Dean mengambil waktunya untuk berjalan mundur dariku tapi aku tidak membantu untuk mendorongnya lebih jauh karena aku membeku di tempatku berdiri. Aku selalu berpikir itu hanya hiperbola konyol tapi saat ini, aku benar-benar merasa seperti patung es.
"Apa, Vanya?" Katanya sambil tersenyum puas, melarikan ibu jarinya di sepanjang bibir bawahku yang bengkak karena ciumannya.
"Aku tidak bermaksud mengganggu, paman." Suara Vanya yang tetap kasual membuatku sedikit lega.
Aku berbalik, meringis melihat raut penasaran tergambar jelas di wajahnya. "Kau tidak mengganggu apapun, Vanya." Kataku, memaksakan nada kasual di suaraku. "Apa kau akan kembali ke dalam?"
"Vanya, sudah berapa kali ku bilang jangan memanggilku paman," Dean mengeluh di samping ku. "Aku tidak setua itu."
"Aku hanya mencoba menghormatimu," Vanya berkata dengan lembut. "dan ya, Cassandra, aku akan kembali ke mansion. Ada beberapa detail di pernikahan yang membutuhkan perhatian ku."
"Bagus, aku akan, um, ikut denganmu."
"Kau tidak harus ... jika kau sibuk," Katanya dengan malu-malu, lalu memberiku kedipan mata. "Aku tidak bermaksud mengganggu tapi kau ada di tengah jalan."
"Aku tidak sibuk." Aku langsung mencekal lengannya dan menarik diri dari Dean yang terlihat menikmati percakapan ini lebih dari yang seharusnya.
Ketika aku yakin tidak ada orang lain, aku memohon, "Please, jangan bilang siapa-siapa."
Vanya memberiku tatapan miringnya. "Memberitahu tentang apa?"
Aku menyukainya, jangan salah, tapi tadi, dia membuatku kesal dengan ketidakpeduliannya yang palsu. Dia baru saja memergokiku berciuman dengan calon paman iparnya dan dia ingin aku terus terang untuknya.
"Apa yang kau lihat tadi ... itu hanya terjadi sekali," Kataku dengan bimbang, yang membuatku mendapatkan tawa geli darinya.
"Tak apa, sungguh. Aku mengenalnya," Katanya, mengayunkan tangannya sembarangan. Dia menatapku. "Hanya saja ... kau tahu Albert selalu melihatmu sebagai saudaranya, kan?"
Tidak, aku tidak tahu. Info seperti itu akan sangat menguntungkanku saat aku delapan belas dan mencoba menggodanya.
"Kurasa begitu," Aku bergumam.
"Kau home school saat sekolah dasar kan?" Apa ini? Episode This is Your Life?
"Yeah."
"Dan ketika kamu pergi ke boarding school dengan Sarah, Misha adalah orang pertama yang bisa langsung dekat denganmu." Dia menunggu persetujuanku.
"Well, kalian berdua punya sejarah yang panjang tapi Dean - dia baik, tapi untuk beberapa tingkat pada akhirnya dia akan menyakitimu. He just can't help it. Aku tak mau Misha kehilangan sahabatnya karena pamannya yang playboy."
"Kurasa kau membuat terlalu banyak asumsi, Vanya," Kataku, tersipu seperti tomat. "Pertama-tama, apa yang kau lihat hanyalah ciuman. Dia menciumku. Hanya itu. Tentu saja, dia sedang menggodaku tapi itu tidak berarti aku adalah perempuan yang membuka kakinya hanya karena kata-kata seksinya." Aku menggigit bibirku. "Jika aku benar-benar tidur dengannya, itu hanya seks. Tidak ada janji, tidak ada patah hati. Aku bukan remaja yang bodoh di sini."
Vanya berhenti di samping ku. Aku juga ikut berhenti, menemui matanya. Dia menyeringai padaku.
"Apa? Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu?" Kataku yang tidak bisa mengontrol emosiku.
Dia menggelengkan kepalanya, kembali berjalan lagi. "Aku hanya berpikir," Katanya dengan jujur. "Jika kau dan Dean berhubungan serius dan mungkin menikah, kau akan jadi bibinya Misha. Memikirkan fakta kalau dia akan menjadi kencanmu di pesta reuni, itu akan jadi lebih awkward, right?"
"Let's not get crazy,"
*~*
Malam itu, aku tidak bisa tidur.
Setelah melempar bantal dan berguling sampai aku lelah sendiri, aku menendang selimutnya dan menyandarkan kakiku ke headboard. Dari semua tingkah konyol itu, aku membuang piyama yang biasa aku pakai dan membungkus diriku sendiri dengan sweatpants dan sweatshirt abu-abu. Jika itu bukan aseksual, aku tidak tahu apa lagi.
Aku menyelipkan kakiku ke selop kamarku yang empuk dan keluar dari kamar, dengan niat untuk mengeksplorasi mansion saat sedang sepi. Saat sampai di ruang tamu aku melihat tempat api unggun dan, untuk alasan yang tidak jelas, aku memutuskan untuk mencari tahu bagaimana pintu rahasianya bekerja. Aku menghidupkan lampunya sebelum menelusuri di sepanjang rak yang kosong dengan kedua tanganku. Di film-film, biasanya ada tuas rahasia atau semacamnya. Aku berlutut di bawah jeruji, yang dipenuhi kayu bakar yang tidak terpakai dan meraih sogok kayu bakar, siap untuk menyogok di antara kayu - dan dindingnya bergerak. Aku melompat-lompat, hampir bertepuk tangan seperti anak yang akan pergi ke Narnia.
Jalannya gelap jadi aku kembali ke kamarku untuk mengambil ponselku sebelum aku merunduk memasuki kegelapan. Dengan cahaya dari kamera, aku bisa melihat dinding batunya sempit, sangat sempit aku berpikir bagaimana seseorang dengan bahu lebar seperti Dean bisa lewat kalau dia bukan manusia karet.
Setiap langkah yang kuambil, membawaku lebih jauh dari cahaya yang berasal dari suite ku. Setelah apa yang terasa seperti selamanya, ada angin masuk di gang yang sempit ini dan saat aku menempelkan telingaku ke dinding, aku bisa mendengar suara TV. Aku menaruh tanganku ke dinding, terkejut mendapati ini terasa kosong. Berlutut dan mengarahkan cahaya di depanku. Aku menemukan tuas, sudah seperti yang kuduga.
Puas dengan penemuanku, aku berdiri dan, di prosesnya, aku tanpa sengaja menendang tuasnya.
Sialan! Pikirku dalam kepanikan ketika dindingnya mulai bergerak. Bagaimana kalau ini kamar orang tuanya Albert?
Tapi itu konyol, karena mereka bahkan tidak di kota, jadi kenapa TV nya menyala di tengah malam?
Itu tidak berarti aku bisa lari dari masalah. Kompleks antara bertarung-atau-kabur mengambil terlalu banyak waktuku jadi ini lebih seperti menetap-atau-menganga. Aku melakukan keduanya, khususnya ketika ruangan yang kubuka secara tidak sengaja bergerak ke dalam.
Dean membungkukkan badannya di pintu masuk, segelas minuman berwarna merah ada di salah satu tangannya saat dia melihatku dengan penasaran.
"Apa yang ku lakukan untuk bisa menerima kejutan menyenangkan ini, little girl?"
"Hanya kesalahanku yang lain," Kataku, menatap tangannya yang terulur padaku dengan ragu.
"Kau tidak bisa menjauh, kan?"
Kemarahan memenuhi pembuluh darahku. "Tahu apa? Kurasa kita perlu bicara." Mengabaikan tangannya, aku membungkuk dan memasuki kamarnya, sepenuhnya sadar kalau debu menempel di rambutku.
Kamarnya besar, mungkin lebih besar dari keseluruhan suite ku tapi ini tidak memiliki ruang tamu. Titik fokus seluruh ruangan adalah kasurnya - atau lebih tepatnya, Ranjang King Size untuk Aktivitas Seksual.
Dean mengikuti arah pandanganku dan menyeringai. "Membawamu kembali, bukan begitu?"
"Kau menjijikkan. Kuharap, untuk keutuhan keluarga ini, kau tidak akan mewarisi apapun."
Dia tertawa. "Dan kau pikir kakak tiriku bisa melakukan yang lebih baik?"
Aku menatapnya, bersyukur dia masih memakai pakaian yang sama seperti tadi dan bukan di dalam pakaian yang terlalu mengalihkan perhatian. "Ayahnya Albert saudara tirimu?"
"Bukankah kita seharusnya duduk santai dan mengepang rambut satu sama lain dulu sebelum kita menceritakan rahasia?"
Aku menatap ranjangnya dan dia mengeluarkan tawa lagi. "Aku maksud sofanya, little girl." Dia mengangguk ke arah sofa kulit besar dan nyaman menempel di tembok. "Ranjangku bisa menunggu."
Aku mendengus, berjalan melewatinya dan duduk.
"Aku mendengarkan, paman." Dia memicingkan matanya padaku.
"Jangan panggil aku seperti itu?"
"Kenapa tidak? Bukankah ini lebih sopan."
"Tidak, itu menakutkan," Katanya dengan tegas, duduk dengan jarak yang cukup jauh dariku. "Aku tidak mau wanita yang pernah tidur denganku memanggilku paman." Dia bersandar ke belakang dan menghabiskan minumannya. "Kau mau?"
Aku menggelengkan kepalaku. "Jadi, yang kau katakan tadi? Tentang Albert Senior,"
"Itu bukan masalah besar. Kita punya ayah yang sama tapi ibu yang berbeda," Dia memberitahuku. "Seperti kau dan kakakmu."
Saat dia menyebut sejarah keluarga ku, aku berkata, "Aku tidak mau kau hang out dengan ayahku sisa minggu ini." Aku melotot padanya saat bibirnya berkedut.
"Aku serius. Kau tidak mengenalnya. Jika dia tahu soal yang terjadi antara kita, dia akan -"
"Apa yang terjadi di antara kita?"
"Kau tahu apa. Jangan membuatku mengatakannya." Matanya menari. "Kau mau aku mengatakannya?"
Aku menutup mataku, berdoa pada Tuhan untuk memberiku kesabaran. Ketika aku membukanya lagi, dia bergerak lebih dekat, sangat dengan hingga paha kami nyaris bersentuhan.
"Will you let me taste you?" Katanya dengan lembut, menjalankan jarinya di sepanjang rahang ku.
"Kau sudah pernah," Aku berbisik menjawabnya, ada banyak tekanan yang terkumpul di perutku yang mengakibatkan bernapas menjadi sangat sulit. Dibawah tatapan hijaunya, susah dipastikan aku lupa cara menarik napas.
"Tapi tidak di sini," Dia menjelaskan, sambil menyentuh bibir bawahku. "Dan di sini." Dia menggapai di antara kakiku dan menangkup tepat di antara pahaku.
Aku merengek. Mengorbankan percaya diriku, aku mau mengakui kalau aktivitas ranjangku mungkin seperti Scrabble untuk remaja rata-rata. Tidak ada yang pernah ingin merasakan aku di sana, walaupun aku sudah dermawan untuk melakukannya.
"Kau terlalu banyak berpikir, häschen," Katanya dengan tenang. "Relaks. Ini akan bagus untuk kita berdua."
"Aku tidak ingin melawan ini lagi," Ungkapku, bersandar di punggung sofa.
"Bagus. Aku tidak ingin kau melakukannya." Dia langsung bergerak dan aku menemuinya di tengah jalan, menciumnya sekelas yang aku bisa; merasakan wine di napasnya.
Dia mengangkat ku ke pangkuannya jadi aku duduk mengangkang di atasnya. Aku menaruh tanganku di sekitar lehernya, merinding ketika aku merasakan ereksinya naik diantara kita dan dia mencengkeram bagian bawah pahaku sehingga puncak pahaku menekan ereksinya. Kita mendesah bersama ketika dia mendorong ke atas. Lidahnya menjadi memaksa saat aku menggesekkan diriku padanya dan ini tidak pertama kalinya aku heran kenapa aku berusaha menolak ini.
Kenapa memangnya kalau dia delapan tahun lebih tua? Itu bukan apa-apa dan lagipula, ini tidak seperti kalau kita kencan atau semacamnya yang lebih serius. Memangnya kenapa kalau dia pamannya Albert? Aku tidak akan mencium Dean di depannya. Lalu kenapa kalau aku miskin dan dia kaya? Dia menyumpah seperti pelaut dan memanggilku pussycat, dia hanya manusia biasa.
Dean mengeluarkan dengkuran lembut saat aku memegang ereksinya lewat celana. Dia benar-benar besar dan tiba-tiba, aku ingin melihatnya langsung. Mengabaikan protesnya, aku turun dari pangkuannya dan menyelip di antara dua kaki panjang berototnya.
"Apa yang kau lakukan?" Suaranya parau, dan terengah-engah.
"Keliatannya seperti apa?" Senyum kecil perlahan menyebar di wajahnya. "Ah, tapi kau belum siap untuk itu."
"Aku pernah melakukannya dulu."
"Itu sudah berubah sejak dulu," Dia bergumam, dan itu hanya membuatku tambah penasaran.
Aku meraih resletingnya. "Kalau begitu biar aku melihatnya."
Dia tidak memprotes dan saat aku merasakan bahan boxernya, mulutku benar-benar berair. Aku menyentuh gundukan ereksinya, ketika aku menatapnya napasnya tercekat.
Wajahnya ketika dia marah memang indah tapi saat dia bergairah ... aku merapatkan kedua pahaku sendiri untuk mengurangi denyutan di antaranya.
Aku menarik turun boxernya dan miliknya langsung melompat keluar seperti jack in-the-box, sebelum berdiri dengan bangga di perutnya yang masih tertutupi T shirt.
Aku menelan lidahku, terpesona.
Aku mengeluarkan hembusan napas. Dean benar-benar sedang ereksi. Sangat keras hingga itu terlihat sangat tidak nyaman.
"Berdiri, little girl," Dean menyuruhku, membuat ereksinya kembali ke kandang satinnya. "A midnight snack is in order."
Aku melompat kembali ke sofa, melihat dengan penuh kesabaran saat dia turun dan berlutut di antara kakiku. Sandal selopku dilepas dan begitu juga sweatpants ku. Celana dalam hitam berenda yang ku pakai dalam set mahal dari La Perla karena dalaman adalah satu-satunya barang mahal yang ku beli. Sebenarnya, kebanyakan gajiku pergi ke koleksi lingerie ku. Seperti jika aku memiliki dalaman yang menyenangkan akan membuat hidupku juga menyenangkan.
Menilai dari erangan rendah yang Dean keluarkan, mereka memang investasi yang perlu.
"Aku tidak ingin mati sebelum empat puluh," Dia bergumam, bersandar ke depan dan menekan bibirnya ke selangkanganku. "Kau akan menjadi penyebab kematianku."
Aku merintih, menyandarkan kepalaku ke belakang. Tangan hangatnya menelusuri betisku, lalu naik ke pahaku. Dia menarikku ke depan hingga pantatku sangat dekat dengan tepi sofa. Dia mengangkat kakiku dan menaruhnya di atas bahunya.
"Lepaskan sweatshirt mu," Dia menggeram, menampar pinggulku.
Aku kaget karena sakitnya, menyadari kalau aku kepanasan di antara kakiku dan dia membuatnya lebih buruk. Aku melepaskan sweatshirt ku terbukti menjadi tidak seksi karena membuat rambutku terlihat seperti sarang tikus, aku yakin.
Tapi matanya langsung menatap dadaku yang terasa berat. Dia bergumam sesuatu dalam bahasanya, dia menggenggam berenda yang ada di pinggulku dan menariknya. Kainnya menggigit kulitku saat mencoba melawan tapi itu tidak berguna untuk kekuatannya dan langsung robek.
Aku benar-benar telanjang.
"Fu*k, little girl," Katanya dengan suara berat, mungkin karena aku mencukur bersih. "Now that's a pussy."
Wajahnya menghilang saat dia bersandar ke depan dan udara panas mengenai buntalan saraf yang sensitif di antara pahaku. Sensasinya langsung meledak melewati perut bawahku, membuatku jadi menggeliat tak karuan. Dean menahan pahaku tapi serangan napasnya padaku di bawah sana terlalu banyak untuk bisa membuatku duduk dengan tenang.
Dia belum benar-benar menyentuhku. Apa aku benar-benar akan datang karena napasnya padaku?
"Tahan, myshka. Jangan melepasnya sekarang," Katanya, dengan lembut membeli kulitku, "Akan jauh lebih baik saat kau datang. Sangat baik untuk kita berdua, terutama saat kamu menjeritkan namaku."
Aku merasakan lidahnya di pintu masuk ku dan aku hanya bisa mendorong diriku ke mulutnya. Tawa kecilnya dia sana mengirim getaran yang langsung menuju klit ku yang mengeras dan aku mengerang frustrasi.
Too much ... Just too damn much ... Need more ...
"Kau sangat basah, kitten; sangat sempit," Dean bergumam dengan senang, dan kemudian dia tidak berbicara lagi karena dia sibuk menjilat. Menjalankan lidahnya di sepanjang celahku sampai dia tiba di ujung. Mulutnya menutupinya, lalu menghisapnya seperti penghisap debu. Pinggul ku bergerak melawannya, tergesa-gesa. Liar. Kasar.
Belum pernah foreplay terasa senikmat ini. Aku melakukan segalanya yang ku bisa untuk tidak datang dengan cepat, hanya karena dia menyuruhku. Luar biasa bahwa setelah beberapa kencan mengecewakan yang ku punya - dimana aku selalu mengucapkan mantra aku akan klimaks malam ini - Dean memiliki kemampuan lembut yang hanya dengan menjilat ibu jariku membuatku datang.
Ketika dia memasukkan jarinya kedalam, aku pikir aku akan meledak. Tanganku menggenggam di kedua sisi ku dan tubuhku menegang. Aku diam-diam berdoa agar aku tidak klimaks prematur.
Masuk, keluar, masuk, keluar, memutar, memutar, menghisap, masuk, keluar, masuk, keluar...
Aku basah kuyup. Sampai menetes. Basah. Aku bisa merasakan kelembabannya di kakiku; bisa merasakannya di sofa kulitnya. Dan Dean ... ya Tuhan, dia melahapku seakan aku adalah makanan terakhirnya sebelum dia didudukkan di kursi listrik. Lidah dan jari - bukan, jemari sekarang - bekerja padaku hingga ke klimaks yang menyiksa, dia kadang mengeluarkan gumaman yang terdengar dalam di tenggorokannya dan itu adalah suara paling seksi yang pernah ku dengar - sampai dia bergumam, "Come now, häschen," dan itu berada di peringkat pertama.
Aku bergerak melawan mulutnya, merintih dan menggeliat saat aku akhirnya, melepaskannya.
Orgasme menerjangku seperti kereta, lalu menarikku di sepanjang relnya. Aku menyambut dan memeluknya. Setiap tulang di tubuhku berubah menjadi air dan yang bisa ku lakukan hanyalah gemetaran seperti jeli. Setiap sarafku terbakar dan aku tak bisa memadamkannya, tidak sampai aku mengosongkan diriku ke dalam mulut Dean.
Dia memegangku dengan erat, mulutnya menekanku dengan kuat saat dia mengambil semuanya dariku. Aku butuh waktu lama untuk memikirkan satu kalimat setelah aku jatuh berantakan ke bumi. Bau gairahku melayang di udara dan hanya untuk satu detik, penyesalan memukulku.
Hanya satu detik.
Dean menempatkan ciuman lembut di paha dalamku sebelum menggigitnya. Aku menjerit, menjambak rambutnya dan menarik kepalanya ke atas. Tatapannya, penuh kepuasan membuatku berhenti.
"Kau tidak mengucapkan namaku," Katanya, menjilat sisa-sisa ledakanku.
"Dean," Aku berbisik.
"Itu tidak sama," Dia menggerutu, perlahan berdiri. "Aku mungkin seharusnya tidak membiarkan mu datang."
Rasa panik mencekikku. Apa aku hanya boleh datang kalau dia mengijinkan ku? Apa itu benar-benar ada? Apakah dia sekejam itu? Dia mengeluarkan tawa lembut, membaca pemikiranku. "Relaks, Cassandra. Aku bukan pencuri orgasme."
"Well, sebaiknya aku pergi," Aku bergumam.
Aku berdiri, terlalu lambat menyadari kalau tulangku masih lunak. Dean menangkapku sebelum wajahku menyentuh lantai. Dia melarikan tangannya ke sisiku dan goosebumps langsung terasa di kulitku.
"Stay." Hanya satu kata, satu kata - tapi jutaan arti.
"Aku tak bisa," Kataku padanya, melepaskan diriku dari tubuhnya yang keras dan hangat. "Lagipula" - aku mengambil pakaianku - "kau punya banyak bridesmaids untuk dipilih, ingat?" Aku masuk ke dalam celanaku. "Sepupu-sepupunya Vanya semua enak dipandang."
Dia menatapku lama sebelum mengeluarkan hembusan napas. "Kurasa kau benar, little girl. Tidurlah mumpung masih gelap."
Aku kecewa dengan jawabannya. Apa itu rasa cemburu, Cassandra?
Menggelengkan kepalaku, aku memasukkan tanganku ke saku dan menarik ponselku, kaget menemukan satu jam sudah berlalu sejak aku masuk ke sini.
"Sial, aku harus bangun pagi." Aku mengerang tiba-tiba ingat pada rencana girls-only saat matahari terbit. "Vanya berkata sesuatu tentang pergi ke kota."
Dean mengangguk. "Dia mungkin akan melewati perkampungan dan membawamu ke pasar," Dia bergumam, terdengar lebih pahit. Namun segera diganti dengan seringaian khasnya.
"Apa kau ingin skip turnya dan ikut aku?"
"Ke klub dan bar di Elłona? No, thanks."
Dia memberiku tatapan terluka. "Apa hanya itu saja yang kau pikirkan tentangku?"
"Apakah penting apa yang kupikir kan?"
Dia mengalihkan pandangannya. "Kau bisa siap pukul tujuh?"
"Kurasa," Aku membalas dengan ragu, berpikir bagaimana aku akan menjelaskan absenku pada Vanya. Lalu aku memutuskan kalau tidak ada yang harus dijelaskan. Lagipula, dia tahu. Kurang lebih.
"Bagus. Aku akan mengantarmu ke kamarmu," Katanya.
"Tidak, tidak. Itu tidak perlu." Aku sudah berjalan menuju perapiannya. "Kamarku tidak jauh dan aku punya ponselku"
"Cassandra -"
"Sampai jumpa besok, Dean. Well, hari ini." Sebelum dia bisa mengatakan hal yang lain, aku menundukkan kepalaku dan menyelip keluar dari kamar dan masuk ke koridor. Ketika aku sampai di suite ku dan mengunci pintu rahasianya, ponselku berdering dengan pesan masuk. Aku melihat profil nomer yang tidak aku kenali itu. PantyReaper. Aku tidak tahu ada orang yang begitu arogan dan tidak dewasa...
Oh, aku tahu.
Beberapa detik setelah aku membaca pesannya.
PantyReaper. Kuharap kau tidak tersesat, little girl.
CaseyLuv. Aku sudah di ranjang sekarang.
PantyReaper. Aku sungguh tidak memerlukan visualnya. Masih keras di sini.
Aku tidak akan memiliki percakapan ini dengannya.
CaseyLuv. Kasihan. Selamat malam.
PantyReaper. Kurasa aku hanya akan masturbasi dengan celana dalammu, kalau begitu.
Dean West benar-benar memiliki terlalu banyak kejutan anehnya.
TO BE CONTINUED
Ada ketukan di pintuku sekitar jam sepuluh, aku baru saja selesai memakai makeup ku. Orgasme semalam benar-benar menaruh keceriaan di wajahku. Memikirkannya aku jadi teringat Dean - bayangan tentangnya menyentuh dirinya sendiri tadi malam, membayangkan dia meledak dalam ekstasi. Semua itu - terutama miliknya itu akan terpatri selamanya di pikiranku dan aku menemukan diriku sendiri berliur ketika aku hendak membuka pintu ... berhadapan langsung dengan ayahku. Aku langsung menyingkirkan pemikiran kotorku dan mengeluarkan ekspresi polos dan senang pada ayahku. "Hi, Dad," Kataku, memberinya senyuman yang tidak dia balas. Aku merasakan wajahku memanas saat dia berjalan tanpa berkata-kata melewatiku, parfum cologne nya yang familiar tercium olehku. "Apa semua baik-baik saja?" Aku bertanya. Tidak bisa menghentikan nada ragu-ragu seperti anak lima tahun yang ketahuan mencuri di suaraku. Hanya Daniel Prince yang bisa membuatku s
Makan malam benar-benar mengerikan.Tentu saja, ada hal yang lebih buruk sedang terjadi di dunia daripada sahabatku yang memberikanku silent treatment tanpa alasan apapun, tunangan pujaan hatiku dulu memberiku tatapan diam-diam selama main course dan dewa Yunani duduk di sampingku dengan jemari paling ajaib.Aku kebetulan yang paling terlambat datang ke ruang makan dan kursi yang kosong tinggal satu, itulah kenapa aku duduk bersandingan dengan Dean, jemarinya merayap naik dari ujung gaunku di bawah meja saat dia dengan polosnya berbicara dengan Constantine yang ada di kanannya.Aku tidak bisa makan; aku bahkan tidak bisa berpikir. Tidak saat dia baru saja tahu kalau aku tidak menggunakan celana dalam.Membuka pahaku untuknya, aku merasakan jemarinya berhenti saat dia tidak menemukan penghalang apapun di antara dua kakiku. Kepalaku pusing karena rangsangannya, aku hampir saja menangis lega ketika d
"Sial, apa yang kau pikirkan? Bagaimana dengan STD? Apa aku satu-satunya orang yang masih waras di sini?" Dia terlihat terkejut. "Kita periksa setiap bulan. Sebenarnya, aku sembila-puluh-sembilan persen yakin kalau ini anaknya Sam." Aku memutar mataku padanya. "Oh, ya, kurasa itu akan membuat hal yang lainnya tak berarti." "Lihat? Karena inilah aku tidak ingin memberitahumu apapun. Kau selalu menghakimi ku!" "Realistislah sedikit, Sarah. Hanya sedetik saja, jangan menganggap kalau kau hidup di dunia fantasi dimana setiap orang telanjang dan bercinta dengan siapapun yang mereka mau," Aku mencacinya, merasakan amarah merayap di sekujur tubuhku karena ketidakdewasaannya. "Ini bayi - yang tidak kau yakini milik suamimu." "Bisakah kita melihat Netflix dan melupakan percakapan ini?" Dia membujuk, memberiku tatapan puppy-dog nya. Aku hampir saja menyerah melawan ta
Setelah dipikir-pikir hari pernikahannya datang begitu cepat, aku masih merasa baru kemarin aku memegang tiket pesawat dan selembar undangan dan mengobrak-abrik isi otakku untuk membuat alasan yang bagus kenapa aku tidak bisa datang. Fakta kalau aku dan Vanya tidak begitu dekat yang mana membuatku tidak memiliki andil apapun di pernikahan ini kecuali hanya hadir sebagai tamu. Jangan salah aku tidak keberatan dengan itu, pada akhirnya, ini adalah pernikahan orang terkaya di benua Eropa dan aku tidak harus melakukan apapun kecuali muncul dan bersenang-senang. Lagipula, aku sudah tidak sabar untuk segera menyelesaikan ini dan pergi secepatnya dan yang paling utama, melupakan ini semua."Kau baik-baik saja, Cass?" Sarah mengintip dari pintu kamarku, sudah siap dengan jumpsuit hitam yang diaksen dengan ikat pinggang emas. Sangat bukan dirinya, tapi itu bukan masalahku."Kenapa?" Aku bertanya, walaupun aku sudah tahu jawaban yang sebenarnya. Aku
Upacara pernikahan dan resepsinya diadakan di dalam mansion dan halaman belakang. Hari ini, mataharinya bersinar terang untuk Ełlona yang beku. Ini adalah pertanda untuk pernikahan Albert dan Vanya yang akan selalu dikenang. Ayah Albert dan istrinya (yang mungkin usianya lebih mendekati Albert daripada ayah) berperilaku baik, lebih seperti sunyi jika menurut pendapatku, mungkin karena mereka tiba tengah malam dan mungkin juga karena pernikahannya dibatalkan.Aku kebanyakan melamun saat Albert membuat pengumuman kecilnya lalu dia pergi meninggalkan mansion dan seluruh tamu yang hadir. Jika aku mengingat dengan benar percakapan kami di suite ku, aku bertanya apa yang dia inginkan dan dia tidak menjawab, kupikir dia tidak akan melakukan apa-apa sampai dia berkata, "He's gone."Saat dia mengatakan itu aku tahu dia mulai menyadarinya, hell, aku menyadarinya sejak dia mulai menangis. Albert langsung beranjak pergi setelah itu d
Cukup luar biasa sebenarnya melihat Albert Sr menepati janjinya dan tetap mengikuti kemauan ayahku untukberbicara. Hanya Tuhan yang tahu apa yang pria itu rencanakan. Melangkah keluar dari mansion seperti kereta yang rusak, aku memutuskan ingin mengambil beberapa foto sambil berjalan-jalan. Salju tidak turun sejak semalam dan matahari bersinar cerah, jadi kupikir, kenapa tidak?Setengah jalan dari hamparan rumput hijau, ponselku berdering dan aku takut untuk menjawabnya. Aku sedang mengabaikan telepon Sarah yang tidak ada hentinya sejak dia dan rombongan tamu pulang kemarin. Aku tahu aksiku mengabaikannya tidak akan bertahan selamanya.Jadi aku bersyukur saat aku melihat nama kakakku di layarku."Apa sih yang salah dengan teleponmu?" Kataku berkata dengan kesal ke teling
Baru setelah tengah malam Dean akhirnya terlelap tidur. Aku melepaskan diriku dari lengan dan kakinya, merangkak turun dari ranjangnya dan menemukan gaun tidur ku di karpet. Dia membuat erangan lembut saat protes dalam tidurnya, dia mencoba mencariku tapi hanya menemukan udara. Aku meraih bantal dan menyisipkannya di lengannya, dia dengan cepat memeluk itu ke dadanya."Apa yang kau lakukan padaku?" Aku berbisik, sebelum perlahan menjauh dari kasur untuk memastikan dia tidak bergerak lagi.Udara di kamarnya penuh dengan bau seks lambat dan sempurna yang kita miliki tapi bukan itu yang membuatku mual. Semua sendi dan ototku pegal dari aktivitas ranjang yang berlebihan tapi bukan itu sebab kenapa perutku terasa diganjal dengan pisau.Kenapa dia harus mengatakannya? Pikirku, ada percikan amarah yang menyala di dalamku.Aku menghidupkan lampu di pojok baca yang ada di depan layar datar yang digant
"Terima kasih, Dean," Kataku, melihat cara alisnya mengerut, seolah dia tahu aku akan mengucapkan sesuatu yang tidak dia sukai. Yang mana tepat sekali."Untuk apa?"Aku mengambil gaunku dan memakai seanggun yang ku bisa, duduk dengan kedua kakiku terbuka dengan kaku. "Untuk berkata jujur padaku. Aku membutuhkannya. Kau adalah pria yang baik, dan aku bersyukur karena itu.""Apa yang kau bicarakan?" Dia berkata menangkup daguku dengan tangannya dan membuat ku menatapnya. "Apa yang sedang kau bicarakan?""Aku selalu bermimpi untuk bersama dengan pria yang mapan, aku punya bucket list of life yang dibenci Sarah, sama seperti kau yang selalu bermimpi untuk bercinta dengan gadis yang kau idolakan dan kau jadikan standar pasangan karena suaraku bagus, kurasa.""Jangan mengejekku," Dia menggeram, mendekatkan wajah marahnya padaku. Dia mengubah raut wajahnya menjadi lapisan topeng den
“Apa aku sudah bilang padamu kalau aku akan menikmati waktuku membuka gaun ini nanti?” Dean berbisik di telingaku saat kita berdansa dengan iringan “perfect” dari Ed Sheeran. Setelah upacara ikrar janji selesai, atrium dari Pazzo’s telah diubah menjadi surga romantis dengan lampu-lampu berkilauan, dimana kita semua memakan makanan terbaik dan wine teratas, dan sekarang aku berdansa dengan pacarku di lantai dansa.Aku tersenyum di samping pipinya. “Apa itu karena kau menyukai apa yang aku pakai atau karena kau membencinya?”“Aku tidak akan pernah bisa membenci apapun yang kau pakai, apalagi kalau kau tidak memakai apapun. Percaya padaku.”Klasik Dean. Aku memakai gaun a-line berwarna biru langit dengan garis leher yang rendah, atasan korsetku disulam dengan kristal dan payet yang dengan alami memudar ke rok tulle yang memiliki celah paha yang tinggi.Diseberang lantai dansa, aku melihat pasangan yang baru saja menikah berdansa dan tersenyum, tidak mempedulikan fakta kalau Alby adalah
Waktu terasa aneh setelah itu. Beberapa menit setelah Dean muncul di depan pintuku waktu terasa terus berjalan maju sementara aku tidak bergerak sama sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku bisa kembali duduk di sofaku tanpa jatuh dan mencium lantai. Aku tidak tahu sudah berapa kali aku mendengar Dean memanggilku tapi aku terus menatapnya seolah aku takut kalau yang aku lihat ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau seseorang memasukkan halusinogen paling kuat ke dalam saluran udaraku dan aku sudah menghirupnya sepanjang malam dan efeknya baru terasa sekarang.Hei, setelah semua yang aku alami aku tidak akan mengabaikan pilihan terakhir itu.“Babe,” Panggilan itu akhirnya mengeluarkanku dari lubang yang aku ciptakan sendiri.Babe, huh? Aku menyukainya.Ketika aku akhirnya memperhatikannya, dia tersenyum. Senyum yang jarang sekali dia tampilkan dan rasa rindu yang melandaku seolah berubah menjadi gelombang tsunami yang berkali-
“Apa hanya aku yang merasa kalau semua ini terasa mengerikan. Coba biar aku ulang lagi.” Aku memutar mataku, mengingat kejadian yang sama persis pernah terjadi padaku. Cahaya matahari terbenam menembus jendela kacaku dan aku menikmati kehangatannya di sofa dengan popcorn dan Netflix di televisi.Ayahku tidak salah. The deja vu is real.“Kau ingin aku menjadi pasanganmu, lagi? Di pernikahan Albert pula?” Aku mendengar ayahku menghela napas. “Aku sudah terlalu tua untuk ini.”“Ayolah, dad. Ini tidak seperti kita melakukan ini setiap hari. Apa aku perlu mengingatkanmu kalau aku akan terlihat seperti daging segar di sana jika aku datang sendirian.” Aku tahu kalau trik yang sama tidak akan berhasil. Aku memutar otakku mencoba memikirkan strategi yang bisa membuat ayahku luluh dengan permintaanku, karena ini hanya lewat telepon aku tidak bisa memberikannya puppy eyes. Lalu ide bagus melintas. “Kau
LIMA TAHUN KEMUDIANLos AngelesPonselku berdering begitu aku memasuki elevator. Aku berniat untuk mengabaikannya ketika aku melihat siapa yang menelponku, tapi hingga aku sampai di lantai apartemenku Sarah belum akan menyerah sampai aku menjawabnya.“Hai, Sarah. Bagaimana keponakan kesayanganku?” Sapaku.“Some friend you are,” Balas Sarah dengan kesal. “Mentang mentang karirmu semakin menanjak kau jadi jarang menelponku dan ketika kau menjawab kau langsung menanyakan kabar Henry dan bukannya kabarku.”Aku tertawa sambil berusaha membuka pintu apartemenku. Sarah memang penuh dengan omong kosong, aku hanya sekali pernah tidak menjawab teleponnya karena aku berada ditengah-tengah set dan aku tidak sadar kalau aku meninggalkan teleponku ada di trailer sampai proses syutingnya selesai. Aku juga tidak bisa menolong diriku sendiri kalau Henry – anaknya yang sekarang sudah berumur 4 tahun – adalah makhluk paling menggemaskan di dunia ini.“Kau tahu aku lebih mencintainya daripada kau,” Balas
Pukul dua belas tepat.Aku berdiri di depan gerbang masuk taman, dekat dengan air mancur yang besar, merinding karena udara dingin yang menembus jaketku. Aku menendang kerikil di dekat kaki hanya karena aku ingin menghabiskan waktu. Namun, Luke memiliki cara yang berbeda untuk menghabiskan waktunya. Dia mengisi pistolnya dan mematikan pengamannya. Yeah, aku tentang pistol karena setengah bagian dari karirku adalah berakting menggunakan pistol. Perbedaannya adalah milikku tidak berisi peluru. Aku merinding melihat mendengar suara peluru memasuki pistolnya dan semakin takut lagi jika dia terpaksa menggunakannya.“Aku ingin bilang kalau aku berterima kasih padamu. Sungguh, aku tidak akan bisa melakukan ini tanpamu.” Katanya setelah menyembunyikan pistolnya di balik punggungnya.“Apa senjata itu benar-benar diperlukan? Kau bisa mempercayai Dean.” Kataku menunjuk pada pistol yang dia sembunyikan.“Tidak ada salahnya selalu berhati
Sore harinya aku bertemu dengan Sarah di rumahnya, karena dia yang selalu mewajibkanku untuk mengunjunginya setiap kali aku pulang ke Florida. Seolah aku tidak pernah mengunjunginya. Ketika aku sampai di rumahnya, aku langsung masuk dan menyamankan diriku sendiri di sofa ruang tengahnya seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumanya. “Well, kurasa beberapa hal memang tidak pernah berubah.”Aku berbalik, mataku membelalak ketika aku melihat Sarah. Rambutnya sekarang berwarna platinum yang terang dengan guratan pink dan biru di sela-selanya.“Kau menyukainya?” Katanya, mengibaskan rambutnya. “Maksudku kau sudah mewarnai rambutmu menyerupai stripers, akan lebih adil kalau aku mengubah rambutku juga.”Aku tertawa, menggelengkan kepalaku. “Yeah, aku bisa melihat apa yang kau maksud. Dan ini, sangat cocok untukmu.”“Benarkan? Aku juga berpikir seperti itu.” Dia menaruh kopi ya
Tiba-tiba aku merasa ruangannya menjadi sunyi senyap ketika Dean berjalan memasuki café dan berjalan ke arahku. Aku melihatnya seperti pertama kali aku melihatnya, pria yang luar biasa seksi yang menyebalkan yang membuatku ingin memukul dan menciumnya secara bersamaan. Harapan muncul begitu saja setelah aku bicara dengan Xavier. Aku bukan remaja yang mementingkan ego atau gengsiku, jika adalah sedikit saja celah di hatinya untukku, aku akan memperjuangkannya. Aku sudah memutuskan kalau dia adalah satu-satunya untukku.“Kau terlihat berbeda,” Katanya, menatapku dari seberang meja.Aku mengangkat bahuku dan menyeruput minumanku, menolak untuk menyadari kaus the devil made me do it yang aku kenakan atau jeans robek yang melekat di kakiku dengan ketat atau makeupku yang tegas. Ini adalah penampilanku untuk menyamar di tengah-tengah keramaian, karena kacamata dan topi baseball tidak pernah benar-benar berhasil. Sejauh ini berpenampilan s
Cafénya sunyi dengan anak-anak sekolah sudah mulai libur untuk spring break, mereka yang biasanya mengunjungi area di sini semuanya sudah pergi untuk menikmati liburan mereka. Aku duduk di pojokan yang biasanya aku tempati jika jadwalku tidak begitu padat, menikmati suasana sambil meminum teh coklat mint yang hangat. Rasanya seperti peppermint yang segar, kaya akan rasa dan creamy secara bersamaan, sesuatu yang membuat Sarah meringis.Memikirkannya, aku jadi teringat saat terakhir kali aku dan Sarah kesini, dia masih mencoba menjodohkanku, good times. Aku menatap ke arah jam terdekat dan menghela napas. Mungkin Dean tidak akan dating. Aku bahkan tidak yakin apakah aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya semenjak telepon seminggu yang lalu, dan aku menghabiskan seluruh waktuku berkerja memikirkannya, yang membuatku banyak mendapatkan teriakan dari sutradaraku, mungkin lebih banyak dari apa yang aku dapatkan dala
Dua belas jam kemudian, aku duduk di depan televisi, wajahku terkubur di telapak tanganku, frustrasi, amarah, dan takut bergejolak di dalam perutku setelah aku kalah dengan diriku dan membuka isi amplop yang berisi flashdisk tentang apa yang Luke amati seminggu ini.Aku kewalahan dengan pikiranku sendiri. Aku berharap aku bisa mengabaikan ini, kalau setelah penculikan itu aku bisa kembali ke kehidupan lamaku sebelum aku datang ke Ellona dengan cepat dan tanpa rasa sakit – aku tidak memiliki niatan untuk berurusan dengan Dean atau krisis mentalnya lagi – tapi semua itu lebih mudah saat dikatakan saja dan bukannya benar-benar melakukannya. Deanlah yang tidak menginginkan aku dan aku tidak akan hidup di dalam bayangan kalau suatu hari dia akan menyadari kalau dia menginginkanku.Sudah jelas sekali kalau aku juga tidak mau berurusan dengan Vincent dan gerombolannya. Mereka membuatku merinding apalagi Xavier. Dia mengerikan, dan aku tidak ingin bertemu dengannya