"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
"Aku yakin dia ada di apartemennya sekarang. Kita harus menunggu dia keluar.""Rasanya aku ingin menyerobot masuk saja, menghajar wanita tidak tahu diri itu!" Dua orang gadis muda mengumpat. Kemala mengerutkan dahinya, 'Siapa yang mereka maksud?' Ia berjalan melewati keduanya, telinga meruncing untuk mencari tahu lebih banyak. Mereka berdiri di dekat apartemen, pinggir jalan. Sayang, kedua wanita muda itu tidak menyebutkan nama, tapi mereka terlihat sangat geram.Kemala bergegas masuk ke dalam apartemen, ia tidak bisa membuat kakaknya menunggu. Pintu apartemen itu sengaja tidak dikunci untuk memudahkananya keluar masuk agar tidak menganggu Nadine yang sedang tidak enak badan."Mbak Nadine?" Gadis itu mencari. Kakaknya tidak ada di tempat tidur. "Di mana dia? Mbak!" teriaknya lagi mencari."Mbak!" Kemala kaget saat melihat kaki Nadine yang menjulur di pintu kamar mandi. "Ya, ampun mbak. Ada apa denganmu?" Dari mulut wanita itu keluar busa. Ia tidak sadarkan diri hingga terjatuh di kam
Rambut panjang Kemala terbang menerpa kaca helm yang Emeril gunakan. Berwarna kehitaman rapi dan terawat. Pria itu tetap menjaga gengsinya untuk tidak dekat-dekat. Ia tetap duduk tegap sembari menjewer sedikit pakaian gadis itu. Orang-orang memperhatikan mereka, kesombongan yang jelas terlihat. Kemala yang seorang wanita dan mengemudi bahkan tidak menggunakan helm. Sedangkan, Emeril laki-laki dan menjadi penumpang malah menggunakan helm."Mama!" pekik seorang anak kecil di atas motor saat melihat Emeril melotot padanya di lampu merah."Jangan dilihat! Nanti ketularan gila," tukas ibunya. Kepala Emeril kembali menoleh saat mendengar kata-kata itu.Dug! Helmnya pun terbentur kepala Kemala saat gadis itu kembali melaju."Ya, ampun! Dosa apa yang sudah bapak perbuat hingga aku harus bertemu dengan pria macam dia!" umpat Kemala kesal. Rasanya ingin sekali ia menjatuhkan pria itu ke dalam got.Mobil ambulans yang membawa Nadine sampai lebih dulu. Mereka segera membawa wanita itu ke UGD untu
"Benarkah di sini ada pasien yang bernama Nadine?" Seorang wartawan menyerobot masuk, padahal 3 security berjaga di depan gerbang bangunan UGD."Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi pada Nadine? Tolong izinkan kami untuk menemuinya sebentar saja, Pak.""Tidak ada. Tidak ada yang bernama Nadine di sini. Silahkan kalian semua bubar!" Security mencoba menghalau mereka. "Tidak mungkin, Pak. Kami punya narasumber yang pasti. Nadine di larikan ke Rumah Sakit ini.""Saya bilang tidak ada! Silahkan tunggu saja kalau tidak percaya!" Ketiga security pasang badan agar tidak kecolongan. Mereka sudah mendapat perintah untuk tidak memasukkan para wartawan itu."Aku yakin dia di sini!" Seorang anak perempuan mengepalkan tangannya kencang. "Sampai kapan kamu akan bermain kucing-kucingan, wanita murahan! Aku akan buat kamu menerima balasannya!" pekiknya geram. Anak perempuan itu tidak mau tinggal diam dan menunggu. Dia berjalan-jalan ke samping rumah sakit. Lalu, menemukan sebuah ambulans yang terpa
"Bukannya kamu pria tadi?" Bapak celingukan melihat pemuda yang telah pamit sejak tadi, sekarang malah kembali. Emeril segera bangun dan memberi kode pada Aris agar pergi. Lelaki itu sedikit heran, namun itu perintah. Dibantah sedikit saja, taringnya bakalan keluar semua, bak vampir yang siap mengisap darah."Iya, Pak. Ini saya antar---" Emeril menengok kecoa yang berjalan-jalan di kakinya. "Ih!" Ia berjinjit geli."Oh. Buat ayam-ayamku?" Mata bapak melebar. "Mereka suka kayanya. Kemala, ayo tangkap semua kecoa itu!" perintah bapak.Kemala yang curiga pada pria itu, menyipit tidak percaya. 'Dia pasti punya rencana balas dendam. Apakah mungkin dia sengaja mengirim kecoa-kecoa ini untuk menakutiku?' Kemala menunduk dan menjewer satu persatu dari mereka untuk dimasukkan kembali ke dalam kotak.Emeril masih bersembunyi di samping gadis itu sembari bergidik geli. 'Aku lupa kalau dia sejenis unggas, mana ada takut-takutnya sama kecoa!' umpatnya."Hah!" Kemala mengangkat kumis kecoa itu dan
Padahal cuaca malam ini dingin sekali, ada percikan air hujan yang terterpa angin hingga menembus kulit. Kemala yang menggunakan jaket saja, masih bergidik dingin. Tapi, pria di belakangnya, tetap saja menjaga wibawanya dengan duduk tegap dan menahan tangannya untuk tidak berpegangan. Meski, sesekali ketika kondisi jalan sedikit buruk, ia meraih jaket Kemala dan menjewernya."Jangan belok kesana!" cegah Emeril saat motor Kemala memberi sen kiri untuk berbelok. "Bukannya arah apartemen memang ke sana?" tanya Kemala bingung."Siapa yang mau ke apartemen nenek. Aku mau pulang ke rumahku sendiri," ujar Emeril. "Lurus saja!" Tangan dan telunjuknya yang panjang mengarah ke depan."Belok kanan!" Tidak lama dia menempuk pundak Kemala untuk berbelok. "Sudah mirip tukang ojeg aja kan? Apa bedanya? Demi apa juga tukang ojeg jam segini dengan cuaca dingin mengantarkan penumpan songong?" gumam Kemala merasa jadi budak gratis."Berhenti!" ucap Emeril cepat.Kemala langsung menghentikkan laju moto
Kemala langsung kembali ke rumah Emeril, ia menstandarkan motornya di depan pintu pria itu, berjalan perlahan sembari melihat-lihat. Ia tidak mendapati mobilnya, jika memang masih ada di rumah."Apa dia sudah pergi ke kantor?" Kemala mulai merasa senang dan perlahan berbalik lagi.Brank! Ia langsung menoleh. Pintu rumah itu terbuka dengan keras oleh sendirinya. Emeril yang melihat gadis itu akan pergi segera berlari dan membuka pintu, lalu cepat kembali dan berpura-pura membaca koran lagi."Apakah masih ada orang di dalam?" Kemala celingukan sembari memegangi tali tas selempangnya. Siapa yang tidak takut masuk rumah mewah yang tidak ada penghuni, di sangka maling 'kan berabe."Kenapa sepi? Jangan-jangan dia keburu pergi," ujar Kemala. "Ah! Nanti disangka maling lagi" Gadis itu memilih balik kanan."Eheum!" Sekeras mungkin Emeril berdehem. Kemala kembali menoleh. Rupanya pria itu terhalang sofa di sebelah kanan. "Oh, ternyata ada orangnya. Aku kira tadi dedemit yang buka pintu." Kemal
Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Kamu yakin nggak mau ke Rumah Sakit?" tanya Emeril. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ayamnya itu. 'Apa mungkin dia masih trauma?' batin pria itu bahkan bertanya-tanya. Ia pun terus memperhatikan Kemala dari kaca spion. Kemala hanya menggeleng pelan. Sejak diselamatkan dari penculikan itu, Kemala bungkam, ia tidak sebawel biasanya apalagi sampai rewel. Wajahnya masih menoleh pada kaca luar, padahal di sana sepi dan gelap."Bagaimana, Pak. Kita akan kemana?" tanya Jeri_orang kepercayaan Emeril sekaligus satu-satunya sahabat pria itu.Emeril melirik, pembicaraan mereka rupanya tidak didengar oleh Kemala. "Eheum!" Pria itu pura-pura berdehem. "Aku akan mengantarmu pulang, Kemala," ucap Emeril. Kemala menyeka air matanya yang sulit berhenti. Lalu, ia berbalik dan merespon Emeril yang kebingungan. "Turunkan saja aku di tempat yang terang dan ramai," jawab Kemala. Ini sudah pukul 04.00 pagi, matahari sebentar lagi akan terbit, Kemala pikir tidak masalah, ia hanya tinggal menun
[Kenapa kamu menggangguku di tengah malam seperti ini, Nadine?] Kumari mengangkat panggilan dari Nadine dengan malas. Ia hampir enggan membuka mata. Wanita itu tidak tahu kalau rahasia besar yang telah di sembunyikannya sudah terbongkar. [Kemala diculik, Bu,] jawab Nadine cepat.[Apa?! Apa maksdumu?] Wanita itu langsung terperanjat dari tidurnya, ia menarik kimono yang terjepit kakinya sendiri. "Ish!" Kumari bahkan hampir tersungkur. [Bagaimana kejadiannya, Nadine. Di mana kamu sekarang?][Kemala bertengkar dengan Bapak. Kemala pergi dan tidak pulang. Aku mencarinya dan mengajak dia pulang. Tapi, di perjalanan 3 orang pria menghadang kami, mereka membawa pergi Kemala, Bu. Aku sedang mengikuti mobil itu.][Kirimkan alamatmu sekarang!] perintah Kumari.[Iya, Bu.]Kumari langsung berganti pakaian. Ia bahkn menghubungi tangan kanannya. Sayangnya, panggilan itu tidak juga mendapat jawaban. "Kemana dia!" Wanita itu menyimpan kasar ponselnya di atas dasbord. Ia segera mengemudi dan mengikut
Langit sudah menjadi sangat gelap sekarang, Kemala termenung di samping motornya. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Ke apartemen ibunya terasa tak mungkin, gadis itu tidak ingin menemui wanita yang telah melahirkannya sekarang. Jika, malam kemarin ia masih bisa pergi ke rumah Emeril, saat ini situasinya pun tidak mendukung.[Kamu tidak perlu datang lagi ke rumahku!] Pesan singkat pria itu membuat Kemala semakin terpuruk. Ia masih menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Bingung dan tak tahu arah, sedangkan malam terus beranjak naik. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pada Emeril, sepertinya ia tidak suka saat Kemala datang bersama Abian ke rumahnya tadi siang.Kemala tidak terbiasa berada di luar semalam ini. Sangat jarang dan bahkan tidak sama sekali. Hanya setelah keputusannya mencari sang ibu membuatnya kini berakhir pada penyesalan yang begitu dalam. Tapi, siapa yang sangka akan seperti ini. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, rindu pada sang ibu akan b
Kemala masih menunggu pria yang tak disangka adalah dosen killernya itu, penampilan dan cara bicaranya yang jauh berbeda saat di voice note membuat Kemala sedikit tidak percaya. Teman-temannya hampir selesai, hanya miliknya yang sama sekali belum disentuh.'Ini pasti gara-gara kumis lele. Dia sengaja menghukumku seperti ini dan menunggu aku menyerah sendiri. Ah!' Kemala hampir putus asa."Aku duluan ya." Temannya menyentuh pundak gadis itu. Kemala benar-benar ingin menangis sekarang. Ia mungkin akan tertinggal wisuda kalau caranya seperti ini."Saya belum makan siang. Jadi, kamu bisa menunggu atau ikut ke kantin bersama saya." Tiba-tiba Abian berdiri dari tempat duduknya.'Aku nggak mau makan, Pak. Cuma mau tanda tangan Anda aja, apa susahnya buat tanda tangan, nggak perlu 2 menit,' gerutu Kemala dalam hati. Rasanya ia benar-benar dikerjai untuk dijadikan bahan balas dendam."I-ni cuma tinggal---" Kemala memperagakan tangannya sebagai simbol tanda tangan sembari tersenyum kecut."Saya
Emeril mengerjap, ia melirik pada jam beker di atas nakas, tepat pukul 06.10 menit. Pria itu tidak lantas berdiri, ia menekan sebuah remot hingga gorden kaca terbuka, seketika cahaya kekuningan masuk menembus kamarnya yang luas dan besar, tertata rapi dan sangat bersih. Perlahan cahaya itu terasa hangat, Emeril menghirup kesegeran yang ia rasakan untuk memupuk semangat paginya. Emeril turun dan merapikan piyama yang ia kenakan. Kakinya dideteksi robot pembersih saat ia menginjakan kaki di atas lantai. Tenggorakannya terasa haus hingga ia memutuskan untuk mengambil air minum sebelum membersihkan diri. "Bau apa ini?" Emeril menajamkan pencium, memiringkan kepala untuk merasakan sesuatu yang beda. "Suara apa itu?" Berkali-kali ia menggerakkan lehernya untuk mencari. Bertahun-tahun tidak ada yang pernah merusak aroma pagi yang segar di rumahnya, tapi pagi ini ia mencium bau yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. "Krrrrk ... Krrrkk ...." Jelas itu adalah suara orang yang mengorok. Langkah
"Nenek Kemala harus pulang, pekerjaan di rumah ini sudah selesai. Besok, Kemala datang lagi," ucap Kemala dengan suara yang dikeraskan. Sebenarnya ia sedang pamit pada pria yang tengah sibuk dengan laptopnya di meja yang lain. Ia tampak sibuk dan tidak merespons sama sekali, meski mendengarnya."Kamu yakin tidak mau beristirahat lebih lama di sini?" Nenek mengkhawatirkan keadaan gadis itu yang belum pulih benar. Meskipun, demamnya sudah reda karena obat yang diberikan oleh dokter."Kemala sudah jauh lebih baik kok, Nek." Kemala tersenyum sembari menepuk-nepuk tangan nenek yang sejak tadi menggenggam tangannya."Ya, gimana nggak sembuh. Bayar dokternya aja mahal!" celetuk Emeril menggaruk alisnya yang tak gatal. Muka datar dan masih berpura-pura fokus pada pekerjaan yang dia kerjakan di rumah."Dianter Eril ya?"Kemala menggeleng cepat, pria itu melihatnya. Sebelah bibir atasnya langsung terangkat. "Aku sibuk, Nek. Nggak ada waktu," tukas Emeril lagi. Kemala menghela napas sembari memb