasnya. "Mereka sangat memahamiku."
Setelah sarapan dan berendam di tub terlama di sepanjang sejarah, aku merasa segar untuk ... melakukan apapun yang seharusnya dilakukan oleh tamu pernikahan setelah tiba. Seseorang sudah menata barang-barang di koperku ketika aku tertidur - sesuatu yang tidak enak bagiku - dan ketika aku keluar dari kamar mandi trolleynya sudah tidak ada. Talk about invasion of privacy.
Aku menggunakan setelah celana hitam dan sweater kasmir soft-pink sebelum pergi ke suite ayahku. Sebagai bagian dari tamu pengantin pria, kita ditempatkan di sayap timur dan kamar ayahku hanya beberapa pintu dariku. Aku mengetuk pintunya sebelum masuk dan sangat kecewa melihatnya masih tertidur, masih dengan pakaian yang dia pakai saat di pesawat. Membangunkannya sama saja dengan menjadi sadistic, dengan dia yang biasanya hanya tidur selama empat jam - di malam yang tenang.
Ponselku memilih waktu yang tepat untuk berbunyi ketika aku berusaha keluar dari kamar ayahku tanpa suara. Sebelum Harlem Shake benar-benar berbunyi aku segera memencet tombol hijau. "Yeah?"
"Aku ada di kamarmu, Cass." Kata suara mulus bersiul di telingaku. "Dimana kau?"
*~*
Diluar di rooftop mansion, dilindungi dengan pavilion tinggi berwarna putih, Albert mengadakan acara reuni SMA mini sebelum makan malam, komplit dengan wine dan snack.
"Jadi kau benar-benar tahu siapa yang kau nikahi, Vanya?" Sam bertanya pada calon mempelai wanita yang memerah pipinya, memperjelas B nya. Dia merangkul Sarah dan berhati-hati agar tidak menjatuhkan segelas merlot di tangannya.
Vanya - wanita menawan dengan mata hijau dan rambut sehitam burung gagak dengan kaki yang jenjang - menyesal Wine nya, memberikan Sam wajah terhiburnya. "Apa kau akan memberitahuku kalau dia pembunuh berantai?" Dia bertanya, aksen Bostonnya terlalu biasa dengan nama eksotisnya. Dia memberikan Albert tatapan malu-malu. "Karena aku sudah tahu itu. Dia membunuh makanan tidak seperti orang lain!"
Aku tertawa. "Kau saharusnya melihatnya saat SMA. Dia memenangkan kompetisi gila makan hotdog dan tidak ada yang akan percaya kalau King Hot Dawg ini pewaris kerajaan bisnis terbesar di Eropa."
Albert tersenyum. "Yeah, tapi kau juara kedua, kan?"
"Hanya karena kau curang, Albert West" Vanya menaikkan alisnya padaku.
"Really? Tapi kau begitu -"
"Kecil." Aku melanjutkan ketika dia mengangguk. "Aku suka makan sebanyak orang di sebelahku ini. Faktanya, jika aku bisa mendapatkan uang untuk makan, aku akan melakukannya."
"Dan bagaimana dengan akting?" Sesudah Sarah menanyakan pertanyaan main-main itu, aku sedikit menyusut di tempat dudukku. Bad move karena sahabatku tahu semuanya tentangku. "Cassandra?" Matanya melebar penuh khawatir. "Kau OK?"
Aku mengangguk, wine yang mengalir di dalam sistemku membuat gerakan kecil yang menyiksa. "Hanya sedikit jetlag," Aku berbohong.
"Maaf soal itu," Albert berkata, seperti dia adalah orang yang bertanggung jawab atas perbedaan waktu dan pola tidurku. Itulah pria yang menjadi sahabatku - baik. Baik tapi tidak sempurna. Tidak ada yang 'sempurna' dan orang-orang yang mengatakan sebaliknya sudah jelas pembohong. Ini rasanya lucu - aku melihat Albert dan tidak merasakan apapun selain persahabatan dan bahagia untuknya. Aku mungkin telah menempatkannya di standar yang konyol setelah putus dengan Kyle bertahun-tahun lalu dan sekarang aku melihatnya untuk orang yang sesungguhnya. Ridiculous Alby yang manis, salah satu sahabatku dan dia akan menikah di akhir pekan dengan orang yang dia cintai. Vanya sepertinya orang yang down-to-earth sama seperti Albert. Dia lahir di Boston, orang tuanya sama-sama Russian dan mempelajari fisioterapi. Albert, yang masih di sekolah medis, jelas memuja tanah yang dia injak.
Nah cinta yang seperti itu, pikirku saat pertama kali aku melihat mereka bersama, adalah jenis cinta yang hanya tumbuh semakin kuat seiring waktu.
Dan pemikiran itu membuatku melamun dan percakapan berikutnya terasa seperti lebah yang berdengung dia telingaku. Aku sadar akan fakta bahwa aku satu-satunya yang single di sini. Sarah dengan suaminya, Sam, Julian dan Albert bersama tunangan mereka. Menyedihkannya aku yang memeras ayahku agar mau menjadi plus-one dan dia bahkan meninggalkanku untuk bermain di kolam renang dengan tamu undangan yang tua di suatu tempat. Tidak bekerja, jomblo dan sexually frustrated. Bisa menjadi plot yang bagus.
"Apa yang sedang kita bicarakan?"
Suara ringan yang dalam datang dari belakang Albert dan Vanya, yang berdiri di depanku; jadi tentu saja, aku adalah orang pertama yang melihat siapa yang berbicara. Jika panas yang merambat di pipiku bukanlah reaksi yang cukup jelas, cicitan kecil yang aku keluarkan membuat semuanya menjadi jelas.
"Guys, kalian ingat pamanku, kan?" Albert tersenyum lebar, senyum yang seolah mengatakan kalau Dean adalah hadiah dari Tuhan untuk manusia dan memberkati kita umat biasa dengan kehadirannya.
Jika aku fan-girl lebay, aku pasti sudah meleleh ke tanah saat melihatnya dengan setelan formalnya. Tapi karena aku bukan fan-girl lebay, aku hanya sedikit meleleh. Aku memiliki soft-spot untuk pria yang menggunakan setelan. Mereka bisa saja menjadi monyet tak berotak yang masih berpikir kalau bumi itu datar tapi jika mereka menggunakan setelan Armani dengan bagus, aku akan pingsan di dalam pikiranku. Itu adalah kelemahanku dan kumpulan otot setinggi enam-koma-empat kaki Dean West mengisi setelah hitamnya dengan sempurna. Rambut gelapnya dibiarkan begitu saja dan beberapa helai jatuh di dahinya. Dean memiliki bulu mata paling panjang yang pernah aku lihat. Mereka hampir terlihat girly, itu juga berlaku untuk bibir merah mudanya yang tebal. Mereka membuat bibir Angelina Jolie terlihat kerempeng.
Dan kenapa juga aku membandingkan bibir pria dengan wanita?
Karena mereka begitu ... mengundang. Mereka seperti berkata, "jika kita menciummu - di atas atau bawah, jauh di bawah - kau akan menyukainya. Inilah yang kami lakukan, karena kami adalah bibir Dean West, mesin pencium èlit yang terbuat dari jutaan sel dengan satu tujuan yaitu membawa kenikmatan" masih saja, semua kecantikan itu diimbangi dengan postur besarnya, lebih maskulin jagi dengan rahangnya yang tajam dan hidungnya yang sedikit bengkok, pernah patah, aku yakin.
"... dan ini Cassandra, yang berbakat." Aku tersipu mendengar bagian terakhir dari kata-katanya. Lagi.
Dean memberikanku tatapan intens yang mengatakan aku pernah melihatmu sebelumnya tapi aku tidak tahu dimana. Sial, ini akan terus menggangguku sampai aku ingat!
Aku tidak akan membantunya.
"Senang bertemu denganmu, Mr. West." Aku memulai, bangga pada diriku sendiri yang tidak terpengaruh sedikitpun. "Albert bercerita tentangmu di setiap kesempatan."
Well, setidaknya dia berusaha - sampai aku mengubah topiknya.
Senyum perlahan muncul di wajahnya, membuatnya terlihat beberapa tahun lebih muda. "Hal baik, kuharap." Katanya dengan riang, mengulurkan tangannya. Dengan ragu aku menjabat tangannya, terganggu dengan caranya mengusap jemariku dengan ibu jarinya. Bagaimana itu bisa membuatku turn on? "Kau bisa memanggilku Dean, häschen." Aku menarik tanganku setelah etika memperbolehkanku.
"Häschen?" Aku bertanya di antara napasku. "Apa itu Russian?"
"Bukan," Vanya menjawab. "Itu bahasa Jerman untuk kelinci."
"Oh well, jangan panggil aku itu lagi," Aku menujukan itu pada Dean membuat raut wajahnya melongo padaku dan seringai yang samar setelahnya. "Aku bukan kelinci."
"Dia hanya bercanda, Cass." Sarah bergumam.
"Yeah. Hiraukan saja dia. Dia memiliki banyak gestur romantis untuk setiap wanita yang dia temui." Kata Albert, membelitkan tangannya di sekitar pinggang tunangannya. "Ini dulu pernah menjadi penjinaknya."
"Penjinak?" Dean terkekeh, mengambil gelas dan menuangkan minuman ya sendiri. "Apa yang kamu isyaratkan, Alby?"
"Kalau kau biasanya mendapatkan tamparan untuk setiap percobaanmu untuk menjadi romantis?" Albert melepaskan Vanya dan matanya memancarkan sesuatu yang familiar dimana dia akan menceritakan sesuatu yang nakal. "Wanita itu dulu pernah menjinakkanmu - dan aku ingat dengan baik karena itu di ulang tahun ke sembilan belas ku - kita pergi ke club di Vegas dan dia menggoda penari berambut pirang -"
"Dan mencoba mendapatkan STD, ku tebak," Aku bergumam.
"Apa itu tadi, Cass," Albert memotong.
"Nothing, Albert. Lanjutkan."
"Right. Jadi dia menjemputnya dan membawanya ke kamar hotelnya, dia berkata kalau mulai dari sekarang, itu, um, kejantanannya akan jadi satu-satunya yang dia hisap." Albert tersipu dan yang dia katakan adalah biblical word untuk penis. "Dia berkata, 'Big Tits, aku akan menyelamatkanmu dari club. Itu bukanlah tempat untuk seseorang yang berbakat di bagian kelenjar susunya'." Albert tertawa dengan keras melihat ketidaknyamanan Dean.
"Sayangnya, Julia bersekolah di sekolah hukum, dia tidak mengapresiasi dilabeli dengan mesum atau panggilan sayang Gio yang merendahkan, dan memiliki dia anger issue yang serius. Dia menerima memar dan dompetnya dirampok untuk usahanya menjadi romantis."
Dean bergumam dengan keras,"Dia itu stripper dan a total waste of money."
"Kau membayar untuk seks?" Aku tidak bermaksud mengatakannya dengan keras tapi karena sudah kulakukan, tidak bisa kutarik lagi, terutama ketika mata hijau menembus melaluiku, seperti dia masih berusaha mengenali wajahku.
"Aku membayar untuk seks. Dulu."
"Kenapa orang sepertimu butuh melakukannya?" Itu tadi Sarah, selalu blak-blakan. Dia sudah menyuarakan apa yang kita berdua pikirkan.
"Hey!" Sam mengeluh, menyoroti istrinya dengan mata cokelatnya. "Aku di sini, wifey."
"Dan itulah kenapa aku memanggilnya a fucking manwhore," Dia membalas dengan berbisik. Aku yang cukup dekat untuk mendengarnya tertawa.
"Well, apapun yang terjadi di Vegas ... Itukan yang selalu mereka katakan?" Dean mengangkat bahunya sekali, meminum winenya. "Aku dulu juga pernah remaja. Dan kau, häschen" Dia menatapku dengan intens. "Aku mengenal mu."
"Excuse me?" Tertegun, aku mengambil satu langkah ke belakang, berpikir jika dia akan mengatakan sesuatu tentang malam itu di depan keponakannya; di depan teman-temanku.
"Kau yang ada di serial TV itu," Dia berkata sambil menjentikkan jarinya. "Yang tentang pemburu hantu yang seksi itu? Apa judulnya? Ghost hunters? Bukan, The Hunt, itu benar - Cassandra Prince."
TO BE CONTINUED
Tempat api unggunnya bergerak. Jam di ponsel menunjukkan, ini baru saja lewat tengah malam dan aku berguling di sofa dengan selimutku membaca Shadow and Bone di Kindle. Aku berhak untuk ketakutan ... karena tempat apinya bergerak-gerak. Aku bahkan tidak menyadari ada semacam pahatan batu bodoh sampai aku melihat bagian kecil dari dinding perlahan terbuka, seperti pintu. Di mansion tua yang luasnya mengalahi kastil ini, ghoul atau demon bukanlah pengecualian, lihatlah diriku yang terbawa karakter yang aku mainkan di The Hunt, Samantha, berburu monster jahat sepanjang hidupnya, aku terlahir untuk menjadi hebat dalam yang aku lakukan. Apapun yang ada di balik dinding itu akan dengan mudah aku lawan. Namun mungkin setelah aku menyelesaikan chapter ini, pikirku, kembali membaca bagian yang aku tinggalkan yang baru saja memasuki bab yang bagus sebelum kembali melihat ke tempat api yang setengah terbuka. "Debu sialan," Setannya bergumam, merundukkan kepalanya dan keluar dari rak di ata
Dean mengambil waktunya untuk berjalan mundur dariku tapi aku tidak membantu untuk mendorongnya lebih jauh karena aku membeku di tempatku berdiri. Aku selalu berpikir itu hanya hiperbola konyol tapi saat ini, aku benar-benar merasa seperti patung es."Apa, Vanya?" Katanya sambil tersenyum puas, melarikan ibu jarinya di sepanjang bibir bawahku yang bengkak karena ciumannya."Aku tidak bermaksud mengganggu, paman." Suara Vanya yang tetap kasual membuatku sedikit lega.Aku berbalik, meringis melihat raut penasaran tergambar jelas di wajahnya. "Kau tidak mengganggu apapun, Vanya." Kataku, memaksakan nada kasual di suaraku. "Apa kau akan kembali ke dalam?" "Vanya, sudah berapa kali ku bilang jangan memanggilku paman," Dean mengeluh di samping ku. "Aku tidak setua itu." "Aku hanya mencoba menghormatimu," Vanya berkata dengan lembut. "dan ya, Cassandra, aku akan kembali ke mansion. Ada beberapa detail di pernikahan yang membutuhkan perhatian ku.""Bagus, aku akan, um, ikut denganmu.""Kau t
Ada ketukan di pintuku sekitar jam sepuluh, aku baru saja selesai memakai makeup ku. Orgasme semalam benar-benar menaruh keceriaan di wajahku. Memikirkannya aku jadi teringat Dean - bayangan tentangnya menyentuh dirinya sendiri tadi malam, membayangkan dia meledak dalam ekstasi. Semua itu - terutama miliknya itu akan terpatri selamanya di pikiranku dan aku menemukan diriku sendiri berliur ketika aku hendak membuka pintu ... berhadapan langsung dengan ayahku. Aku langsung menyingkirkan pemikiran kotorku dan mengeluarkan ekspresi polos dan senang pada ayahku. "Hi, Dad," Kataku, memberinya senyuman yang tidak dia balas. Aku merasakan wajahku memanas saat dia berjalan tanpa berkata-kata melewatiku, parfum cologne nya yang familiar tercium olehku. "Apa semua baik-baik saja?" Aku bertanya. Tidak bisa menghentikan nada ragu-ragu seperti anak lima tahun yang ketahuan mencuri di suaraku. Hanya Daniel Prince yang bisa membuatku s
Makan malam benar-benar mengerikan.Tentu saja, ada hal yang lebih buruk sedang terjadi di dunia daripada sahabatku yang memberikanku silent treatment tanpa alasan apapun, tunangan pujaan hatiku dulu memberiku tatapan diam-diam selama main course dan dewa Yunani duduk di sampingku dengan jemari paling ajaib.Aku kebetulan yang paling terlambat datang ke ruang makan dan kursi yang kosong tinggal satu, itulah kenapa aku duduk bersandingan dengan Dean, jemarinya merayap naik dari ujung gaunku di bawah meja saat dia dengan polosnya berbicara dengan Constantine yang ada di kanannya.Aku tidak bisa makan; aku bahkan tidak bisa berpikir. Tidak saat dia baru saja tahu kalau aku tidak menggunakan celana dalam.Membuka pahaku untuknya, aku merasakan jemarinya berhenti saat dia tidak menemukan penghalang apapun di antara dua kakiku. Kepalaku pusing karena rangsangannya, aku hampir saja menangis lega ketika d
"Sial, apa yang kau pikirkan? Bagaimana dengan STD? Apa aku satu-satunya orang yang masih waras di sini?" Dia terlihat terkejut. "Kita periksa setiap bulan. Sebenarnya, aku sembila-puluh-sembilan persen yakin kalau ini anaknya Sam." Aku memutar mataku padanya. "Oh, ya, kurasa itu akan membuat hal yang lainnya tak berarti." "Lihat? Karena inilah aku tidak ingin memberitahumu apapun. Kau selalu menghakimi ku!" "Realistislah sedikit, Sarah. Hanya sedetik saja, jangan menganggap kalau kau hidup di dunia fantasi dimana setiap orang telanjang dan bercinta dengan siapapun yang mereka mau," Aku mencacinya, merasakan amarah merayap di sekujur tubuhku karena ketidakdewasaannya. "Ini bayi - yang tidak kau yakini milik suamimu." "Bisakah kita melihat Netflix dan melupakan percakapan ini?" Dia membujuk, memberiku tatapan puppy-dog nya. Aku hampir saja menyerah melawan ta
Setelah dipikir-pikir hari pernikahannya datang begitu cepat, aku masih merasa baru kemarin aku memegang tiket pesawat dan selembar undangan dan mengobrak-abrik isi otakku untuk membuat alasan yang bagus kenapa aku tidak bisa datang. Fakta kalau aku dan Vanya tidak begitu dekat yang mana membuatku tidak memiliki andil apapun di pernikahan ini kecuali hanya hadir sebagai tamu. Jangan salah aku tidak keberatan dengan itu, pada akhirnya, ini adalah pernikahan orang terkaya di benua Eropa dan aku tidak harus melakukan apapun kecuali muncul dan bersenang-senang. Lagipula, aku sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan ini dan pergi secepatnya dan yang paling utama, melupakan ini semua."Kau baik-baik saja, Cass?" Sarah mengintip dari pintu kamarku, sudah siap dengan jumpsuit hitam yang diaksen dengan ikat pinggang emas. Sangat bukan dirinya, tapi itu bukan masalahku."Kenapa?" Aku bertanya, walaupun aku sudah tahu jawaban yang sebenarnya. Aku
Upacara pernikahan dan resepsinya diadakan di dalam mansion dan halaman belakang. Hari ini, mataharinya bersinar terang untuk Ełlona yang beku. Ini adalah pertanda untuk pernikahan Albert dan Vanya yang akan selalu dikenang. Ayah Albert dan istrinya (yang mungkin usianya lebih mendekati Albert daripada ayah) berperilaku baik, lebih seperti sunyi jika menurut pendapatku, mungkin karena mereka tiba tengah malam dan mungkin juga karena pernikahannya dibatalkan.Aku kebanyakan melamun saat Albert membuat pengumuman kecilnya lalu dia pergi meninggalkan mansion dan seluruh tamu yang hadir. Jika aku mengingat dengan benar percakapan kami di suite ku, aku bertanya apa yang dia inginkan dan dia tidak menjawab, kupikir dia tidak akan melakukan apa-apa sampai dia berkata, "He's gone."Saat dia mengatakan itu aku tahu dia mulai menyadarinya, hell, aku menyadarinya sejak dia mulai menangis. Albert langsung beranjak pergi setelah itu d
Cukup luar biasa sebenarnya melihat Albert Sr menepati janjinya dan tetap mengikuti kemauan ayahku untukberbicara. Hanya Tuhan yang tahu apa yang pria itu rencanakan. Melangkah keluar dari mansion seperti kereta yang rusak, aku memutuskan ingin mengambil beberapa foto sambil berjalan-jalan. Salju tidak turun sejak semalam dan matahari bersinar cerah, jadi kupikir, kenapa tidak?Setengah jalan dari hamparan rumput hijau, ponselku berdering dan aku takut untuk menjawabnya. Aku sedang mengabaikan telepon Sarah yang tidak ada hentinya sejak dia dan rombongan tamu pulang kemarin. Aku tahu aksiku mengabaikannya tidak akan bertahan selamanya.Jadi aku bersyukur saat aku melihat nama kakakku di layarku."Apa sih yang salah dengan teleponmu?" Kataku berkata dengan kesal ke teling
“Apa aku sudah bilang padamu kalau aku akan menikmati waktuku membuka gaun ini nanti?” Dean berbisik di telingaku saat kita berdansa dengan iringan “perfect” dari Ed Sheeran. Setelah upacara ikrar janji selesai, atrium dari Pazzo’s telah diubah menjadi surga romantis dengan lampu-lampu berkilauan, dimana kita semua memakan makanan terbaik dan wine teratas, dan sekarang aku berdansa dengan pacarku di lantai dansa.Aku tersenyum di samping pipinya. “Apa itu karena kau menyukai apa yang aku pakai atau karena kau membencinya?”“Aku tidak akan pernah bisa membenci apapun yang kau pakai, apalagi kalau kau tidak memakai apapun. Percaya padaku.”Klasik Dean. Aku memakai gaun a-line berwarna biru langit dengan garis leher yang rendah, atasan korsetku disulam dengan kristal dan payet yang dengan alami memudar ke rok tulle yang memiliki celah paha yang tinggi.Diseberang lantai dansa, aku melihat pasangan yang baru saja menikah berdansa dan tersenyum, tidak mempedulikan fakta kalau Alby adalah
Waktu terasa aneh setelah itu. Beberapa menit setelah Dean muncul di depan pintuku waktu terasa terus berjalan maju sementara aku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa kembali duduk di sofaku tanpa jatuh dan mencium lantai. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendengar Dean memanggilku tapi aku terus menatapnya seolah aku takut kalau yang aku lihat ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau seseorang memasukkan halusinogen paling kuat ke dalam saluran udaraku dan aku sudah menghirupnya sepanjang malam dan efeknya baru terasa sekarang.Hei, setelah semua yang aku alami aku tidak akan mengabaikan pilihan terakhir itu.“Babe,” Panggilan itu akhirnya mengeluarkanku dari lubang yang aku ciptakan sendiri.Babe, huh? Aku menyukainya.Ketika aku akhirnya memperhatikannya, dia tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tampilkan dan rasa rindu yang melandaku seolah berubah menjadi gelombang tsunami yang berkali-
“Apa hanya aku yang merasa kalau semua ini terasa mengerikan. Coba biar aku ulang lagi.” Aku memutar mataku, mengingat kejadian yang sama persis pernah terjadi padaku. Cahaya matahari terbenam menembus jendela kacaku dan aku menikmati kehangatannya di sofa dengan popcorn dan Netflix di televisi.Ayahku tidak salah. The deja vu is real.“Kau ingin aku menjadi pasanganmu, lagi? Di pernikahan Albert pula?” Aku mendengar ayahku menghela napas. “Aku sudah terlalu tua untuk ini.”“Ayolah, dad. Ini tidak seperti kita melakukan ini setiap hari. Apa aku perlu mengingatkanmu kalau aku akan terlihat seperti daging segar di sana jika aku datang sendirian.” Aku tahu kalau trik yang sama tidak akan berhasil. Aku memutar otakku mencoba memikirkan strategi yang bisa membuat ayahku luluh dengan permintaanku, karena ini hanya lewat telepon aku tidak bisa memberikannya puppy eyes. Lalu ide bagus melintas. “Kau
LIMA TAHUN KEMUDIANLos AngelesPonselku berdering begitu aku memasuki elevator. Aku berniat untuk mengabaikannya ketika aku melihat siapa yang menelponku, tapi hingga aku sampai di lantai apartemenku Sarah belum akan menyerah sampai aku menjawabnya.“Hai, Sarah. Bagaimana keponakan kesayanganku?” Sapaku.“Some friend you are,” Balas Sarah dengan kesal. “Mentang mentang karirmu semakin menanjak kau jadi jarang menelponku dan ketika kau menjawab kau langsung menanyakan kabar Henry dan bukannya kabarku.”Aku tertawa sambil berusaha membuka pintu apartemenku. Sarah memang penuh dengan omong kosong, aku hanya sekali pernah tidak menjawab teleponnya karena aku berada ditengah-tengah set dan aku tidak sadar kalau aku meninggalkan teleponku ada di trailer sampai proses syutingnya selesai. Aku juga tidak bisa menolong diriku sendiri kalau Henry – anaknya yang sekarang sudah berumur 4 tahun – adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini.“Kau tahu aku lebih mencintainya daripada kau,” Balas
Pukul dua belas tepat.Aku berdiri di depan gerbang masuk taman, dekat dengan air mancur yang besar, merinding karena udara dingin yang menembus jaketku. Aku menendang kerikil di dekat kaki hanya karena aku ingin menghabiskan waktu. Namun, Luke memiliki cara yang berbeda untuk menghabiskan waktunya. Dia mengisi pistolnya dan mematikan pengamannya. Yeah, aku tentang pistol karena setengah bagian dari karirku adalah berakting menggunakan pistol. Perbedaannya adalah milikku tidak berisi peluru. Aku merinding melihat mendengar suara peluru memasuki pistolnya dan semakin takut lagi jika dia terpaksa menggunakannya.“Aku ingin bilang kalau aku berterima kasih padamu. Sungguh, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpamu.” Katanya setelah menyembunyikan pistolnya di balik punggungnya.“Apa senjata itu benar-benar diperlukan? Kau bisa mempercayai Dean.” Kataku menunjuk pada pistol yang dia sembunyikan.“Tidak ada salahnya selalu berhati
Sore harinya aku bertemu dengan Sarah di rumahnya, karena dia yang selalu mewajibkanku untuk mengunjunginya setiap kali aku pulang ke Florida. Seolah aku tidak pernah mengunjunginya. Ketika aku sampai di rumahnya, aku langsung masuk dan menyamankan diriku sendiri di sofa ruang tengahnya seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumanya. “Well, kurasa beberapa hal memang tidak pernah berubah.”Aku berbalik, mataku membelalak ketika aku melihat Sarah. Rambutnya sekarang berwarna platinum yang terang dengan guratan pink dan biru di sela-selanya.“Kau menyukainya?” Katanya, mengibaskan rambutnya. “Maksudku kau sudah mewarnai rambutmu menyerupai stripers, akan lebih adil kalau aku mengubah rambutku juga.”Aku tertawa, menggelengkan kepalaku. “Yeah, aku bisa melihat apa yang kau maksud. Dan ini, sangat cocok untukmu.”“Benarkan? Aku juga berpikir seperti itu.” Dia menaruh kopi ya
Tiba-tiba aku merasa ruangannya menjadi sunyi senyap ketika Dean berjalan memasuki café dan berjalan ke arahku. Aku melihatnya seperti pertama kali aku melihatnya, pria yang luar biasa seksi yang menyebalkan yang membuatku ingin memukul dan menciumnya secara bersamaan. Harapan muncul begitu saja setelah aku bicara dengan Xavier. Aku bukan remaja yang mementingkan ego atau gengsiku, jika adalah sedikit saja celah di hatinya untukku, aku akan memperjuangkannya. Aku sudah memutuskan kalau dia adalah satu-satunya untukku.“Kau terlihat berbeda,” Katanya, menatapku dari seberang meja.Aku mengangkat bahuku dan menyeruput minumanku, menolak untuk menyadari kaus the devil made me do it yang aku kenakan atau jeans robek yang melekat di kakiku dengan ketat atau makeupku yang tegas. Ini adalah penampilanku untuk menyamar di tengah-tengah keramaian, karena kacamata dan topi baseball tidak pernah benar-benar berhasil. Sejauh ini berpenampilan s
Cafénya sunyi dengan anak-anak sekolah sudah mulai libur untuk spring break, mereka yang biasanya mengunjungi area di sini semuanya sudah pergi untuk menikmati liburan mereka. Aku duduk di pojokan yang biasanya aku tempati jika jadwalku tidak begitu padat, menikmati suasana sambil meminum teh coklat mint yang hangat. Rasanya seperti peppermint yang segar, kaya akan rasa dan creamy secara bersamaan, sesuatu yang membuat Sarah meringis.Memikirkannya, aku jadi teringat saat terakhir kali aku dan Sarah kesini, dia masih mencoba menjodohkanku, good times. Aku menatap ke arah jam terdekat dan menghela napas. Mungkin Dean tidak akan dating. Aku bahkan tidak yakin apakah aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya semenjak telepon seminggu yang lalu, dan aku menghabiskan seluruh waktuku berkerja memikirkannya, yang membuatku banyak mendapatkan teriakan dari sutradaraku, mungkin lebih banyak dari apa yang aku dapatkan dala
Dua belas jam kemudian, aku duduk di depan televisi, wajahku terkubur di telapak tanganku, frustrasi, amarah, dan takut bergejolak di dalam perutku setelah aku kalah dengan diriku dan membuka isi amplop yang berisi flashdisk tentang apa yang Luke amati seminggu ini.Aku kewalahan dengan pikiranku sendiri. Aku berharap aku bisa mengabaikan ini, kalau setelah penculikan itu aku bisa kembali ke kehidupan lamaku sebelum aku datang ke Ellona dengan cepat dan tanpa rasa sakit – aku tidak memiliki niatan untuk berurusan dengan Dean atau krisis mentalnya lagi – tapi semua itu lebih mudah saat dikatakan saja dan bukannya benar-benar melakukannya. Deanlah yang tidak menginginkan aku dan aku tidak akan hidup di dalam bayangan kalau suatu hari dia akan menyadari kalau dia menginginkanku.Sudah jelas sekali kalau aku juga tidak mau berurusan dengan Vincent dan gerombolannya. Mereka membuatku merinding apalagi Xavier. Dia mengerikan, dan aku tidak ingin bertemu dengannya