Ada ketukan di pintuku sekitar jam sepuluh, aku baru saja selesai memakai makeup ku. Orgasme semalam benar-benar menaruh keceriaan di wajahku. Memikirkannya aku jadi teringat Dean - bayangan tentangnya menyentuh dirinya sendiri tadi malam, membayangkan dia meledak dalam ekstasi. Semua itu - terutama miliknya itu akan terpatri selamanya di pikiranku dan aku menemukan diriku sendiri berliur ketika aku hendak membuka pintu ... berhadapan langsung dengan ayahku.
Aku langsung menyingkirkan pemikiran kotorku dan mengeluarkan ekspresi polos dan senang pada ayahku.
"Hi, Dad," Kataku, memberinya senyuman yang tidak dia balas. Aku merasakan wajahku memanas saat dia berjalan tanpa berkata-kata melewatiku, parfum cologne nya yang familiar tercium olehku.
"Apa semua baik-baik saja?" Aku bertanya. Tidak bisa menghentikan nada ragu-ragu seperti anak lima tahun yang ketahuan mencuri di suaraku. Hanya Daniel Prince yang bisa membuatku seperti itu.
"Tidak, Cassandra," Balasnya lewat gigi yang terkatup, berdiri di tengah-tengah ruangan yang tiba-tiba terasa sempit. "Semuanya tidak baik-baik saja."
"Apa yang terjadi?"
Banyak hal berkelebatan di pikirannya, yang pertama adalah dia akhirnya mengetahui kalau ada pria dewasa yang memberikan orgasme pada putrinya beberapa tahun lalu. Aku tahu itu terdengar bodoh karena takut memikirkan reaksi ayahku pada ketertarikan seksual ku dengan Dean West. Dua-puluh-tiga itu yang tertera di passport ku, dan harusnya aku diperlakukan sesuai umurku. Sayangnya, ayahku tidak mendapat memonya.
"Kau berjanji kalau tidak ada rahasia di antara kau, aku dan Charlotte?" Aku menelen ludahku susah payah.
"Ya," Kataku lebih tepatnya berbisik.
"Lalu kenapa," Dia memulai, "kau tidak memberitahuku soal ini?"
Sebelum aku bisa berkedip, dia mendorong ponselnya ke wajahku dan aku menatap foto gaya vintage ku menggunakan gaun dari Zara, berpelukan dengan pria berambut pirang gelap menggunakan setelah jas hitam.
Aku menatap fotonya - yang merupakan lampiran email dari Charlotte - sebentar sebelum menatap tajam ayahku. "Apa masalahnya? Aku menggunakan pakaian kan?"
Kulit karamelnya berubah menjadi merah saat dia menatapku tajam kembali. "Jangan jadi sarkastik. Kau tahu bagaimana perasaanku tentang dunia model."
"Yeah, aku tahu tapi itu saat aku masih tujuh belas tahun dan tidak tahu apa-apa," Balasku. "Aku wanita dewasa dan aku tidak membutuhkan mu untuk mendikte hidupku lagi. Lagipula, ini hanya satu kali saja tapi kalau aku akan menjadikannya karir, aku tidak akan membutuhkan ijinmu untuk pilihanku."
"Kau ingin uang? Ya Tuhan, Cassandra, aku akan memberikannya. Apapun yang kau mau. Aku hanya tidak ingin kau melakukan ini." Dia mengetuk layar ponselnya untuk menjelaskan poinnya. "Kau lebih baik dari ini; lebih baik dari seluruh sistem kotor ini."
"Berhentilah khawatir kalau aku akan berakhir seperti Jessica," Kataku diam-diam, menempatkan tanganku pada lengannya. Ini semua selalu berasal dari ibu kandungku. "Baiklah, aku butuh uang," Aku akui. "Sekarang ini aku sedikit ... terpuruk."
Aku menarik napas. "Pemotretannya baru sebulan yang lalu dan aku belum mendapatkan tawaran lain tapi itu bukan karena pendapatmu yang memperbolehkanku berpose di depan kamera atau tidak," Aku memberinya tatapan gelap ketika dia membuka mulutnya. "Aku tidak ingin menjadi model. Aku tidak tahu apa yang aku mau, tapi Dad, kau harus membiarkan ku mencari tahu sendiri. Kau tidak bisa masuk ke kamar ku mendikte setiap kali aku melakukan sesuatu yang kau tidak setujui."
Dia mengeluarkan hembusan napas. "Kurasa begitu. Charlotte mengirimkan foto ini karena dia berpikir aku akan bangga padamu. Kau tahu kan kenapa aku tidak bisa?"
Aku mengangguk, mencoba untuk menurunkan emosiku. "Tentu saja. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau terus memperlakukan ku seperti anak-anak. Bahkan dulu Kevin bisa melakukan apapun yang dia mau padahal dia baru enam belas tahun!"
"Kau selalu jadi anak gadisku," Adalah jawaban standarnya, dan dia menarikku ke pelukan besarnya yang selalu mencekiku. "I love you, sugarbear."
"Tidak...bisa...bernapas..." Aku susah payah bernapas sambil menepuk punggungnya.
Sambil tertawa, dia melepasku dan aku langsung menarik napas dengan rakus. Ketukan di pintuku membuat seluruh udara di tubuhku menghilang lagi saat ayahku menjawabnya.
"Dean-o!" Sapa ayahku, menghalangi pandanganku akan Dean saat mereka berjabat tangan.
"Bagaimana tidurmu, Dan?" Suara lembut Dean membuatku perutku mengencang. Ini sedikit membingungkan mengingat mereka memiliki nama panggilan untuk satu sama lain.
"Kau tahu aku terbiasa begadang, jadi, hell yeah, tidurku nyenyak." Ayahku membuatnya begitu sepele tentang bagaimana dia lebih sering kemah dengan crew filmnya ketika sedang di jalan.
"Jadi apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku akan mengajak Cassandra melihat-lihat kota," Dia memberitahu, dan ayahku akhirnya menyingkir.
"Yeah, hanya jalan-jalan di kota," Aku ikut berkata dengan cepat.
Dean menyeringai padaku sebelum mengangguk. Jika saja aku bisa mengatakan kalau aku tidak terpengaruh olehnya. Hari ini, dua mengenakan baju wol biru tua yang tidak dikancing dan lengannya yang digulung menunjukkan lengannya yang kuat, kaus v neck hitam, dan jeans, dia benar-benar memanjakan mataku. Jika tidak ada ayahku, aku pasti sudah berliur.
"Cassandra?" Ayahku berkata, melihatku seksama.
"Uh, apa?" Aku berkedip beberapa kali.
"Kau bersenang-senanglah," Katanya pelan-pelan. "Sedangkan aku akan memberi pengacara itu sedikit pemikiranku."
"Pengacara apa?" Aku bertanya.
"Dean-o memberitahuku kalau Constantine Moratti juga datang ke sini, kau tahu aku berusaha mendapatkan wawancara dengannya tapi dia terlalu sombong untuk menanggapiku," Kata ayahku berapi-api yang sebenarnya sedikit mengkhawatirkan. "Atau mungkin karena dia tidak ingin mengakui kalau dia juga mewakili keluarga mafia di Chicago, apapun itu, aku akan menemuinya."
"Dad, kau sudah berjanji - " Kataku terpotong olehnya.
"Aku berjanji untuk bertingkat baik pada ayahnya Albert, bukan Moratti." Katanya sebelum pergi meninggalkan kamarku.
"Tapi, Dad -"
"Have fun," Katanya diiringi suara pintu yang tertutup. Sekarang aku benar-benar khawatir.
"Pria yang baik," Katanya dengan tulus.
"Jika dia benar-benar membuat masalah aku benar-benar akan mencekiknya sendiri." Kataku masih menatap pintu yang kini tertutup.
"Jangan terlalu keras padanya," Dia berkata padaku. Dia berjalan mendekat padaku, menendang pintunya tertutup dengan salah satu boots kulit berukuran dua belasnya. "Sekarang, beritahu aku, apa yang sedang kau gunakan, pussycat?"
Aku melompat, terkejut. "Apa maksudmu?"
Aku otomatis melihat ke sweater faded purple ku dan skinny jeans abu-abu yang ku kenakan. Dipasangkan dengan sepatu boots favoritku, kurasa aku tidak terlihat buruk. Lagipula, terkutuklah aku jika aku meminta pujian dari pria manapun. "Apa yang salah dengan yang ku pakai?"
"Pertama" - Dia berjalan ke arahku - "bagaimana aku bisa menyentuh mu jika ini" - tangannya menangkup dadaku lewat bahan sweater ku yang tebal - "menghalangi ku."
Aku memukul tangannya dengan keras. "How dare you?"
Matanya yang hijau menatap ku dengan jenaka. "Apa kita akan bertengkar tentang ini lagi?"
Aku berputar dan mengambil tasku sebelum menghadapinya lagi. "Let's just go. Aku tidak mau orang lain melihatku pergi denganmu." Aku berusaha berjalan melewatinya tapi dia lebih cepat. Sebelum aku mengetahuinya, kepalaku di tarik ke belakang dan mulutnya menabrak milikku.
Ditengah keterkejutanku, bibirku terpisah dan lidah Dean mengambil kesempatannya untuk masuk ke dalam. Tangannya erat menggenggam pinggang ku, memastikan kalau aku tidak kemana-mana, yang mana tidak perlu karena aku tidak ingin lari. Tidak ketika lidahnya di dalam mulutku membuatku basah di bawah sana.
Aku mendesah, memeluknya seperti koala, tanpa malu menggesekkan diriku padanya seperti kucing julukannya padaku. Jika dia mau meniduriku sekarang, aku tidak akan menolak.
Tapi dia menjauh dari, perlahan menghisap bibir bawahku saat dia melakukannya.
"Aku tidak sabar untuk memasuki mu." Katanya saat menghembuskan napas. Mata indahnya menari. Dia menjalankan ibu jarinya di sepanjang bibir bawahku. "You look like you want to be fu*ked. Right ... now."
Benarkah? Mungkin ya. Itu ada hubungannya dengan mulutnya yang kotor. Tidak ada pria yang pernah berbicara seperti itu padaku, seperti aku adalah bintang porno dan dia mucikariku. Aku begitu basah untuknya.
Saat kita akhirnya keluar dari suite ku, aku melihat pria berambut pirang gelap dengan mata auburn nya menatap Dean dengan jenaka dan senyumnya begitu lebar hingga ke telinganya. Dia berhenti tepat satu meter di depannya. Setelan abu-abunya membungkus tubuh berototnya dengan sempurna dan jika aku harus membandingkannya dengan Dean mereka benar-benar sama, walaupun dari perspektif ku Dean yang paling seksi, tapi itu hanyalah pendapat bias dari Cassandra yang sedang dalam masa heat.
"Aku berpikir kenapa kau menjauhiku akhir-akhir ini, tapi kurasa aku sudah tahu jawabannya." Pria itu berkata sambil menatapku dari atas ke bawah sebelum menatap tepat di mataku.
"Constantine Moratti, at you service." Katanya mengulurkan tangannya kepadaku dan aku menjabatnya dengan ragu-ragu. Tapi saat aku melihatnya mencium punggung tangan ku kemudian saat aku beralih untuk melihat Dean dia terlihat tidak senang. Kurasa aku akan menikmati ini.
"Cassandra Prince, dan aku bisa memanggil ku Cass." Kataku padanya dengan malu-malu yang ku buat-buat tanpa memedulikan Dean.
"No way, kau yang ada TV show itu?" Katanya terkaget-kaget.
"Senang bisa bertemu dengan penggemar."
"Tidak masalah, terutama kalau kau terlihat lebih cantik aslinya dan adegan bathtub itu. Bagaimana kalau makan malam denganku nanti?" Katanya yang dengan cepat dibalas oleh Dean yang geram.
"Back off, Moratti." Katanya sambil memeluk pinggang ku dengan erat.
Dia mendengus sambil memutar matanya tapi aku tidak melewatkan tatapan gelinya melihat Dean begitu posesif padaku yang menurutku sangat seksi dan aku sangat basah untuknya. "Easy tiger. Kau tahu aku hanya bercanda,"
"Kalau kau berubah pikiran, aku ada di suite paling pojok." Dia berbisik padaku cukup keras untuk Dean mendengarnya tapi sebelum Dean bisa memarahinya dia langsung pergi dan menghilang di balik dinding.
"Apa?" Kataku saat dia menatapku sambil memicingkan matanya.
"Kau menyukainya kan?" Katanya seperti anak kecil yang direbut mainan favoritnya. Aku memutar mataku menanggapinya dan hendak berjalan tapi dia menghentikanku. "Jawab dulu,"
"Ya, aku memang menyukainya. Lagipula, milikmu itu kecil." Kataku menatap tepat di resleting jeansnya.
*~*
Dean masih memberengut.
Aku ada di kursi belakang limonya, suara Led Zeppelin mengalun samar lewat speaker, pemandangan bukitnya terlihat buram dari dalam - dan orang terkaya di kota ini duduk di pojokkan sebagai tindakan jelas untuk menjauhkan dirinya dariku. Itu akan jadi sangat lucu jika aku tidak begitu marah akan ketidakdewasaannya. Beneran, saat dia merenggut seperti itu, beberapa garis halus di wajahnya menjadi semakin jelas yang membuatnya terlihat lebih tua; terlalu tua untuk sebal karena komenku tentang ukurannya.
"Aku suka lagu ini," Kataku memulai percakapan. Dean masih menatap keluar jendela.
Merasa keki, aku akhirnya meluapkan amarahku, "Kau benar-benar childish! Putar balik saja jika kau mau terus-terus begitu."
"Kau tidak akan kemana-mana," Dia bergumam.
Aku menghembuskan napas dengan penyesalan. Ketika aku membuat komentar bodoh itu, aku hanya ingin mengalihkannya dari kemarahan bodohnya pada Constantine, kukira dia akan membalas dengan sarkasmenya dan tidak menganggapku serius. Tapi tidak, dia merengut. Aku tidak menyukai Dean yang Merengut. Dia tidak menyenangkan.
"Kau tahu milikmu tidak kecil. Aku tahu itu tidak kecil dan aku tidak percaya kau benar-benar terpengaruh dengan ucapan bodohku."
Kali ini dia menatapku saat dia bertanya, "Kenapa kau melakukannya?"
Matanya menatapku tajam membuatku kehabisan kata-kata dalam sekejap. "Aku hanya berpikir kau terlalu self-centered dan kau sudah tiga satu, yang mana seharusnya membuatmu semakin bijaksana. Lagipula, aku hanya ingin menyakitimu."
"Ayah yang tidak peduli dengan anaknya bukanlah seorang ayah. He's an a-hole." Katanya dengan bijaksana, bahkan tatapannya begitu fokus. "Dan aku yang bertambah tua bukan berarti aku tambah bijaksana."
Dia memalingkan pandangannya. "I'm an idiot."
Aku menggigit bibir bawah ku. "Aku minta maaf. Itu tadi jahat. Apa yang bisa kulakukan?"
Dia kembali menatapku dan menaikkan alisnya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."Aku melihat dengan horor - dan sedikit antisipasi - saat dia membuat sabuk nya dan menurunkan reseting jeansnya.
"Aku tidak akan menghisapmu," Aku mendesis, dengan gugup menatap kaca hitam yang memisahkan backseat dengan supir. "Kau tidak -"
Dia memutar matanya. "Aku tidak ingat memintamu melakukannya." Miliknya melompat keluar sebesar yang kuingat tadi malam. "Minta maaflah padanya, bukan padaku."
Aku tidak bisa menahan tawa yang keluar dari bibirku. "Apa?"
"Dia sangat sensitif," Lanjutnya, mengusap puncaknya, "jadi tawa bukan awalan yang bagus, pussycat."
Sial, kenapa terasa enak sekali untuk menjadi pussycat nya?
"Kau benar," Aku mengakui, mataku ada di Dean Junior.
"Aku minta maaf," Kataku dengan khidmat.
"Bagus. Sekarang bilang padanya kalau dia adalah yang terbesar yang pernah kau lihat." Aku melihatnya mengusap di sepanjang ereksinya yang membuatku bergairah. Tidak ada cara lain untuk mengatakannya.
"Kau adalah yang terbesar yang pernah kulihat," Aku bernapas - dengan tulus, kalau boleh ku tambahkan.
"Katakan padanya kau menjadi basah saat melihatnya."
Aku merapatkan kedua pahaku. "Aku menjadi basah melihatmu. Aku memang basah," Aku mengakui, mendesah saat melihat cairan yang keluar dari kepala miliknya yang besar.
Dia mengerang, ibu jarinya menangkap pre-cum nya dan memijatnya. "Look at me now, kitten." Suaranya serak, dan aku melakukan apa yang dia katakan. Matanya berkabut, iris hijaunya yang menggelap terang-terangan menelanjangiku. "Katakan padanya kau tidak sabar untuk bercinta dengannya; tidak sabar untuk memilikinya terkubur dalammu."
Itu terdengar sangat baik mengingat dirinya seperti apa. Aku mengeluarkan rengekan putus asa. "Tidak sabar untuk bercinta denganmu... Ingin kau memasukiku..."
Dean menyandarkan punggungnya di kursi, bergetar saat dia menggenggam dirinya sendiri. "Nama siapa yang akan kau teriakan, pussycat? Siapa?" Dia meminta, aksennya yang tipis membuat kata-katanya dua kali lebih seksi.
"Namamu," Aku berbisik, berharap aku mengenakan pakaian yang lebih mudah dilepas. "Namamu."
"Katakan," Dia meraung, memijat bagian bawah ereksinya. Aku merasa kalau dia mencekikku; semua udara di paru-paruku hilang. "Katakan namaku."
"Dean," Kataku dengan suara parau, menjaga kedua kakiku untuk tetap berdekatan. Denyutan yang ada di antara mereka menjadi sangat tak tertahankan.
*~*
Sisa perjalanan di mobil menjadi kesunyian yang berbeda.
Aku terlalu sibuk berdebat dengan pikiranku tentang apakah akan jadi lebih baik untuk bercinta dengan Dean dan mengeluarkannya dari sistém ku. Maksudku, kita sudah pernah melakukannya dulu. Walaupun, dalam gelap, kita berpikir tentang orang lain dan aku baru saja keluar dari sekolah - tapi itu tidak mengubah fakta kalau dia yang bertanggung jawab atas orgasme satu-satunya yang kupunya dalam kehidupan cinta ku yang pendek dan menyedihkan. Dia tidak perlu tahu detail itu tapi aku tahu; akan selalu tahu dan ketika aku melihatnya orgasme hanya karena aku mengatakan namanya tadi, that's the soul crusher.
"Kita sudah sampai."
Dean berkata dengan suara baritonnya yang lembut mengangkatku dari lamunanku. Aku bahkan tidak menyadari limonya sudah terparkir di depan toko cinderamata dan pemandangannya berubah menjadi hutan bangunan, bergaya enam puluhan dengan toko-toko klasik dan motel. Ełlona terlihat berasal dari jaman dulu di beberapa tempat tapi ibukota nya, cukup modern. Albert pernah berkata kalau desa-desa kecillah yang membuat ibukotanya. Kita tentu saja berada di area yang belum pernah mendengar Microsoft dan microwave.
"Dimana sebenarnya kita?" Aku bertanya, terkejut aku bisa menatap matanya. Dia memberiku salah satu senyum yang membuatnya terlihat seperti anak kecil. "Kau harus keluar lebih dulu."
Pintu di sisiku dibuka. Menggelengkan kepalaku, aku keluar ke angin pagi yang dingin, bersyukur karena aku mengenakan sweater.
Limonya terparkir di tengah-tengah jalan sempit; jalan batu yang mungkin hanya digunakan untuk berjalan kaki sehari-harinya. Anak kecil bermain di luar, tawa mereka menggema di udara. Bangunan besar yang sebagian besar terbuat dari bebatuan berdiri di sepanjang jalan seperti blok apartemen. Beberapa wanita sedang menjemur pakaiannya di balkoni, dengan penasaran mengintip ke bawah ke kendaraan putih mewah di jalan.
Saat itulah aku tahu kalau Dean sudah berdiri di sampingku, menebak reaksiku. "Ini indah," Aku memberitahunya. "Dimana kita?"
"Matilde," Balasnya, menggenggam tanganku. Ini desa yang paling dekat dengan mansion dan yang terbesar di ibukota."
"Kau sering datang ke sini?" Aku bertanya, menghiraukan caranya yang perlahan mengelus bagian dalam pergelangan tanganku dengan jarinya.
Dia menyeringai, mengeratkan genggamannya. "Apa kau mulai menyukaiku, Miss Prince?"
"You wish."
"Memang," Katanya, suaranya berubah serius. Membersihkan tenggorokannya, dia berbalik pada supirnya dan berbicara dengan bahasa lain, lalu supirnya kembali ke limo dan sebelum aku menyadari, mobilnya melaju melewati kita, dan menghilang di jalanan.
Aku tidak khawatir dengan terdampar di tempat asing tanpa tahu jalan; melainkan aku yang khawatir terdampar dengan Dean.
Aku menarik tanganku darinya dan berpura-pura membenarkan bagian bawah sweater ku. "Aku harus kembali sebelum siang."
"Benarkah?" Suaranya kasual namun menyebalkan saat dia berjalan lebih dulu. "Tetap dekat denganku, Prince."
Dean mengajakku berjalan di sepanjang jalan, anak-anak bermain di sepanjang jalan, ada beberapa kendaraan kecil lewat membawa tumpukan rumput yang terlihat seperti gandum, lalu beberapa wanita bersendau gurau di toko sayuran. Ini mengagumkan. Lalu setelahnya, dia berbelok ke jalan sempit yang berbeda.
Kita berbelok di pojokan, mendapati jalan yang sepi, bangunan-bangunan bobroknya tidak cocok untuk ditinggali. Mereka bisa roboh sewaktu-waktu dan jalanannya penuh dengan kotoran, yang menyebabkan bau yang tidak menyenangkan. Dimana ada tempat sampah, tikus juga ada di sana dan saat aku memikirkannya, makluk kecil abu-abu lari melewati kakiku.
"Dean?" Mungkin dia salah belok.
Dia meraih tanganku, menjagaku di belakangnya saat dia berjalan menuju blok apartemen paling belakang di jalan berbatu. Di dalamnya lembab; gelap dan lembab. Aku merasa berada di Chernobyl namun lebih gelap dan menyeramkan.
"Aku tumbuh besar di sini," Katanya, suaranya lembut. Dia membuat pintu kayu salah satu flat yang ada di bawah tangga. "Tepatnya di ruangan ini."
Ruangannya begitu kecil. Cahaya yang menembus jendela tanpa kacanya menunjukkan kalau tidak ada banyak ruangan untuk berbelok, apa lagi -
"Ibuku seorang penjahat - bukan pelacur seperti yang banyak orang percayai, tapi dia adalah wanita paling cantik yang pernah ku lihat." Dean melepaskanku, melangkahi genangan air untuk menyeberangi ruangan.
"Saat itu - kakek Albert - suka bermain wanita tapi saat dia bertemu ibuku, dia menjanjikannya seluruh dunia. Tapi yang dia berikan hanya bayi yang tidak bisa dia support." Aku mengikutinya ke jendela, menunggunya untuk melanjutkan ceritanya.
"Bagian yang lucu adalah kalau dia benar-benar mencintai ibuku tapi pada akhirnya, saat ibuku meninggal, dia hanyalah salah satu mantannya." Dia menyimpan tangannya di saku jeansnya.
"Jadi saat aku delapan tahun, dia mengetahui kalau aku adalah anaknya dia mengajak ku untuk hidup dengannya. Tentu saja, pada saat itu, kakak tiriku sudah dewasa dan percaya diri kalau dia yang akan memegang seluruh warisannya, yang mana membuatnya menerimaku. Faktanya, dialah yang membesarkanku."
Dia menoleh untuk melihatku. "Kau paham kan kenapa aku tidak bisa membencinya walaupun dia memang brengsek?"
Aku menyapu rambut yang menghalangi dahinya. "Aku paham,"
Dia menggenggam pergelangan tanganku dan menciumnya lalu dia berbisik. "Aku tidak tahu kenapa aku mengajakmu kesini. Bahkan aku tidak pernah mengajak Misha."
"Kurasa itu membuatku spesial," Aku berkata ringan, merinding saat ciuman kecilnya menjadi lebih intens.
"Kau memang spesial, hächen." Dia menarikku padanya. "Sekarang ciuman aku seperti kau menginginkannya."
Lututku tiba-tiba terasa lumpuh. Beneran, pria ini mematikan. Saat aku tidak segera tunduk - hanya karena aku perlu menguasai diriku sendiri - dia mengerang penuh ancaman, menundukkan kepalanya dan sedikit membungkuk untuk mengakomodasi perbedaan tinggi kita. Mulutnya menyerang ku dengan dengan keganasan yang mengirim panas ke atas dan bawah tubuhku, lalu memusat di perutku. Aku merasakan ereksinya ditekan ke perut bagian bawahku.
Meremas pantatku dengan kedua tangannya. Dia berputar, menekanku ke dinding yang berjamur. "Aku akan berada di sini segera," Katanya dengan kasar, memukul bagian kanan pantatku. Aku menjerit. "Kau belum pernah disentuh di bagian ini kan?"
"Tidak," Kataku di antara napasku yang terengah-engah.
Perlahan, Dean meraih di antara kita sebelum menarik resleting celanaku turun, lengannya melekat di pinggangku saat dia memasukkan dua jarinya ke milikku yang basah.
Aku menyadarkan diriku padanya saat dia mengeksplorasi bagian dalamku. "That's right, myskha. Aku sudah menunggu lama dan malam ini, aku akan memilikimu."
TO BE CONTINUED
Makan malam benar-benar mengerikan.Tentu saja, ada hal yang lebih buruk sedang terjadi di dunia daripada sahabatku yang memberikanku silent treatment tanpa alasan apapun, tunangan pujaan hatiku dulu memberiku tatapan diam-diam selama main course dan dewa Yunani duduk di sampingku dengan jemari paling ajaib.Aku kebetulan yang paling terlambat datang ke ruang makan dan kursi yang kosong tinggal satu, itulah kenapa aku duduk bersandingan dengan Dean, jemarinya merayap naik dari ujung gaunku di bawah meja saat dia dengan polosnya berbicara dengan Constantine yang ada di kanannya.Aku tidak bisa makan; aku bahkan tidak bisa berpikir. Tidak saat dia baru saja tahu kalau aku tidak menggunakan celana dalam.Membuka pahaku untuknya, aku merasakan jemarinya berhenti saat dia tidak menemukan penghalang apapun di antara dua kakiku. Kepalaku pusing karena rangsangannya, aku hampir saja menangis lega ketika d
"Sial, apa yang kau pikirkan? Bagaimana dengan STD? Apa aku satu-satunya orang yang masih waras di sini?" Dia terlihat terkejut. "Kita periksa setiap bulan. Sebenarnya, aku sembila-puluh-sembilan persen yakin kalau ini anaknya Sam." Aku memutar mataku padanya. "Oh, ya, kurasa itu akan membuat hal yang lainnya tak berarti." "Lihat? Karena inilah aku tidak ingin memberitahumu apapun. Kau selalu menghakimi ku!" "Realistislah sedikit, Sarah. Hanya sedetik saja, jangan menganggap kalau kau hidup di dunia fantasi dimana setiap orang telanjang dan bercinta dengan siapapun yang mereka mau," Aku mencacinya, merasakan amarah merayap di sekujur tubuhku karena ketidakdewasaannya. "Ini bayi - yang tidak kau yakini milik suamimu." "Bisakah kita melihat Netflix dan melupakan percakapan ini?" Dia membujuk, memberiku tatapan puppy-dog nya. Aku hampir saja menyerah melawan ta
Setelah dipikir-pikir hari pernikahannya datang begitu cepat, aku masih merasa baru kemarin aku memegang tiket pesawat dan selembar undangan dan mengobrak-abrik isi otakku untuk membuat alasan yang bagus kenapa aku tidak bisa datang. Fakta kalau aku dan Vanya tidak begitu dekat yang mana membuatku tidak memiliki andil apapun di pernikahan ini kecuali hanya hadir sebagai tamu. Jangan salah aku tidak keberatan dengan itu, pada akhirnya, ini adalah pernikahan orang terkaya di benua Eropa dan aku tidak harus melakukan apapun kecuali muncul dan bersenang-senang. Lagipula, aku sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan ini dan pergi secepatnya dan yang paling utama, melupakan ini semua."Kau baik-baik saja, Cass?" Sarah mengintip dari pintu kamarku, sudah siap dengan jumpsuit hitam yang diaksen dengan ikat pinggang emas. Sangat bukan dirinya, tapi itu bukan masalahku."Kenapa?" Aku bertanya, walaupun aku sudah tahu jawaban yang sebenarnya. Aku
Upacara pernikahan dan resepsinya diadakan di dalam mansion dan halaman belakang. Hari ini, mataharinya bersinar terang untuk Ełlona yang beku. Ini adalah pertanda untuk pernikahan Albert dan Vanya yang akan selalu dikenang. Ayah Albert dan istrinya (yang mungkin usianya lebih mendekati Albert daripada ayah) berperilaku baik, lebih seperti sunyi jika menurut pendapatku, mungkin karena mereka tiba tengah malam dan mungkin juga karena pernikahannya dibatalkan.Aku kebanyakan melamun saat Albert membuat pengumuman kecilnya lalu dia pergi meninggalkan mansion dan seluruh tamu yang hadir. Jika aku mengingat dengan benar percakapan kami di suite ku, aku bertanya apa yang dia inginkan dan dia tidak menjawab, kupikir dia tidak akan melakukan apa-apa sampai dia berkata, "He's gone."Saat dia mengatakan itu aku tahu dia mulai menyadarinya, hell, aku menyadarinya sejak dia mulai menangis. Albert langsung beranjak pergi setelah itu d
Cukup luar biasa sebenarnya melihat Albert Sr menepati janjinya dan tetap mengikuti kemauan ayahku untukberbicara. Hanya Tuhan yang tahu apa yang pria itu rencanakan. Melangkah keluar dari mansion seperti kereta yang rusak, aku memutuskan ingin mengambil beberapa foto sambil berjalan-jalan. Salju tidak turun sejak semalam dan matahari bersinar cerah, jadi kupikir, kenapa tidak?Setengah jalan dari hamparan rumput hijau, ponselku berdering dan aku takut untuk menjawabnya. Aku sedang mengabaikan telepon Sarah yang tidak ada hentinya sejak dia dan rombongan tamu pulang kemarin. Aku tahu aksiku mengabaikannya tidak akan bertahan selamanya.Jadi aku bersyukur saat aku melihat nama kakakku di layarku."Apa sih yang salah dengan teleponmu?" Kataku berkata dengan kesal ke teling
Baru setelah tengah malam Dean akhirnya terlelap tidur. Aku melepaskan diriku dari lengan dan kakinya, merangkak turun dari ranjangnya dan menemukan gaun tidur ku di karpet. Dia membuat erangan lembut saat protes dalam tidurnya, dia mencoba mencariku tapi hanya menemukan udara. Aku meraih bantal dan menyisipkannya di lengannya, dia dengan cepat memeluk itu ke dadanya."Apa yang kau lakukan padaku?" Aku berbisik, sebelum perlahan menjauh dari kasur untuk memastikan dia tidak bergerak lagi.Udara di kamarnya penuh dengan bau seks lambat dan sempurna yang kita miliki tapi bukan itu yang membuatku mual. Semua sendi dan ototku pegal dari aktivitas ranjang yang berlebihan tapi bukan itu sebab kenapa perutku terasa diganjal dengan pisau.Kenapa dia harus mengatakannya? Pikirku, ada percikan amarah yang menyala di dalamku.Aku menghidupkan lampu di pojok baca yang ada di depan layar datar yang digant
"Terima kasih, Dean," Kataku, melihat cara alisnya mengerut, seolah dia tahu aku akan mengucapkan sesuatu yang tidak dia sukai. Yang mana tepat sekali."Untuk apa?"Aku mengambil gaunku dan memakai seanggun yang ku bisa, duduk dengan kedua kakiku terbuka dengan kaku. "Untuk berkata jujur padaku. Aku membutuhkannya. Kau adalah pria yang baik, dan aku bersyukur karena itu.""Apa yang kau bicarakan?" Dia berkata menangkup daguku dengan tangannya dan membuat ku menatapnya. "Apa yang sedang kau bicarakan?""Aku selalu bermimpi untuk bersama dengan pria yang mapan, aku punya bucket list of life yang dibenci Sarah, sama seperti kau yang selalu bermimpi untuk bercinta dengan gadis yang kau idolakan dan kau jadikan standar pasangan karena suaraku bagus, kurasa.""Jangan mengejekku," Dia menggeram, mendekatkan wajah marahnya padaku. Dia mengubah raut wajahnya menjadi lapisan topeng den
Aku bangun sekitar pukul enam pagi, untuk sejenak aku bingung dengan keberadaanku, sampai aku melihat matahari mengintip dari langit lewat jendela kaca yang ada di depanku dan mengingat kalau ayahku benar-benar menyeretku ke rumahnya agar kita semua bisa duduk dan mengadakan 'makan malam keluarga'. Aku mengerang pada bantal yang sangat nyaman yang penuh air liurku sebelum aku mengambil ponselku, berharap ada sesuatu yang muncul agar aku bisa menghindari omelan ayahku, tapi masih seperti kemarin, tidak ada. Kosong. Nada. Aku mulai berpikir kalau karirku di Hollywood berakhir di sini. Aku memutar mataku sebelum aku menaruh ponselku, memutuskan kalau ini waktu terbaik untuk olahraga sebentar sebelum mandi dan sarapan dengan setan. Aku dengan cepat berganti pakaian dengan sepasang baju olahraga dan sepatu lari lamaku sebelum berjalan ke treadmill yang ada di sudut kamar lamaku. Aku membangun istana kecil ku sendiri
“Apa aku sudah bilang padamu kalau aku akan menikmati waktuku membuka gaun ini nanti?” Dean berbisik di telingaku saat kita berdansa dengan iringan “perfect” dari Ed Sheeran. Setelah upacara ikrar janji selesai, atrium dari Pazzo’s telah diubah menjadi surga romantis dengan lampu-lampu berkilauan, dimana kita semua memakan makanan terbaik dan wine teratas, dan sekarang aku berdansa dengan pacarku di lantai dansa.Aku tersenyum di samping pipinya. “Apa itu karena kau menyukai apa yang aku pakai atau karena kau membencinya?”“Aku tidak akan pernah bisa membenci apapun yang kau pakai, apalagi kalau kau tidak memakai apapun. Percaya padaku.”Klasik Dean. Aku memakai gaun a-line berwarna biru langit dengan garis leher yang rendah, atasan korsetku disulam dengan kristal dan payet yang dengan alami memudar ke rok tulle yang memiliki celah paha yang tinggi.Diseberang lantai dansa, aku melihat pasangan yang baru saja menikah berdansa dan tersenyum, tidak mempedulikan fakta kalau Alby adalah
Waktu terasa aneh setelah itu. Beberapa menit setelah Dean muncul di depan pintuku waktu terasa terus berjalan maju sementara aku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa kembali duduk di sofaku tanpa jatuh dan mencium lantai. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendengar Dean memanggilku tapi aku terus menatapnya seolah aku takut kalau yang aku lihat ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau seseorang memasukkan halusinogen paling kuat ke dalam saluran udaraku dan aku sudah menghirupnya sepanjang malam dan efeknya baru terasa sekarang.Hei, setelah semua yang aku alami aku tidak akan mengabaikan pilihan terakhir itu.“Babe,” Panggilan itu akhirnya mengeluarkanku dari lubang yang aku ciptakan sendiri.Babe, huh? Aku menyukainya.Ketika aku akhirnya memperhatikannya, dia tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tampilkan dan rasa rindu yang melandaku seolah berubah menjadi gelombang tsunami yang berkali-
“Apa hanya aku yang merasa kalau semua ini terasa mengerikan. Coba biar aku ulang lagi.” Aku memutar mataku, mengingat kejadian yang sama persis pernah terjadi padaku. Cahaya matahari terbenam menembus jendela kacaku dan aku menikmati kehangatannya di sofa dengan popcorn dan Netflix di televisi.Ayahku tidak salah. The deja vu is real.“Kau ingin aku menjadi pasanganmu, lagi? Di pernikahan Albert pula?” Aku mendengar ayahku menghela napas. “Aku sudah terlalu tua untuk ini.”“Ayolah, dad. Ini tidak seperti kita melakukan ini setiap hari. Apa aku perlu mengingatkanmu kalau aku akan terlihat seperti daging segar di sana jika aku datang sendirian.” Aku tahu kalau trik yang sama tidak akan berhasil. Aku memutar otakku mencoba memikirkan strategi yang bisa membuat ayahku luluh dengan permintaanku, karena ini hanya lewat telepon aku tidak bisa memberikannya puppy eyes. Lalu ide bagus melintas. “Kau
LIMA TAHUN KEMUDIANLos AngelesPonselku berdering begitu aku memasuki elevator. Aku berniat untuk mengabaikannya ketika aku melihat siapa yang menelponku, tapi hingga aku sampai di lantai apartemenku Sarah belum akan menyerah sampai aku menjawabnya.“Hai, Sarah. Bagaimana keponakan kesayanganku?” Sapaku.“Some friend you are,” Balas Sarah dengan kesal. “Mentang mentang karirmu semakin menanjak kau jadi jarang menelponku dan ketika kau menjawab kau langsung menanyakan kabar Henry dan bukannya kabarku.”Aku tertawa sambil berusaha membuka pintu apartemenku. Sarah memang penuh dengan omong kosong, aku hanya sekali pernah tidak menjawab teleponnya karena aku berada ditengah-tengah set dan aku tidak sadar kalau aku meninggalkan teleponku ada di trailer sampai proses syutingnya selesai. Aku juga tidak bisa menolong diriku sendiri kalau Henry – anaknya yang sekarang sudah berumur 4 tahun – adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini.“Kau tahu aku lebih mencintainya daripada kau,” Balas
Pukul dua belas tepat.Aku berdiri di depan gerbang masuk taman, dekat dengan air mancur yang besar, merinding karena udara dingin yang menembus jaketku. Aku menendang kerikil di dekat kaki hanya karena aku ingin menghabiskan waktu. Namun, Luke memiliki cara yang berbeda untuk menghabiskan waktunya. Dia mengisi pistolnya dan mematikan pengamannya. Yeah, aku tentang pistol karena setengah bagian dari karirku adalah berakting menggunakan pistol. Perbedaannya adalah milikku tidak berisi peluru. Aku merinding melihat mendengar suara peluru memasuki pistolnya dan semakin takut lagi jika dia terpaksa menggunakannya.“Aku ingin bilang kalau aku berterima kasih padamu. Sungguh, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpamu.” Katanya setelah menyembunyikan pistolnya di balik punggungnya.“Apa senjata itu benar-benar diperlukan? Kau bisa mempercayai Dean.” Kataku menunjuk pada pistol yang dia sembunyikan.“Tidak ada salahnya selalu berhati
Sore harinya aku bertemu dengan Sarah di rumahnya, karena dia yang selalu mewajibkanku untuk mengunjunginya setiap kali aku pulang ke Florida. Seolah aku tidak pernah mengunjunginya. Ketika aku sampai di rumahnya, aku langsung masuk dan menyamankan diriku sendiri di sofa ruang tengahnya seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumanya. “Well, kurasa beberapa hal memang tidak pernah berubah.”Aku berbalik, mataku membelalak ketika aku melihat Sarah. Rambutnya sekarang berwarna platinum yang terang dengan guratan pink dan biru di sela-selanya.“Kau menyukainya?” Katanya, mengibaskan rambutnya. “Maksudku kau sudah mewarnai rambutmu menyerupai stripers, akan lebih adil kalau aku mengubah rambutku juga.”Aku tertawa, menggelengkan kepalaku. “Yeah, aku bisa melihat apa yang kau maksud. Dan ini, sangat cocok untukmu.”“Benarkan? Aku juga berpikir seperti itu.” Dia menaruh kopi ya
Tiba-tiba aku merasa ruangannya menjadi sunyi senyap ketika Dean berjalan memasuki café dan berjalan ke arahku. Aku melihatnya seperti pertama kali aku melihatnya, pria yang luar biasa seksi yang menyebalkan yang membuatku ingin memukul dan menciumnya secara bersamaan. Harapan muncul begitu saja setelah aku bicara dengan Xavier. Aku bukan remaja yang mementingkan ego atau gengsiku, jika adalah sedikit saja celah di hatinya untukku, aku akan memperjuangkannya. Aku sudah memutuskan kalau dia adalah satu-satunya untukku.“Kau terlihat berbeda,” Katanya, menatapku dari seberang meja.Aku mengangkat bahuku dan menyeruput minumanku, menolak untuk menyadari kaus the devil made me do it yang aku kenakan atau jeans robek yang melekat di kakiku dengan ketat atau makeupku yang tegas. Ini adalah penampilanku untuk menyamar di tengah-tengah keramaian, karena kacamata dan topi baseball tidak pernah benar-benar berhasil. Sejauh ini berpenampilan s
Cafénya sunyi dengan anak-anak sekolah sudah mulai libur untuk spring break, mereka yang biasanya mengunjungi area di sini semuanya sudah pergi untuk menikmati liburan mereka. Aku duduk di pojokan yang biasanya aku tempati jika jadwalku tidak begitu padat, menikmati suasana sambil meminum teh coklat mint yang hangat. Rasanya seperti peppermint yang segar, kaya akan rasa dan creamy secara bersamaan, sesuatu yang membuat Sarah meringis.Memikirkannya, aku jadi teringat saat terakhir kali aku dan Sarah kesini, dia masih mencoba menjodohkanku, good times. Aku menatap ke arah jam terdekat dan menghela napas. Mungkin Dean tidak akan dating. Aku bahkan tidak yakin apakah aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya semenjak telepon seminggu yang lalu, dan aku menghabiskan seluruh waktuku berkerja memikirkannya, yang membuatku banyak mendapatkan teriakan dari sutradaraku, mungkin lebih banyak dari apa yang aku dapatkan dala
Dua belas jam kemudian, aku duduk di depan televisi, wajahku terkubur di telapak tanganku, frustrasi, amarah, dan takut bergejolak di dalam perutku setelah aku kalah dengan diriku dan membuka isi amplop yang berisi flashdisk tentang apa yang Luke amati seminggu ini.Aku kewalahan dengan pikiranku sendiri. Aku berharap aku bisa mengabaikan ini, kalau setelah penculikan itu aku bisa kembali ke kehidupan lamaku sebelum aku datang ke Ellona dengan cepat dan tanpa rasa sakit – aku tidak memiliki niatan untuk berurusan dengan Dean atau krisis mentalnya lagi – tapi semua itu lebih mudah saat dikatakan saja dan bukannya benar-benar melakukannya. Deanlah yang tidak menginginkan aku dan aku tidak akan hidup di dalam bayangan kalau suatu hari dia akan menyadari kalau dia menginginkanku.Sudah jelas sekali kalau aku juga tidak mau berurusan dengan Vincent dan gerombolannya. Mereka membuatku merinding apalagi Xavier. Dia mengerikan, dan aku tidak ingin bertemu dengannya