bab selanjutnya bakal adegan 21+ (pengumuman ini wkwkwk) tapi besok ya😬 makasih buat yang masih baca (。♡‿♡。) mudah-mudahan beneran masih ada yg baca inih, takutnya aku ngoceh sendiri aja (╯︵╰,)
Manik bening dengan bola mata sepekat malam milik Maura pun sontak membelalak lebar, mendengar perkataan Raven kepada Stefan via sambungan telepon barusan. Pria itu mau memperkenalkan sosok 'Moora' kepada Shailene? Bukankah karakter 'Moora' dalam buku terbaru Raven adalah... dirinya?? "Raven?" lirih Maura, dengan tatapan yang sejak tadi terkunci rapat tanpa lepas pada manik kelabu Raven. "Hm?" "Itu... barusan. Maksudnya, kamu berniat untuk memperkenalkan... aku?" tanya gadis itu ragu. "Kamu cuma bercanda kan?" Raven tak langsung menjawab, karena masih ingin menikmati wajah cantik dan polos dengan ekspresi penuh tanya yang tampak menarik di matanya. Pria itu pun tersenyum penuh teka-teki, matanya tak lepas dari tatapan Maura. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. “Tidak, Moora. Aku tidak bercanda," jawabnya akhirnya. “Aku rasa memang sudah waktunya kamu bertemu dengan Shailene.” Maura menelan ludah, suasana yang tiba-tiba membara di sekelilingnya hampir membuat
Udara kini terasa berat dan pekat oleh kabut gairah, menyelimuti kedua anak manusia yang sedang saling berbagi kehangatan di atas peraduan itu. Tubuh yang saling menyatu serta detak jantung yang saling berpacu, adalah sebuah harmonisasi indah dalam aktivitas bercinta yang mampu menggetarkan seluruh raga. Napas mereka tersengal, memburu, seiring dengan desahan-desahan pelan yang memenuhi seisi ruangan. Sinar lampu kamar yang sengaja diatur oleh Raven dalam nuansa temaram, turut membingkai siluet tubuh mereka dalam bayang-bayang samar yang sedikit buram. Maura merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhnya, seperti gelombang lembut yang tak henti-hentinya mengalir. Jari-jarinya yang lentik bergerak perlahan untuk menyusuri punggung Raven, menghafal setiap lekuk, setiap ototnya yang terasa keras dan liat, setiap garis maskulin yang tercipta di bawah kulit. Mengagumi sosok sempurna tanpa cela yang saat ini sedang berada di atasnya, sekaligus juga menyadari bahwa meman
“Halo.” Sebuah senyuman yang sangat manis terurai di wajah gadis itu, saat ia menyambut kedatangan Shailene dan Raven yang baru saja memasuki ruang kerja. Senyum itu milik Maura. Wajahnya yang berdarah Asia tampak cantik serta menyiratkan ketenangan, meskipun jauh di dalam sana hatinya terasa bergemuruh. Bagaimana tidak, hari ini Raven telah memintanya untuk turut dalam wawancara yang disiarkan secara langsung, sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Ia tak boleh salah berucap dan bersikap, karena seluruhnya akan ditonton tanpa ada proses editing sama sekali. Shailene pun membalas Maura dengan tersenyum sopan, maniknya yang biru tampak tajam mempelajari ke sekeliling ruangan. Ini bukan sekadar wawancara biasa. Ini adalah sebuah akses yang langka untuk masuk ke dalam kehidupan pribadi seorang Raven King, novelis thriller yang karyanya selalu membuat pembaca terpaku. Mereka sudah menyelesaikan tur singkat keliling mansion mewah di pulau pribadinya, yang kini ten
Maura masih terdiam. Sekuat apa pun ia mencoba untuk memahami pola pikir Raven, tetap saja ia tak mampu. Pria ini selalu sulit untuk ditebak. Maura menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan pikirannya. Di depan publik, Raven tampil begitu tenang dan percaya diri, seolah semua ini sudah ia rencanakan dengan matang. Namun Maura tahu ada sisi lain yang tersembunyi, sesuatu yang tak akan pernah sepenuhnya bisa ia mengerti. Sementara itu, Raven memulas senyum tipis ketika melihat Maura yang tak sadar jika sedang menatap dirinya sambil melamun. Gadis itu mendesah pelan sesudahnya, dengan kedua maniknya yang terpejam. Menggemaskan sekali. "Apa kamu lelah?" tanya Raven, tanpa melepaskan tatapannya dari Maura sedetik pun dan tanpa berkedip. "Hum. Sedikit," sahut Maura, menutupi kenyataan yang sebenarnya bahwa ia benar-benar lelah secara fisik dan mental, setelah bercinta maraton dengan Raven dan beban mental menjalani wawancara live dengan Shailene. Tiba-tiba Raven m
Stefan mengusap wajahnya dengan kedua tangan, menahan gejolak di dalam kepalanya. Ponselnya terus bergetar di meja, menunjukkan notifikasi yang tak henti-hentinya masuk dari berbagai platform media sosial. Setiap kali ia mengintip layar, notifikasi baru muncul—komentar, pesan pribadi, tagar trending, dan banyak lagi. Semua mengarah pada satu hal yang sama : kemesraan Raven dan Maura yang kini menjadi sorotan publik. Sambil menarik napas panjang, Stefan pun menghela frustrasi. Tentu saja ini terjadi. Sial. Raven selalu punya caranya sendiri untuk menciptakan kekacauan. Apa yang seharusnya menjadi wawancara profesional kini telah berubah menjadi drama publik. Dengan tangannya yang gemetar, Stefan membuka aplikasi berita terkemuka. Foto-foto Raven dan Maura di acara itu sudah tersebar di mana-mana—terutama foto Maura tak berkutik duduk di pangkuan Raven, dengan senyum menggoda di wajah sang pria. Komentar dari netizen bermunculan, dari yang memuji hingga yang men
Meskipun udara di sekitarnya dingin, hawa panas yang dipancarkan Raven membuat Maura merasa sesak. Setelah Raven selesai mencumbunya di depan semua orang, pria itu pun langsung menggendong Maura dan membawa gadis itu melewati pintu yang terhubung antara ruang kerja dengan kamar pribadinya. Acara shooting untuk wawancara telah usai, dan saatnya bagi Raven untuk melepaskan bebannya dengan menikmati hal yang ia suka... yaitu Maura. Gadis itu hanya diam dalam dekapan Raven, namun menyurukkan wajahnya di dada bidang pria itu, menyembunyikan malu serta tatapan para kru yang lekat kepada mereka. Entah apa yang akan terjadi nanti, berita apa yang akan beredar setelah skinship yang terlalu provokatif antara Raven dan dirinya tadi disaksikan oleh semua orang. Namun di balik ini semua, Maura hanya merasa sangat beruntung akan satu hal, yakni keberadaan dirinya di Pulau yang terpencil milik Raven yang tak berpenghuni kecuali orang-orang yang berada di mansion ini. Maura pasti tidak
"Kamu mungkin bisa mengabaikanku. Tapi jangan lupa, kamu tak akan pernah bisa lari dari darah yang mengalir dalam dirimu, atau pun dari takdir yang telah digariskan dalam hidupmu, putraku," tutur Sebastian seraya menyunggingkan senyum dingin. Baik Raven maupun Sebastian tampak sama-sama tidak ingin melepaskan tatapan mereka yang saling beradu satu sama lain sesudahnya, seolah saling mengukur kekuatan dan tekad masing-masing. Raven merasakan tekanan luar biasa dari tatapan tajam ayahnya, namun ia enggan menunjukkan kelemahan. Dirinya yang kini telah jauh lebih dewasa, lebih matang, dan memiliki kekuatan yang tak kalah sebanding dengan ayahnya. Raven yang sekarang bukanlah Raven yang dulu, yang lemah dan tak berdaya serat tak berani melawan. Sementara itu, Sebastian dengan sikap superiornya tetap berdiri tenang dan tidak terganggu, justru tampak menikmati ketegangan yang tercipta di antara mereka. "Kamu selalu keras kepala," gumam Sebastian, suaranya rendah namun penuh ancama
Maura tampak terkejut, tidak mengira akan diperkenalkan pada pria yang tampak begitu menyeramkan hanya dari penampilannya saja. Namun sebelum Maura sempat membalas salam, Raven bergegas melangkah maju dan menempatkan tubuhnya seperti tameng di antara ayahnya dan Maura. “Moora, kembalilah ke dalam kamar,” suara Raven terdengar tegas dan tidak ingin dibantah lagi. Maura terlihat ragu sejenak. Tatapannya pun beralih dari Sebastian ke arah Raven, dan ketika melihat sorot dingin di mata Raven, ia tahu bahwa tidak ada gunanya membantah. "Baiklah," gumamnya pelan, sebelum akhirnya membalikkan badannya dan kembali menaiki tangga. Setelah Maura menghilang, keheningan kembali memenuhi area itu. Raven memutar tubuhnya untuk menghadapkan dirinya pada Sebastian yang masih tersenyum penuh arti. Kali ini tanpa ada Maura di sana, percakapan mereka menjadi jauh lebih berbahaya. “Kamu benar-benar protektif terhadap wanita itu,” ujar Sebastian, suaranya terdengar seperti ejekan. “Kamu
Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l