"Dek, HP, Mas, keting… gal… an," Mas Topan terdengar berkata dengan nada syok. Sebab dia yang datang tiba-tiba di daun pintu kamar melihat aku sedang menatap HP itu dan membaca pesan dari tukang las tersebut.
Entah sejak kapan Mas topan berada di pintu itu, dan sudah sejak kapan juga Mas Topan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak, menyadarinya. Bahkan aku tidak mendengar bunyi sepeda motornya sampai di depan kontrakan. Aku masih fokus menatap layar HP itu dan membaca pesan itu. Tak kuhiraukan panggilan Mas Topan dari daun pintu. Mas Topan mendekatiku pelan, lalu mengulurkan tangannya meminta hpnya yang ada di tanganku saat ini. Dadaku masih naik turun menahan sesak yang datang tiba-tiba. Bersusah payah aku mengatur hatiku agar tidak emosi terhadap Mas Topan. "Siapa tukang, Las? kenapa Mas mengirimi dia uang? apa, Mas sudah mulai membohongi aku di belakangku, Mas? Mas bilang nggak dapat gaji, tapi ini apa?" tanyaku beruntun. Ku tatap wajahnya dengan tatapanku yang penuh tanya dan tajam. Sementara Mas topan tidak berani menatapku balik. Dia hanya melihat ke samping dengan satu tangannya berdecak pinggang dan satu tangannya lagi mengusap kasar wajahnya. "Dek, siapa yang bohongin kamu? Itu tukang las bengkel. Kemarin itu… mobil ngampas waktu itu rusak, tiba-tiba as mobil ngampas itu patah, bersyukur Mas sama sopir itu nggak kenapa-kenapa, karena waktu kejadian pas mobil pelan dan jalanan sepi. Kalo seandainya, kemarin itu mobil ngebut terus jalanan rame, Mas nggak tau apa Mas masih bisa pulang ke sini apa tidak," Mas topan berkata dengan wajahnya selalu dan terus menatap ke arah Nisa. Hatiku seketika merasa bersalah. Lagi dan lagi aku berburuk sangka pada suamiku. Aku paham, pasti dia khawatir kemarin jika terjadi apa-apa, tidak akan bisa kembali kerumah menemui anaknya. Aku masih menatapnya dengan tatapan yang penuh rasa bersalah. Mas Topan tidak membalas tatapanku, dia masih terus menatap Nisa, yang masih tidur nyenyak. "Mas, Maafin aku, aku nggak ada maks….""Nggak apa-apa, Dek, Ama paham. Kamu pasti curiga, Mas mencurangi kamu, kan? kamu nggak usah khawatir, Kamu dan Nisa adalah segalanya untuk, Mas. Kalian adalah harta yang paling berharga saat ini. Kemarin Mas memang habis transfer uang ke tukang las itu. Karena Mas nggak ada uang cash, dan memang nggak ada uang untuk bayar duluan, jadi Mas janji transfer kalau sudah sampai kantor." Mas Topan memotong ucapanku lalu Mas Topan menjelaskan itu padaku. Kali ini dia menatapku dalam, tatapan yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Tatapan yang penuh cinta untukku. Mas Topan tersenyum lalu membentangkan kedua tangannya agar aku berdiri dan masuk ke pelukannya itu. Aku masih saja diam di tempat aku duduk di sisi ranjang. HP itu sudah ada di tangan Mas Topan kembali. Mas Topan mengambilnya dari tanganku saat tadi dia menjelaskannya barusan. "Kenapa HP, Mas, sekarang pakai sandi yang aku nggak tau? kenapa diganti?" aku kembali mengulik rasa penasaran tentang hpnya yang diganti kata sandinya. "Oh, ini, Dek, anu…." Mas Topan menghentikan ucapannya lalu melihat ke hpnya yang ada ditangannya. "Hallo!""Oh, iya! iya.""Iya, ini saya udah di jalan. "Siap! siap! iya, ok, yup!" Mas Topan langsung masukkan hpnya ke dalam kanton celananya. "Dek, Mas, berangkat dulu ya. Ini Bos telpon barusan. Dia, sudah nunggu." Mas Topan mengecup keningku dan berlalu keluar kamar tanpa menjelaskan terlebih dahulu tentang sandi hpnya.Aku hanya diam menatap punggung Mas Topan menghilang dari pandanganku.Aku masih benar-benar penasaran sama HP Mas Topan. ****Hari ini aku dan Nisa ingin ke rumah ibunya Mas Topan. Jarak kontrakan ke rumah ibu sekitar lima belas hingga dua puluh menit perjalanan. Setelah selesai dengan aktivitasku di rumah berbenah dan juga selesai mengurus Nisa. Aku dan Nisa segera ke rumah ibu. Aku memang sering main ke rumah ibunya Mas Topan, ibu Mas Topan selama ini memang sangat baik padaku. Dia juga sangat menyayangi Nisa. Seminggu sekali aku pasti main kesana untuk bawa Nisa ke rumah neneknya. Dulu saat aku hamil, Ibu Mas Topan benar-benar memperhatikan aku untuk masalah asupan makanan dan pekerjaan. Di mana aku nggak boleh terlalu capek. Mereka sangat menanti cucu dari anak laki-lakinya. Ibu juga yang menyarankan aku untuk berhenti bekerja kala itu. Mas Topan pun juga sama, meminta aku untuk di rumah saja fokus mengurus rumah dan menjaga kandungan ku waktu itu. Karena memang jadwal kerjaku dulu pakai shift, kadang masuk malam terkadang masuk siang. Mas Topan nggak ingin aku dan Nisa kenapa-napa. Tanpa berpikir panjang aku pun mengikuti saran dari Mas Topan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga hingga saat ini. Kadang ada rasa rindu ingin bekerja kembali, kadang rindu saat berkumpul sama teman-teman dan bebas kemana-mana tanpa beban. Bukan aku tidak bahagia dengan keadaan sekarang. Aku sangat bahagia dengan hidupku saat ini terlebih dengan hadirnya Nisa. Nisa, adalah duniaku saat ini. Dia hal yang paling membuatku bahagia. Hanya saja terkadang rasa rindu itu sering datang. Apalagi melihat postingan teman-temanku yang masih bebas bermain ke sana ke mari. Ah, kangen sekali rasanya. Aku sudah sampai di depan rumah Ibu. Tapi aku sedikit bingung, melihat keadaan rumah terlihat sangat sepi.Aku segera turun dari motor metik, motor yang dulu aku beli hasil aku bekerja sebagai BA kosmetik. Ku ketuk pintu rumah Ibu, tapi tidak ada sautan dari dalam. Hening, seperti tak berpenghuni. "Nenek… Nisa datang." Teriakku dari luar pintu. Aku masih berusaha untuk memastikan bahwa di apakah masih ada orang atau memang rumah ini sedang kosong. Ku coba menghubungi dari hpku. Aktif, namun nggak diangkat. ku ulangi kembali menelpon ibu, tapi masih tidak diangkat. Ibu kemana ya? gunamku bertanya pada diri sendiri. "Mbak Sindy, ya? cari Ibu Itin ya, Mbak?" tanya tetangga yang melihatku menunggu depan rumah ibu. Nama Ibu Mat Topan kartini. Tapi orang-orang memanggilnya dengan sebutan itin. "Iya, Buk, tau nggak, Buk, Ibu kemana?" tanyaku. "Kurang tau ya, Mba, kalo kemana nya. tapi tadi pagi-pagi mereka pergi semuanya. barengan satu mobil." Tetangga ibu menjelaskan. Aku mengerutkan keningku. Pergi? kemana? "Sama, Mbak Diah juga, Buk?" tanyaku lagi. "Iya, Mbak, semuanya pergi tadi pagi." Jelasnya lagi. "Oh, Terima kasih ya, Buk." Aku kembali menaiki motorku untuk menuju pulang ke rumah. Aku matikan kembali kontak motorku. Kau mencoba menghubungi Mbak Diah, ternyata sama tidak diangkat. Mereka kemana ya? kok nggak angkat telepon dariku.Terakhir sebelum pulang kucoba menghubungi Mbak Ratih. [Hallo, Sin"][Hallo, Mbak, Mbak lagi di mana?] tanyaku langsung. [Mbak lagi di kantor, kerja. Ada apa, Sin?] tanya Mbak Ratih dari seberang sana. [Oh, Mbak kerja, ya. Aku kira Mbak juga ikut Ibu sama Mbak Diah pergi. Ya sudah, Mbak. Maaf aku ganggu ya, Mbak.] [Oh, Iya Sin. Gak kok, Mbak nggak, ikut. Ya sudah, ho oh.] kata Mbak Ratih. [Oya, Mbak, memangnya Ibu sama yang la8n pada kemana, Mbak? aku di rumah Ibu sekarang, tapi nggak ada orang.][Ibu liburan keluar kota, Sind cuma satu hari aja, Kok. Besok mereka udah di rumah lagi.] [Oh, gitu ya, Mbak. Baik, Mbak, Terima kasih ya, Mbak. Maaf udah ganggu, Mbak kerja.][Nggak kok, Sin. Kamu nggak ganggu. ya sudah kamu hati-hati kalau pulang ya.]Aku dan Mbak Ratih mengakhiri panggilan itu. "Kita pulang ya, Nak. Nenek lagi nggak ada di rumah. Besok kita ke sini lagi ya." Kataku pada Nisa. Waktu sudah pukul 13.00 , sudah waktunya Nisa tidur siang. Setelah selesai makan siang aku tidurkan Nisa di kamar. Seperti biasa, aku pun ikut tertidur di sampingnya. Entah sudah berapa jam aku tertidur, hp disampingku berbunyi dan berhasil membangunkan aku. Aku tatap layar Hpku. "Nosa?" keningku mengkerut saat nama sahabatku di sana terpampang sebagai pemanggilnya. kok tumben dia nelpon. ada apa ya, sudah lama, banget nggak komunikasi dengannya. "Halo, Nos, apa kabar kamu?" tanyaku dengan suara khas bangun tidur. "Kabar baik, Sin. Kamu habis bangun tidur, ya?" "Iya, Aku ketiduran tadi. kok tumben kamu nelpon, Kangen ih!" kataku. "Iya aku juga, Sin. Tapi sekarang Aku nggak lagi mau kangen-kangenan sama kamu, Sin. Aku mau tanya hal penting sama kamu. Kamu harus jawab jujur, ya.""Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" "Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan."Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" "Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan. "Kamu mau tanya apa sih, Nosa? jangan bikin aku deg degan tau, ih!" Aku masih saja mengomel di sini sembari berjalan ke dapur untuk mengambil minum. "Sudah, kamu jangan bawel dulu. Dengar dan ikuti apa yang aku perintahkan!""Iya-iya! bawel ih! udah kayak buser aja tegas amat." Celetukku dari sini. "Sindy! aku nggak lagi becanda ini. Aku serius, ini demi masa depan kamu! dengar nggak?" Seketika itu juga aku diam dan mencerna apa yang sahabatku ucapkan barusan. Ada apa ini, tidak biasanya Nosa sahabatku ini serius begini jika ngomong. Kami pasti akan banyak ngalur kidulnya jika sudah ngobrol ataupun sedang telponan. Jika sudah begini, itu tandanya dia memang sedang serius. Gelas di
"Hanya segini, Mas? Uang segini mana cukup untuk kebutuhan kita satu bulan, Mas." Protesku pada Mas Topan, suamiku setelah aku selesai menghitung jumlah uang yang diberikannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur atas pemberian suamiku. Hanya saja, aku merasa ada yang ditutupi nya dariku beberapa bulan terakhir ini. Entahlah, apa ini hanya sebatas firasat ku saja? Hari ini Mas Topan baru gajian, dia bekerja sebagai sales lapangan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Pekerjaan yang dilakoni mas Topan adalah memasok barang-barang ke toko-toko atau pun ke supermarket maupun mini market yang ada di dalam daerah maupun di luar daerah.ini sudah ketiga kalinya Mas Topan tidak memberikan gaji fullnya. biasanya habis gajian dia selalu setor semua gajinya dan mempercayaiku untuk mengelola nya. Sebenarnya tidak masalah bagiku berapapun yang diberikan Mas Topan jika kebutuhan tercukupi. Bahkan untuk popok dan susu saja sudah habis banyak untuk satu bulan paling sedikit 30
Bab 2 firasat seorang istri (di saat suamiku mendua) "Astagfirullah… Mas. Kenapa, Mas malah jadi menyalahkan aku sekarang? namanya kita kerja apapun itu pasti ada pasang surutnya, Mas. Mas pikir aku tidak pernah mendoakan atas apa yang kamu dapatkan selama ini? Bahkan setiap sujudku aku tak pernah lupa mendoakan kamu, Mas! tega kamu." Aku berkata dengan suara yang bergetar menahan emosi dan tangis. "Sudahlah, Dek. Mas capek. Mas lagi nggak mau ribut-ribut sama kamu." Ucap Mas Topan seraya berjalan ke kamar meninggalkan aku yang masih tersulut emosi oleh sikapnya barusan. Tidak! ini tidak bisa dibiarkan. Aku paling tidak bisa ditinggalkan disaat ada masalah belum diselesaikan. Aku membereskan piring kotor bekas Mas Topan makan barusan. Setelah selesai membereskannya meja makan, segera ku susul Mas Topan ke kamar untuk menyelesaikan masalah ini. Sampai di kamar, kulihat Mas Topan tengah melaksanakan sholat isya. Hm… pemandangan seperti ini selalu membuatku luluh dan damai. Aku pal
"Kamu habis lihat HP, Mas? kenapa? apa kamu curiga ada yang, Mas, sembunyikan dari kamu?" tanyanya tenang. Mas Topan seolah bisa membaca pikiranku saat ini. "Mbak Diah kirim pesan, itu apa? apanya yang mewah? Mas mau beli sesuatu? kok nggak bilang-bilang dulu sama aku. Mas bilang lagi nggak ada duit, kan? " tanyaku tanpa basa basi. Mas Topan melihat hpnya sebentar, seperti tengah membaca pesan dari mbak Diah barusan. Tidak terlihat dia panik sedikitpun di wajahnya, yang ada dia malah terlihat sangat tenang. Setelah melihat hpnya sebentar, dia pun lalu kembali menaruhnya di atas nakas. "Pesan yang itu? itu mbak Diah ngirim foto rumah, dia mau pindah rumah. Jadi dia minta, Mas, juga ikut andil dalam memilih rumahnya itu. Tadi dia kirim gambarnya biar Mas lihat bagus apa nggaknya dari pada rumah yang kemarin. Kan kamu tau, Mbak Diah, apa-apa pasti melibatkan, Mas." Terangnya sambil melipat sajadah dan sarung lalu meletakkan kembali ditempat semula. Mas Topan terlihat menjawab perta
Entah sejak kapan aku terlelap tidur dari lelahnya hatiku semalam berdebat, dari beratnya kepala yang banyak berpikir. Yang jelas saat ini aku terjaga karena tangisan Nisa disampingku. Aku melirik sekilas jam yang ada di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku menguap dan, menggeliat, karena rasa kantuk yang masih menyerang di mata. Entah ngantuk yang benar masih menyerang, atau hati yang tengah lelah. Aku duduk sembari mengumpulkan nyawaku agar tersadar penuh. Ku periksa popok Nisa, benar saja, Nisa ternyata pup, dan popoknya juga sudah penuh. "Anak, Mama ternyata nggak nyaman ya, Nak? Adek lagi pup ya?" tanyaku pada Nisa. Nisa hanya merengek mengeluarkan suaranya. Segera ku bersihkankan kotorannya dan mengganti popoknya dengan celana. Kalau pagi setelah bangun tidur, Nisa tidak lagi ku Pakaikan popok, sekaligus ku belajari dia training toilet jika siang hari. "Yey, sudah siap, Nak… sekarang adek mau mimik ya…?" tanyaku lagi dengan senyuman dan kep
Setelah berkutat kurang lebih satu jam di dapur, akhirnya selesai menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi dan juga bekal untuk Mas Topan berangkat kerja nanti. Ku tata rapi di meja makan sederhana kami. Aku menuju kamar untuk mengecek Nisa apakah sudah bangun apa masih tidur.Di kamar mandi terdengar percikan air dari dalam, itu artinya Mas Topan masih belum siap mandinya. Aku mencium-cium Nisa, karena dia terlalu gemes kalau tidak di ganggu. Pipinya yang gembul membuatku tidak tahan kalau tidak, menciumnya. Mataku kembali tertuju pada HP Mas topan yang di cas. Hatiku kembali ingin mencari tahu ada apa di HP itu, tapi aku sadar, HP itu sudah berkata sandi yang aku sendiri sudah tidak tau berapa. Akhirnya aku urungkan niatku untuk melihat, HP itu. Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Mas Topan keluar dari kamar mandi, seketika bau sabun mandinya memenuhi ruangan kamar ini. Kontrakan kami memang kontrakan kecil. Tidak terlalu besar, hanya punya satu ruangan TV, sekaligus tam
"Kamu kenapa, Nos? kok bikin aku deg degan aja tau!" "Kamu bangun dulu, duduk dulu, terus minum biar lebih rileks sebelum aku nanya ini sama kamu. Ok! ikuti saran aku." Aku semakin dibuat bingung sama sahabatku ini, ada apa sebenarnya. Tapi meskipun begitu aku tetap mengikuti apa yang dia perintahkan. "Kamu mau tanya apa sih, Nosa? jangan bikin aku deg degan tau, ih!" Aku masih saja mengomel di sini sembari berjalan ke dapur untuk mengambil minum. "Sudah, kamu jangan bawel dulu. Dengar dan ikuti apa yang aku perintahkan!""Iya-iya! bawel ih! udah kayak buser aja tegas amat." Celetukku dari sini. "Sindy! aku nggak lagi becanda ini. Aku serius, ini demi masa depan kamu! dengar nggak?" Seketika itu juga aku diam dan mencerna apa yang sahabatku ucapkan barusan. Ada apa ini, tidak biasanya Nosa sahabatku ini serius begini jika ngomong. Kami pasti akan banyak ngalur kidulnya jika sudah ngobrol ataupun sedang telponan. Jika sudah begini, itu tandanya dia memang sedang serius. Gelas di
"Dek, HP, Mas, keting… gal… an," Mas Topan terdengar berkata dengan nada syok. Sebab dia yang datang tiba-tiba di daun pintu kamar melihat aku sedang menatap HP itu dan membaca pesan dari tukang las tersebut. Entah sejak kapan Mas topan berada di pintu itu, dan sudah sejak kapan juga Mas Topan kembali ke rumah, aku benar-benar tidak, menyadarinya. Bahkan aku tidak mendengar bunyi sepeda motornya sampai di depan kontrakan. Aku masih fokus menatap layar HP itu dan membaca pesan itu. Tak kuhiraukan panggilan Mas Topan dari daun pintu. Mas Topan mendekatiku pelan, lalu mengulurkan tangannya meminta hpnya yang ada di tanganku saat ini. Dadaku masih naik turun menahan sesak yang datang tiba-tiba. Bersusah payah aku mengatur hatiku agar tidak emosi terhadap Mas Topan. "Siapa tukang, Las? kenapa Mas mengirimi dia uang? apa, Mas sudah mulai membohongi aku di belakangku, Mas? Mas bilang nggak dapat gaji, tapi ini apa?" tanyaku beruntun. Ku tatap wajahnya dengan tatapanku yang penuh tany
Setelah berkutat kurang lebih satu jam di dapur, akhirnya selesai menyiapkan hidangan untuk sarapan pagi dan juga bekal untuk Mas Topan berangkat kerja nanti. Ku tata rapi di meja makan sederhana kami. Aku menuju kamar untuk mengecek Nisa apakah sudah bangun apa masih tidur.Di kamar mandi terdengar percikan air dari dalam, itu artinya Mas Topan masih belum siap mandinya. Aku mencium-cium Nisa, karena dia terlalu gemes kalau tidak di ganggu. Pipinya yang gembul membuatku tidak tahan kalau tidak, menciumnya. Mataku kembali tertuju pada HP Mas topan yang di cas. Hatiku kembali ingin mencari tahu ada apa di HP itu, tapi aku sadar, HP itu sudah berkata sandi yang aku sendiri sudah tidak tau berapa. Akhirnya aku urungkan niatku untuk melihat, HP itu. Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, Mas Topan keluar dari kamar mandi, seketika bau sabun mandinya memenuhi ruangan kamar ini. Kontrakan kami memang kontrakan kecil. Tidak terlalu besar, hanya punya satu ruangan TV, sekaligus tam
Entah sejak kapan aku terlelap tidur dari lelahnya hatiku semalam berdebat, dari beratnya kepala yang banyak berpikir. Yang jelas saat ini aku terjaga karena tangisan Nisa disampingku. Aku melirik sekilas jam yang ada di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku menguap dan, menggeliat, karena rasa kantuk yang masih menyerang di mata. Entah ngantuk yang benar masih menyerang, atau hati yang tengah lelah. Aku duduk sembari mengumpulkan nyawaku agar tersadar penuh. Ku periksa popok Nisa, benar saja, Nisa ternyata pup, dan popoknya juga sudah penuh. "Anak, Mama ternyata nggak nyaman ya, Nak? Adek lagi pup ya?" tanyaku pada Nisa. Nisa hanya merengek mengeluarkan suaranya. Segera ku bersihkankan kotorannya dan mengganti popoknya dengan celana. Kalau pagi setelah bangun tidur, Nisa tidak lagi ku Pakaikan popok, sekaligus ku belajari dia training toilet jika siang hari. "Yey, sudah siap, Nak… sekarang adek mau mimik ya…?" tanyaku lagi dengan senyuman dan kep
"Kamu habis lihat HP, Mas? kenapa? apa kamu curiga ada yang, Mas, sembunyikan dari kamu?" tanyanya tenang. Mas Topan seolah bisa membaca pikiranku saat ini. "Mbak Diah kirim pesan, itu apa? apanya yang mewah? Mas mau beli sesuatu? kok nggak bilang-bilang dulu sama aku. Mas bilang lagi nggak ada duit, kan? " tanyaku tanpa basa basi. Mas Topan melihat hpnya sebentar, seperti tengah membaca pesan dari mbak Diah barusan. Tidak terlihat dia panik sedikitpun di wajahnya, yang ada dia malah terlihat sangat tenang. Setelah melihat hpnya sebentar, dia pun lalu kembali menaruhnya di atas nakas. "Pesan yang itu? itu mbak Diah ngirim foto rumah, dia mau pindah rumah. Jadi dia minta, Mas, juga ikut andil dalam memilih rumahnya itu. Tadi dia kirim gambarnya biar Mas lihat bagus apa nggaknya dari pada rumah yang kemarin. Kan kamu tau, Mbak Diah, apa-apa pasti melibatkan, Mas." Terangnya sambil melipat sajadah dan sarung lalu meletakkan kembali ditempat semula. Mas Topan terlihat menjawab perta
Bab 2 firasat seorang istri (di saat suamiku mendua) "Astagfirullah… Mas. Kenapa, Mas malah jadi menyalahkan aku sekarang? namanya kita kerja apapun itu pasti ada pasang surutnya, Mas. Mas pikir aku tidak pernah mendoakan atas apa yang kamu dapatkan selama ini? Bahkan setiap sujudku aku tak pernah lupa mendoakan kamu, Mas! tega kamu." Aku berkata dengan suara yang bergetar menahan emosi dan tangis. "Sudahlah, Dek. Mas capek. Mas lagi nggak mau ribut-ribut sama kamu." Ucap Mas Topan seraya berjalan ke kamar meninggalkan aku yang masih tersulut emosi oleh sikapnya barusan. Tidak! ini tidak bisa dibiarkan. Aku paling tidak bisa ditinggalkan disaat ada masalah belum diselesaikan. Aku membereskan piring kotor bekas Mas Topan makan barusan. Setelah selesai membereskannya meja makan, segera ku susul Mas Topan ke kamar untuk menyelesaikan masalah ini. Sampai di kamar, kulihat Mas Topan tengah melaksanakan sholat isya. Hm… pemandangan seperti ini selalu membuatku luluh dan damai. Aku pal
"Hanya segini, Mas? Uang segini mana cukup untuk kebutuhan kita satu bulan, Mas." Protesku pada Mas Topan, suamiku setelah aku selesai menghitung jumlah uang yang diberikannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur atas pemberian suamiku. Hanya saja, aku merasa ada yang ditutupi nya dariku beberapa bulan terakhir ini. Entahlah, apa ini hanya sebatas firasat ku saja? Hari ini Mas Topan baru gajian, dia bekerja sebagai sales lapangan di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pangan. Pekerjaan yang dilakoni mas Topan adalah memasok barang-barang ke toko-toko atau pun ke supermarket maupun mini market yang ada di dalam daerah maupun di luar daerah.ini sudah ketiga kalinya Mas Topan tidak memberikan gaji fullnya. biasanya habis gajian dia selalu setor semua gajinya dan mempercayaiku untuk mengelola nya. Sebenarnya tidak masalah bagiku berapapun yang diberikan Mas Topan jika kebutuhan tercukupi. Bahkan untuk popok dan susu saja sudah habis banyak untuk satu bulan paling sedikit 30