Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
[Hallo, apakah saya bisa bicara dengan Ibu Kumari?][Ya, saya sendiri.][Maaf, Ibu Kumari. Suami Anda mengalami kecelakaan. Beliau bersama seorang wanita hamil. Sekarang keduanya berada di rumah sakit Mayapada. Keadaannya kritis, jadi saya harap ada wali pasien yang bisa segera datang.][Ya.] Kumari merasa gugup. Ia sedikit bingung mendengar kabar itu. Lalu, melihat perutnya yang membuncit besar. "Siapa yang dimaksud wanita hamil itu?" gumamnya, karena wanita itu tidak mungkin dirinya.[Bagaimana Ibu?][Ya. Ya, Pak. Saya akan segera datang.] Kumari segera mengambil tas selempeng kecil miliknya. Ia bergegas mengunci pintu dan berusaha menepis pikiran-pikiran buruk tentang kabar mengejutkan yang baru saja di dengarnya. Dalam hati Kumari saat ini, ia hanya ingin segera melihat keadaan suaminya yang 2 hari yang lalu izin untuk mengirimkan ayam ke luar kota.Kumari sedikit kesulitan saat ia harus berdesakan dengan penumpang angkutan kota lainnya. Perutnya yang sudah besar menyulitkannya un
"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam."Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!""Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku."Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?""Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan
"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya."Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang."Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!""Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mb
Malam ini Kemala benar-benar menginap di apartemen mewah milik nenek itu. Ia bahkan hanya sekali membantunya, tapi sudah diperlakukan seperti ratu. Kemala merasa bahagia, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk dan wangi. Menciumi aromanya yang asing. Namun, sayang. Entah apa alasannya ia sulit untuk terlelap tidur dan merindukan aroma bantal guling lapuk miliknya. Ternyata, tidur di tempat mewah membuat tubuhnya sulit beradaptasi. "Menyingkirlah!" Satu persatu Kemala melemparkan bantal guling ke atas lantai, membolak-balik tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman. Hampir setiap sudut ia coba dengan posisi yang berbeda. Nihil! matanya tetap saja terjaga._______Brugh! Dug! Dug! Mata Kemala yang baru saja terpejam langsung melotot. Ia menyapu sekeliling ruangan dan mulai ketakutan. " Mungkinkah ada maling masuk ke apartemen mewah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Kemala mengendap keluar dari kamar. Tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, tapi suara bising itu semakin kencang te
Kemala bergegas mengambil kopernya. Ia harus segera pulang sebelum Emeril semakin menyebalkan."Nenek aku harus pulang sekarang.""Kenapa terburu-buru, Nak?""Biarkan saja, Nek. Nggak perlu di tahan-tahan," sahut Emeril sembari memindahkan siaran televisi.'Bukankah sudah kubilang dia sangat menyebalkan!' gerutu Kemala dalam hati. Seumur-umur dalam hidupnya, baru kali ini melihat orang seperti itu. 'Apa karena dia orang kaya, makanya songong begitu? Ah! Banyak kok orang kaya, tapi nggak sesongong dia!'"Kemala masih ada urusan, Nek," jawab Kemala berusaha tetap ramah di depan nenek."Baik lah, kalau begitu. Jangan lupa untuk sering-sering mampir. Apartemen nenek terbuka untukmu." Nenek memeluk gadis itu."Enak banget!" sahut Emeril lagi dingin. Kemala hanya melirik sinis pria menyebalkan itu. Di matanya bisa terlihat api yang menyambar-nyambar. Siap membakar seandainya tidak ada nenek di antara mereka. "Kemala sangat senang di sini, Nek." Ucapan Kemala sedikit terjeda. "Saat tidak ad
Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Kamu yakin nggak mau ke Rumah Sakit?" tanya Emeril. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ayamnya itu. 'Apa mungkin dia masih trauma?' batin pria itu bahkan bertanya-tanya. Ia pun terus memperhatikan Kemala dari kaca spion. Kemala hanya menggeleng pelan. Sejak diselamatkan dari penculikan itu, Kemala bungkam, ia tidak sebawel biasanya apalagi sampai rewel. Wajahnya masih menoleh pada kaca luar, padahal di sana sepi dan gelap."Bagaimana, Pak. Kita akan kemana?" tanya Jeri_orang kepercayaan Emeril sekaligus satu-satunya sahabat pria itu.Emeril melirik, pembicaraan mereka rupanya tidak didengar oleh Kemala. "Eheum!" Pria itu pura-pura berdehem. "Aku akan mengantarmu pulang, Kemala," ucap Emeril. Kemala menyeka air matanya yang sulit berhenti. Lalu, ia berbalik dan merespon Emeril yang kebingungan. "Turunkan saja aku di tempat yang terang dan ramai," jawab Kemala. Ini sudah pukul 04.00 pagi, matahari sebentar lagi akan terbit, Kemala pikir tidak masalah, ia hanya tinggal menun
[Kenapa kamu menggangguku di tengah malam seperti ini, Nadine?] Kumari mengangkat panggilan dari Nadine dengan malas. Ia hampir enggan membuka mata. Wanita itu tidak tahu kalau rahasia besar yang telah di sembunyikannya sudah terbongkar. [Kemala diculik, Bu,] jawab Nadine cepat.[Apa?! Apa maksdumu?] Wanita itu langsung terperanjat dari tidurnya, ia menarik kimono yang terjepit kakinya sendiri. "Ish!" Kumari bahkan hampir tersungkur. [Bagaimana kejadiannya, Nadine. Di mana kamu sekarang?][Kemala bertengkar dengan Bapak. Kemala pergi dan tidak pulang. Aku mencarinya dan mengajak dia pulang. Tapi, di perjalanan 3 orang pria menghadang kami, mereka membawa pergi Kemala, Bu. Aku sedang mengikuti mobil itu.][Kirimkan alamatmu sekarang!] perintah Kumari.[Iya, Bu.]Kumari langsung berganti pakaian. Ia bahkn menghubungi tangan kanannya. Sayangnya, panggilan itu tidak juga mendapat jawaban. "Kemana dia!" Wanita itu menyimpan kasar ponselnya di atas dasbord. Ia segera mengemudi dan mengikut
Langit sudah menjadi sangat gelap sekarang, Kemala termenung di samping motornya. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Ke apartemen ibunya terasa tak mungkin, gadis itu tidak ingin menemui wanita yang telah melahirkannya sekarang. Jika, malam kemarin ia masih bisa pergi ke rumah Emeril, saat ini situasinya pun tidak mendukung.[Kamu tidak perlu datang lagi ke rumahku!] Pesan singkat pria itu membuat Kemala semakin terpuruk. Ia masih menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Bingung dan tak tahu arah, sedangkan malam terus beranjak naik. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pada Emeril, sepertinya ia tidak suka saat Kemala datang bersama Abian ke rumahnya tadi siang.Kemala tidak terbiasa berada di luar semalam ini. Sangat jarang dan bahkan tidak sama sekali. Hanya setelah keputusannya mencari sang ibu membuatnya kini berakhir pada penyesalan yang begitu dalam. Tapi, siapa yang sangka akan seperti ini. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, rindu pada sang ibu akan b
Kemala masih menunggu pria yang tak disangka adalah dosen killernya itu, penampilan dan cara bicaranya yang jauh berbeda saat di voice note membuat Kemala sedikit tidak percaya. Teman-temannya hampir selesai, hanya miliknya yang sama sekali belum disentuh.'Ini pasti gara-gara kumis lele. Dia sengaja menghukumku seperti ini dan menunggu aku menyerah sendiri. Ah!' Kemala hampir putus asa."Aku duluan ya." Temannya menyentuh pundak gadis itu. Kemala benar-benar ingin menangis sekarang. Ia mungkin akan tertinggal wisuda kalau caranya seperti ini."Saya belum makan siang. Jadi, kamu bisa menunggu atau ikut ke kantin bersama saya." Tiba-tiba Abian berdiri dari tempat duduknya.'Aku nggak mau makan, Pak. Cuma mau tanda tangan Anda aja, apa susahnya buat tanda tangan, nggak perlu 2 menit,' gerutu Kemala dalam hati. Rasanya ia benar-benar dikerjai untuk dijadikan bahan balas dendam."I-ni cuma tinggal---" Kemala memperagakan tangannya sebagai simbol tanda tangan sembari tersenyum kecut."Saya
Emeril mengerjap, ia melirik pada jam beker di atas nakas, tepat pukul 06.10 menit. Pria itu tidak lantas berdiri, ia menekan sebuah remot hingga gorden kaca terbuka, seketika cahaya kekuningan masuk menembus kamarnya yang luas dan besar, tertata rapi dan sangat bersih. Perlahan cahaya itu terasa hangat, Emeril menghirup kesegeran yang ia rasakan untuk memupuk semangat paginya. Emeril turun dan merapikan piyama yang ia kenakan. Kakinya dideteksi robot pembersih saat ia menginjakan kaki di atas lantai. Tenggorakannya terasa haus hingga ia memutuskan untuk mengambil air minum sebelum membersihkan diri. "Bau apa ini?" Emeril menajamkan pencium, memiringkan kepala untuk merasakan sesuatu yang beda. "Suara apa itu?" Berkali-kali ia menggerakkan lehernya untuk mencari. Bertahun-tahun tidak ada yang pernah merusak aroma pagi yang segar di rumahnya, tapi pagi ini ia mencium bau yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. "Krrrrk ... Krrrkk ...." Jelas itu adalah suara orang yang mengorok. Langkah
"Nenek Kemala harus pulang, pekerjaan di rumah ini sudah selesai. Besok, Kemala datang lagi," ucap Kemala dengan suara yang dikeraskan. Sebenarnya ia sedang pamit pada pria yang tengah sibuk dengan laptopnya di meja yang lain. Ia tampak sibuk dan tidak merespons sama sekali, meski mendengarnya."Kamu yakin tidak mau beristirahat lebih lama di sini?" Nenek mengkhawatirkan keadaan gadis itu yang belum pulih benar. Meskipun, demamnya sudah reda karena obat yang diberikan oleh dokter."Kemala sudah jauh lebih baik kok, Nek." Kemala tersenyum sembari menepuk-nepuk tangan nenek yang sejak tadi menggenggam tangannya."Ya, gimana nggak sembuh. Bayar dokternya aja mahal!" celetuk Emeril menggaruk alisnya yang tak gatal. Muka datar dan masih berpura-pura fokus pada pekerjaan yang dia kerjakan di rumah."Dianter Eril ya?"Kemala menggeleng cepat, pria itu melihatnya. Sebelah bibir atasnya langsung terangkat. "Aku sibuk, Nek. Nggak ada waktu," tukas Emeril lagi. Kemala menghela napas sembari memb