"Maaf, Bapak ini siapa, ya?" tanya Mas Danu."Panggil Wak saja, Nak.""Oh, iya, maaf. Wak ini siapa, ya?""Ratno, kamu bisa panggil Wak Ratno. Ya Allah Danu kamu masih hidup rupanya." Aku dan Mas Danu saling berpandangan. Tidak mengerti apa yang beliau ucapkan."Wak, kenal dengan Mas Danu?" tanyaku."Kenal, Nak. Hanya saja karena rumah kami jauhan di luar kota jadi tidak pernah bertemu Danu lagi," jawab beliau antusias."Danu, tadi aku sudah sedikit ngobrol dengan beliau. Waktu Ratno kaget waktu melihatmu masuk tadi, ternyata Ibu menjual kebun karetmu pada Wak Ratno. Iya, kan, Wak?" kata Mas Eko."Iya, benar. Aku tidak menyangka Ibumu dan juga Wakmu itu berbohong padaku.""Maksudnya Wak, bohong bagaimana?" tanya Mas Danu belum mengerti alur pembicaraan Wak Ratno ini."Ya, bohong! Mereka bilang kamu sudah meninggal dan menjual kebun karet itu padaku. Mereka pakai surat kuasa atas nama kamu."Astaghfirullah ...." Aku dan Mas Danu bersamaan istighfar."Jahat sekali." Tes! Aku menangis me
#Baiklah aku akan menjelaskan sedikit tentang tanah kuburan yang di episode 25. Di sana aku bilang tanah kuburannya langsung to the poin, tapi ada yang sangat teliti . Maka dari itu aku akan jelaskan setahuku ya?jadi, tanah untuk media sihir itu bukan sembarang tanah. Harus tanah kuburan. Aku dapat informasi ini dari teman yang indigo. Selain tanah kuburan katanya tidak bisa.🌸🌸🌸Kami pulang naik mobil Wak Ratno Mobil silver tadi ternyata mobil Wak Ratno. Mobil yang putih dibawa anaknya.Sepanjang jalan Wak Ratno terus saja mengumpat tindakan Wak Tono dan ibu."Aku ini, Dan, ikut jimpitan dari zaman kamu orang masih kecil sampai detik ini enggak pernah menikmati uang jimpitan itu. Setiap aku tanya dijawabnya mereka aman, untuk saudara-saudara kita yang membutuhkan.""Wak, kami sudah keluar dari jimpitan bulan ini, karena tidak sanggup bayar, kami tidak punya uang. Sewaktu aku ke sana minta bagian yang 35% tidak dikasih malah dicaci maki. Kemarin Wak Tono ke rumah malah nagih hut
Aku dan Mas Danu terperangah melihat rumah Wak Ratno. Rumah beliau bak istana. Ukurannya besar bertingkat dengan gaya klasik modern. Seumur-umur aku baru lihat rumah sebagus ini selain di TV."MasyaAllah Wak, ini rumah apa istana?" ujar Danu. Wak Tono hanya terkekeh saja."Wak, cuma sendiri tinggal di rumah sebesar ini?" tanyaku penasaran."Enggak, anak-anak Wak semuanya tinggal jadi satu di sini. Mereka sudah punya rumah, tapi karena wasiat Ibunya mereka memutuskan untuk tinggal di sini sama-sama. Kalau tinggal sendiri ya, Wak, kesepian," jawabnya sambil menyuruh kami duduk."Sofanya bagus banget, Mas," bisikku pada Mas Danu."Iya, ssstt ... jangan kuat-kuat nanti malu kalau didengar sama Wak,""Nah, kalian mau minum apa biar dibuatkan sama Mbak yang kerja.""Apa aja, Wak," jawab kami serempak."Tunggu, ya, Wak mau ganti baju sekalian mau ambil sertifikat kebun kamu." Kami mengangguk."Kalau kalian mau keliling lihat-lihat juga enggak apa-apa, siapa tahu rumah Wak bisa jadi inspiras
Plak!Aku membalas tamparan Mbak Lili. Dia pikir aku tidak punya perasaan yang bisa seenak jidat dia perlakukan semena-mena.“Jangan asal tuduh jika tidak ada bukti, Mbak!” Mbak Lili memegangi pipinya menangis histeris dan terduduk di tanah. Mas Danu dan Wak Ratno berjalan ke arahku.Dalam pelukan Mas Danu aku menangis sejadi-jadinya. Rumahku, uangku, baju-baju Kia. Semua aku tangisi karena hanya itulah harta kami.Tangisku dan Mbak Lili saling bersahutan. Pilu bagi siapa pun yang mendengarnya. Meski beda versi cerita kami. Entah lah ini Mbak Lili kenapa jadi ikutan nangis di sini ditonton para warga.Ibu datang tergesa, beliau memeluk Mbak Lili."Kita akan balas perbuatan Eko, Nak, tenang saja. Ibu siap mati untukmu," ucap ibu. Aku sedih sih, mendengar itu. Wanita mana yang rela di duakan. Ibu mana yang tega anaknya disakiti. Jika aku di posisi ibu pasti aku pun akan marah.“Sabar, Nak, sudah jangan menangis begitu seperti menangisi kematian. Insya Allah ada hikmah dibalik musibah in
“Aku kurang paham, Bu. Dia menyalahkanku atas pernikahan suaminya. Mas Eko menikah lagi seminggu yang lalu,” jawabku jujur.Bu RT terperangah, terkejut sampai menutup mulutnya sendiri.“Yang benar Mbak Ita? Mas Eko orangnya baik loh, memang apa masalahnya?” tanya Bu RT tidak percaya.“Kalau masalah itu aku tidak tahu, Bu,” jawabku.“Duh! Ibu jadi kasihan gini ya, sama Lili. Walau bagaimanapun Mbak Lili manusia biasa. Dia seperti itu pasti karena kurangnya bimbingan dari orang tua dan juga suami. Kalau istri salah ya, ditegur dan dibimbing bukan ditinggal menikah lagi, yang namanya suami menikah lagi pasti membuat trauma, Mbak,” jelas Bu RT.Aku setuju dengan pendapat beliau, Mas Eko harusnya bimbing Mbak Lili dulu, bukan malah ditinggal menikah lagi mencari wanita yang lebih sempurna.Suami istri itu ibarat baju, jadi harus dicuci jika kotor, digosok dan di rapikan.“Tapi, Mbak, kenapa itu Lili marahnya sama kamu?” tanya Bu RT lagi.“Mungkin dia kesal padaku, Bu. Aku sudah mengetahui
“Alhamdulillah, Mbak, rezekinya Kia,” jawabku singkat lalu Kutinggalkan Mbak Asih masuk ke rumah Bu RT. Bukannya pulang dia malah mengikutiku sampai rumah Bu RT.“Ta, enak banget ya, hidup kamu dikasih tumpangan dibikinin gubuk juga. Ngomong-ngomong dikasih duit berapa kamu, Ta, sama Wak Ratno?” tanya Mbak Asih.“Itu namanya rezeki orang baik, Sih. Kalau kamu mau dapat rezeki kayak Ita, ya, kamu harus jadi orang baik. Jangan suka iri dengki sama saudara sendiri begitu. Pamali!” sahut Bu RT.“Ah, Bu RT bisa aja memuji Ita sampai setinggi langit begitu. Mentang-mentang selama ada Ita uang balanja masuk kantong ya, Bu? Semuanya kan, sudah Ita yang beli, Bu RT sekeluarga gretongan."“Ngomong apa kamu, Asih! Mau cari perkara sama aku!” Bu RT tersinggung dengan ucapan Mbak Asih, beliau berkacak pinggang dan mengacungkan pisau sayur pada Mbak Asih.“Huu ... takuuut! Awas loh, Bu RT harus waspada. Ita ini kan, cantik paripurna sedang Bu RT sudah tua plus jelek. Nanti Pak RT main belakang sama
POV Asih.“Asih, Danu tadi izin sama Ibu, dia mau nikah sama orang kabupaten sebelah ....” ucap ibu. Kami sedang membuat kue untuk arisan geng sosialitaku besok.“Bagus dong, Bu. Apa calonnya sudah di bawa pulang?” kataku menyerong ucapan ibu.“Makanya kalau orang tua lagi ngomong jangan di serobot aja,” ucap ibu kesal.“He-he ... maaf deh, gitu aja marah.”“Calonnya sudah dibawa pulang kemarin, ayu kinyis-kinyis. Kayak artis sinetron. Pakaiannya bagus pakai perhiasan juga.” Degh! Aku menghentikan mengadon kue. Bagus sekali kalau calon Danu kaya bisa aku aja masuk geng sosialitaku. Aku bisa minta bayarin sekalian.“Wah, mantap itu, Bu. Namanya siapa?” tanyaku penasaran.“Ita, namanya Ita setahu Ibu, kemarin. Enggak bagus, malah musibah. Setelah Ibu tanya asal usulnya ternyata dia orang miskin,” jawab ibu sewot.“Loh, kok orang miskin? Kata itu tadi pakaiannya bagus udah gitu pakai perhiasan juga!”“Iya, memang. Tapi, dia dari keluarga miskin mungkin dia berpenampilan begitu karena ua
Lumayan aku akan ambil bagian untukku juga. Aku pingin beli tas branded dan juga sofa sultan. Biar geng arisanku makin panas.“Kamu juga, ini bikin stres Ibu, Sih. Sudah dua tahun kamu menikah, tapi belum juga punya anak. Ibu itu capek digosipin terus di pengajian. Mereka bilang kamu mandul.” Duh, memang ya, orang sini kampungan semua belum hamil aja jadi bahan gosipan.“Biarin aja, Bu. Nanti kalau capek juga berhenti sendiri.”“Apa kamu sudah berobat, Sih?”“Sudah dong, Bu. Mahal loh, aku berobatnya. Dokternya yang bagus,” jawabku asal. Sebenernya aku sudah putus asa masalahnya ada di Mas Roni. Kebiasaan dia yang hobi minum minuman keras, perokok berat dan juga ngobat membuat spermanya bermasalah. Jadi susah untuk proses pembuahan.“Cepetlah kalian punya biar tidak ada lagi gosip miring pada kalian. Kalau enggak Ibu antar ke orang pintar ya, Sih. Biar cepat hamil.” Duh, ibu. Aku pun pingin punya anak, tapi bukan begitu caranya.“Iya, Bu nanti aku bicarakan dengan Mas Roni ya,” jawabk