Kemala bergegas mengambil kopernya. Ia harus segera pulang sebelum Emeril semakin menyebalkan.
"Nenek aku harus pulang sekarang." "Kenapa terburu-buru, Nak?" "Biarkan saja, Nek. Nggak perlu di tahan-tahan," sahut Emeril sembari memindahkan siaran televisi. 'Bukankah sudah kubilang dia sangat menyebalkan!' gerutu Kemala dalam hati. Seumur-umur dalam hidupnya, baru kali ini melihat orang seperti itu. 'Apa karena dia orang kaya, makanya songong begitu? Ah! Banyak kok orang kaya, tapi nggak sesongong dia!' "Kemala masih ada urusan, Nek," jawab Kemala berusaha tetap ramah di depan nenek. "Baik lah, kalau begitu. Jangan lupa untuk sering-sering mampir. Apartemen nenek terbuka untukmu." Nenek memeluk gadis itu. "Enak banget!" sahut Emeril lagi dingin. Kemala hanya melirik sinis pria menyebalkan itu. Di matanya bisa terlihat api yang menyambar-nyambar. Siap membakar seandainya tidak ada nenek di antara mereka. "Kemala sangat senang di sini, Nek." Ucapan Kemala sedikit terjeda. "Saat tidak ada dia." "Kenapa jadi aku yang harus pergi?" Emeril terus saja menyahut dengan santai. Tanpa merasa bahwa sikapnya sangat menyebalkan. "Iiish!" Kemala menahan kepalan tangannya. Ingin sekali dia melepaskan tinjunya, memplester mulutnya, dan mengikatnya di tiang jemuran. "Sudahlah, percuma juga berdebat dengan bebek jantan seperti itu!" "Apa?!" Emeril mendelik tidak suka saat julukan itu ditunjukkan untuknya. "Weee!" Kemala mencibirnya sebelum pergi, dan bergegas menutup pintu. Brank! Terdengar cukup keras saking cepatnya. Gadis itu termenung sesaat di depan apartemen nenek. Ia menghela napasnya yang terasa berat. Setelah melihat kejadian tadi subuh. Kemala merasa tidak yakin dengan keinginannya untuk tinggal bersama ibunya, meski hanya beberapa hari. Tapi, bagaimana pun mereka adalah keluarganya. Ibu dan kakaknya. Kemala merasa ia harus turut andil dalam kehidupan mereka, karena jika bapaknya tahu, lelaki itu pasti akan sangat sedih. "Tidak! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan mereka. Kenapa ibu bersikap dingin padaku, dan membiarkan kehidupan Mbak Nadine berantakan seperti itu?" tekad Kemala. Ia lantas berdiri di depan apartemen ibunya dan menekan bel. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Mata Kumari melotot melihat Kemala berdiri di hadapannya saat ini. "Izinkan aku untuk masuk sebentar saja, Bu." Kemala menerobos masuk ke dalam apartemen milik ibunya. Ia harus melihatnya sendiri, seperti apa kehidupan mereka. "Untuk apa kamu datang kemari. Bukankah aku sudah katakan agar kamu tinggal bersama bapakmu saja!" teriak Kumari saat melihat anaknya itu sudah berada di dalam. Pemandangan yang jelas-jelas berbeda, suasana nyaman, rapi dan harum di apartemen nenek berbanding terbalik dengan keadaan apartemen milik ibu dan kakanya ini. Kemala memandangnya miris. "Bagaimana kalian bisa tinggal di tempat seperti ini?" tanya Kemala tidak percaya. Rumahnya yang reot bahkan jauh lebih rapi dan bersih. Dus-dus besar dan kecil bertumpuk di mana-mana, membuat ruangan itu terasa begitu sesak dan sempit. Kakaknya bahkan masih tidur telungkup di atas kasur yang berantakan dan bau alkohol masih tercium pekat seperti aroma yang sangat menyesakkan. "Bukankah kamu sudah melihatnya, sekarang?" Kumari duduk sembari menyilangkan kaki, mengisap rokok dan meniupkan asapnya hingga di sekitar sana tercium aroma yang lebih pahit. Perpaduan alkohol dan nikotin. Kemala bahkan bisa melihat puntungnya yang berserakan di atas meja. "Ada apa dengan kehidupan kalian, Bu? Bukankah di media sosial kalian terlihat sangat bahagia?" "Heum! Bukankah karena itu kamu berserikeras untuk tinggal bersamaku?" Kumari masih enggan menatap gadis itu, ia hanya menatap pada bulatan asap rokok yang mengepul di depan wajahnya. "Apakah untuk kehidupan seperti ini, ibu memilih meninggalkan rumah?" "Kamu sudah terlalu banyak bertanya, Kemala. Pulang lah! Bapakmu pasti sangat khawatir." "Bu!" "Kemala!" Kumari berdiri. "Pulanglah!" Kemala menghembuskan napasnya lagi, tangannya menarik koper itu dengan berat, keluar dari sana. Ia semakin tidak mengerti, kenapa ibunya memutuskan hal seperti itu. Apa benar-benar karena masalah harta semata? Bayangan pahit masa kecilnya kembali menguar. "Aku sudah muak tinggal bersamamu, Mas. Hidup miskin seperti ini dengan dua anak yang harus kamu hidupi membuatku sangat sesak! Aku akan pergi bersama Nadine." "Bertahanlah sebentar lagi, Kumari!" "Sampai kapan, Mas. Hubungan kita bahkan tidak bisa kembali seperti semula!" Kumari membawa beberapa pakaian ganti bersama Nadine. Hanya itu harta berharga yang mereka miliki sebelum pergi. "Ibu!" rengek Kemala. "Aku ingin ikut, Ibu!" jeritnya dalam tangis, tapi Jaka menahan putrinya, membiarkan istrinya dan satu anaknya di bawa pergi. "Ibu! Aku ikut!" teriak Kemala lagi, gadis itu terus meronta memanggil ibunya, namun Kumari tidak pernah menengok lagi. ia menggenggam erat tangan Nadine dan membawanya cepat, meski anak itu merasa sangat berat. Hanya karena Kumari menging-ngimingi mainan dan uang jajan yang banyak, akhirnya gadis kecil berusia 10 tahun itu setuju untuk ikut. Kemala berjalan gontai di lantai 3, ia turun menggunakan lift dan tepat di depan sana satpam yang semalam memberinya kotak snack melihat gadis itu. "Neng, kok dari dalam, bukannya semalam pulang?" Satpam itu melihat Kemala dengan seksama. "Masih dengan pakaian yang sama. Kapan Neng masuk lagi?" tanyanya bingung. "Aku masuk bersama Nenek." "Nenek?" "Ya, Nenek yang ada di lantai 3." "Oh, Nenek Qaswa? Kok bisa kenal. Bukannya kemarin malam mencari Bu Kumari ya?" "Pusing kan, Pak?" tanya Kemala. Satpam itu mengangguk. "Benar. Seribet itu hidupku, Pak." Kemala menarik kopernya keluar. Tenaganya terasa habis di sana, di mana harapan berubah menjadi sebuah kekecewaan. Gadis itu berdiri lagi di depan apartemen, menghela napas panjang sebelum menghembuskannya. Istana mewah yang terlihat diluar, ternyata menyimpan banyak rahasia buruk. Dari sana ia bisa melihat motor bututnya sejajar dengan mobil mewah milik nenek. Sungguh pemandangan yang aneh. Gadis itu mengecek bensinnya. Sudah terisi penuh. "Syukurlah!" Ia merasa lega dan menyimpan kopernya di depan. "Habis sudah riwayatku sekarang. Bapak pasti marah besar karena aku tidak pulang semalam," gumam Kemala berat. Kemala sampai di rumahnya, tapi bapak yang biasa menjegal di depan pintu tidak perlihat di sana. Ruangan yang tidak luas itu terlihat sepi. "Kemana bapak?" Ia menarik kopernya ke dalam kamar. Ruangan yang berantakan saat ditinggalkan itu tampak lebih rapi. "Bapak pasti yang melakukannya." Ada rasa bersalah dan penyesalan yang tiba-tiba mencuat dalam hati gadis itu. "Kemala, apa kamu sudah pulang?" Tiba-tiba suara bapak terdengar melengking. "Ya, Pak," jawab gadis itu. "Kemari lah! Bantu bapak memilih ayam-ayam ini." Kemala segera menghampirinya, bapaknya tengah menangkap ayam-ayam itu dan memisahkannya ke dalam ranjang. "Kenapa sudah di panen, Pak. Ini 'kan belum waktunya?" "Tidak apa-apa, ada beberapa yang sudah besar. Bapak ingin membelikan makanan enak untukmu," ucapnya tanpa mengangkat wajah. "Bapak---." Kemala meneteskan air mata. "Maaf." Gadis itu memburu dan memeluk bapaknya. "Tubuh bapak bau, Nak." Kemala malah semakin sesegukan, tangisnya tidak terbendung. Ia yang begitu keras dan terus menyalahkan kemiskinan mereka, justru melihat hal yang sangat buruk di balik kemewahan yang diperlihatkan ibu dan kakaknya. "Sudah, jangan menangis. Nanti kepalamu sakit. Ayo kita pilih ayam-ayam ini!" Pak Jaka menepuk pelan pundak putrinya. Kemala mulai menangkap beberapa ayam yang terlihat bongsor dibanding yang lainnya. Pak Jaka yang kelelahan duduk di atas ranjang dan hanya memasukkan ayam-ayam yang diberikan Kemala. "Aku menemui Ibu dan Mbak Nadine, Pak," ucap Kemala sembari mengejar ayam yang berontak untuk ditangkap. "Apakah ibumu sekarang sudah bisa menerima?" Kemala menggeleng. "Aku akan tinggal bersama bapak saja," jawabnya. 'Keeeeoook!' jeritan ayam terdengar nyaring. "Hidup mewah, berlimpah harta yang ditunjukkan ibu dan Mbak Nadine hanya topeng semata, Pak." Gadis itu memberikan ayam yang telah diketoknya hingga diam, lalu menyerahkannya ke tangan bapak. "Topeng bagaimana?" "Ya, Topeng. Mbak Nadine dan ibu hanya pura-pura bahagia, padahal hidupnya lebih berantakan dari kita. Apartemen yang aku bayangkan mewah ternyata tidak jauh dari kandang ayam bapak yang pengap dan bau." Kemala tidak ingin mengatakan hal sebenarnya pada lelaki yang telah membesarkannya itu. Bagaimana pun Nadine adalah anaknya, bapak pasti akan sedih jika mendengar kelakuan Nadine yang setiap mmalam pulang dalam keadaan mabuk. Pak Jaka terlihat berpikir menanggapi ucapan putrinya, namun suara klakson mobil membuyarkan lamunannya. Mitra bisnisnya datang. Ia segera ke depan dan memanggil orang tersebut untuk sama-sama menimbang ayamnya. Kemala mundur dan membersihkan dirinya. Menarik napas panjang, melihat sekeliling rumah reot yang ia tinggali hampir 23 tahun ini. "Aku rasa rumah ini lebih nyaman daripada rumah ibu." "Kemala!" panggil bapak. "Ya, Pak?" "Ini simpan uangnya di dompet bapak." "Iya." Kemala menerima uang di tangannya. Jumlahnya lumayan, sembilan ratus ribu. "Simpan di dompet bapak di kamar. Nanti siang kita bisa jalan-jalan," ucap Pak Jaka bersemangat, menyeka butiran keringat di dahinya. Kemala hanya bisa mengangguk, lalu bergegas masuk ke kamar bapak. Kamar yang usang namun masih tertata rapi. "Di mana bapak menyimpan dompetnya?" Gadis itu membuka beberapa laci untuk mencari. Matanya tertarik pada satu lembar hasil USG berwarna hitam putih. Di sana tampak terlihat nama ibunya dan keterangan dari hasil USG. "Janin hidup, tunggal." "Tunggal? Bukankah kata bapak aku dan Mbak Nadine kembar?" Pikiran Kemala melayang kemana-mana. Ia tidak bisa mencerna tentang bukti itu. Selama ini, yang ia tahu dirinya dan Nadine lahir dari rahim yang sama. "Tidak mungkin usia Mbak Nadine diatasku. Jelas aku lihat tanggal lahirnya di dalam akte itu adalah sama." "Kemala? Apa yang sedang kamu lihat, Nak?" Kemala kaget dan langsung menjatuhkan kerta hasil USG itu. Bapak melihatnya dan kemudian dia memandang putrinya dengan pilu. 'Mungkinkah sebenarnya anak ibu hanya satu dan itu yang membuatnya tidak menginginkanku?' 'Tapi, sebenarnya aku tetap merasakan cinta ibu, meski dari sikapnya yang kasar di depan bapak, karena saat bapak tidak ada, sikap ibu sangat manis terhadapku.' Tatapan Kemala yang kosong menerawang masa-masa kecilnya dulu. Bersambung ....Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya."Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu.Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam."Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala."Nak. Bapak akan ceritakan nanti.""Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?""Kemala, dengar bapak dulu!""Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja."Kemala! Dengar dulu, Nak!"Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berl
"Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine."Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender."Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman.Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat.Tubuh Kemala bergetar,
Menjelang pagi, bapak meminta Kemala untuk pulang, membersihkan diri dan memeriksa ayam-ayamnya. Meskipun, sebenarnya sudah dititipkan pada Mang Dayat."Masih terbaring di ranjang Rumah Sakit aja pikirannya cuma ayam, ayam, dan ayam!" Kemala menggerutu saat memeriksa ayam-ayamnya."Mang Dayat sudah memberinya makan, Neng. Tidak perlu khawatir dengan ayam-ayam itu. Fokus saja pada kesembuhan bapak," ujar Mang Dayat menghampiri, rumahnya memang bersebelahan, jadi mudah saja untuk pria itu datang."Terimakasih, Mang.""Sama-sama, Neng. Pokoknya urusan ayam mah, urusan amang!" Ia menepuk dadanya sendiri. Kemala tersenyum dan kembali ke rumahnya. Ia merasa lega karena bebannya sedikit berkurang.Kemala termenung seorang diri di dalam rumah, di tangannya terdapat hasil usg yang ia temukan sebelumnya dan menjadi pertengkaran dengan sang bapak. Gadis itu membolak-baliknya, hasilnya sama saja. Hingga detik ini ia tidak tahu siapa anak yang dikandung ibunya. Meski, sebenarnya Kemala sempat tida
"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
[Hallo, apakah saya bisa bicara dengan Ibu Kumari?][Ya, saya sendiri.][Maaf, Ibu Kumari. Suami Anda mengalami kecelakaan. Beliau bersama seorang wanita hamil. Sekarang keduanya berada di rumah sakit Mayapada. Keadaannya kritis, jadi saya harap ada wali pasien yang bisa segera datang.][Ya.] Kumari merasa gugup. Ia sedikit bingung mendengar kabar itu. Lalu, melihat perutnya yang membuncit besar. "Siapa yang dimaksud wanita hamil itu?" gumamnya, karena wanita itu tidak mungkin dirinya.[Bagaimana Ibu?][Ya. Ya, Pak. Saya akan segera datang.] Kumari segera mengambil tas selempeng kecil miliknya. Ia bergegas mengunci pintu dan berusaha menepis pikiran-pikiran buruk tentang kabar mengejutkan yang baru saja di dengarnya. Dalam hati Kumari saat ini, ia hanya ingin segera melihat keadaan suaminya yang 2 hari yang lalu izin untuk mengirimkan ayam ke luar kota.Kumari sedikit kesulitan saat ia harus berdesakan dengan penumpang angkutan kota lainnya. Perutnya yang sudah besar menyulitkannya un
"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam."Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!""Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku."Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?""Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan
"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya."Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang."Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!""Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mb
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Menjelang pagi, bapak meminta Kemala untuk pulang, membersihkan diri dan memeriksa ayam-ayamnya. Meskipun, sebenarnya sudah dititipkan pada Mang Dayat."Masih terbaring di ranjang Rumah Sakit aja pikirannya cuma ayam, ayam, dan ayam!" Kemala menggerutu saat memeriksa ayam-ayamnya."Mang Dayat sudah memberinya makan, Neng. Tidak perlu khawatir dengan ayam-ayam itu. Fokus saja pada kesembuhan bapak," ujar Mang Dayat menghampiri, rumahnya memang bersebelahan, jadi mudah saja untuk pria itu datang."Terimakasih, Mang.""Sama-sama, Neng. Pokoknya urusan ayam mah, urusan amang!" Ia menepuk dadanya sendiri. Kemala tersenyum dan kembali ke rumahnya. Ia merasa lega karena bebannya sedikit berkurang.Kemala termenung seorang diri di dalam rumah, di tangannya terdapat hasil usg yang ia temukan sebelumnya dan menjadi pertengkaran dengan sang bapak. Gadis itu membolak-baliknya, hasilnya sama saja. Hingga detik ini ia tidak tahu siapa anak yang dikandung ibunya. Meski, sebenarnya Kemala sempat tida
"Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine."Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender."Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman.Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat.Tubuh Kemala bergetar,
Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya."Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu.Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam."Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala."Nak. Bapak akan ceritakan nanti.""Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?""Kemala, dengar bapak dulu!""Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja."Kemala! Dengar dulu, Nak!"Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berl
Kemala bergegas mengambil kopernya. Ia harus segera pulang sebelum Emeril semakin menyebalkan."Nenek aku harus pulang sekarang.""Kenapa terburu-buru, Nak?""Biarkan saja, Nek. Nggak perlu di tahan-tahan," sahut Emeril sembari memindahkan siaran televisi.'Bukankah sudah kubilang dia sangat menyebalkan!' gerutu Kemala dalam hati. Seumur-umur dalam hidupnya, baru kali ini melihat orang seperti itu. 'Apa karena dia orang kaya, makanya songong begitu? Ah! Banyak kok orang kaya, tapi nggak sesongong dia!'"Kemala masih ada urusan, Nek," jawab Kemala berusaha tetap ramah di depan nenek."Baik lah, kalau begitu. Jangan lupa untuk sering-sering mampir. Apartemen nenek terbuka untukmu." Nenek memeluk gadis itu."Enak banget!" sahut Emeril lagi dingin. Kemala hanya melirik sinis pria menyebalkan itu. Di matanya bisa terlihat api yang menyambar-nyambar. Siap membakar seandainya tidak ada nenek di antara mereka. "Kemala sangat senang di sini, Nek." Ucapan Kemala sedikit terjeda. "Saat tidak ad
Malam ini Kemala benar-benar menginap di apartemen mewah milik nenek itu. Ia bahkan hanya sekali membantunya, tapi sudah diperlakukan seperti ratu. Kemala merasa bahagia, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk dan wangi. Menciumi aromanya yang asing. Namun, sayang. Entah apa alasannya ia sulit untuk terlelap tidur dan merindukan aroma bantal guling lapuk miliknya. Ternyata, tidur di tempat mewah membuat tubuhnya sulit beradaptasi. "Menyingkirlah!" Satu persatu Kemala melemparkan bantal guling ke atas lantai, membolak-balik tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman. Hampir setiap sudut ia coba dengan posisi yang berbeda. Nihil! matanya tetap saja terjaga._______Brugh! Dug! Dug! Mata Kemala yang baru saja terpejam langsung melotot. Ia menyapu sekeliling ruangan dan mulai ketakutan. " Mungkinkah ada maling masuk ke apartemen mewah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Kemala mengendap keluar dari kamar. Tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, tapi suara bising itu semakin kencang te
"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya."Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang."Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!""Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mb
"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam."Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!""Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku."Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?""Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan