Entah sejak kapan aku terlelap tidur dari lelahnya hatiku semalam berdebat, dari beratnya kepala yang banyak berpikir. Yang jelas saat ini aku terjaga karena tangisan Nisa disampingku. Aku melirik sekilas jam yang ada di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku menguap dan, menggeliat, karena rasa kantuk yang masih menyerang di mata. Entah ngantuk yang benar masih menyerang, atau hati yang tengah lelah.
Aku duduk sembari mengumpulkan nyawaku agar tersadar penuh. Ku periksa popok Nisa, benar saja, Nisa ternyata pup, dan popoknya juga sudah penuh. "Anak, Mama ternyata nggak nyaman ya, Nak? Adek lagi pup ya?" tanyaku pada Nisa. Nisa hanya merengek mengeluarkan suaranya. Segera ku bersihkankan kotorannya dan mengganti popoknya dengan celana. Kalau pagi setelah bangun tidur, Nisa tidak lagi ku Pakaikan popok, sekaligus ku belajari dia training toilet jika siang hari. "Yey, sudah siap, Nak… sekarang adek mau mimik ya…?" tanyaku lagi dengan senyuman dan kepala ikut mengekspresikan pertanyaanku. Nisa menjawab dengan senyumnya juga yang sangat menggemaskan itu. Tak menunggu lama, langsung ku berikan haknya, kuberikan Nisa Asi. Aku mengusap-ngusap pelan punggungnya agar Nisa kembali terlelap. Jika tidak, aku tidak bisa nanti mengerjakan pekerjaan rumahku saat Nisa bangun. Syukurlah, ternyata Nisa benar-benar terlelap kembali. Aku segera beranjak dari tempat tidurku untuk keluar kamar menuju dapur. Saat pintu kamar kubuka, terlihat Mas Topan masih terlelap dengan dengkuran kecilnya di depan ruang TV. Ada rasa kasihan menyelimuti hatiku saat melihatnya terlelap begitu, wajahnya terlihat sangat lelah. Ya Allah, dosa apa yang aku perbuat sehingga mencurigai suamiku. Seketika rasa bersalah mencuap di hati. Merasa sangat berdosa mengingat kejadian tadi malam sehingga Mas Topan tidur di luar. Selama menikah, baru kali ini Mas Topan tidur di luar dan tidak satu kamar denganku. Aku menarik nafas dalam, lalu kubuang pelan agar hati ini sedikit tenang. Kudekati Mas Topan dan membangunnya untuk menunaikan sholat subuh. "Mas! Mas, bangun… sudah subuh, Mas. Bangun sholat dulu," Ku tepuk-tepuk pelan pundaknya. Perlahan mata itu terbuka, dia langsung mantap ku dan bertanya, "Kamu nggak marah lagi sama, Mas?" Dalam keadaan belum sepenuhnya sadar pertanyaan pertama kalinya yang dilontarkan untukku. Aku hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum tulus padanya. Aku tidak seharusnya curiga menuruti nafsuku. Apa yang aku pikirkan belum tentu benar. Bisa jadi saat ini setan tengah menggodaku untuk suudzon terhadap suamiku sendiri sehingga menimbulkan pertengkaran dalam rumah tangga ku. Ayah dan Mamaku benar, menjadi seorang istri itu harus banyak bersabar, karena pernikahan itu adalah ibadah yang paling panjang dan lama. Jika mampu hadiah surga untuk seorang istri. Pesan Mama, "Selagi suami itu tidak KDRT, tidak main perempuan dan mendua, masih bisa diperbaiki dan dipertahankan." Mungkin Allah memang tengah mengujiku dengan ujian ini, di mana Ibu mertua yang ingin menguasai gaji Mas Topan. Insya Allah masih bisa aku bicarakan baik-baik dengan suamiku. "Terima kasih ya, Dek, kamu sudah nggak marah lagi. Berarti kamu setuju kan kalau, Ibu yang mengatur keuangan kita mulai bulan depan?" Degh! baru saja hal itu terlintas di pikiranku, sekarang justru Mas Topan menanyakannyakan langsung. Mas Topan benar-benar ingin Ibu yang mengatur gajinya. Sebegitu tidak berartinya aku lagi sampai-sampai harus Ibu. Dada ini kembali bergemuruh, rasa yang tadi sudah mulai tenang kembali berpikir yang tidak baik. "Maaf, Mas, untuk itu aku belum bisa memberi izin dan mungkin tidak akan pernah aku izinkan! " jawabku tegas. Aku segera berdiri dan berjalan ke dapur. Tak kuhiraukan Mas Topan memanggilku, biarlah dia tahu bahwa hati ini tidak ikhlas dan tidak akan terima untuk hal itu. Bagaimanapun juga, aku dan Nisa jauh lebih berhak atas itu semuanya.Setelah berkutat kurang lebih satu jam di dapur, akhirnya selesai menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi dan juga bekal untuk Mas Topan berangkat kerja nanti. Ku tata rapi di meja makan sederhana kami. Aku menuju kamar untuk mengecek Nisa apakah sudah bangun apa masih tidur.Di kamar mandi terdengar percikan air dari dalam, itu artinya Mas Topan masih belum siap mandinya. Aku mencium-cium Nisa, karena dia terlalu gemes kalau tidak di ganggu. Pipinya yang gembul membuatku tidak tahan kalau tidak, menciumnya. Mataku kembali tertuju pada HP Mas topan yang di cas. Hatiku kembali ingin mencari tahu ada apa di HP itu, tapi aku sadar, HP itu sudah berkata sandi yang aku sendiri sudah tidak tau berapa. Akhirnya aku urungkan niatku untuk melihat, HP itu. Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Mas Topan keluar dari kamar mandi, seketika bau sabun mandinya memenuhi ruangan kamar ini. Kontrakan kami memang kontrakan kecil. Tidak terlalu besar, hanya punya satu ruangan TV, sekaligus tam
"Dek, HP, Mas, keting… gal… an," Mas Topan terdengar berkata dengan nada syok. Sebab dia yang datang tiba-tiba di daun pintu kamar melihat aku sedang menatap HP itu dan membaca pesan dari tukang las tersebut. Entah sejak kapan Mas topan berada di pintu itu, dan sudah sejak kapan juga Mas Topan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak, menyadarinya. Bahkan aku tidak mendengar bunyi sepeda motornya sampai di depan kontrakan. Aku masih fokus menatap layar HP itu dan membaca pesan itu. Tak kuhiraukan panggilan Mas Topan dari daun pintu. Mas Topan mendekatiku pelan, lalu mengulurkan tangannya meminta hpnya yang ada di tanganku saat ini. Dadaku masih naik turun menahan sesak yang datang tiba-tiba. Bersusah payah aku mengatur hatiku agar tidak emosi terhadap Mas Topan. "Siapa tukang, Las? kenapa Mas mengirimi dia uang? apa, Mas sudah mulai membohongi aku di belakangku, Mas? Mas bilang nggak dapat gaji, tapi ini apa?" tanyaku beruntun. Ku tatap wajahnya dengan tatapanku yang penuh tany
"Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" "Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan. "Kamu mau tanya apa sih, Nosa? jangan bikin aku deg degan tau, ih!" Aku masih saja mengomel di sini sembari berjalan ke dapur untuk mengambil minum. "Sudah, kamu jangan bawel dulu. Dengar dan ikuti apa yang aku perintahkan!""Iya-iya! bawel ih! udah kayak buser aja tegas amat." Celetukku dari sini. "Sindy! aku nggak lagi becanda ini. Aku serius, ini demi masa depan kamu! dengar nggak?" Seketika itu juga aku diam dan mencerna apa yang sahabatku ucapkan barusan. Ada apa ini, tidak biasanya Nosa sahabatku ini serius begini jika ngomong. Kami pasti akan banyak ngalur kidulnya jika sudah ngobrol ataupun sedang telponan. Jika sudah begini, itu tandanya dia memang sedang serius. Gelas di
"Hanya segini, Mas? Uang segini mana cukup untuk kebutuhan kita satu bulan, Mas." Protesku pada Mas Topan, suamiku setelah aku selesai menghitung jumlah uang yang diberikannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur atas pemberian suamiku. Hanya saja, aku merasa ada yang ditutupi nya dariku beberapa bulan terakhir ini. Entahlah, apa ini hanya sebatas firasat ku saja? Hari ini Mas Topan baru gajian, dia bekerja sebagai sales lapangan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Pekerjaan yang dilakoni mas Topan adalah memasok barang-barang ke toko-toko atau pun ke supermarket maupun mini market yang ada di dalam daerah maupun di luar daerah.ini sudah ketiga kalinya Mas Topan tidak memberikan gaji fullnya. biasanya habis gajian dia selalu setor semua gajinya dan mempercayaiku untuk mengelola nya. Sebenarnya tidak masalah bagiku berapapun yang diberikan Mas Topan jika kebutuhan tercukupi. Bahkan untuk popok dan susu saja sudah habis banyak untuk satu bulan paling sedikit 30
Bab 2 firasat seorang istri (di saat suamiku mendua) "Astagfirullah… Mas. Kenapa, Mas malah jadi menyalahkan aku sekarang? namanya kita kerja apapun itu pasti ada pasang surutnya, Mas. Mas pikir aku tidak pernah mendoakan atas apa yang kamu dapatkan selama ini? Bahkan setiap sujudku aku tak pernah lupa mendoakan kamu, Mas! tega kamu." Aku berkata dengan suara yang bergetar menahan emosi dan tangis. "Sudahlah, Dek. Mas capek. Mas lagi nggak mau ribut-ribut sama kamu." Ucap Mas Topan seraya berjalan ke kamar meninggalkan aku yang masih tersulut emosi oleh sikapnya barusan. Tidak! ini tidak bisa dibiarkan. Aku paling tidak bisa ditinggalkan disaat ada masalah belum diselesaikan. Aku membereskan piring kotor bekas Mas Topan makan barusan. Setelah selesai membereskannya meja makan, segera ku susul Mas Topan ke kamar untuk menyelesaikan masalah ini. Sampai di kamar, kulihat Mas Topan tengah melaksanakan sholat isya. Hm… pemandangan seperti ini selalu membuatku luluh dan damai. Aku pal
"Kamu habis lihat HP, Mas? kenapa? apa kamu curiga ada yang, Mas, sembunyikan dari kamu?" tanyanya tenang. Mas Topan seolah bisa membaca pikiranku saat ini. "Mbak Diah kirim pesan, itu apa? apanya yang mewah? Mas mau beli sesuatu? kok nggak bilang-bilang dulu sama aku. Mas bilang lagi nggak ada duit, kan? " tanyaku tanpa basa basi. Mas Topan melihat hpnya sebentar, seperti tengah membaca pesan dari mbak Diah barusan. Tidak terlihat dia panik sedikitpun di wajahnya, yang ada dia malah terlihat sangat tenang. Setelah melihat hpnya sebentar, dia pun lalu kembali menaruhnya di atas nakas. "Pesan yang itu? itu mbak Diah ngirim foto rumah, dia mau pindah rumah. Jadi dia minta, Mas, juga ikut andil dalam memilih rumahnya itu. Tadi dia kirim gambarnya biar Mas lihat bagus apa nggaknya dari pada rumah yang kemarin. Kan kamu tau, Mbak Diah, apa-apa pasti melibatkan, Mas." Terangnya sambil melipat sajadah dan sarung lalu meletakkan kembali ditempat semula. Mas Topan terlihat menjawab perta
"Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" "Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan. "Kamu mau tanya apa sih, Nosa? jangan bikin aku deg degan tau, ih!" Aku masih saja mengomel di sini sembari berjalan ke dapur untuk mengambil minum. "Sudah, kamu jangan bawel dulu. Dengar dan ikuti apa yang aku perintahkan!""Iya-iya! bawel ih! udah kayak buser aja tegas amat." Celetukku dari sini. "Sindy! aku nggak lagi becanda ini. Aku serius, ini demi masa depan kamu! dengar nggak?" Seketika itu juga aku diam dan mencerna apa yang sahabatku ucapkan barusan. Ada apa ini, tidak biasanya Nosa sahabatku ini serius begini jika ngomong. Kami pasti akan banyak ngalur kidulnya jika sudah ngobrol ataupun sedang telponan. Jika sudah begini, itu tandanya dia memang sedang serius. Gelas di
"Dek, HP, Mas, keting… gal… an," Mas Topan terdengar berkata dengan nada syok. Sebab dia yang datang tiba-tiba di daun pintu kamar melihat aku sedang menatap HP itu dan membaca pesan dari tukang las tersebut. Entah sejak kapan Mas topan berada di pintu itu, dan sudah sejak kapan juga Mas Topan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak, menyadarinya. Bahkan aku tidak mendengar bunyi sepeda motornya sampai di depan kontrakan. Aku masih fokus menatap layar HP itu dan membaca pesan itu. Tak kuhiraukan panggilan Mas Topan dari daun pintu. Mas Topan mendekatiku pelan, lalu mengulurkan tangannya meminta hpnya yang ada di tanganku saat ini. Dadaku masih naik turun menahan sesak yang datang tiba-tiba. Bersusah payah aku mengatur hatiku agar tidak emosi terhadap Mas Topan. "Siapa tukang, Las? kenapa Mas mengirimi dia uang? apa, Mas sudah mulai membohongi aku di belakangku, Mas? Mas bilang nggak dapat gaji, tapi ini apa?" tanyaku beruntun. Ku tatap wajahnya dengan tatapanku yang penuh tany
Setelah berkutat kurang lebih satu jam di dapur, akhirnya selesai menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi dan juga bekal untuk Mas Topan berangkat kerja nanti. Ku tata rapi di meja makan sederhana kami. Aku menuju kamar untuk mengecek Nisa apakah sudah bangun apa masih tidur.Di kamar mandi terdengar percikan air dari dalam, itu artinya Mas Topan masih belum siap mandinya. Aku mencium-cium Nisa, karena dia terlalu gemes kalau tidak di ganggu. Pipinya yang gembul membuatku tidak tahan kalau tidak, menciumnya. Mataku kembali tertuju pada HP Mas topan yang di cas. Hatiku kembali ingin mencari tahu ada apa di HP itu, tapi aku sadar, HP itu sudah berkata sandi yang aku sendiri sudah tidak tau berapa. Akhirnya aku urungkan niatku untuk melihat, HP itu. Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Mas Topan keluar dari kamar mandi, seketika bau sabun mandinya memenuhi ruangan kamar ini. Kontrakan kami memang kontrakan kecil. Tidak terlalu besar, hanya punya satu ruangan TV, sekaligus tam
Entah sejak kapan aku terlelap tidur dari lelahnya hatiku semalam berdebat, dari beratnya kepala yang banyak berpikir. Yang jelas saat ini aku terjaga karena tangisan Nisa disampingku. Aku melirik sekilas jam yang ada di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku menguap dan, menggeliat, karena rasa kantuk yang masih menyerang di mata. Entah ngantuk yang benar masih menyerang, atau hati yang tengah lelah. Aku duduk sembari mengumpulkan nyawaku agar tersadar penuh. Ku periksa popok Nisa, benar saja, Nisa ternyata pup, dan popoknya juga sudah penuh. "Anak, Mama ternyata nggak nyaman ya, Nak? Adek lagi pup ya?" tanyaku pada Nisa. Nisa hanya merengek mengeluarkan suaranya. Segera ku bersihkankan kotorannya dan mengganti popoknya dengan celana. Kalau pagi setelah bangun tidur, Nisa tidak lagi ku Pakaikan popok, sekaligus ku belajari dia training toilet jika siang hari. "Yey, sudah siap, Nak… sekarang adek mau mimik ya…?" tanyaku lagi dengan senyuman dan kep
"Kamu habis lihat HP, Mas? kenapa? apa kamu curiga ada yang, Mas, sembunyikan dari kamu?" tanyanya tenang. Mas Topan seolah bisa membaca pikiranku saat ini. "Mbak Diah kirim pesan, itu apa? apanya yang mewah? Mas mau beli sesuatu? kok nggak bilang-bilang dulu sama aku. Mas bilang lagi nggak ada duit, kan? " tanyaku tanpa basa basi. Mas Topan melihat hpnya sebentar, seperti tengah membaca pesan dari mbak Diah barusan. Tidak terlihat dia panik sedikitpun di wajahnya, yang ada dia malah terlihat sangat tenang. Setelah melihat hpnya sebentar, dia pun lalu kembali menaruhnya di atas nakas. "Pesan yang itu? itu mbak Diah ngirim foto rumah, dia mau pindah rumah. Jadi dia minta, Mas, juga ikut andil dalam memilih rumahnya itu. Tadi dia kirim gambarnya biar Mas lihat bagus apa nggaknya dari pada rumah yang kemarin. Kan kamu tau, Mbak Diah, apa-apa pasti melibatkan, Mas." Terangnya sambil melipat sajadah dan sarung lalu meletakkan kembali ditempat semula. Mas Topan terlihat menjawab perta
Bab 2 firasat seorang istri (di saat suamiku mendua) "Astagfirullah… Mas. Kenapa, Mas malah jadi menyalahkan aku sekarang? namanya kita kerja apapun itu pasti ada pasang surutnya, Mas. Mas pikir aku tidak pernah mendoakan atas apa yang kamu dapatkan selama ini? Bahkan setiap sujudku aku tak pernah lupa mendoakan kamu, Mas! tega kamu." Aku berkata dengan suara yang bergetar menahan emosi dan tangis. "Sudahlah, Dek. Mas capek. Mas lagi nggak mau ribut-ribut sama kamu." Ucap Mas Topan seraya berjalan ke kamar meninggalkan aku yang masih tersulut emosi oleh sikapnya barusan. Tidak! ini tidak bisa dibiarkan. Aku paling tidak bisa ditinggalkan disaat ada masalah belum diselesaikan. Aku membereskan piring kotor bekas Mas Topan makan barusan. Setelah selesai membereskannya meja makan, segera ku susul Mas Topan ke kamar untuk menyelesaikan masalah ini. Sampai di kamar, kulihat Mas Topan tengah melaksanakan sholat isya. Hm… pemandangan seperti ini selalu membuatku luluh dan damai. Aku pal
"Hanya segini, Mas? Uang segini mana cukup untuk kebutuhan kita satu bulan, Mas." Protesku pada Mas Topan, suamiku setelah aku selesai menghitung jumlah uang yang diberikannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur atas pemberian suamiku. Hanya saja, aku merasa ada yang ditutupi nya dariku beberapa bulan terakhir ini. Entahlah, apa ini hanya sebatas firasat ku saja? Hari ini Mas Topan baru gajian, dia bekerja sebagai sales lapangan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Pekerjaan yang dilakoni mas Topan adalah memasok barang-barang ke toko-toko atau pun ke supermarket maupun mini market yang ada di dalam daerah maupun di luar daerah.ini sudah ketiga kalinya Mas Topan tidak memberikan gaji fullnya. biasanya habis gajian dia selalu setor semua gajinya dan mempercayaiku untuk mengelola nya. Sebenarnya tidak masalah bagiku berapapun yang diberikan Mas Topan jika kebutuhan tercukupi. Bahkan untuk popok dan susu saja sudah habis banyak untuk satu bulan paling sedikit 30