Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya.
"Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu. Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam. "Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala. "Nak. Bapak akan ceritakan nanti." "Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?" "Kemala, dengar bapak dulu!" "Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja. "Kemala! Dengar dulu, Nak!" Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berlari cepat keluar, menghidupkan motor milik bapaknya. Memaut gas dengan kencang. "Kemala!" Pak Jaka mengejar. Sayang, hanya asap mengepul itu yang tersisa dan menambah sesak di dada. "Kemala," panggilnya lagi lebih lirih. Dadanya tiba-tiba saja terasa sesak, kepalanya menjadi berat dan sakit, tatapannya berubah sangat buram. Kemarahan yang membawa Kemala pergi membuatnya sangat khawatir dan takut, hanya gadis itu satu-satunya teman hidup. Brugh! Tubuh bapak terjatuh dengan sendirinya. "Kemala, kembali lah, Nak!" _____ "Bagaimana mungkin! Bagimana mungkin aku bukan anak ibu?" Kemala menggelengkan kepalanya berkali-kali. Air matanya beterbangan tersapu angin. Ia sungguh tidak pernah menduga kalau dia dan Nadine tidak lahir dari rahim yang sama. Kemala mengecap perih kehidupannya. Ia benar-benar kalut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Gadis itu limpung, bingung kemana harus pergi. Ia hanya membawa tubuhnya ke sembarang arah, berharap angin bisa membawa lepas lukanya yang perih. "Ibu, aku ingin ibu." Bibir Kemala bergetar. Kehilangan kasih sayang ibunya sejak kecil, membuat gadis itu merasakan kehampaan dan kehidupan yang pincang. Kemala menyeka air matanya yang terus berjatuhan saat ponsel yang ia bawa di dalam saku, tiba-tiba bergetar. Berkali-kali hingga membuat gadis itu sejenak menepi. "Mang Dayat? Ada apa?" gumamnya saat melihat nama kontak di layar ponselnya. Mang Dayat adalah tetangga paling dekat dengan rumahnya. [Neng, Neng Kemala!] [Iya, Mang. Ada apa?] [Bapak Neng. Pak Jaka jatuh di depan rumah. Sekarang saya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.] [Apa?] [Cepat susul kami ya, Neng.] [Iya, iya, pak.] Kemala tidak berpikir panjang, menyeka habis air mata yang meluruhkan kesedihan. Gadis itu segera memutar balik motor bututnya dan memaut gas lebih kencang dari sebelumnya. Suaranya yang bising bahkan mendapat ejekan dari pengendara lain. Tapi, Kemala tidak peduli. Baginya keselamatan bapaknya adalah yang utama. Dia harus memastikan kalau bapaknya bisa mendapatkan perawatan medis dan sembuh kembali. "Di mana bapak, Mang?" "Masih di dalam, Neng." Kemala mengatur napasnya yang ngos-ngosan, ia benar-benar datang cepat. "Bagaimana keadaannya tadi, Mang?" "Bapak tidak sadarkan diri, Neng." "Apa?" Kemala semakin syok saat mendengar kabar itu. Padahal, sebelum ia pergi pria itu masih baik-baik saja. "Apa mungkin bapak sakit gara-gara aku mempertanyakan tentang ibu?" Kemala berpikir keras. Rupanya memberontakan itu hanya membuat bapaknya jatuh sakit. "Arrgh! Aku terlalu ceroboh!" Kemala menyalahkan dirinya sendiri. Meremas rambutnya dan duduk di kursi. Ia menyesal karena bersikap seperti itu. "Kalau ada apa-apa dengan bapak, ini semua salahmu, Kemala!" Gadis itu terus saja menyalahkan dirinya. "Aku tidak peduli! Aku tidak peduli lagi! Siapa pun ibuku, tolong selamatkan bapak, Tuhan. Maafkan aku," lirihnya mengiba. Dalam hatinya ia tidak ingin mempertanyakan hal itu lagi. Hidup bersama kasih sayang bapaknya sudah jauh lebih dari cukup untuknya sekarang. "Keluarga Pak Jaka?" panggil seorang Suster. "Iya, Sus. Saya putrinya." Kemala langsung bangkit berdiri. "Maaf, Mbak. Pak Jaka mengalami pecah pembuluh darah karena tekanan darah tinggi yang naik secara drastis ke otaknya. Kami harus segera mengambil tindakan untuk itu. Namun, biayanya cukup lumayan. Anda harus membayar 7 juta untuk di muka." "Tujuh juta?" tanya Kemala gugup. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? "Benar, Mbak. Kami tunggu pembayarannya sampai malam." Kemala semakin pusing, uang sebesar itu dengan waktu yang teramat singkat, pada siapa dia bisa meminjamnya? "I-ya, Suster. Lakukan saja yang terbaik untuk bapak saya. Saya akan segera datang dan membawa uangnya." Kemala melihat Pak Dayat yang melongo. Ia pun sama-sama bingung memikirkan itu. Uang sejumlah itu bagi mereka sangatlah besar. "Bagaimana ini, Neng?" tanya Pak Dayat. "Titip bapak sebentar ya, Mang." Kemala berucap lesu sembari meninggalkan lelaki itu. Ia berjalan limpung, entah kemana harus meminjam uang. Dalam benaknya saat ini hanya wajah ibunya yang terbayang. "Mungkin ibu atau Mbak Nadine bisa membantu?" ucap Kemala. Ia menyingkirkan tentang perasaannya. Terutama kejelasan statusnya itu. Bagi dia dua wanita itu adalah tetap keluarganya. Gadis itu kembali melajukan motornya, ia datang ke apartemen tempat Kumari dan Nadine tinggal. Naik ke lantai 3 dan mengetuk pintu kamar itu. Berkali-kali tanpa jeda, namun yang membuka pintu adalah kakaknya. "Kemala? Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Aku ingin menemui ibu, Mbak." "Ibu sedang tidak ada di rumah. Pergi, entah kemana. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi." "Benarkah? Kalau begitu aku ingin berbicara dengan Mbak Nadine saja." Wanita itu terlihat bingung, namun ia tetap menerima adiknya untuk masuk ke dalam. "Ada apa?" "Bapak sakit, Mbak. Pembuluh darahnya pecah. Beliau membutuhkan tindakan medis sekarang. Tapi, pihak rumah sakit meminta uang pembayarannya di muka sebesar 7 juta." "Sebesar itu?" Kemala mengangguk. "Apa Mbak Nadine punya uang, Kemala pinjam, Mbak. Janji, Kemala akan segera mencari kerja sampingan dan mengembalikannya." Gadis itu meyakinkan. "Tapi, aku tidak punya uang sebanyak itu, Kemala." "Terus, bagaimana, Mbak?" Kemala hampir putus asa. Air matanya berderai. Wajah bapaknya terus melambai-lambai dalam pandangan. "Sebenarnya Mbak ada kerjaan sekarang. Tapi, upahnya tidak sebesar itu." Nadine pun ikut bingung. "Bagaimana kalau aku ikut Mbak Nadine kerja?" ucap Kemala. Uhuk! Nadine tersedak ludahnya sendiri. "Kamu yakin?" "Yakin, Mbak. Kemala akan melakukan apa saja untuk bapak." "Apa kamu tahu pekerjaanku?" Kemala menggeleng. "Aku sempat melihat Mbak Nadine menggunakan pakain minim saat malam hari. Apakah pekerjaannya seperti itu?" "Eum ... ya kurang lebih seperti itu." "Terus, apa yang kita lakukan di sana, Mbak?" "Ya, kamu tinggal menemani seseorang saja." "Menemani?" "Benar. Aku akan mencarikan klien yang baik untukmu. Kamu hanya cukup berdandan cantik dan menemani seseorang yang menjadi klienmu saja, Kemala." "Menemani? Hanya itu?" Kemala mengulang pertanyaannya. Nadine hanya tersenyum canggung. "Baiklah, Mbak. Aku harus bisa melakukannya, ini demi kesembuhan bapak," jawab Kemala saat bayangan lelaki yang sangat dicintainya itu terus saja terbayang. "Baik lah kalau begitu. Aku akan mendandanimu dan meminjankan baju." Nadine membawa Kemala ke kamarnya. Ia benar-benar memoles wajah adiknya hingga hampir mirip dengannya. "Lumayan!" Nadine berdecak. "Pakai ini!" Kemala terpaksa menurut. Ia mengenakan pakaian yang sangat seksi. Mirip sekali dengan pakaian yang digunakan Nadine malam itu. "Apakah ini tidak terlalu terbuka, Mbak?" "Justru itu yang disukai para klien kita. Kamu harus segera di booking untuk mendapatkan uang." Nadine memotret gadis itu dan mengirimkannya pada mitra kerjanya. [Baiklah, bawa saja! Dia lumayan.] Balasan pesan dari sana. "Bagus, kamu di terima. Tunggu sebentar!" Nadine pun berdandan. Ia terlihat lebih terampil karena sudah terbiasa. Wanita itu mengenakan pakaian yang sama terbukanya dengan Kemala, hanya berbeda model dan warnanya saja. "Gunakan ini!" Nadine memberikan Kemala cardigan untuk menutupi pakaiannya yang terlalu terbuka. Lalu, keduanya turun. Kemala hanya menundukkan kepalanya sepanjang berjalan turun dari apartemen. Ia benar-benar malu berpakaian seperti itu. Namun sekali lagi, demi sang bapak ia menguatkan dirinya. "Masuk lah, Kemala!" Nadine meminta gadis itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu menurut. Pikirannya buntu, ia tidak bisa berpikir lebih jernih dari ini. Beberapa meter dari sana Emeril melihatnya. "Bukankah itu adalah gadis tomboy yang semalam mengancak kamarku di apartemen, Nenek? Kenapa dia berpenampilan seperti itu dan ikut dengan Nadine?" "Mungkinkah?" Emeril memiringkan kepalanya untuk berpikir. "Apa dia akan mengikuti jejak wanita yang menghasilkan uang dari pria-pria hidung belang itu?" Emeril tahu betul pekerjaan Nadine karena nenek selalu menceritakannya. "Bukankah sudah kukatakan pada nenek kalau gadis itu bermasalah. Kenapa nenek masih tetap bersikeras kalau dia adalah gadis baik?" Emeril hanya berbicara pada dirinya sendiri. Lalu, mobil yang dikendarai oleh Nadine melewatinya. Kemala masih terlihat menundukkan wajah. Ia tahu apa yang dilakukannya sekarang adalah salah. Namun, sungguh ia lemah. Bersambung ...."Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine."Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender."Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman.Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat.Tubuh Kemala bergetar,
Menjelang pagi, bapak meminta Kemala untuk pulang, membersihkan diri dan memeriksa ayam-ayamnya. Meskipun, sebenarnya sudah dititipkan pada Mang Dayat."Masih terbaring di ranjang Rumah Sakit aja pikirannya cuma ayam, ayam, dan ayam!" Kemala menggerutu saat memeriksa ayam-ayamnya."Mang Dayat sudah memberinya makan, Neng. Tidak perlu khawatir dengan ayam-ayam itu. Fokus saja pada kesembuhan bapak," ujar Mang Dayat menghampiri, rumahnya memang bersebelahan, jadi mudah saja untuk pria itu datang."Terimakasih, Mang.""Sama-sama, Neng. Pokoknya urusan ayam mah, urusan amang!" Ia menepuk dadanya sendiri. Kemala tersenyum dan kembali ke rumahnya. Ia merasa lega karena bebannya sedikit berkurang.Kemala termenung seorang diri di dalam rumah, di tangannya terdapat hasil usg yang ia temukan sebelumnya dan menjadi pertengkaran dengan sang bapak. Gadis itu membolak-baliknya, hasilnya sama saja. Hingga detik ini ia tidak tahu siapa anak yang dikandung ibunya. Meski, sebenarnya Kemala sempat tida
"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
[Hallo, apakah saya bisa bicara dengan Ibu Kumari?][Ya, saya sendiri.][Maaf, Ibu Kumari. Suami Anda mengalami kecelakaan. Beliau bersama seorang wanita hamil. Sekarang keduanya berada di rumah sakit Mayapada. Keadaannya kritis, jadi saya harap ada wali pasien yang bisa segera datang.][Ya.] Kumari merasa gugup. Ia sedikit bingung mendengar kabar itu. Lalu, melihat perutnya yang membuncit besar. "Siapa yang dimaksud wanita hamil itu?" gumamnya, karena wanita itu tidak mungkin dirinya.[Bagaimana Ibu?][Ya. Ya, Pak. Saya akan segera datang.] Kumari segera mengambil tas selempeng kecil miliknya. Ia bergegas mengunci pintu dan berusaha menepis pikiran-pikiran buruk tentang kabar mengejutkan yang baru saja di dengarnya. Dalam hati Kumari saat ini, ia hanya ingin segera melihat keadaan suaminya yang 2 hari yang lalu izin untuk mengirimkan ayam ke luar kota.Kumari sedikit kesulitan saat ia harus berdesakan dengan penumpang angkutan kota lainnya. Perutnya yang sudah besar menyulitkannya un
"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam."Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!""Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku."Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?""Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan
"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya."Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang."Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!""Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mb
Malam ini Kemala benar-benar menginap di apartemen mewah milik nenek itu. Ia bahkan hanya sekali membantunya, tapi sudah diperlakukan seperti ratu. Kemala merasa bahagia, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk dan wangi. Menciumi aromanya yang asing. Namun, sayang. Entah apa alasannya ia sulit untuk terlelap tidur dan merindukan aroma bantal guling lapuk miliknya. Ternyata, tidur di tempat mewah membuat tubuhnya sulit beradaptasi. "Menyingkirlah!" Satu persatu Kemala melemparkan bantal guling ke atas lantai, membolak-balik tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman. Hampir setiap sudut ia coba dengan posisi yang berbeda. Nihil! matanya tetap saja terjaga._______Brugh! Dug! Dug! Mata Kemala yang baru saja terpejam langsung melotot. Ia menyapu sekeliling ruangan dan mulai ketakutan. " Mungkinkah ada maling masuk ke apartemen mewah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Kemala mengendap keluar dari kamar. Tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, tapi suara bising itu semakin kencang te
Malam ini, Kemala tidak bisa tidur, ia hanya berguling-guling tidak karuan. Aroma terapi dari bantal gulingnya seolah tidak mempan. Ucapan Ibu Kumari tadi siang membuatnya tidak bisa tertidur, belum lagi potret seorang wanita yang ia temukan. Ia mungkin harus bertanya pada bapaknya tentang wanita itu.Kemala membuka perlahan pintu kamar bapak, ia harus memastikan kalau lelaki itu belum tidur agar tidak menganggu. Namun, bapak memunggungi pintu. Gadis itu mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk menanyakan nanti."Apa yang membuatmu tidak bisa tidur, Nak?" Suara bapak terdengar saat Kemala membalikkan tubuh."Bapak belum tidur?" Kemala balik bertanya. Lalu, menghampirinya. Bapak berbalik dan melihat putrinya yang sudah beranjak dewasa. 'Mungkin sudah saatnya ia tahu semuanya,' batinnya."Duduklah Kemala!" perintah bapak. Lelaki itu meninggikan bantal untuk mengganjal punggungnya agar bisa bersandar."Apa itu?" tanya bapak saat melihat Kemala memegang sesuatu di tangannya."Kemala mene
"Kenapa kamu tidak jera juga, Kemala! Bukankah aku sudah memberimu uang 10 juta untuk membuatmu pergi dari kehidupan kami? Kenapa kamu datang lagi?"Kumari duduk di sofa miliknya setelah mendapat banyak cercaan dari Nadine."Aku datang hanya untuk menanyakan sesuatu padamu, Ibu.""Kau memang keras kepala!" Wanita itu mengambil sebatang rokok dan mulai mengisapnya lagi. Entah kenapa, Kemala seperti tidak melihat makanan lain selain itu di rumah ini. "Katakan apa yang kamu ingin tanyakan, Kemala, dan cepatlah pergi dari sini!" Kemala mengeluarkan kertas hasil USG 23 tahun lalu, menyimpannya di atas meja. Kumari hanya mengintip saja dengan ujung matanya."Siapa yang masih menyimpan kertas itu?" Ia sedikit tertawa mengejek tanpa menghentikkan aktivitasnya mengisap rokok."Ibu hanya hamil tunggal 'kan? Tidak kembar?" tanya Kemala.Kumari seperti mati rasa saat pertanyaan itu satu persatu tertuju padanya."Siapa, Bu? Anak yang lahir dari ibu itu?" tanya Kemala lagi.Sejenak suasana menjad
Menjelang pagi, bapak meminta Kemala untuk pulang, membersihkan diri dan memeriksa ayam-ayamnya. Meskipun, sebenarnya sudah dititipkan pada Mang Dayat."Masih terbaring di ranjang Rumah Sakit aja pikirannya cuma ayam, ayam, dan ayam!" Kemala menggerutu saat memeriksa ayam-ayamnya."Mang Dayat sudah memberinya makan, Neng. Tidak perlu khawatir dengan ayam-ayam itu. Fokus saja pada kesembuhan bapak," ujar Mang Dayat menghampiri, rumahnya memang bersebelahan, jadi mudah saja untuk pria itu datang."Terimakasih, Mang.""Sama-sama, Neng. Pokoknya urusan ayam mah, urusan amang!" Ia menepuk dadanya sendiri. Kemala tersenyum dan kembali ke rumahnya. Ia merasa lega karena bebannya sedikit berkurang.Kemala termenung seorang diri di dalam rumah, di tangannya terdapat hasil usg yang ia temukan sebelumnya dan menjadi pertengkaran dengan sang bapak. Gadis itu membolak-baliknya, hasilnya sama saja. Hingga detik ini ia tidak tahu siapa anak yang dikandung ibunya. Meski, sebenarnya Kemala sempat tida
"Aish! Kenapa dia begitu mengkhawatirkan!" Emeril memukul lemah kemudinya. Ia yang datang untuk menemui nenek memutar setir mobilnya lagi. "Seharusnya aku tidak ikut campur 'kan? Biarkan saja dia!" Emeril memindahkan gigi mobil dan menginjak gas lebih dalam untuk menyusul mobil Nadine."Aku hanya ingin melihatnya saja, setelah itu pergi!" Pria itu hanya berbicara sendiri. Lalu, melesat menyusul mereka. __________Mobil Nadine sampai di sebuah Bar. Kemala melihat lorong tempatnya mauk begitu redup, padahal di luar masih terang. Ia masih mengikuti Nadine masuk ke dalam. Di sana ada beberapa pria yang tengah duduk dengan wanitanya. Perpakaian seksi mirip seperti dirinya. "Titip dia, sebentar," ucap Nadine pada bartender."Oke." Seorang pria tersenyum pada Kemala. Gadis itu sangat canggung dan mencoba menarik kursi untuk tempatnya duduk. "Minumlah!" Pria itu menyodorkannya minuman.Kemala bisa mencium bau alkohol dari air di gelas itu. Ia segera menggeleng cepat.Tubuh Kemala bergetar,
Pak Jaka menghampiri anaknya yang masih berdiri mematung di sana. Ia meraih hasil USG itu dan membacanya."Apa aku bukan anak ibu, Pak?" tanya Kemala begitu saja. Fakta ibunya yang lebih memilih kakaknya membuat ia berpikir seperti itu.Pak Jaka hanya diam. Ia menatap lekat manik-manik mata putrinya. "Maafkan bapak, Nak." Pak Jaka mencoba memeluk gadis di hadapannya, tapi Kemala menolak. Ia menepis tangan itu dan melihat mata bapaknya, tajam."Siapa ibuku, Pak?" tanya Kemala."Nak. Bapak akan ceritakan nanti.""Tidak!" Kemala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bukankah karena ini, ibu tidak menginginkanku, Pak, karena aku bukan anaknya?""Kemala, dengar bapak dulu!""Tidak, Pak. Selama ini, kalian sudah membohongiku, menyembunyikan ini di belakangku dan berkata bahwa aku dan Mbak Nadine adalah kembar. Pantas saja kami tidak pernah memiliki kemiripan! Bapak jahat!" Kemala menghentakkan kakinnya dan pergi begitu saja."Kemala! Dengar dulu, Nak!"Kemala tidak bisa mendengar itu, ia berl
Kemala bergegas mengambil kopernya. Ia harus segera pulang sebelum Emeril semakin menyebalkan."Nenek aku harus pulang sekarang.""Kenapa terburu-buru, Nak?""Biarkan saja, Nek. Nggak perlu di tahan-tahan," sahut Emeril sembari memindahkan siaran televisi.'Bukankah sudah kubilang dia sangat menyebalkan!' gerutu Kemala dalam hati. Seumur-umur dalam hidupnya, baru kali ini melihat orang seperti itu. 'Apa karena dia orang kaya, makanya songong begitu? Ah! Banyak kok orang kaya, tapi nggak sesongong dia!'"Kemala masih ada urusan, Nek," jawab Kemala berusaha tetap ramah di depan nenek."Baik lah, kalau begitu. Jangan lupa untuk sering-sering mampir. Apartemen nenek terbuka untukmu." Nenek memeluk gadis itu."Enak banget!" sahut Emeril lagi dingin. Kemala hanya melirik sinis pria menyebalkan itu. Di matanya bisa terlihat api yang menyambar-nyambar. Siap membakar seandainya tidak ada nenek di antara mereka. "Kemala sangat senang di sini, Nek." Ucapan Kemala sedikit terjeda. "Saat tidak ad
Malam ini Kemala benar-benar menginap di apartemen mewah milik nenek itu. Ia bahkan hanya sekali membantunya, tapi sudah diperlakukan seperti ratu. Kemala merasa bahagia, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk dan wangi. Menciumi aromanya yang asing. Namun, sayang. Entah apa alasannya ia sulit untuk terlelap tidur dan merindukan aroma bantal guling lapuk miliknya. Ternyata, tidur di tempat mewah membuat tubuhnya sulit beradaptasi. "Menyingkirlah!" Satu persatu Kemala melemparkan bantal guling ke atas lantai, membolak-balik tubuhnya agar mendapat posisi yang nyaman. Hampir setiap sudut ia coba dengan posisi yang berbeda. Nihil! matanya tetap saja terjaga._______Brugh! Dug! Dug! Mata Kemala yang baru saja terpejam langsung melotot. Ia menyapu sekeliling ruangan dan mulai ketakutan. " Mungkinkah ada maling masuk ke apartemen mewah ini?" tanyanya pada diri sendiri. Kemala mengendap keluar dari kamar. Tidak ada sesuatupun yang mencurigakan, tapi suara bising itu semakin kencang te
"Mau Kemana lagi kamu, Kemala?" Jaka tengah menghidangkan makanan sederhana untuk sarapan mereka pagi ini. Nasi goreng dengan ceplok telur yang tidak terlalu kering maupun basah, kesukaan putrinya."Ke apartemen ibu." Kemala menarik koper kecil berisi pakaian gantinya untuk beberapa hari ke depan. Setelah bergelut dengan pikirannya malam tadi, gadis itu memutuskan untuk bisa tinggal bersama ibunya meski dianggap parasit. Tiga belas tahun lamanya, saat ibunya meninggalkan rumah mereka dan hanya membawa kakaknya, Nadine. Kemala tidak pernah lagi mendapat sentuhan lembut tangan wanita itu, apalagi sebuah pelukan. Dia meninggalkannya begitu saja di rumah ini, meski Kemala merengek meminta untuk ikut, tapi itu tidak membuat Kumari menengokkan kepalanya lagi ke belakang."Hentikan!" Jaka datang dengan cepat dan menarik koper yang dipegang Kemala. "Masuk kamarmu dan jangan coba-coba kabur!""Aku anak ibu, Pak. Berhak untuk tinggal bersamanya, menikmati semua yang dimilikinya. Kenapa hanya Mb
"Ibu, aku akan ikut ibu!" Seorang gadis tomboy menguraikan rambutnya untuk pertama kali. Mengenakan dress pendek di atas lutut. Kakinya yang jenjang terlihat mulus. Meskipun, ia kurang nyaman dengan penampilan itu, tapi ia coba untuk bisa mendapatkan hati ibunya. Seorang ibu yang telah begitu lama meninggalkannya. Membiarkan ia tumbuh bersama seorang ayah yang hanya seorang penjual ayam."Apa yang sedang kamu lakukan dengan pakaian itu, Kemala! Cepat, pergi dari sini!""Enggak. Aku ingin ikut ibu. Aku bisa seperti Mbak Nadine, jika itu bisa membuat ibu menyayangiku."Kumari menarik gadis itu dengan kasar, menyembunyikannya di balik dinding. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Kemala. Tinggallah bersama bapakmu dan jadi anak baik untuknya. Kenapa kamu malah datang ke sini dengan pakaian seperti itu?""Bukankah ini yang ibu suka dari Mbak Nadine? Dan aku bisa melakukannya lebih baik dari dia, Bu!" Plak! Satu tamparan mendarat di pipi gadis itu. "Pulang lah, Kemala! Belajar dengan baik dan