cuss lanjut baca lagi... up 2 bab ya
"Halo lagi, Raven King. Been a while, how are you?" Sapa seorang wanita cantik bersurai pirang yang tersenyum memikat kepada Raven. "Halo juga, Shailene. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Raven pun menyahut seraya membalas senyum wanita itu. Ini adalah pertemuan kedua mereka dalam sesi wawancara, dan sesuai rencana dengan Stefan sebelumnya, lokasi shooting kali ini bertempat di Mansion milik Raven. "Aku? Aku merasa sangat luar biasa!" cetus Shailene sembari tertawa. "Terima kasih sekali karena telah mengundangku ke Pulau Little Olive dan berada di dalam Mansion milikmu yang megah dan luar biasa ini, Raven. Sungguh, aku benar-benar merasa terhormat." Raven tersenyum tipis ke arah kamera yang menyorotnya, meskipun sebenarnya ia ingin sekali memutar bola mata bosan. Siapa juga yang ingin mengundang Shailene beserta timnya? Jika saja Stefan tidak memaksanya, Raven sudah pasti tidak akan pernah membiarkan orang luar tidak jelas masuk ke dalam area pribadinya! "Well, selamat dat
Maura menatap nanar amplop lusuh itu di tangannya, sembari menghela napas pelan dan mengutuk diri sendiri. Aaarghh... apa sih yang dia pikirkan ketika tanpa ragu mengambil benda ini dari laci meja kerja Raven?! Bodoh. Jelas-jelas amplop dengan tulisan ini adalah benda yang sangat pribadi dan berharga bagi Raven, karena masih disimpan dengan baik meskipun rupanya sudah lecek dan kumal. Lalu kenapa Maura malah dengan santai mengambilnya? Bagaimana jika ketahuan oleh Raven?? Tangan Maura pun mulai gemetar membayangkan kemarahan pria itu atas sikap lancangnya. Apa sebaiknya ia kembalikan saja amplop ini ke dalam laci kerja Raven?? Hanya saja... Maura tak bisa menampik rasa penasaran yang memenuhi benaknya, ketika membaca kalimat yang tertera di bagian depan amplop itu. "Untuk putraku, Raven. Maafkan aku." Maura membaca kalimat itu dengan lirih, mencoba mengurai makna yang tersirat di dalamnya. Ia bisa merasakan sebuah benda yang tebal di dalam amplop, mungkin selemba
Untuk Raven, anakku tersayang. Maafkan ibu. Selama bertahun-tahun ini, ibu tak pernah mengirim surat, tak pernah menelepon, juga tak pernah datang. Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa ibu meninggalkanmu? Mengapa ibu memilih Rhexton dan tidak membawa kamu bersama-sama? Ibu tahu, ada banyak pertanyaan yang menghantui hati dan pikiranmu. Hari ini, ibu ingin menjawabnya, walau tahu kata-kata ini mungkin terlambat dan terasa begitu pahit. Ketika ibu dan ayahmu memutuskan untuk berpisah, ibu berada dalam pilihan yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya. Ayahmu... kamu kan tahu betapa keras, kaku dan dinginnya dia? Dia menginginkanmu, Raven. Tapi bukan karena dia sangat mencintaimu, tetapi karena dia melihat sesuatu yang dia inginkan ada dalam dirimu. Yaitu kekuatanmu, ketangguhanmu, serta keberanianmu. Ibu tahu kamu lebih kuat dibandingkan Rhexton yang rapuh, yang sering sakit-sakitan. Ibu tidak bisa membiarkan Rhexton hidup di bawah aturan ayahmu yang begitu keta
Manik bening dengan bola mata sepekat malam milik Maura pun sontak membelalak lebar, mendengar perkataan Raven kepada Stefan via sambungan telepon barusan. Pria itu mau memperkenalkan sosok 'Moora' kepada Shailene? Bukankah karakter 'Moora' dalam buku terbaru Raven adalah... dirinya?? "Raven?" lirih Maura, dengan tatapan yang sejak tadi terkunci rapat tanpa lepas pada manik kelabu Raven. "Hm?" "Itu... barusan. Maksudnya, kamu berniat untuk memperkenalkan... aku?" tanya gadis itu ragu. "Kamu cuma bercanda kan?" Raven tak langsung menjawab, karena masih ingin menikmati wajah cantik dan polos dengan ekspresi penuh tanya yang tampak menarik di matanya. Pria itu pun tersenyum penuh teka-teki, matanya tak lepas dari tatapan Maura. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. “Tidak, Moora. Aku tidak bercanda," jawabnya akhirnya. “Aku rasa memang sudah waktunya kamu bertemu dengan Shailene.” Maura menelan ludah, suasana yang tiba-tiba membara di sekelilingnya hampir membuat
Udara kini terasa berat dan pekat oleh kabut gairah, menyelimuti kedua anak manusia yang sedang saling berbagi kehangatan di atas peraduan itu. Tubuh yang saling menyatu serta detak jantung yang saling berpacu, adalah sebuah harmonisasi indah dalam aktivitas bercinta yang mampu menggetarkan seluruh raga. Napas mereka tersengal, memburu, seiring dengan desahan-desahan pelan yang memenuhi seisi ruangan. Sinar lampu kamar yang sengaja diatur oleh Raven dalam nuansa temaram, turut membingkai siluet tubuh mereka dalam bayang-bayang samar yang sedikit buram. Maura merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhnya, seperti gelombang lembut yang tak henti-hentinya mengalir. Jari-jarinya yang lentik bergerak perlahan untuk menyusuri punggung Raven, menghafal setiap lekuk, setiap ototnya yang terasa keras dan liat, setiap garis maskulin yang tercipta di bawah kulit. Mengagumi sosok sempurna tanpa cela yang saat ini sedang berada di atasnya, sekaligus juga menyadari bahwa mema
Kaki jenjang berkulit keemasan itu tampak rapuh dan gemetar, ketika sedang berdiri di hadapan sebuah bangunan megah bertingkat dua. Ia tahu jika sudah seharusnya sekarang bergegas memasuki Mansion mewah di depannya itu, namun entah kenapa serangan gugup dan panik mendadak melanda dirinya. "Miss Maura?" Gadis itu pun sontak terkejut dan menoleh, ketika sebuah suara pria menyapa dirinya yang tengah melamun. Sosok pria paruh baya berbusana formal serba hitam tersenyum kepada dirinya, namun gadis itu masih diam tak membalas senyumnya. "Perkenalkan nama saya Alberto. Mari ikut dengan saya untuk masuk ke dalam, karena kehadiran Anda telah sangat ditunggu," ucap pria paruh baya yang masih tetap murah senyum meski Maura tak bergeming. Tak lagi bisa mengelak, gadis bergaun merah selutut itu pun mau tak mau mengikuti langkah Alberto yang berjalan di depannya, menuntun dirinya memasuki Mansion bercat putih yang terlalu mewah untuk menjadi nyata. Lagi pula, bagaimana ia bisa mengel
Maura pun menguatkan batinnya yang mulai goyah, untuk tetap tegak dan terus melangkah. Ia sangat membutuhkan uang itu untuk lepas dari keluarganya yang toxic. Ia butuh uang yang sangat banyak untuk bisa menata kehidupan baru di luar negeri, jauh dari ayahnya yang ringan tangan dan orang-orang sekelilingnya yang hanya ingin merusaknya.. Gadis bersurai panjang itu pun mengepalkan kedua tangan yang berada di sisi tubuhnya dengan kuat. Ya, itulah tujuan awalnya mendaftarkan diri di situs gelap perdagangan wanita yang tanpa sengaja ia temui di internet. Virginity For Sale, itu namanya. Sebuah agensi gelap yang menjual gadis-gadis yang masih perawan dengan harga tinggi, kepada pria-pria kaya hidung belang yang ingin merasakan tubuh murni belum pernah tersentuh. "Sebaiknya Anda segera naik ke lantai atas, Miss Maura. Tuan adalah pria yang sangat tidak suka menunggu," tegur Alberto, yang melihat Maura sejak tadi hanya berdiam diri mematung di tempatnya berdiri. "Oh iya. Maaf," gum
Raven King... RAVEN KING??? Pria bersurai coklat gelap itu pun sedikit memiringkan kepalanya, kala melihat wajah cantik Maura yang tampak sedikit memucat ketika menatapnya. "Apa kamu mengenalku?" Leher Maura terasa kaku ketika mengangguk sebagai jawaban untuk pertanyaan Raven. Ia masih tampak shock, benar-benar tidak menyangka jika pria yang akan ia layani adalah sosok fenomenal dan sangat, sangat terkenal di dunia. 'Sial. Raven King? For real? Untuk apa pria setampan dan terkenal seperti dia menyewa jasa agensi Virginity For Sale??''Ya ampun... benar-benar tidak disangka jika pria ini mengincar keperawanan para gadis! Apa jangan-jangan dia memiliki semacam kelainan?!' Ribuan pertanyaan yang berkecamuk di dalam pikiran Maura, tak pelak ikut tergambar pula di wajahnya meski tak jua ia ucapkan dari bibirnya. Raven tampak menyeringai samar melihat bayang-bayang asumsi yang tampak dari ekspresi gadis bersurai hitam panjang ini. Manik abu-abu pria itu sejenak mengamati kes