Cuzz buka bab selanjutnya, hari ini double up ♡♡
Suara dua langkah kaki yang menuruni tangga membuat tatapan Rhexton yang waspada pun terarah ke sana. Pria dengan surai yang agak panjang itu menatap lekat penuh tanya pada jemari Maura, yang sedang berada di dalam genggaman erat Raven. Rhexton pun memaki dalam hati saat menyadari bahwa ia sudah terlambat. Raven dengan semua trik liciknya itu pasti telah berhasil mempengaruhi pikiran Maura, dan pasti akan sangat sulit baginya untuk membawa gadis itu pergi dari sini. "Rhexton. Kamu tidak apa-apa?" Maura-lah yang pertama kali berucap, saat mereka bertiga pada akhirnya saling bertemu tatap. Gadis itu terlihat ingin mendekati Rhexton untuk memeriksa salah satu lengannya yang diberi penyangga, namun tampak tak berkutik karena tangannya yang masih digenggam oleh Raven dengan sengaja. "Peluru itu hanya mengenai lenganku," tukas Rhexton sambil tersenyum, berusaha menenangkan raut khawatir di wajah Maura. "Ya. Hanya lengan. Sayang sekali," tukas Raven sembari sedikit memiringkan
Malam itu terasa sunyi, hanya suara detak jam dinding yang samar terdengar dari sudut kamar. Cahaya temaram lampu tidur melukiskan bayangan di dinding, menciptakan suasana yang misterius dan mendebarkan. Maura berbaring di atas ranjang, jantungnya berdegup cepat. Dia merasakan udara di sekelilingnya sedikit lebih tebal, hangat, dan pekat. Raven mengamati setiap gerak dan lekuk tubuh Maura yang menggiurkan. Dia tampak seperti bayangan yang hidup, penuh rahasia yang kapan pun dapat meledak. Maura pun menelan ludahnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ada sesuatu di dalam cara Raven menatapnya yang membuatnya merasa kecil dan tak berdaya, namun sekaligus juga membuatnya terpesona. Raven duduk di tepi ranjang dengan tangan yang terulur untuk menyentuh pipi Maura, lembut dan tak terduga "Kamu gemetar," bisiknya, suaranya berat dan dalam, seperti menggenggam seluruh ruang. "Apa kamu masih takut padaku, Moora?" Maura pun terdiam dengan benak yang mencoba untuk menyusun k
"Halo lagi, Raven King. Been a while, how are you?" Sapa seorang wanita cantik bersurai pirang yang tersenyum memikat kepada Raven. "Halo juga, Shailene. Kabarku baik. Bagaimana denganmu?" Raven pun menyahut seraya membalas senyum wanita itu. Ini adalah pertemuan kedua mereka dalam sesi wawancara, dan sesuai rencana dengan Stefan sebelumnya, lokasi shooting kali ini bertempat di Mansion milik Raven. "Aku? Aku merasa sangat luar biasa!" cetus Shailene sembari tertawa. "Terima kasih sekali karena telah mengundangku ke Pulau Little Olive dan berada di dalam Mansion milikmu yang megah dan luar biasa ini, Raven. Sungguh, aku benar-benar merasa terhormat." Raven tersenyum tipis ke arah kamera yang menyorotnya, meskipun sebenarnya ia ingin sekali memutar bola mata bosan. Siapa juga yang ingin mengundang Shailene beserta timnya? Jika saja Stefan tidak memaksanya, Raven sudah pasti tidak akan pernah membiarkan orang luar tidak jelas masuk ke dalam area pribadinya! "Well, selamat dat
Maura menatap nanar amplop lusuh itu di tangannya, sembari menghela napas pelan dan mengutuk diri sendiri. Aaarghh... apa sih yang dia pikirkan ketika tanpa ragu mengambil benda ini dari laci meja kerja Raven?! Bodoh. Jelas-jelas amplop dengan tulisan ini adalah benda yang sangat pribadi dan berharga bagi Raven, karena masih disimpan dengan baik meskipun rupanya sudah lecek dan kumal. Lalu kenapa Maura malah dengan santai mengambilnya? Bagaimana jika ketahuan oleh Raven?? Tangan Maura pun mulai gemetar membayangkan kemarahan pria itu atas sikap lancangnya. Apa sebaiknya ia kembalikan saja amplop ini ke dalam laci kerja Raven?? Hanya saja... Maura tak bisa menampik rasa penasaran yang memenuhi benaknya, ketika membaca kalimat yang tertera di bagian depan amplop itu. "Untuk putraku, Raven. Maafkan aku." Maura membaca kalimat itu dengan lirih, mencoba mengurai makna yang tersirat di dalamnya. Ia bisa merasakan sebuah benda yang tebal di dalam amplop, mungkin selemba
Untuk Raven, anakku tersayang. Maafkan ibu. Selama bertahun-tahun ini, ibu tak pernah mengirim surat, tak pernah menelepon, juga tak pernah datang. Mungkin kamu bertanya-tanya, mengapa ibu meninggalkanmu? Mengapa ibu memilih Rhexton dan tidak membawa kamu bersama-sama? Ibu tahu, ada banyak pertanyaan yang menghantui hati dan pikiranmu. Hari ini, ibu ingin menjawabnya, walau tahu kata-kata ini mungkin terlambat dan terasa begitu pahit. Ketika ibu dan ayahmu memutuskan untuk berpisah, ibu berada dalam pilihan yang tak pernah ibu bayangkan sebelumnya. Ayahmu... kamu kan tahu betapa keras, kaku dan dinginnya dia? Dia menginginkanmu, Raven. Tapi bukan karena dia sangat mencintaimu, tetapi karena dia melihat sesuatu yang dia inginkan ada dalam dirimu. Yaitu kekuatanmu, ketangguhanmu, serta keberanianmu. Ibu tahu kamu lebih kuat dibandingkan Rhexton yang rapuh, yang sering sakit-sakitan. Ibu tidak bisa membiarkan Rhexton hidup di bawah aturan ayahmu yang begitu keta
Manik bening dengan bola mata sepekat malam milik Maura pun sontak membelalak lebar, mendengar perkataan Raven kepada Stefan via sambungan telepon barusan. Pria itu mau memperkenalkan sosok 'Moora' kepada Shailene? Bukankah karakter 'Moora' dalam buku terbaru Raven adalah... dirinya?? "Raven?" lirih Maura, dengan tatapan yang sejak tadi terkunci rapat tanpa lepas pada manik kelabu Raven. "Hm?" "Itu... barusan. Maksudnya, kamu berniat untuk memperkenalkan... aku?" tanya gadis itu ragu. "Kamu cuma bercanda kan?" Raven tak langsung menjawab, karena masih ingin menikmati wajah cantik dan polos dengan ekspresi penuh tanya yang tampak menarik di matanya. Pria itu pun tersenyum penuh teka-teki, matanya tak lepas dari tatapan Maura. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. “Tidak, Moora. Aku tidak bercanda," jawabnya akhirnya. “Aku rasa memang sudah waktunya kamu bertemu dengan Shailene.” Maura menelan ludah, suasana yang tiba-tiba membara di sekelilingnya hampir membuat
Udara kini terasa berat dan pekat oleh kabut gairah, menyelimuti kedua anak manusia yang sedang saling berbagi kehangatan di atas peraduan itu. Tubuh yang saling menyatu serta detak jantung yang saling berpacu, adalah sebuah harmonisasi indah dalam aktivitas bercinta yang mampu menggetarkan seluruh raga. Napas mereka tersengal, memburu, seiring dengan desahan-desahan pelan yang memenuhi seisi ruangan. Sinar lampu kamar yang sengaja diatur oleh Raven dalam nuansa temaram, turut membingkai siluet tubuh mereka dalam bayang-bayang samar yang sedikit buram. Maura merasakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhnya, seperti gelombang lembut yang tak henti-hentinya mengalir. Jari-jarinya yang lentik bergerak perlahan untuk menyusuri punggung Raven, menghafal setiap lekuk, setiap ototnya yang terasa keras dan liat, setiap garis maskulin yang tercipta di bawah kulit. Mengagumi sosok sempurna tanpa cela yang saat ini sedang berada di atasnya, sekaligus juga menyadari bahwa mema
Kaki jenjang berkulit keemasan itu tampak rapuh dan gemetar, ketika sedang berdiri di hadapan sebuah bangunan megah bertingkat dua. Ia tahu jika sudah seharusnya sekarang bergegas memasuki Mansion mewah di depannya itu, namun entah kenapa serangan gugup dan panik mendadak melanda dirinya. "Miss Maura?" Gadis itu pun sontak terkejut dan menoleh, ketika sebuah suara pria menyapa dirinya yang tengah melamun. Sosok pria paruh baya berbusana formal serba hitam tersenyum kepada dirinya, namun gadis itu masih diam tak membalas senyumnya. "Perkenalkan nama saya Alberto. Mari ikut dengan saya untuk masuk ke dalam, karena kehadiran Anda telah sangat ditunggu," ucap pria paruh baya yang masih tetap murah senyum meski Maura tak bergeming. Tak lagi bisa mengelak, gadis bergaun merah selutut itu pun mau tak mau mengikuti langkah Alberto yang berjalan di depannya, menuntun dirinya memasuki Mansion bercat putih yang terlalu mewah untuk menjadi nyata. Lagi pula, bagaimana ia bisa mengel