Stefan lagi pusing, Sebastian dan Jane lagi tawar menawar. Terus Maura dan Raven lagi apa, thor? ya lagi gemes2an di ranjanglaaah wkwkwk... mau lanjut up lagi? yuk taburi dulu dengan gems yg banyak serta ulasan ya kak ♡♡♡
Meskipun udara di sekitarnya dingin, hawa panas yang dipancarkan Raven membuat Maura merasa sesak. Setelah Raven selesai mencumbunya di depan semua orang, pria itu pun langsung menggendong Maura dan membawa gadis itu melewati pintu yang terhubung antara ruang kerja dengan kamar pribadinya. Acara shooting untuk wawancara telah usai, dan saatnya bagi Raven untuk melepaskan bebannya dengan menikmati hal yang ia suka... yaitu Maura. Gadis itu hanya diam dalam dekapan Raven, namun menyurukkan wajahnya di dada bidang pria itu, menyembunyikan malu serta tatapan para kru yang lekat kepada mereka. Entah apa yang akan terjadi nanti, berita apa yang akan beredar setelah skinship yang terlalu provokatif antara Raven dan dirinya tadi disaksikan oleh semua orang. Namun di balik ini semua, Maura hanya merasa sangat beruntung akan satu hal, yakni keberadaan dirinya di Pulau yang terpencil milik Raven yang tak berpenghuni kecuali orang-orang yang berada di mansion ini. Maura pasti tidak
"Kamu mungkin bisa mengabaikanku. Tapi jangan lupa, kamu tak akan pernah bisa lari dari darah yang mengalir dalam dirimu, atau pun dari takdir yang telah digariskan dalam hidupmu, putraku," tutur Sebastian seraya menyunggingkan senyum dingin. Baik Raven maupun Sebastian tampak sama-sama tidak ingin melepaskan tatapan mereka yang saling beradu satu sama lain sesudahnya, seolah saling mengukur kekuatan dan tekad masing-masing. Raven merasakan tekanan luar biasa dari tatapan tajam ayahnya, namun ia enggan menunjukkan kelemahan. Dirinya yang kini telah jauh lebih dewasa, lebih matang, dan memiliki kekuatan yang tak kalah sebanding dengan ayahnya. Raven yang sekarang bukanlah Raven yang dulu, yang lemah dan tak berdaya serat tak berani melawan. Sementara itu, Sebastian dengan sikap superiornya tetap berdiri tenang dan tidak terganggu, justru tampak menikmati ketegangan yang tercipta di antara mereka. "Kamu selalu keras kepala," gumam Sebastian, suaranya rendah namun penuh ancama
Maura tampak terkejut, tidak mengira akan diperkenalkan pada pria yang tampak begitu menyeramkan hanya dari penampilannya saja. Namun sebelum Maura sempat membalas salam, Raven bergegas melangkah maju dan menempatkan tubuhnya seperti tameng di antara ayahnya dan Maura. “Moora, kembalilah ke dalam kamar,” suara Raven terdengar tegas dan tidak ingin dibantah lagi. Maura terlihat ragu sejenak. Tatapannya pun beralih dari Sebastian ke arah Raven, dan ketika melihat sorot dingin di mata Raven, ia tahu bahwa tidak ada gunanya membantah. "Baiklah," gumamnya pelan, sebelum akhirnya membalikkan badannya dan kembali menaiki tangga. Setelah Maura menghilang, keheningan kembali memenuhi area itu. Raven memutar tubuhnya untuk menghadapkan dirinya pada Sebastian yang masih tersenyum penuh arti. Kali ini tanpa ada Maura di sana, percakapan mereka menjadi jauh lebih berbahaya. “Kamu benar-benar protektif terhadap wanita itu,” ujar Sebastian, suaranya terdengar seperti ejekan. “Kamu
"Cepat selesaikan sarapanmu. Ayah tunggu di mobil." Pria itu mengucapkan kalimatnya dengan nada yang datar tanpa kehangatan sama sekali, sembari melayangkan tatapan tajam kepada salah seorang anak lelaki kecil yang duduk di meja makan bersamanya. "Baik, Ayah," sahut putranya itu dengan patuh sembari mengangguk. Maniknya yang kelabu hanya melirik ketika melihat ayahnya yang telah berdiri dan meninggalkan ruang makan, kemudian tangan kecilnya pun bergerak untuk menyuapkan makan paginya lebih cepat, karena ia tahu jika ayahnya tidak akan suka jika ia bersikap lambat. "Uhuk-uhukk!!" Karena terlalu terburu-buru, anak kecil itu pun tersedak makanan dan terbatuk. Sebuah gelas kaca berisi air seketika berada di hadapannya. "Minum dulu, Raven." Seorang anak lelaki kecil dengan wajah serupa dengannya tersenyum sembari menyodorkan air. "Thanks, Rhexton." Raven kecil itu segera meminum airnya hingga tandas. "Aku duluan, ayah sudah menunggu," ucapnya lagi kepada saudara kembarnya
Ia terbangun dengan tiba-tiba, peluh yang bercucuran membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Mimpi tentang masa lalu telah kembali hadir, membuat tidurnya malam ini gelisah dan berakhir dengan terjaga. Raven duduk di atas ranjangnya dengan satu tangannya menyentuh kepalanya yang terasa nyeri. "Raven?" Suara lembut yang memanggil dirinya membuat pria itu menoleh ke samping, dan mendapati sosok wanita bersurai sehitam bola matanya ikut duduk di ranjang, sedang memandangi dirinya dengan kening yang berkerut halus. "Apa barusan kamu bermimpi buruk?" Maura sempat mendengar racauan pria itu yang berulangkali. Meskipun tak begitu jelas, namun Raven seperti menyebut kata "tidak!" dan "ayah!", hingga membuat Maura pun tak pelak mulai menerka-nerka. Apakah ini ada hubungannya dengan atmosfir dingin dan kaku antara Raven dan Sebastian yang ia lihat tadi siang? Apakah Raven... juga sering mengalami kekerasan di masa kecilnya, sama seperti Maura? Raven tak menjawab, nafasnya masih
"Suara ledakan dan gas abu-abu di langit itu hanyalah sebuah pengalihan, Tuan Raven. Yang membuat seluruh penghuni di mansion ini tak sadarkan diri sesungguhnya adalah efek gas pembius yang dialirkan melalui seluruh saluran udara." Raven tetap terdiam, manik kelabunya tajam memandang Alberto yang menyampaikan laporan penyelidikannya. Keningnya berkerut dalam, otaknya berputar mencari celah dari peristiwa yang baru saja terjadi. Sebagai seorang yang selalu mampu mengendalikan situasi, kali ini dia merasa semuanya keluar dari kendalinya. "Lalu siapa penghianat yang melakukannya?" tanyanya dengan suara rendah namun penuh tuntutan. "Salah satu pelayan yang sedang melarikan diri, tapi saya sudah mengutus beberapa pengawal untuk menangkap dan menginterogasinya," sahut Alberto tegas. Raven mengangguk pelan, meski pikirannya tak bisa berhenti berputar. Ia pun berdiri dengan gerakan tiba-tiba, menyebabkan kursi yang ia duduki bergerak mundur dengan roda-roda yang berderit. Langkah
Sebastian menatap dingin ke arah Maura yang terbaring lemas di atas lantai yang dingin dan kotor. Tubuh gadis itu tersentak, setiap kali aliran listrik dari senjata kejut yang ia genggam menghantam kulitnya. "Apa kamu pikir layak mendapatkan cinta dari gadis ini, Raven? Bodoh. Kekuasaanlah yang terpenting! Dan kamu tidak akan pernah bisa lolos dari kekuasaanku!" ucap Sebastian dengan suaranya yang penuh kebencian. Ia mendekatkan senjata itu lagi, lalu menyeringai ketika mendengar suara listrik berderak. "Maaf, Maura. Ini bukan masalah pribadi, tapi hanyalah antara aku dan Raven. Dan kamu adalah korban, sebagai pembelajaran serta shock therapy yang tepat untuk anak bodoh itu." Maura menggigit bibirnya untuk menahan erangan kesakitan. Tubuhnya mulai mati rasa. Tetapi setiap kali senjata kejut itu menyentuhnya, rasa sakit yang teramat sangat serasa membakar seluruh pori-pori serta sarafnya, membuat tubuhnya bereaksi meskipun hampir menyerah kalah. Ia tidak ingin memberikan
FUCK! Tak terhitung sudah berapa ribu kali Raven mengumpat, di sepanjang langkah lebarnya yang menaiki sekaligus tiga undakan anak tangga menuju ke arah rooftop. Ia berpacu dengan waktu, setiap detiknya akan sangat berharga karena Maura bisa terjatuh kapan saja dari ketinggian tiga lantai. Raven tidak pernah merasa jantungnya berdetak sekencang ini, membayangkan jika saja tali yang rapuh dan membelit tubuh Maura itu tidak lagi bisa menahan gadis itu, dan... TIDAK. Maura pasti selamat. Maura HARUS selamat! Raven menerjang pintu yang berada di anak tangga teratas, dan udara bebas dengan angin semilir pun segera menyambutnya. Ia telah tiba di bagian paling atas rumah tiga lantai itu yang merupakan ruang terbuka, persis seperti perkiraannya. Pria bersurai coklat itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru selama beberapa saat, dan kembali mengumpat keras saat melihat sebuah tali yang diikat di sebuah tiang besi. Itu pasti tali yang mengikat tubuh Maura. Dengan napas m
Musim semi tiba dengan segala keindahannya, membawa serta aroma manis bunga-bunga yang bermekaran dan langit biru yang begitu cerah. Di tengah taman yang luas, dengan dekorasi klasik yang elegan, pernikahan Shane King dan Leona digelar dengan khidmat dan penuh kehangatan. Siapa sangka, seorang pria yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam kesendirian akhirnya menemukan cinta sejatinya pada wanita yang usianya hampir setengah dari umurnya? Leona, awalnya hanya ditugaskan oleh Raven untuk merawat kesehatan Shane yang menurun. Namun dalam setiap perawatan, setiap percakapan, setiap sentuhan yang terjadi antara mereka, sesuatu mulai tumbuh tanpa bisa mereka cegah. Cinta. Cinta yang datang tanpa diminta, menghapus segala batas yang ada, menghilangkan segala perbedaan, dan akhirnya membawa mereka pada hari ini. Raven duduk di barisan terdepan bersama Maura. Matanya sekilas menatap sang paman, pria yang selama ini berada dalam tawanan serta siksaan keji, kini m
Malam ini terasa begitu panjang bagi Maura. Di dalam villa yang seharusnya menjadi tempat paling aman baginya, ia justru tak bisa memejamkan mata sedetik pun. Kegelisahan merayap di benaknya, membuat setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Di luar jendela, bulan sudah tenggelam digantikan gelapnya malam yang semakin pekat. Maura duduk di tepi ranjang, mendekap dirinya sendiri sambil menatap kosong ke arah pintu. Lewis telah membawanya ke tempat ini atas perintah Raven, berkata bahwa ia akan aman di sini. Tapi keamanannya bukanlah yang ia risaukan saat ini. Yang ia tunggu adalah satu hal. Satu orang, lebih tepatnya. Namun ternyata hingga pagi datang menjelang, sosok itu pun tak jua datang. Saat jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, Maura akhirnya menyerah. Ia bangkit dari tempat tidur dengan langkah lesu. Percuma saja memaksa dirinya tidur ketika seluruh pikirannya penuh dengan kecemasan. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas
Tobias hanya tersenyum, seolah itulah jawaban yang ia harapkan. Tobias menatap Raven tajam. “Dan sekarang, pertanyaannya… apa yang akan kau lakukan, Raven? Membunuhku?” Tobias mencondongkan tubuh ke depan, ekspresinya menantang. “Silakan. Aku sudah tua. Kematian bukanlah sesuatu yang kutakuti. Aku telah menyelesaikan tugasku. Aku telah menemukan penggantiku yang paling sempurna.” Sambil tersenyum tipis, Tobias menjentikkan jarinya. Seorang pria di sudut ruangan melangkah maju, menyerahkan sebuah map tebal. Tobias meletakkannya di atas meja, menatap Raven dengan penuh kemenangan. “Ini dokumen yang telah kususun dengan sangat hati-hati,” ujar Tobias. “Melibatkan tiga puluh pengacara terbaik di dunia. Di dalamnya, ada keputusan yang tak akan bisa diganggu gugat oleh siapa pun.” Raven tetap diam, membiarkan Tobias melanjutkan. “Dokumen ini menunjuk CEO baru untuk King’s Enterprise. Dan itu adalah kamu, Raven.” Terdengar suara Rhexton menghirup napas tajam. Tobias mena
"Kudeta?" ulang Rhexton dengan nada tajam. Sejak tadi, ia hanya berdiri di samping Tobias, menatap Raven dengan sorot mata yang tak dapat ditebak. "Tidak bisakah kita menyelesaikan ini dengan cara lain, Raven?" lanjutnya. "Keluarga seharusnya tidak saling menghancurkan." Raven menatap saudara kembarnya dengan ekspresi datar, seolah kata-kata Rhexton sama sekali tidak berarti apa-apa baginya. “Keluarga?” Raven tertawa kecil tapi dengan nada yang dingin. “Sejak kapan aku benar-benar merasakan hakikat dari keluarga?” Ia melangkah lebih dekat, hingga kini hanya berjarak beberapa langkah dari Rhexton dan Tobias. “Nama belakang itu hanyalah sebuah label, gelar yang tidak pernah benar-benar kuanggap memiliki arti. Bukankah sejak kecil, aku tidak lebih dari sebuah alat?" Maniknya yang kelabu berkilat tajam saat ia menatap langsung ke mata Rhexton. “Aku bukan keluarga. Aku hanya pion, senjata, dan alat manipulasi untuk membodohi pihak lain demi kepentingan keluarga King. Dan ka
Manik biru dingin itu mengamati SUV hitam yang bergerak semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang menjadi sebuah titik kecil di ujung jalan. Raven pun lalu sedikit mengangkat tangannya, memberikan isyarat singkat kepada salah satu pengawal yang berada tak jauh darinya. Tanpa perlu kata-kata, orang itu langsung memahami perintahnya dan segera menekan tombol kecil di perangkat komunikasi yang tersembunyi di pergelangan tangan. Dan hanya dalam hitungan detik, seluruh Mansion yang sebelumnya gelap gulita, kini tiba-tiba saja disinari oleh cahaya yang terang. Generator cadangan yang sebelumnya dinonaktifkan oleh orang-orang Raven pun telah kembali menyala, turut menghidupkan semua lampu dan sistem keamanan di dalam Mansion seperti sedia kala. Saat seluruh cahaya telah memenuhi ruangan, Raven pun mengayunkan kaki untuk kembali masuk dengan langkah tenang. Ia masih melangkah seraya tangan kanannya pun ikut terangkat ke wajah. Dengan gerakan perlahan tapi pasti, ia mulai m
Kalimat itu keluar dengan penuh percaya diri, setiap suku katanya terasa seperti pukulan telak kepada ego Rhexton. Nada penuh arogansi tersebut seolah disengaja untuk memprovokasi, dan terbukti berhasil. Rhexton yang kini wajahnya memerah karena kemarahan, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ia mengulurkan tangannya ke depan dengan geram, mencoba untuk menggapai sosok yang ingin sekali ia tantang untuk berbaku hantam. Tapi sayangnya, hanya angin kosong yang berhasil ia sentuh. Rhexton pun semakin frustrasi. Ia menggerakkan tangannya lebih agresif, seolah yakin Raven berada di dekatnya. Namun setiap usahanya tetaplah sia-sia. Di sisi lain, Raven yang telah diam-diam mengenakan kacamata infra merah sejak awal, hanya bisa tersenyum samar. Ia menyaksikan semua gerakan Rhexton yang terlihat putus asa dalam kegelapan, membuat situasi ini menjadi pemandangan yang hampir menggelikan baginya. Raven lalu melirik ke arah tiga orang pengawalnya yang telah bers
Maura terdiam. Tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat itu, sebuah euforia kebahagiaan bercampur dengan rasa tidak percaya. Ia ingin sekali menanyakan semuanya. Bagaimana Raven bisa hidup, apa yang sebenarnya terjadi, lalu tubuh siapa yang dimakamkan waktu itu... tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang berhasil keluar dari bibirnya. Ia hanya memeluk Raven lebih erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi. Momen itu terasa seperti keabadian. Maura tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Akan ada lebih banyak rahasia yang terungkap, lebih banyak bahaya yang harus mereka hadapi. Tapi untuk saat ini ia hanya ingin menikmati kenyataan bahwa pria yang ia cintai, pria yang selama ini ia kira telah pergi, kini kembali dalam hidupnya. Maka Maura pun tak lagi berkata-kata. Ia diam dalam gendongan hangat Raven, dan semakin mengeratkan pelukannya. Dalam kegelapan yang telah menelan seluruh cahaya ini, Maura pun mempercayakan segalanya ha
“Pengkhianat!” Rhexton mendesis tajam, wajahnya memerah karena amarah yang tidak bisa ia kendalikan. Tangannya terkepal erat, sementara tiga pengawal yang masih setia kepadanya segera mengangkat senjata mereka, siap menargetkan ketiga pembelot tersebut. “Turunkan senjata kalian!” Rhexton memerintahkan ketiga pengawal yang berpihak pada Ryland dengan suara bergetar, entah karena kemarahan atau kegelisahan. Namun mereka tidak menggubrisnya. Ketegangan pun memuncak. Suasana kamar yang semula hening kini terasa begitu penuh tekanan. Udara seolah membeku di antara kedua belah pihak, masing-masing mengarahkan senjata mereka tampak tidak ada yang mau mengalah. Maura berdiri di tengah-tengah dengan tubuh yang gemetar hebat. Ia menatap ke arah Rhexton, lalu beralih ke Ryland, yang masih berdiri tanpa bergerak dengan tatapan yang dingin dan penuh kendali. Meski tak berkata sepatah pun, namun hanya dengan kehadirannya saja telah terasa mendominasi seluruh ruangan. “Mau
"Apa yang pernah menjadi milikmu?" tanya Maura bingung. Ryland menatap Maura dalam keheningan yang menegangkan. Kemudian dengan satu gerakan cepat, ia meraih tangan Maura dan menariknya mendekat, untuk memeluk dengan erat. Namun semua sentuhannya itu penuh dengan kehati-hatian, terutama pada bagian perut Maura. Seolah ia sangat menyadari keberadaan dua nyawa kecil yang sedang tumbuh di sana. "Ryland, apa yang kamu~" Maura berusaha untuk melepaskan diri, tapi kekuatannya tak cukup untuk melawan pria itu. Ia terdiam ketika tangan besar Ryland bergerak perlahan menuju ke perutnya, lalu mengusapnya dengan lembut. Sentuhan itu begitu kontras dengan sikap dingin dan tegas Ryland, membuat Maura terkejut dan kehilangan kata-kata. "Ryland..." bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar antara kebingungan dan emosi yang tak mampu ia jelaskan. Pria itu menunduk, memandangnya dengan lebih intens, sebelum tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Maura. Sentuhannya l