maaf dikit aja yaa, besok deh yg lebih seru lagi heee♡♡♡
Menggunakan Senjata?? Satu sudut bibir Raven pun seketika menukik naik membentuk seringai samar penuh arti, kala mendengar permintaan Maura. Tangan rapuh gadis itu yang masih berada dalam genggamannya itu pun ia tekan sedikit lebih kuat, membuat kening Maura berkerut dan melirik ke bawah, dimana tangannya dan Raven sedang bertaut. "Kamu yakin, Moora?" Raven bertanya seraya mengangkat tangan Maura dan mengecup jemarinya lembut. "Berhati-hatilah dengan permintaanmu, Sugar Cookie. Senjata adalah alat yang digunakan untuk melukai, menghancurkan, dan juga... membunuh." Maura terpaku pada kilau yang terpantul dari manik kelabu Raven, yang sejenak membuatnya terpesona kala pria itu sedang berucap. Raven selalu seperti itu, memiliki kekuatan yang mampu membuatnya seolah terhipnotis. Maura mengerjap-kerjapkan matanya ketika telah tersadar pada akhirnya, lalu mendehem pelan sembari menggigit bibirnya. "Ya... aku yakin," desahnya dengan menghela napas. "Aku tidak ingin menjadi le
Rhexton... masih hidup?! Maura menatap Raven dengan sorot penuh harap dan tanya, hingga akhirnya pria itu pun ikut menatapnya seraya tersenyum samar. "Ya. Dia memang masih hidup... paling tidak untuk sekarang," ujar Raven datar dan penuh maksud tersirat di dalamnya, seolah setiap saat ia pun dapat mengambil nyawa saudara kembarnya itu kapan pun ia mau. Lalu Raven pun kembali menatap Alberto. "Kami akan turun menemui Rhexton sebentar lagi, terima kasih, Alberto." Alberto mengangguk penuh hormat, kemudian permisi untuk undur diri meninggalkan Maura dan Raven kembali berdua. "Apa yang kamu rasakan kepada Rhexton?" Maura mengerjap kaget mendengar pertanyaan Raven yang datang dengan sangat tiba-tiba itu dan tidak disangka itu. "Aku memang tidak terlalu mengenalnya, namun menurutku... Rhexton adalah pria yang baik." Maura hanya memberikan jawaban yang dirinya bayangkan tentang Rhexton. Manik kelabu terang Raven tampak semakin berkilat-kilat sesudahnya, atau mungkin itu hanya
Suara dua langkah kaki yang menuruni tangga membuat tatapan Rhexton yang waspada pun terarah ke sana. Pria dengan surai yang agak panjang itu menatap lekat penuh tanya pada jemari Maura, yang sedang berada di dalam genggaman erat Raven. Rhexton pun memaki dalam hati saat menyadari bahwa ia sudah terlambat. Raven dengan semua trik liciknya itu pasti telah berhasil mempengaruhi pikiran Maura, dan pasti akan sangat sulit baginya untuk membawa gadis itu pergi dari sini. "Rhexton. Kamu tidak apa-apa?" Maura-lah yang pertama kali berucap, saat mereka bertiga pada akhirnya saling bertemu tatap. Gadis itu terlihat ingin mendekati Rhexton untuk memeriksa salah satu lengannya yang diberi penyangga, namun tampak tak berkutik karena tangannya yang masih digenggam oleh Raven dengan sengaja. "Peluru itu hanya mengenai lenganku," tukas Rhexton sambil tersenyum, berusaha menenangkan raut khawatir di wajah Maura. "Ya. Hanya lengan. Sayang sekali," tukas Raven sembari sedikit memiringkan
Malam itu terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding yang samar terdengar dari sudut kamar. Cahaya temaram lampu tidur melukiskan bayangan di dinding, menciptakan suasana yang misterius dan mendebarkan. Maura berbaring di atas ranjang, jantungnya berdegup cepat. Dia merasakan udara di sekelilingnya sedikit lebih tebal, hangat, dan pekat. Raven mengamati setiap gerak dan lekuk tubuh Maura yang menggiurkan. Dia tampak seperti bayangan yang hidup, penuh rahasia yang kapan pun dapat meledak. Maura pun menelan ludahnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ada sesuatu di dalam cara Raven menatapnya yang membuatnya merasa kecil dan tak berdaya, namun sekaligus juga membuatnya terpesona. Raven duduk di tepi ranjang dengan tangan yang terulur untuk menyentuh pipi Maura, lembut dan tak terduga "Kamu gemetar," bisiknya, suaranya berat dan dalam, seperti menggenggam seluruh ruang. "Apa kamu masih takut padaku, Moora?" Maura pun terdiam dengan benak yang mencoba untuk menyusun k
"Halo lagi, Raven King. Been a while, how are you?" Sapa seorang wanita cantik bersurai pirang yang tersenyum memikat kepada Raven. "Halo juga, Shailene. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Raven pun menyahut seraya membalas senyum wanita itu. Ini adalah pertemuan kedua mereka dalam sesi wawancara, dan sesuai rencana dengan Stefan sebelumnya, lokasi shooting kali ini bertempat di Mansion milik Raven. "Aku? Aku merasa sangat luar biasa!" cetus Shailene sembari tertawa. "Terima kasih sekali karena telah mengundangku ke Pulau Little Olive dan berada di dalam Mansion milikmu yang megah dan luar biasa ini, Raven. Sungguh, aku benar-benar merasa terhormat." Raven tersenyum tipis ke arah kamera yang menyorotnya, meskipun sebenarnya ia ingin sekali memutar bola mata bosan. Siapa juga yang ingin mengundang Shailene beserta timnya? Jika saja Stefan tidak memaksanya, Raven sudah pasti tidak akan pernah membiarkan orang luar tidak jelas masuk ke dalam area pribadinya! "Well, selamat dat
Maura menatap nanar amplop lusuh itu di tangannya, sembari menghela napas pelan dan mengutuk diri sendiri. Aaarghh... apa sih yang dia pikirkan ketika tanpa ragu mengambil benda ini dari laci meja kerja Raven?! Bodoh. Jelas-jelas amplop dengan tulisan ini adalah benda yang sangat pribadi dan berharga bagi Raven, karena masih disimpan dengan baik meskipun rupanya sudah lecek dan kumal. Lalu kenapa Maura malah dengan santai mengambilnya? Bagaimana jika ketahuan oleh Raven?? Tangan Maura pun mulai gemetar membayangkan kemarahan pria itu atas sikap lancangnya. Apa sebaiknya ia kembalikan saja amplop ini ke dalam laci kerja Raven?? Hanya saja... Maura tak bisa menampik rasa penasaran yang memenuhi benaknya, ketika membaca kalimat yang tertera di bagian depan amplop itu. "Untuk putraku, Raven. Maafkan aku." Maura membaca kalimat itu dengan lirih, mencoba mengurai makna yang tersirat di dalamnya. Ia bisa merasakan sebuah benda yang tebal di dalam amplop, mungkin selemba
Untuk Raven, anakku tersayang. Maafkan ibu. Selama bertahun-tahun ini, ibu tak pernah mengirim surat, tak pernah menelepon, juga tak pernah datang. Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa ibu meninggalkanmu? Mengapa ibu memilih Rhexton dan tidak membawa kamu bersama-sama? Ibu tahu, ada banyak pertanyaan yang menghantui hati dan pikiranmu. Hari ini, ibu ingin menjawabnya, walau tahu kata-kata ini mungkin terlambat dan terasa begitu pahit. Ketika ibu dan ayahmu memutuskan untuk berpisah, ibu berada dalam pilihan yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya. Ayahmu... kamu kan tahu betapa keras, kaku dan dinginnya dia? Dia menginginkanmu, Raven. Tapi bukan karena dia sangat mencintaimu, tetapi karena dia melihat sesuatu yang dia inginkan ada dalam dirimu. Yaitu kekuatanmu, ketangguhanmu, serta keberanianmu. Ibu tahu kamu lebih kuat dibandingkan Rhexton yang rapuh, yang sering sakit-sakitan. Ibu tidak bisa membiarkan Rhexton hidup di bawah aturan ayahmu yang begitu keta
Manik bening dengan bola mata sepekat malam milik Maura pun sontak membelalak lebar, mendengar perkataan Raven kepada Stefan via sambungan telepon barusan. Pria itu mau memperkenalkan sosok 'Moora' kepada Shailene? Bukankah karakter 'Moora' dalam buku terbaru Raven adalah... dirinya?? "Raven?" lirih Maura, dengan tatapan yang sejak tadi terkunci rapat tanpa lepas pada manik kelabu Raven. "Hm?" "Itu... barusan. Maksudnya, kamu berniat untuk memperkenalkan... aku?" tanya gadis itu ragu. "Kamu cuma bercanda kan?" Raven tak langsung menjawab, karena masih ingin menikmati wajah cantik dan polos dengan ekspresi penuh tanya yang tampak menarik di matanya. Pria itu pun tersenyum penuh teka-teki, matanya tak lepas dari tatapan Maura. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. “Tidak, Moora. Aku tidak bercanda," jawabnya akhirnya. “Aku rasa memang sudah waktunya kamu bertemu dengan Shailene.” Maura menelan ludah, suasana yang tiba-tiba membara di sekelilingnya hampir membuat