Kemala bergegas mengambil kopernya. Ia harus segera pulang sebelum Emeril semakin menyebalkan.
"Nenek aku harus pulang sekarang." "Kenapa terburu-buru, Nak?" "Biarkan saja, Nek. Nggak perlu di tahan-tahan," sahut Emeril sembari memindahkan siaran televisi. 'Bukankah sudah kubilang dia sangat menyebalkan!' gerutu Kemala dalam hati. Seumur-umur dalam hidupnya, baru kali ini melihat orang seperti itu. 'Apa karena dia orang kaya, makanya songong begitu? Ah! Banyak kok orang kaya, tapi nggak sesongong dia!' "Kemala masih ada urusan, Nek," jawab Kemala berusaha tetap ramah di depan nenek. "Baik lah, kalau begitu. Jangan lupa untuk sering-sering mampir. Apartemen nenek terbuka untukmu." Nenek memeluk gadis itu. "Enak banget!" sahut Emeril lagi dingin. Kemala hanya melirik sinis pria menyebalkan itu. Di matanya bisa terlihat api yang menyambar-nyambar. Siap membakar seandainya tidak ada nenek di antara mereka. "Kemala sangat senang di sini, Nek." Ucapan Kemala sedikit terjeda. "Saat tidak ada dia." "Kenapa jadi aku yang harus pergi?" Emeril terus saja menyahut dengan santai. Tanpa merasa bahwa sikapnya sangat menyebalkan. "Iiish!" Kemala menahan kepalan tangannya. Ingin sekali dia melepaskan tinjunya, memplester mulutnya, dan mengikatnya di tiang jemuran. "Sudahlah, percuma juga berdebat dengan bebek jantan seperti itu!" "Apa?!" Emeril mendelik tidak suka saat julukan itu ditunjukkan untuknya. "Weee!" Kemala mencibirnya sebelum pergi, dan bergegas menutup pintu. Brank! Terdengar cukup keras saking cepatnya. Gadis itu termenung sesaat di depan apartemen nenek. Ia menghela napasnya yang terasa berat. Setelah melihat kejadian tadi subuh. Kemala merasa tidak yakin dengan keinginannya untuk tinggal bersama ibunya, meski hanya beberapa hari. Tapi, bagaimana pun mereka adalah keluarganya. Ibu dan kakaknya. Kemala merasa ia harus turut andil dalam kehidupan mereka, karena jika bapaknya tahu, lelaki itu pasti akan sangat sedih. "Tidak! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan mereka. Kenapa ibu bersikap dingin padaku, dan membiarkan kehidupan Mbak Nadine berantakan seperti itu?" tekad Kemala. Ia lantas berdiri di depan apartemen ibunya dan menekan bel. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Mata Kumari melotot melihat Kemala berdiri di hadapannya saat ini. "Izinkan aku untuk masuk sebentar saja, Bu." Kemala menerobos masuk ke dalam apartemen milik ibunya. Ia harus melihatnya sendiri, seperti apa kehidupan mereka. "Untuk apa kamu datang kemari. Bukankah aku sudah katakan agar kamu tinggal bersama bapakmu saja!" teriak Kumari saat melihat anaknya itu sudah berada di dalam. Pemandangan yang jelas-jelas berbeda, suasana nyaman, rapi dan harum di apartemen nenek berbanding terbalik dengan keadaan apartemen milik ibu dan kakanya ini. Kemala memandangnya miris. "Bagaimana kalian bisa tinggal di tempat seperti ini?" tanya Kemala tidak percaya. Rumahnya yang reot bahkan jauh lebih rapi dan bersih. Dus-dus besar dan kecil bertumpuk di mana-mana, membuat ruangan itu terasa begitu sesak dan sempit. Kakaknya bahkan masih tidur telungkup di atas kasur yang berantakan dan bau alkohol masih tercium pekat seperti aroma yang sangat menyesakkan. "Bukankah kamu sudah melihatnya, sekarang?" Kumari duduk sembari menyilangkan kaki, mengisap rokok dan meniupkan asapnya hingga di sekitar sana tercium aroma yang lebih pahit. Perpaduan alkohol dan nikotin. Kemala bahkan bisa melihat puntungnya yang berserakan di atas meja. "Ada apa dengan kehidupan kalian, Bu? Bukankah di media sosial kalian terlihat sangat bahagia?" "Heum! Bukankah karena itu kamu berserikeras untuk tinggal bersamaku?" Kumari masih enggan menatap gadis itu, ia hanya menatap pada bulatan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya. "Apakah untuk kehidupan seperti ini, ibu memilih meninggalkan rumah?" "Kamu sudah terlalu banyak bertanya, Kemala. Pulang lah! Bapakmu pasti sangat khawatir." "Bu!" "Kemala!" Kumari berdiri. "Pulanglah!" Kemala menghembuskan napasnya lagi, tangannya menarik koper itu dengan berat, keluar dari sana. Ia semakin tidak mengerti, kenapa ibunya memutuskan hal seperti itu. Apa benar-benar karena masalah harta semata? Bayangan pahit masa kecilnya kembali menguar. "Aku sudah muak tinggal bersamamu, Mas. Hidup miskin seperti ini dengan dua anak yang harus kamu hidupi membuatku sangat sesak! Aku akan pergi bersama Nadine." "Bertahanlah sebentar lagi, Kumari!" "Sampai kapan, Mas. Hubungan kita bahkan tidak bisa kembali seperti semula!" Kumari membawa beberapa pakaian ganti bersama Nadine. Hanya itu harta berharga yang mereka miliki sebelum pergi. "Ibu!" rengek Kemala. "Aku ingin ikut, Ibu!" jeritnya dalam tangis, tapi Jaka menahan putrinya, membiarkan istrinya dan satu anaknya di bawa pergi. "Ibu! Aku ikut!" teriak Kemala lagi, gadis itu terus meronta memanggil ibunya, namun Kumari tidak pernah menengok lagi. ia menggenggam erat tangan Nadine dan membawanya cepat, meski anak itu merasa sangat berat. Hanya karena Kumari menging-ngimingi mainan dan uang jajan yang banyak, akhirnya gadis kecil berusia 10 tahun itu setuju untuk ikut. Kemala berjalan gontai di lantai 3, ia turun menggunakan lift dan tepat di depan sana satpam yang semalam memberinya kotak snack melihat gadis itu. "Neng, kok dari dalam, bukannya semalam pulang?" Satpam itu melihat Kemala dengan seksama. "Masih dengan pakaian yang sama. Kapan Neng masuk lagi?" tanyanya bingung. "Aku masuk bersama Nenek." "Nenek?" "Ya, Nenek yang ada di lantai 3." "Oh, Nenek Qaswa? Kok bisa kenal. Bukannya kemarin malam mencari Bu Kumari ya?" "Pusing kan, Pak?" tanya Kemala. Satpam itu mengangguk. "Benar. Seribet itu hidupku, Pak." Kemala menarik kopernya keluar. Tenaganya terasa habis di sana, di mana harapan berubah menjadi sebuah kekecewaan. Gadis itu berdiri lagi di depan apartemen, menghela napas panjang sebelum menghembuskannya. Istana mewah yang terlihat diluar, ternyata menyimpan banyak rahasia buruk. Dari sana ia bisa melihat motor bututnya sejajar dengan mobil mewah milik nenek. Sungguh pemandangan yang aneh. Gadis itu mengecek bensinnya. Sudah terisi penuh. "Syukurlah!" Ia merasa lega dan menyimpan kopernya di depan. "Habis sudah riwayatku sekarang. Bapak pasti marah besar karena aku tidak pulang semalam," gumam Kemala berat. Kemala sampai di rumahnya, tapi bapak yang biasa menjegal di depan pintu tidak perlihat di sana. Ruangan yang tidak luas itu terlihat sepi. "Kemana bapak?" Ia menarik kopernya ke dalam kamar. Ruangan yang berantakan saat ditinggalkan itu tampak lebih rapi. "Bapak pasti yang melakukannya." Ada rasa bersalah dan penyesalan yang tiba-tiba mencuat dalam hati gadis itu. "Kemala, apa kamu sudah pulang?" Tiba-tiba suara bapak terdengar melengking. "Ya, Pak," jawab gadis itu. "Kemari lah! Bantu bapak memilih ayam-ayam ini." Kemala segera menghampirinya, bapaknya tengah menangkap ayam-ayam itu dan memisahkannya ke dalam ranjang. "Kenapa sudah di panen, Pak. Ini 'kan belum waktunya?" "Tidak apa-apa, ada beberapa yang sudah besar. Bapak ingin membelikan makanan enak untukmu," ucapnya tanpa mengangkat wajah. "Bapak---." Kemala meneteskan air mata. "Maaf." Gadis itu memburu dan memeluk bapaknya. "Tubuh bapak bau, Nak." Kemala malah semakin sesegukan, tangisnya tidak terbendung. Ia yang begitu keras dan terus menyalahkan kemiskinan mereka, justru melihat hal yang sangat buruk di balik kemewahan yang diperlihatkan ibu dan kakaknya. "Sudah, jangan menangis. Nanti kepalamu sakit. Ayo kita pilih ayam-ayam ini!" Pak Jaka menepuk pelan pundak putrinya. Kemala mulai menangkap beberapa ayam yang terlihat bongsor dibanding yang lainnya. Pak Jaka yang kelelahan duduk di atas ranjang dan hanya memasukkan ayam-ayam yang diberikan Kemala. "Aku menemui Ibu dan Mbak Nadine, Pak," ucap Kemala sembari mengejar ayam yang berontak untuk ditangkap. "Apakah ibumu sekarang sudah bisa menerima?" Kemala menggeleng. "Aku akan tinggal bersama bapak saja," jawabnya. 'Keeeeoook!' jeritan ayam terdengar nyaring. "Hidup mewah, berlimpah harta yang ditunjukkan ibu dan Mbak Nadine hanya topeng semata, Pak." Gadis itu memberikan ayam yang telah diketoknya hingga diam, lalu menyerahkannya ke tangan bapak. "Topeng bagaimana?" "Ya, Topeng. Mbak Nadine dan ibu hanya pura-pura bahagia, padahal hidupnya lebih berantakan dari kita. Apartemen yang aku bayangkan mewah ternyata tidak jauh dari kandang ayam bapak yang pengap dan bau." Kemala tidak ingin mengatakan hal sebenarnya pada lelaki yang telah membesarkannya itu. Bagaimana pun Nadine adalah anaknya, bapak pasti akan sedih jika mendengar kelakuan Nadine yang setiap mmalam pulang dalam keadaan mabuk. Pak Jaka terlihat berpikir menanggapi ucapan putrinya, namun suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Mitra bisnisnya datang. Ia segera ke depan dan memanggil orang tersebut untuk sama-sama menimbang ayamnya. Kemala mundur dan membersihkan dirinya. Menarik napas panjang, melihat sekeliling rumah reot yang ia tinggali hampir 23 tahun ini. "Aku rasa rumah ini lebih nyaman daripada rumah ibu." "Kemala!" panggil bapak. "Ya, Pak?" "Ini simpan uangnya di dompet bapak." "Iya." Kemala menerima uang di tangannya. Jumlahnya lumayan, sembilan ratus ribu. "Simpan di dompet bapak di kamar. Nanti siang kita bisa jalan-jalan," ucap Pak Jaka bersemangat, menyeka butiran keringat di dahinya. Kemala hanya bisa mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar bapak. Kamar yang usang namun masih tertata rapi. "Di mana bapak menyimpan dompetnya?" Gadis itu membuka beberapa laci untuk mencari. Matanya tertarik pada satu lembar hasil USG berwarna hitam putih. Di sana tampak terlihat nama ibunya dan keterangan dari hasil USG. "Janin hidup, tunggal." "Tunggal? Bukankah kata bapak aku dan Mbak Nadine kembar?" Pikiran Kemala melayang kemana-mana. Ia tidak bisa mencerna tentang bukti itu. Selama ini, yang ia tahu dirinya dan Nadine lahir dari rahim yang sama. "Tidak mungkin usia Mbak Nadine diatasku. Jelas aku lihat tanggal lahirnya di dalam akte itu adalah sama." "Kemala? Apa yang sedang kamu lihat, Nak?" Kemala kaget dan langsung menjatuhkan kerta hasil USG itu. Bapak melihatnya dan kemudian dia memandang putrinya dengan pilu. 'Mungkinkah sebenarnya anak ibu hanya satu dan itu yang membuatnya tidak menginginkanku?' 'Tapi, sebenarnya aku tetap merasakan cinta ibu, meski dari sikapnya yang kasar di depan bapak, karena saat bapak tidak ada, sikap ibu sangat manis terhadapku.' Tatapan Kemala yang kosong menerawang masa-masa kecilnya dulu. Bersambung ....Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya."Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu.Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam."Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala."Nak. Bapak akan ceritakan nanti.""Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?""Kemala, dengar bapak dulu!""Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja."Kemala! Dengar dulu, Nak!"Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berl
"Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine."Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender."Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman.Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat.Tubuh Kemala bergetar,
Menjelang pagi, bapak meminta Kemala untuk pulang, membersihkan diri dan memeriksa ayam-ayamnya. Meskipun, sebenarnya sudah dititipkan pada Mang Dayat."Masih terbaring di ranjang Rumah Sakit aja pikirannya cuma ayam, ayam, dan ayam!" Kemala menggerutu saat memeriksa ayam-ayamnya."Mang Dayat sudah memberinya makan, Neng. Tidak perlu khawatir dengan ayam-ayam itu. Fokus saja pada kesembuhan bapak," ujar Mang Dayat menghampiri, rumahnya memang bersebelahan, jadi mudah saja untuk pria itu datang."Terimakasih, Mang.""Sama-sama, Neng. Pokoknya urusan ayam mah, urusan amang!" Ia menepuk dadanya sendiri. Kemala tersenyum dan kembali ke rumahnya. Ia merasa lega karena bebannya sedikit berkurang.Kemala termenung seorang diri di dalam rumah, di tangannya terdapat hasil usg yang ia temukan sebelumnya dan menjadi pertengkaran dengan sang bapak. Gadis itu membolak-baliknya, hasilnya sama saja. Hingga detik ini ia tidak tahu siapa anak yang dikandung ibunya. Meski, sebenarnya Kemala sempat tida
"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
"Aku yakin dia ada di apartemennya sekarang. Kita harus menunggu dia keluar.""Rasanya aku ingin menyerobot masuk saja, menghajar wanita tidak tahu diri itu!" Dua orang gadis muda mengumpat. Kemala mengerutkan dahinya, 'Siapa yang mereka maksud?' Ia berjalan melewati keduanya, telinga meruncing untuk mencari tahu lebih banyak. Mereka berdiri di dekat apartemen, pinggir jalan. Sayang, kedua wanita muda itu tidak menyebutkan nama, tapi mereka terlihat sangat geram.Kemala bergegas masuk ke dalam apartemen, ia tidak bisa membuat kakaknya menunggu. Pintu apartemen itu sengaja tidak dikunci untuk memudahkananya keluar masuk agar tidak menganggu Nadine yang sedang tidak enak badan."Mbak Nadine?" Gadis itu mencari. Kakaknya tidak ada di tempat tidur. "Di mana dia? Mbak!" teriaknya lagi mencari."Mbak!" Kemala kaget saat melihat kaki Nadine yang menjulur di pintu kamar mandi. "Ya, ampun mbak. Ada apa denganmu?" Dari mulut wanita itu keluar busa. Ia tidak sadarkan diri hingga terjatuh di kam
Rambut panjang Kemala terbang menerpa kaca helm yang Emeril gunakan. Berwarna kehitaman rapi dan terawat. Pria itu tetap menjaga gengsinya untuk tidak dekat-dekat. Ia tetap duduk tegap sembari menjewer sedikit pakaian gadis itu. Orang-orang memperhatikan mereka, kesombongan yang jelas terlihat. Kemala yang seorang wanita dan mengemudi bahkan tidak menggunakan helm. Sedangkan, Emeril laki-laki dan menjadi penumpang malah menggunakan helm."Mama!" pekik seorang anak kecil di atas motor saat melihat Emeril melotot padanya di lampu merah."Jangan dilihat! Nanti ketularan gila," tukas ibunya. Kepala Emeril kembali menoleh saat mendengar kata-kata itu.Dug! Helmnya pun terbentur kepala Kemala saat gadis itu kembali melaju."Ya, ampun! Dosa apa yang sudah bapak perbuat hingga aku harus bertemu dengan pria macam dia!" umpat Kemala kesal. Rasanya ingin sekali ia menjatuhkan pria itu ke dalam got.Mobil ambulans yang membawa Nadine sampai lebih dulu. Mereka segera membawa wanita itu ke UGD untu
"Benarkah di sini ada pasien yang bernama Nadine?" Seorang wartawan menyerobot masuk, padahal 3 security berjaga di depan gerbang bangunan UGD."Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi pada Nadine? Tolong izinkan kami untuk menemuinya sebentar saja, Pak.""Tidak ada. Tidak ada yang bernama Nadine di sini. Silahkan kalian semua bubar!" Security mencoba menghalau mereka. "Tidak mungkin, Pak. Kami punya narasumber yang pasti. Nadine di larikan ke Rumah Sakit ini.""Saya bilang tidak ada! Silahkan tunggu saja kalau tidak percaya!" Ketiga security pasang badan agar tidak kecolongan. Mereka sudah mendapat perintah untuk tidak memasukkan para wartawan itu."Aku yakin dia di sini!" Seorang anak perempuan mengepalkan tangannya kencang. "Sampai kapan kamu akan bermain kucing-kucingan, wanita murahan! Aku akan buat kamu menerima balasannya!" pekiknya geram. Anak perempuan itu tidak mau tinggal diam dan menunggu. Dia berjalan-jalan ke samping rumah sakit. Lalu, menemukan sebuah ambulans yang terpa
Berhari-hari semuanya terasa sepi, Kemala hanya keluar saat pagi, membuat sarapan dan merapikan rumah Emeril, tanpa kata apalagi lelucon. Pria itu hanya memperhatikan dalam diam, ia pun tidak banyak menegur dan membiarkan Kemala seperti itu. Siang hari hingga malam Kemala punya waktu bebas, ia lepas dari tugasnya sebagai pembantu di rumah pemuda kaya itu. Kemala memanfaatkan waktu senggangnya untuk belajar menghadapi sidang dan mencari informasi lowongan di beberapa media sosial, tentu saja ia harus memiliki pekerjaan setelah satu bulan berada di kamar yang ia tempati sekarang. Selain itu, rasa ingin berbakti pada bapaknya kian hari kian besar.[Aku akan datang sekarang!]Pagi ini, Emeril terlihat rusuh saat keluar dari kamar. Ia tampak serius dan sama sekali tidak mencicipi sarapannya seperti biasa. Kemala memperhatikannya dari dapur. Laki-laki itu langsung mengenakan kaos kaki dan sepatu."Tunggu!" Kemala bergegas mengejar, memberikan kotak makan.Emeril tidak menyahut ia hanya mene
"Di mana kamu tinggal?" Pria yang memperkenalkan dirinya sebagai Herman itu sedikit menoleh pada Nadine yang setengah sadar akan keadaannya sendiri. "Aku tidak punya tempat tinggal," jawab Nadine singkat. Kepalanya serasa mau pecah saat sedikit saja terjadi benturan karena kondisi jalan yang tidak rata. Untung saja Herman datang tepat waktu, dia yang mengaku sebagai paman Nadine itu menawarkan diri untuk mengemudi. Tentu saja mobil Nadine karena dia datang menggunakan kendaraan umum."Tinggal bersama paman saja, Nadine," ucapnya kemudian.Nadine enggan menanggapi, mulutnya terasa penuh. Sebuah cairan terasa mendesak naik ke atas. Gadis itu memukul pintu mobil, ia meminta untuk berhenti. Tangan kirinya sudah memegangi mulutnya sendiri."Iya, iya, sebentar!" Herman segera menepikan mobil yang dikendarainya. Nadine membukanya tanpa isyarat, menerobos begitu saja dan memuntahkan semuanya di trotoar. Ia bahkan tidak bisa bergeser sedikit saja ke rerumputan. Orang-orang yang sedang berjala
Nadine memutar setir mobil sembari membantingnya ke arah kiri. Ia sangat terlihat kacau sekarang, otaknya terasa mendidih dengan amarah dan kebencian. Terasa sebuah api meletup-letup di dalam dadanya, ia ingin meluapkan semua itu, namun entah dengan cara apa. Nadine hanya tahu kalau dirinya saat ini tengah terluka, sangat dalam, hingga tidak bisa mengungkapkan bagaimana rasanya. Tangannya yang memegang kemudi tampak bergetar, lajunya pun tidak terarah, matanya pudar dan terhalang air mata. Gadis itu merasa sendiri, entah kemana ia harus pergi.Tiiiiid! Sebuah mobil menyalakan klakson dengan nyaring. Nadine tidak peduli, ia tetap melajukan mobilnya ugal-ugalan tanpa arah. Banyak mobil yang memilih menghindar, ada juga yang menyalip dan meninggalkannya jauh. "Hentikkan mobilmu!" pekik seseorang dari kendaraan lain. Sayang, Nadine bahkan tidak ingin meliriknya. Ia tidak peduli pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Ia merasa mati bahkan sebelum menemui ajalnya sendiri.Mata Nadine
"Kamu yakin nggak mau ke Rumah Sakit?" tanya Emeril. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada gadis ayamnya itu. 'Apa mungkin dia masih trauma?' batin pria itu bahkan bertanya-tanya. Ia pun terus memperhatikan Kemala dari kaca spion. Kemala hanya menggeleng pelan. Sejak diselamatkan dari penculikan itu, Kemala bungkam, ia tidak sebawel biasanya apalagi sampai rewel. Wajahnya masih menoleh pada kaca luar, padahal di sana sepi dan gelap."Bagaimana, Pak. Kita akan kemana?" tanya Jeri_orang kepercayaan Emeril sekaligus satu-satunya sahabat pria itu.Emeril melirik, pembicaraan mereka rupanya tidak didengar oleh Kemala. "Eheum!" Pria itu pura-pura berdehem. "Aku akan mengantarmu pulang, Kemala," ucap Emeril. Kemala menyeka air matanya yang sulit berhenti. Lalu, ia berbalik dan merespon Emeril yang kebingungan. "Turunkan saja aku di tempat yang terang dan ramai," jawab Kemala. Ini sudah pukul 04.00 pagi, matahari sebentar lagi akan terbit, Kemala pikir tidak masalah, ia hanya tinggal menun
[Kenapa kamu menggangguku di tengah malam seperti ini, Nadine?] Kumari mengangkat panggilan dari Nadine dengan malas. Ia hampir enggan membuka mata. Wanita itu tidak tahu kalau rahasia besar yang telah di sembunyikannya sudah terbongkar. [Kemala diculik, Bu,] jawab Nadine cepat.[Apa?! Apa maksdumu?] Wanita itu langsung terperanjat dari tidurnya, ia menarik kimono yang terjepit kakinya sendiri. "Ish!" Kumari bahkan hampir tersungkur. [Bagaimana kejadiannya, Nadine. Di mana kamu sekarang?][Kemala bertengkar dengan Bapak. Kemala pergi dan tidak pulang. Aku mencarinya dan mengajak dia pulang. Tapi, di perjalanan 3 orang pria menghadang kami, mereka membawa pergi Kemala, Bu. Aku sedang mengikuti mobil itu.][Kirimkan alamatmu sekarang!] perintah Kumari.[Iya, Bu.]Kumari langsung berganti pakaian. Ia bahkn menghubungi tangan kanannya. Sayangnya, panggilan itu tidak juga mendapat jawaban. "Kemana dia!" Wanita itu menyimpan kasar ponselnya di atas dasbord. Ia segera mengemudi dan mengikut
Langit sudah menjadi sangat gelap sekarang, Kemala termenung di samping motornya. Ia tidak punya tempat untuk kembali. Ke apartemen ibunya terasa tak mungkin, gadis itu tidak ingin menemui wanita yang telah melahirkannya sekarang. Jika, malam kemarin ia masih bisa pergi ke rumah Emeril, saat ini situasinya pun tidak mendukung.[Kamu tidak perlu datang lagi ke rumahku!] Pesan singkat pria itu membuat Kemala semakin terpuruk. Ia masih menggenggam ponselnya dengan tangan yang bergetar. Bingung dan tak tahu arah, sedangkan malam terus beranjak naik. Entah kesalahan apa yang dibuatnya pada Emeril, sepertinya ia tidak suka saat Kemala datang bersama Abian ke rumahnya tadi siang.Kemala tidak terbiasa berada di luar semalam ini. Sangat jarang dan bahkan tidak sama sekali. Hanya setelah keputusannya mencari sang ibu membuatnya kini berakhir pada penyesalan yang begitu dalam. Tapi, siapa yang sangka akan seperti ini. Tidak pernah terlintas sedikit pun dalam benaknya, rindu pada sang ibu akan b
Kemala masih menunggu pria yang tak disangka adalah dosen killernya itu, penampilan dan cara bicaranya yang jauh berbeda saat di voice note membuat Kemala sedikit tidak percaya. Teman-temannya hampir selesai, hanya miliknya yang sama sekali belum disentuh.'Ini pasti gara-gara kumis lele. Dia sengaja menghukumku seperti ini dan menunggu aku menyerah sendiri. Ah!' Kemala hampir putus asa."Aku duluan ya." Temannya menyentuh pundak gadis itu. Kemala benar-benar ingin menangis sekarang. Ia mungkin akan tertinggal wisuda kalau caranya seperti ini."Saya belum makan siang. Jadi, kamu bisa menunggu atau ikut ke kantin bersama saya." Tiba-tiba Abian berdiri dari tempat duduknya.'Aku nggak mau makan, Pak. Cuma mau tanda tangan Anda aja, apa susahnya buat tanda tangan, nggak perlu 2 menit,' gerutu Kemala dalam hati. Rasanya ia benar-benar dikerjai untuk dijadikan bahan balas dendam."I-ni cuma tinggal---" Kemala memperagakan tangannya sebagai simbol tanda tangan sembari tersenyum kecut."Saya
Emeril mengerjap, ia melirik pada jam beker di atas nakas, tepat pukul 06.10 menit. Pria itu tidak lantas berdiri, ia menekan sebuah remot hingga gorden kaca terbuka, seketika cahaya kekuningan masuk menembus kamarnya yang luas dan besar, tertata rapi dan sangat bersih. Perlahan cahaya itu terasa hangat, Emeril menghirup kesegeran yang ia rasakan untuk memupuk semangat paginya. Emeril turun dan merapikan piyama yang ia kenakan. Kakinya dideteksi robot pembersih saat ia menginjakan kaki di atas lantai. Tenggorakannya terasa haus hingga ia memutuskan untuk mengambil air minum sebelum membersihkan diri. "Bau apa ini?" Emeril menajamkan pencium, memiringkan kepala untuk merasakan sesuatu yang beda. "Suara apa itu?" Berkali-kali ia menggerakkan lehernya untuk mencari. Bertahun-tahun tidak ada yang pernah merusak aroma pagi yang segar di rumahnya, tapi pagi ini ia mencium bau yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. "Krrrrk ... Krrrkk ...." Jelas itu adalah suara orang yang mengorok. Langkah
"Nenek Kemala harus pulang, pekerjaan di rumah ini sudah selesai. Besok, Kemala datang lagi," ucap Kemala dengan suara yang dikeraskan. Sebenarnya ia sedang pamit pada pria yang tengah sibuk dengan laptopnya di meja yang lain. Ia tampak sibuk dan tidak merespons sama sekali, meski mendengarnya."Kamu yakin tidak mau beristirahat lebih lama di sini?" Nenek mengkhawatirkan keadaan gadis itu yang belum pulih benar. Meskipun, demamnya sudah reda karena obat yang diberikan oleh dokter."Kemala sudah jauh lebih baik kok, Nek." Kemala tersenyum sembari menepuk-nepuk tangan nenek yang sejak tadi menggenggam tangannya."Ya, gimana nggak sembuh. Bayar dokternya aja mahal!" celetuk Emeril menggaruk alisnya yang tak gatal. Muka datar dan masih berpura-pura fokus pada pekerjaan yang dia kerjakan di rumah."Dianter Eril ya?"Kemala menggeleng cepat, pria itu melihatnya. Sebelah bibir atasnya langsung terangkat. "Aku sibuk, Nek. Nggak ada waktu," tukas Emeril lagi. Kemala menghela napas sembari memb