Kamis, 14 Juli 2022
“Apa tujuanmu?” tantang Hanna.
Tabian melirik sekilas dan kembali fokus dengan layar handphone. “Maksudnya?”
“Tiba-tiba punya minat pada Ricardo,” selidik Hanna.
Tabian menghela napas sejenak. “Anggap saja, aku tidak mau dapat hukuman karena poin kelas kita rendah.”
“Aku tidak percaya.”
“Itu urusanmu.” Tabian mulai menjauhi Hanna. Ia membungkuk dan mendekatkan wajah ke tanah sekitar TKP. Ia terdiam menganalisis sesuatu yang sepertinya tidak dapat dilihat oleh mata manusia sembari meraba tanah merah. Ia memicingkan mata tiba-tiba lalu berjongkok.
Hanna tidak mau kalah. Sedari tadi ia telah mencatat segala sesuatu yang ditangkap panca indranya. Bidang tanah merah berukuran sekitar 10x5 meter, rerumputan liar yang menjulang tinggi hingga sebahu orang dewasa, dan tembok gedung tanpa jendela. Pagar besi memanjang hingga ujung lapangan sepak bola dan dibaliknya ada tanah kosong seperti habis dipangkas.
Kalau tidak ada ekskul sepak bola yang beraktivitas, sepertinya daerah ini benar-benar senyap. Renung Hanna. Tempat yang pas untuk melakukan kejahatan. Tambahnya.
“Cocok ya tempatnya untuk berbuat hal tidak senonoh,” celetuk Tabian.
Wajah Hanna memerah. Ia berpaling dari Tabian. Seorang laki-laki dari kejauhan sedang memainkan rumput liar, mencuri perhatian Hanna.
Sosok tidak asing itu menyadari kehadiran Hanna. Badannya otomatis meringkuk. Ia pura-pura tidak melihat namun ia telat karena Hanna sudah terlanjur memanggil namanya.
“Iyas, lagi ngapain?” Hanna mendekat.
“Cuma jalan-jalan,” jawab Iyas. Punggungnya basah dengan keringat. “O-olahraga maksudku. Lihat bajuku.”
Hanna memindai Iyas dari ujung kepala hingga ujung kaki. Refleks mengelus dagunya. “Sambil bawa kamera?” tanya Hanna ragu.
Iyas menggoncangkan kepalanya ke atas dan ke bawah. Ia terpaku di tempat dan kakinya terasa berat. Ia ingin melangkah kabur, tetapi tak bisa.
“Dengan kemeja sekolah?” tanya Hanna lagi dengan nada yang rendah dan berat.
Cepat-cepat Iyas mengubah gerakan vertikal menjadi horizontal. Ia baru menyadari kesalahannya. Hanna terlalu pintar untuk ia bodohi.
“Kemarikan kameramu,” perintah Tabian yang hadir entah sejak kapan.
Hanna hampir melompat. Tabian berdiri persis di belakangnya. Hanna mendongak dan mendapati kepala Tabian tepat di atasnya. Pipinya memanas, ia tidak siap dengan posisi itu.
Iyas membeku. Layaknya robot, ia patuh dengan Tabian. Jiwanya meronta-ronta tetapi fisiknya tunduk pada perintah. Tangan kirinya berusaha menahan tangan satunya. Akan tetapi, Tabian lebih gesit. Kini kamera sudah berpindah tangan.
“Apakah aku perlu memeriksa isinya?” tanya Tabian. Ia mengangkat dan menggoyang-goyangkan plastik hitam berbentuk persegi panjang itu.
Iyas menggeleng. Sangat perlahan. Ia tidak mau ada seorang pun mengetahui apa saja yang telah dipotretnya.
“Apa kamu bersedia membantu Ricardo?” tanya Tabian lagi.
Iyas terdiam mendengar nama orang yang telah memanfaatkan dirinya minggu lalu. “Se-sebentar!” Iyas mulai panik. Akal sehatnya mulai kembali. “Ke-kenapa kamu mencurigaiku?! Memangnya apa yang aku lakukan!”
“Jelaskan, Tabian,” pinta Hanna dengan nada memerintah. Ia kini hampir melotot karena kesal dengan sikap Tabian. Sejak awal mereka pergi untuk menyelidiki, Hanna sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Tabian.
Tabian memandu dengan dagunya. Tanah kosong tidak lagi lowong. Cewek-cewek SMP berlatih gerakan-gerakan yang dapat membangkitkan semangat. Ekskul cheerleader.
“Belum tentu aku mengintip mereka!” pekik Iyas.
“Tidak ada yang menuduhmu mengintip.” Tabian menarik bibirnya ke atas. Kena kau.
“Eh ....” Iyas menyilangkan telapak tangannya, menyembunyikan muka bagian bawah.
“Terus kenapa? Belum tentu dia saksi mata. Kalau pun benar, belum tentu dia punya bukti,” balas Hanna mencoba realistis.
Tabian menyalakan kamera tanpa izin. Ia mengusap-usap layar. Satu, dua, hingga belasan foto yang telah digeser menampilkan wanita dan hanya wanita yang menjadi objek foto Iyas.
Satu-satunya alasan seorang bocah laki-laki berkeliaran malam-malam sambil membawa kamera. Apa lagi kalau bukan ... ?
Iyas diam-diam mengabadikan foto cewek-cewek cantik berseragam pendek. Ekskul voli, basket, .... Tanggal pada gambar kian berganti hingga hari kemarin.
Ketemu. Ekskul cheerleader.
“Kamu tahu jadwal ekskul sepak bola ya? Jadinya kemarin kamu mengambil kesempatan itu,” ucap Tabian. Ia terus berkonsentrasi sambil meladeni Iyas.
Iyas dan Hanna terbelalak heran. Mereka berdua terpikat dengan setiap kata yang barusan mereka dengar, tetapi dengan alasan yang berbeda. Iyas mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin sekali merampas kembali kameranya.
“Tapi sayang, kamu tidak tahu kalau jadwal mereka dimajukan hari ini.” Tabian menyempurnakan kalimatnya dengan membalik kamera dan mengarahkan layarnya.
Foto Ricardo sedang berlari dan Tommy mengejar dengan membawa pisau.
Hanna menarik kamera hampir melekat dengan keningnya. Ia memandanginya hingga puas. Mustahil. Batin Hanna.
“Mengapa kamu merahasiakannya?” tanya Hanna pada Iyas dengan nada menyudutkan. Satu foto yang dapat menyelamatkan dirinya hampir disembunyikan. Ia lega sekaligus geram.
Wajah Iyas berubah masam. “Sudah jelas ‘kan? Aku tidak sudi membantu Ricardo.” Ia teringat kembali dengan hari-hari dimana Ricardo melaksanakan kegiatan 'tolong-menolong'-nya. Iyas diperlakukan seperti seorang budak oleh Ricardo dan teman-temannya.
“Kamu tidak bisa menghindar lagi, Iyas. Aku akan menyita ini,” tandas Hanna. Ia tidak peduli dengan sakit hati yang tengah dirasakan Iyas.
Iyas membuang muka. Ia terpaksa menurut karena sudah tertangkap basah. Ia juga tidak ingin dilaporkan karena diam-diam memotret cewek-cewek.
“Apa motif Tommy?” tanya Tabian penasaran.
“Aku tidak sempat mendengarnya.”
Tabian menyeringai. Ia sudah menerka hal itu. “Hanna, jangan kelewatan. Kita harus bersikap adil. Katakan permintaanmu, Iyas. Kamu mau memeras Ricardo dengan ini ‘kan?”
Iyas tidak mampu menyangkal. Ricardo layak menerima balas dendam Iyas. Iyas telah memiliki rencana istimewa.
Satu pekerjaan lagi. Batin Tabian.
"Aku pergi. Hanna, simpan kamera itu."
"Kamu mau kemana lagi? Kita harus kembali ke kelas."
Tabian terus berjalan tanpa menjawab pertanyaan Hanna. Ia mengambil tas sekolahnya diam-diam dan kembali ke asrama. Ada satu orang lagi yang harus ia temui. Kunci dari kemenangan sidang hari Senin nanti.
***
"Kemari, Mong." Sebuah suara wanita yang tidak asing menggema dari halaman belakang asrama perempuan.
Dua kandang ayam berbentuk persegi panjang berada di tengah-tengah pekarangan. Belasan ayam menyantap campuran nasi dan jagung pemberian wanita tersebut sedangkan Mong berlarian kesana kemari tidak mau makan.
"Ketangkap!" Sang wanita kemudian menggendong Mong menuju piring makan setelah kejar-kejaran selama dua menit.
"Ternyata kamu lebih banyak ngobrol sama hewan ya daripada teman sekelasmu sendiri," sindir Tabian.
"Ada perlu apa ya?" Nadanya terdengar ketus, jelas-jelas ia tersinggung.
Tabian mendekati Fisesa hingga jarak mereka beberapa meter saja. "Aku ingin kamu menjadi saksi untuk sidang Ricardo nanti."
Fisesa melebarkan telinganya. Apa ia tidak salah dengar? "Aku tidak ada hubungannya dengan itu." Ia berjongkok untuk melanjutkan aktivitas bersama ayam-ayamnya.
"Atta."
Hah? Fisesa menggigit bibir bawahnya. Ia seketika berbalik.
"Aku tahu kamu memiliki masa lalu bersama Kak Atta," sambung Tabian.
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Aku akan mendatangi Kak Atta untuk membicarakanmu."
Mereka beradu pandang. Tabian mengeluarkan handphone-nya diam-diam dan mendekatkannya pada Fisesa. Sebuah nomor dengan nama pemilik: Kak Atta tertera di sana.
"Aku serius."
... tiga, delapan, satu. Dia serius ingin mengancamku. Batin Fisesa.
Fisesa mengangkat tubuhnya dan menyejajarkan dirinya yang setinggi pundak Tabian. Wajahnya tampak sedikit memerah di bawah sinar mentari sore. Ia mengacungkan sendok makan bekas makanan ayam.
"Bagaimana kamu tahu kalau aku bisa membantu?"
"Mudah. Kamu satu kelas dengan Ricardo dan Tommy saat jam khusus. Dan ...," Tabian kembali mendekatkan layar handphone-nya pada Fisesa, "Kamu duduk tepat di sebelah Tommy yang sedang berbicara sesuatu pada Ricardo."
Sebuah tangkapan layar rekaman CCTV membuktikan kata-kata Tabian. Ia mendapatkannya dari Glen barusan. Kamu tidak bisa mengelak lagi, Fisesa.
Fisesa meremas ujung sweater birunya, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia mengelus-elus rambut hitamnya yang sudah rapi. Pura-pura mengambil bulir-bulir nasi yang tidak kelihatan.
"Baiklah."
Jauh dari lubuk hati Fisesa, ia yakin bahwa Tabian tidak tahu tentang masa lalunya bersama Kak Atta. Akan tetapi, Fisesa tahu bahwa suatu hari nanti semua akan terbongkar entah bagaimana. Tidak ada kegelapan yang tidak takluk dengan cahaya kebenaran.
Aku duduk dikelilingi oleh teman-teman baru yang berumur dua minggu. Tidak sedikit yang mengerutkan kening mendengar ceritaku barusan. Apa mereka juga belum mengerti taktik yang aku rencanakan? "Tabian." "Ada apa, Tuan Handoko?" Tuan Handoko yang memiliki badan paling kekar diantara para tahanan mulai bangkit dari zona nyaman. Lengan kanannya yang bertato gagak hitam bergerak-gerak seiring ia mengelus dagunya yang kasar akibat cukuran. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Tuan Handoko kemarin, jadinya tahu bagaimana perjuangannya mencukur dengan silet setengah tumpul. "Seberapa cantik si Fisesa itu? Apakah dia seksi?" Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku bisa menebak isi kepala Tuan Handoko. Ia dan kawan-kawannya lebih fokus pada teman-teman cewekku daripada cerita itu sendiri. Apa yang harus aku jawab agar Tuan Handoko merasa senang? Fisesa memang memiliki mata yang indah dengan kecokelatan. Tetapi, ia sulit didekati bahkan sebagai teman s
Senin, 20 Juli 2022 Bel pulang sekolah berdering menjadi tanda dimulainya persidangan. Para perwakilan masing-masing pihak terkait memasuki ruang rapat sekolah. Air muka mereka mengeras dan sulit berseri-seri. Masa depan seseorang sedang dipertaruhkan di sini. Tiga meja panjang dirangkai membentuk huruf U. Setiap sisinya diisi oleh perwakilan kelas X-1, kelas X-4, dan pimpinan sidang, yaitu Juan serta Nanda, sekretaris osis. Selain Juan, tidak ada yang tahu bahwa seseorang sedang meneliti. Kepala sekolah mengawasi dari balik jendela satu arah. Ruang rapat terhubung dengan bilik kerja kepala sekolah melalui jendela itu. Ia menyeduh kopi sambil menikmati tontonannya. Tanpa basa-basi, Juan membuka sidang dengan pembacaan beberapa peraturan. Hal paling penting adalah setiap kesaksian harus disertai dengan bukti, minimal konfirmasi dari dua orang. Pengecualian untuk konteks tertentu. “Sekarang saya persilahkan perwakilan Ricardo untuk memberi pembe
Rabu, 27 Juli 2022 Minggu lalu Tabian dan teman sekelasnya pada jam khusus diberi PR untuk merangkum novel karya Jostein Gaarder. Setiap anak mendapat bagian filsuf yang berbeda. Tabian pun berkenalan dengan murid Plato, yaitu Aristoteles. Dua minggu lalu tentang matematika, sekarang tentang bahasa. Apakah seperti ini pola mengajar sekolah Yudhis yang membuatnya begitu terkenal? Bagaimana dengan kelas lain? Sekolah Yudhis merupakan salah satu sekolah terbaik karena sebagian besar lulusannya mendapat undangan untuk melanjutkan studi baik di luar negeri maupun dalam negeri. Beberapa media khususnya yang berfokus pada pendidikan sering menyorot sekolah ini dalam berita. Para kritikus pun sering membahas sekolah Yudhis jika mengangkat topik sistem pendidikan di Indonesia. Seperti persidangan lalu yang ditangani dengan cepat dan tuntas. Berita tersebut sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah dengan versinya masing-masing. Ricardo tidak dihukum s
Jum'at, 29 Juli 2022 Fisesa adalah salah satu murid kelas X-1 yang langganan datang paling cepat. Ia mendapati Intan telah duduk di tempatnya dengan berbalut jaket abu-abu pagi itu. "Fisesa, kamu mau makan-makan gratis?" tanya Intan dengan mata berbinar. Cat kuku beningnya berkilauan dari balik lengan jaket, menambah kesan menggemaskan. "Terima kasih, tapi aku sudah punya." Fisesa menyodorkan buku agenda cokelatnya. Di sana terselip beberapa kupon makan dan struk belanja yang lupa dibuang. "Tapi inijapanese food lho." Sebuah kupon makan dengan gambar ramen dan sumpit menyembul tiba-tiba dari balik telapak tangan Intan. Bagaimana ia bisa tahu aku suka itu? Fisesa mendongak. Samar-samar ia dapat membaca sebuah kata: Ichibento. Nama kafe terkenal yang menyediakan makanan Jepang di daerah Tangerang. "Aku hanya ingin minta tolong satu hal." Intan menggigit bibir bawahnya perlahan dan menempelkan kedua ujung t
Dear teman-teman pembaca, Halo, aku Pandalica. Terima kasih sudah mengikuti cerita Vice Versa hingga chapter ini ya. Aku mengapresiasi antusiasme teman-teman sekalian. Vice Versa berasal dari kata serapan bahasa Latin yang artinya 'dan sebaliknya.' Kata ini aku pilih sebagai judul novelku untuk mewakili petualangan Tabian dalam memecahkan misteri di sekolahnya. Bagaimana pendapat teman-teman dengan cerita Tabian? Aku tunggu ya masukan dan kritiknya. Karena penulis tidak dapat berkembang tanpa masukan dari para pembaca. Oh iya, outline cerita ini sudah selesai dari setahun yang lalu lho dan penulis sedang meramunya agar menjadi cerita yang menarik. Mohon doa dan dukungannya ya! Salam kasih, Pandalica
Senin, 01 Agustus 2022 Apa yang akan kalian lakukan jika dua perempuan muda dengan gerak-gerik aneh mencegat kalian ketika ingin makan siang? Glen memilih untuk mendengarkan. "Ada apa, Intan? Fisesa?" Intan menyenggol pinggang Fisesa."Glen, boleh minta waktunya sebentar? Ada yang mau Intan sampaikan." Mereka bertiga kemudian melingkari meja Fisesa. Glen berada di tengah-tengah. "Jadi begi--." "Glen? Ayo ke kantin!" Sekonyong-konyong Tabian muncul. Intan mengepalkan tangannya diam-diam. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin. "Aku pinjam temanmu sebentar ya, Tabian." "Oh? Oke, aku tunggu," balas Tabian singkat. Ia mendaratkan tubuhnya tanpa beban di bangku miliknya. Fisesa dan Intan beradu pandang secara otomatis. Fisesa mengangguk untuk meyakinkan Intan. "Jadi begi--." "Intan~" panggil seorang laki-laki yang paling tidak diinginkan saat itu. Intan memutar bola matan
Sepotong tubuh berkulit cerah meronta-ronta di atas brankar. Napasnya memburu bukan tanpa sebab. Ratusan detik yang lalu, ia dikejar-kejar oleh dua pria berbadan dua kali lebih besar. Banjir keringat membasahi kaos oblongnya. Ia terlalu lelah, tenggorokannya kering. Teriakan minta tolong hanya sampai di ubun-ubun dan ujung lidahnya. Kacamata hitam membuat wajah para pengejar nampak buram, menambah kesan seram. Mereka menahan dan mengikat tubuh sang remaja—dada, pinggang, dan kakinya—dengan tiga pasang sabuk hitam yang memiliki lebar 5 cm. Hal itu tidak mematikan semangat hidup sang remaja. Ia memusatkan rontaan pada kedua kakinya, berusaha melonggarkan ikatan yang ada. “Duk! Duk! Duk!” Tapi ... mustahil. Ikatannya tidak bergeser sedikit pun. Suara kaki yang beradu dengan bantalan brankar menggema di lorong yang sunyi. Hampir tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya, para pengejar, dan seseorang yang berpakaian serba putih. Wajahnya tidak nampak jelas ak
Senin, 04 Juli 2022 Kiri, kanan. Kiri, kanan. Siswa dan siswi berjaga-jaga dalam menyebrang jalan. Mereka berhamburan hingga berlarian menuju gerbang. Penampang besi menyerupai alfabet terpampang di atas gerbang merangkai tulisan: SMA Yudhis. Tembok pagarnya seputih awan dan menjulang tinggi—bersaing dengan pepohonan. “Mari kita saksikan penampilan dari ekskul karate!” Suara TOA menggaung ke seluruh penjuru halaman dan sayup-sayup terdengar hingga gerbang. Dua hari pertama adalah kesempatan emas bagi setiap anggota ekstrakurikuler—disingkat ekskul—untuk promosi. Halaman depan telah dipadati para murid yang menonton atraksi. Meja berjajar di sisi luar lapangan sebagai tempat mendaftarkan diri. Rayuan para kakak kelas tidak berhasil menggaet dirinya. Laki-laki jangkung dengan rambut hitam berponi. Ia berjalan menerobos kerumunan, tidak berminat dengan setiap taktik yang ada. Tawaran minuman gratis hingga anggota yang memiliki dewi kecantikan, gagal mena
Senin, 01 Agustus 2022 Apa yang akan kalian lakukan jika dua perempuan muda dengan gerak-gerik aneh mencegat kalian ketika ingin makan siang? Glen memilih untuk mendengarkan. "Ada apa, Intan? Fisesa?" Intan menyenggol pinggang Fisesa."Glen, boleh minta waktunya sebentar? Ada yang mau Intan sampaikan." Mereka bertiga kemudian melingkari meja Fisesa. Glen berada di tengah-tengah. "Jadi begi--." "Glen? Ayo ke kantin!" Sekonyong-konyong Tabian muncul. Intan mengepalkan tangannya diam-diam. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin. "Aku pinjam temanmu sebentar ya, Tabian." "Oh? Oke, aku tunggu," balas Tabian singkat. Ia mendaratkan tubuhnya tanpa beban di bangku miliknya. Fisesa dan Intan beradu pandang secara otomatis. Fisesa mengangguk untuk meyakinkan Intan. "Jadi begi--." "Intan~" panggil seorang laki-laki yang paling tidak diinginkan saat itu. Intan memutar bola matan
Dear teman-teman pembaca, Halo, aku Pandalica. Terima kasih sudah mengikuti cerita Vice Versa hingga chapter ini ya. Aku mengapresiasi antusiasme teman-teman sekalian. Vice Versa berasal dari kata serapan bahasa Latin yang artinya 'dan sebaliknya.' Kata ini aku pilih sebagai judul novelku untuk mewakili petualangan Tabian dalam memecahkan misteri di sekolahnya. Bagaimana pendapat teman-teman dengan cerita Tabian? Aku tunggu ya masukan dan kritiknya. Karena penulis tidak dapat berkembang tanpa masukan dari para pembaca. Oh iya, outline cerita ini sudah selesai dari setahun yang lalu lho dan penulis sedang meramunya agar menjadi cerita yang menarik. Mohon doa dan dukungannya ya! Salam kasih, Pandalica
Jum'at, 29 Juli 2022 Fisesa adalah salah satu murid kelas X-1 yang langganan datang paling cepat. Ia mendapati Intan telah duduk di tempatnya dengan berbalut jaket abu-abu pagi itu. "Fisesa, kamu mau makan-makan gratis?" tanya Intan dengan mata berbinar. Cat kuku beningnya berkilauan dari balik lengan jaket, menambah kesan menggemaskan. "Terima kasih, tapi aku sudah punya." Fisesa menyodorkan buku agenda cokelatnya. Di sana terselip beberapa kupon makan dan struk belanja yang lupa dibuang. "Tapi inijapanese food lho." Sebuah kupon makan dengan gambar ramen dan sumpit menyembul tiba-tiba dari balik telapak tangan Intan. Bagaimana ia bisa tahu aku suka itu? Fisesa mendongak. Samar-samar ia dapat membaca sebuah kata: Ichibento. Nama kafe terkenal yang menyediakan makanan Jepang di daerah Tangerang. "Aku hanya ingin minta tolong satu hal." Intan menggigit bibir bawahnya perlahan dan menempelkan kedua ujung t
Rabu, 27 Juli 2022 Minggu lalu Tabian dan teman sekelasnya pada jam khusus diberi PR untuk merangkum novel karya Jostein Gaarder. Setiap anak mendapat bagian filsuf yang berbeda. Tabian pun berkenalan dengan murid Plato, yaitu Aristoteles. Dua minggu lalu tentang matematika, sekarang tentang bahasa. Apakah seperti ini pola mengajar sekolah Yudhis yang membuatnya begitu terkenal? Bagaimana dengan kelas lain? Sekolah Yudhis merupakan salah satu sekolah terbaik karena sebagian besar lulusannya mendapat undangan untuk melanjutkan studi baik di luar negeri maupun dalam negeri. Beberapa media khususnya yang berfokus pada pendidikan sering menyorot sekolah ini dalam berita. Para kritikus pun sering membahas sekolah Yudhis jika mengangkat topik sistem pendidikan di Indonesia. Seperti persidangan lalu yang ditangani dengan cepat dan tuntas. Berita tersebut sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah dengan versinya masing-masing. Ricardo tidak dihukum s
Senin, 20 Juli 2022 Bel pulang sekolah berdering menjadi tanda dimulainya persidangan. Para perwakilan masing-masing pihak terkait memasuki ruang rapat sekolah. Air muka mereka mengeras dan sulit berseri-seri. Masa depan seseorang sedang dipertaruhkan di sini. Tiga meja panjang dirangkai membentuk huruf U. Setiap sisinya diisi oleh perwakilan kelas X-1, kelas X-4, dan pimpinan sidang, yaitu Juan serta Nanda, sekretaris osis. Selain Juan, tidak ada yang tahu bahwa seseorang sedang meneliti. Kepala sekolah mengawasi dari balik jendela satu arah. Ruang rapat terhubung dengan bilik kerja kepala sekolah melalui jendela itu. Ia menyeduh kopi sambil menikmati tontonannya. Tanpa basa-basi, Juan membuka sidang dengan pembacaan beberapa peraturan. Hal paling penting adalah setiap kesaksian harus disertai dengan bukti, minimal konfirmasi dari dua orang. Pengecualian untuk konteks tertentu. “Sekarang saya persilahkan perwakilan Ricardo untuk memberi pembe
Aku duduk dikelilingi oleh teman-teman baru yang berumur dua minggu. Tidak sedikit yang mengerutkan kening mendengar ceritaku barusan. Apa mereka juga belum mengerti taktik yang aku rencanakan? "Tabian." "Ada apa, Tuan Handoko?" Tuan Handoko yang memiliki badan paling kekar diantara para tahanan mulai bangkit dari zona nyaman. Lengan kanannya yang bertato gagak hitam bergerak-gerak seiring ia mengelus dagunya yang kasar akibat cukuran. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Tuan Handoko kemarin, jadinya tahu bagaimana perjuangannya mencukur dengan silet setengah tumpul. "Seberapa cantik si Fisesa itu? Apakah dia seksi?" Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku bisa menebak isi kepala Tuan Handoko. Ia dan kawan-kawannya lebih fokus pada teman-teman cewekku daripada cerita itu sendiri. Apa yang harus aku jawab agar Tuan Handoko merasa senang? Fisesa memang memiliki mata yang indah dengan kecokelatan. Tetapi, ia sulit didekati bahkan sebagai teman s
Kamis, 14 Juli 2022 “Apa tujuanmu?” tantang Hanna. Tabian melirik sekilas dan kembali fokus dengan layar handphone. “Maksudnya?” “Tiba-tiba punya minat pada Ricardo,” selidik Hanna. Tabian menghela napas sejenak. “Anggap saja, aku tidak mau dapat hukuman karena poin kelas kita rendah.” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” Tabian mulai menjauhi Hanna. Ia membungkuk dan mendekatkan wajah ke tanah sekitar TKP. Ia terdiam menganalisis sesuatu yang sepertinya tidak dapat dilihat oleh mata manusia sembari meraba tanah merah. Ia memicingkan mata tiba-tiba lalu berjongkok. Hanna tidak mau kalah. Sedari tadi ia telah mencatat segala sesuatu yang ditangkap panca indranya. Bidang tanah merah berukuran sekitar 10x5 meter, rerumputan liar yang menjulang tinggi hingga sebahu orang dewasa, dan tembok gedung tanpa jendela. Pagar besi memanjang hingga ujung lapangan sepak bola dan dibaliknya ada tanah kosong seperti habis dipangk
Kamis, 14 Juli 2022 "Tadi sampai dimana?" tanya Tabian dengan wajah tanpa dosa. "Semua fokus!" perintah Glen dari depan kelas. Glen menyampaikan bahwa Ricardo telah terlibat dalam sebuah insiden. Ricardo dituduh telah melukai Tommy, anak kelas X-4. Tommy sekarang dirawat di rumah sakit akibat luka tusukan di perutnya. Satu-satunya saksi mata adalah Ricardo karena ia orang terakhir yang bertemu dengan Tommy. Namun keputusan akhir menyatakan bahwa Ricardo adalah pelakunya. Masalah semakin besar ya? Tabian kini melirik ke kiri dan ke kanan. Hujatan demi hujatan dilontarkan pada Ricardo. Sebagian kelas memperlihatkan kebencian dengan nyata. Semakin parah. Tabian menyimpulkan. “Tolong tenang, teman-teman. Aku belum selesai. Ricardo, silahkan terangkan pada mereka.” Ricardo berdiri dari belakang mejanya. Mulutnya tidak melebar seperti biasanya. Dadanya lapang, siap menerima olokan. “Silahkan kalian i
Rabu, 06 Juli 2022 Daniarsyah Faldy Yunus. Nama pesaing Kak Juan cukup berlawanan dengan nama Juan Juandi yang mudah diingat. Tabian tidak pernah melihat batang hidung laki-laki bernama Daniarsyah ini termasuk dalam promosi eskul kemarin. Serius nih? Kalau Kak Juan sampai teriak-teriak pakai TOA. “Jangan dipandangin lama-lama. Nanti naksir,” goda seseorang. “Ka Juan?” “Mau pulang?” Tabian mengiyakan. “Ayo bareng.” Gedung utama mulai sepi. Sepanjang jalan dari lorong hingga halaman depan, hanya anggota osis yang terlihat. Mereka lalu lalang untuk mempersiapkan acara pemilihan ketua osis SMA Yudhis ke-10 yang sebentar lagi dilaksanakan. Jumat depan. “Hebat ya, masih semester tiga sudah terpilih jadi ketua osis,” puji Tabian asal. Ia mengamati reaksi Juan dari setiap perubahan pada raut wajahnya. Kening, alis, pupil mata, lekukan bibir, apapun itu. Tabian mencari setitik tanda. Juan tertawa kec