Aku baru sadar saat Esti semakin kuat mencakar punggungku. Ia kesakitan dengan derai air mata yang tidak kunjung berhenti. "K-kamu masih perawan?" tanyaku di sela-sela napas yang terengah-engah. Gadis itu mengangguk pasrah. Gila, ini sudah satu jam dan aku masih kuat saja. Benar-benar tidak merasa kelelahan. Pukul satu dini hari aku naik ke kamar. Kikan masih tidur pulas. Aku sengaja membangunkannya, tetapi ia bergeming. "Sayang, katanya mau malam ini. Ayo, bangun!" Aku menciumi pipinya dengan gemas. "Mas, nanti aja, aku ngantuk berat. Besok pagi ya." Efek obat belum sepenuhnya hilang, sehingga aku tidak peduli walau Kikan menolak. "Sudah, Mas, aku capek! Kamu tumben sekali! Aku gak sanggup deh!" Kikan mendorongku karena ia merasa kelelahan dengan pergulatan kami malam ini. "Baiklah, Sayang, kamu tidur saja lagi." Aku pun membersihkan diri, lalu ikut berbaring di samping istriku. Sebuah hal menakutkan yang seumur hidup, baru kali ini aku lakukan. Esti, aku memerawani pembantu ba
Aku terus menghubungi suamiku, tetapi nomornya tidak tersambung. Ini sudah jam sebelas malam, mataku juga sudah sangat mengantuk. Aku putuskan tidur saja dan berharap, besok pagi-pagi sekali pembantu yang aku minta dari temanku, bisa datang dan menyelesaikan kekacauan di rumahku akibat ulah ipar. Jam empat kurang sepuluh menit aku bangun karena kelaparan. Sejak hamil, aku memang sering kali bangun sebelum subuh hanya untuk ngemil biskuit, roti, atau minum susu. Perut ini rasanya sangat keroncongan. Ibu mertuaku ada di dapur sedang merebus air. Ada sayuran untuk membuat sup sayuran dan juga ada beberapa butir baso sapi di atas meja."Pagi, Ma," sapaku datar. "Pagi." Ibu mertuaku sama sekali tidak menoleh. "Ma, hari ini akan ada pembantu yang nemenin saya di rumah. Mama jadi jangan capek-capek kerjakan ini dan itu, biar pembantu baru saja nanti." Ibu mertuaku menatapku dengan senyuman tipis."Mama harap ini kabar gembira buat Mama. Makasih ya. Semalam maafkan Mama emosi. Mama kesal
"Bu Kikan baik-baik aja'kan?" tanya Alya. Aku menyunggingkan senyum tipis, kemudian mengangguk. "Kalau ibu hamil memang suka enneg, Ya," komentar Muslim yang duduk persis di depanku. Kami naik mobil menuju pelabuhan merak, lalu menyebrang ke pelabuhan Bakauheni."Iya, apa lagi kalian malah nemenin ibu hamil duduk di depan sini. Yang ada itu bayinya kena angin laut. Udah, pada masuk di dalam. Saya pesankan pisang goreng dan ubi goreng. Langit gelap, kayak mau hujan. Semoga kita sampai di Bakauheni sebelum hujan." Pak Barata menyuruh kami semua masuk ke dalam dek kapal. Aku lebih banyak diam karena kepalaku penuh dengan berbagai masalah yang timbul, terutama sejak terbongkarnya perselingkuhan Mas Galih dan Esti. Belum lagi mertua dan ipar yang sangat menguras emosi. Aku harap bayiku baik-baik saja saat ia lahir ke dunia nanti. Ibunya terlalu stres dengan semua masalah yang datang silih berganti. "Suami kamu gak masalah kamu survei menginap?" tanya Pak Barata sambil mengulurkan ubi go
"Mas Galih, kamu ternyata ada di sini bersama pelacur ini. Ya ampun, bajingan sekali kalian berdua!" Aku berjalan mendekat pada keduanya. Tangan ini sudah terkepal kuat, siap menghantam wajah pucat milik Esti yang baru saja selesai melahirkan."K-kikan, ini-"Plak! Plak! Setelah dua tamparan melayang di wajah Mas Galih, aku mendorong tubuh suamiku dengan kuat. Entah dari mana tenaga ini tiba-tiba bisa menggesernya hingga Mas Galih jatuh duduk. Bugh! Sebuah tendangan aku layangkan pada bagian alat vital tidak tahu diri miliknya. Mas Galih meringis kesakitan."Gila kamu, Kikan! Tolong! Tolong!" suara Mas Galih tertahan karena ia saat ini juga harus menahan pedih pada alat vitalnya. Aku menatap sinis ke arah Esti. Tangannya mencoba meraih tombol panggilan perawat. Tangannya gemetar dan aku memukul tangan itu dengan sekuat tenaga. Aku jambak rambutnya, aku melepas jarum infus dengan brutal. Hingga Esti menangis."Ampun, Bu, sakit! Sakit! Jangan, Bu!" Dua tamparan lagi aku layangkan ke
Esti"Esti, ada Bu Endah." Aku meletakkan kembali setrika yang baru saja mau aku sambungkan kabelnya di colokan listrik. "Ya, Pak." Aku bergegas keluar dari kamar. Bu Endah adalah tetanggaku di kampung. Ia akan terlihat tiga bulan sekali saat libur bekerja dari majikannya di Jakarta. Bu Endah memang spesialisasi ART di kota, sedangkan aku yang tamatan SMP dan baru lulus kursus menjahit ini, hanya bisa diam di rumah sambil menerima permak baju dari tetangga, walau tidak banyak. "Eh, Bu Endah." Aku menyalaminya. Lalu mempersilakan wanita setengah baya itu duduk di kursi tamu."Lagi di rumah, Bu?" tanyaku berbasa-basi."Iya, saya ada perlu sama kamu, Es. Kamu mau gak kerja di Jakarta? Di rumah majikan saya.""Loh, emangnya Bu Endah mau ke mana? Kenapa berhenti?""Suami saya kan sakit jantung. Bolak-balik ke rumah sakit, gak ada yang anter. Anak-anak pada kerja. Jadinya saya yang berhenti, tapi majikan saya gak ijinin saya berhenti kalau saya gak cariin pengganti saya. Kamu mau gak, Est
"Silakan, Pak. Ini tehnya." Aku bergegas ke kamar mandi. Masih terlalu syok untuk kabar yang baru saja disampaikan bude. Lalu aku harus bagaimana? Tidak mungkin kerja belum satu hari udah kasbon lima puluh juta. Apa aku ....? Buru-buru aku menggelengkan kepala. Tidak benar jika aku harus menjadi seperti Restu. Pesan bapak kemarin, aku harus bisa menjaga diri. Aku tidak boleh salah langkah. Coba saja, siapa tahu kamu beruntung, Esti. Bapak kamu butuh uang banyak untuk operasi besok.Kata hati ini semakin membuatku bingung. Aku menyalakan keran air. Membiarkan air membasuh kepala dan seluruh tubuh ini yang masih memakai baju lengkap. Otakku terasa panas memikirkan dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta.Aku mulai menggigil. Aku matikan kram shower, lalu bergegas memakai handuk. Handuk seperti jubah yang sering aku lihat di drama Korea. Hanya saja yang aku pakai sekarang tidak terlalu tebal bahannya.Aku juga memakai handuk kecil di kepala. Aku merasa lebih tenang dan rile
Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya aku tidak lagi bisa menghitung berapa kali sudah Pak Galih menikmati manisnya tubuh ini. Terkadang ada rasa bangga, saat tatapannya mengunci kedua mataku. Awalnya tatapan itu biasa saja. Hanya ada nafsu semata, tetapi setelah dua Minggu berlalu dan kami rutin melakukannya, tatapan itu berubah teduh dan penuh rindu. Aku bisa merasakan detak jantung Pak Galih saat ia memelukku sejenak, sebelum ia pergi. Di ruang tamu, di kamarku, di dapur, di ruang tengah, bahkan pernah di kamarnya, saat Bu Kikan bekerja atau lembur sampai jam sebelas malam baru pulang. Ia selalu mengonsumsi obat kuat yang ia beli dari teman kantornya. Ia bilang, Bu Kikan tidak mau kalau lama. Mungkin karena Bu Kikan capek kerja. Kadang Pak Galih hanya memuaskan Bu Kikan saja, sedangkan aku mampu memuaskannya hingga satu sampai dua jam. Obat itu pun akhirnya aku simpan di lemariku agar memudahkan Pak Galih saat ingin meminumnya."Hari ini Kikan pulang malam lagi," bisik
PoV KikanSetelah semua pergi, aku menelepon bibik agar tidak langsung pulang. Aku ingin sendiri. Benar-benar butuh waktu sendiri untuk meluapkan kesedihan yang sampai saat ini menyesakkan dada. Ternyata rasanya begitu sakit hingga aku menangis tanpa suara. Rumahku sepi. Semua kenangan di rumah ini terukir manis sejak aku menikah, sampai akhirnya Esti masuk ke dalam rumahku. Aku masuk ke dalam kamar wanita itu. Masih banyak pakaian wanita itu di sana. Baju kaus, celana bahan longgar, rok panjang, juga pakaian dalam. Aku tersenyum miris saat baru menyadari ada kurang lebih setengah lusin pakaian dalam bagus dan mahal yang ia sembunyikan di dalam lemari paling dalam. Aku kembali membongkar lemari itu sampai aku menemukan tujuh lingerie dan baju tidur bahan satin yang super seksi.Aku menutup mulut karena mendadak mual. Membayangkan Esti memakainya di depan suamiku sungguh membuatku ingin muntah. Aku kembali menurunkan semua isi lemari wanita itu. Ada sebuah buku dan juga kotak. Aku m