Rabu, 06 Juli 2022
Daniarsyah Faldy Yunus.
Nama pesaing Kak Juan cukup berlawanan dengan nama Juan Juandi yang mudah diingat. Tabian tidak pernah melihat batang hidung laki-laki bernama Daniarsyah ini termasuk dalam promosi eskul kemarin.
Serius nih? Kalau Kak Juan sampai teriak-teriak pakai TOA.
“Jangan dipandangin lama-lama. Nanti naksir,” goda seseorang.
“Ka Juan?”
“Mau pulang?” Tabian mengiyakan. “Ayo bareng.”
Gedung utama mulai sepi. Sepanjang jalan dari lorong hingga halaman depan, hanya anggota osis yang terlihat. Mereka lalu lalang untuk mempersiapkan acara pemilihan ketua osis SMA Yudhis ke-10 yang sebentar lagi dilaksanakan. Jumat depan.
“Hebat ya, masih semester tiga sudah terpilih jadi ketua osis,” puji Tabian asal. Ia mengamati reaksi Juan dari setiap perubahan pada raut wajahnya. Kening, alis, pupil mata, lekukan bibir, apapun itu. Tabian mencari setitik tanda.
Juan tertawa kecil dan menepuk-nepuk punggung Tabian. “Belum tentu aku menang.”
“Masa, Kak?”
“Mengapa kamu begitu yakin, Tabian?” Kini Juan menatap Tabian cukup lekat, seolah mempersiapkan diri untuk mendengar curahan seorang adik.
“Ku pikir, diriku yang seharusnya bertanya begitu, Kak.” Tabian tersenyum miring dan balas menatap Juan. "Sikap kakak menunjukkan kepercayaan diri lho."
Juan membetulkan posisi kacamatanya yang tidak miring. Ia merenungkan maksud tersembunyi dari kata-kata Tabian. Ia menggigit bibirnya, khawatir.
Suara heboh para penonton di sekitar lapangan merenggut hati. Para laki-laki jangkung mendominasi. Mereka mengeluarkan aura yang mampu memikat para perempuan. Ekskul basket mendapat hak istimewa tersebut.
“Atta! Atta! Atta!” Sebuah nama diteriakkan berulang kali oleh mereka. Beberapa wanita menjadi informan bagi Tabian. Atta adalah pemain inti tim basket sekolah, ia kelas XI-4.
Tabian memaklumi kelakuan para siswi yang berkumpul. Bukan hal aneh bila mereka terpesona dengan pria tampan beralis lebat seperti Atta. Kulit putihnya yang terbakar sinar matahari meningkatkan keatraktifannya.
Bukan Atta yang membuat Tabian berlama-lama menengok lapangan. Namun sosok Fisesa yang berdiri secara terpisah dari penonton pada umumnya. Ekspresinya sulit dibaca oleh Tabian. Bukan terpikat oleh Atta serupa yang lainnya, tetapi lebih kepada ....
Sedih?
“Jangan bilang kamu juga kagum dengan Atta.” Ledekan Juan menyeret Tabian kembali ke permukaan. Tabian bersyukur tidak tenggelam dalam lamunan.
“Dia teman kakak?”
Juan menggeleng. “Aku hanya tahu namanya. Ketua tim basket adalah sahabatku sekaligus teman sekelasku.”
Mereka melewati beberapa bangunan sebelum tiba di asrama. Gedung asrama putra dan putri terpisah dengan jarak kurang lebih 200 meter. Masing-masing memiliki tiga lantai. Sebuah pagar besi dengan tinggi 10 meter menyita perhatian Tabian.
“Pagar itu memisahkan SMA dan SMP Yudhis.” Juan memberi tahu tanpa ditanya.
Tabian sudah tahu. Ia hanya penasaran karena merasa tidak nyaman sejak tiba di sana. Seperti ada atmosfer aneh yang dikeluarkan sekolah di balik pagar, mirip hantu yang menggoda untuk diselidiki asal usulnya. Ia yakin dengan intuisinya.
Mereka berpisah di lobi asrama. Kamar Juan berada di lantai 1 dan kamar Tabian di lantai 3. Juan tampak berbalik untuk memanggil Tabian kembali, tetapi ia mengurungkan niatnya. Sedangkan yang hendak dipanggil sedang menikmati suasana asrama yang tidak seperti biasanya.
Tumben, tidak ramai. Begini 'kan enak, gak berisik.
Penghuni asrama masih berkeliaran di sekolah dan entah dimana. Tabian menggerak-gerakkan jarinya satu per satu mulai dari kelingking hingga jempol. Ia sudah menyusun kegiatan yang akan dilakukannya setelah sampai di kamar.
Setiap murid di SMA Yudhis berhak memiliki kamar masing-masing. Kamar mandi digunakan bersama untuk tiap lantai. Fasilitas umum yang dibutuhkan termasuk lengkap, mereka bahkan dapat memasak makanan sendiri.
“Selama tiga tahun, aku akan tinggal disini ya?” gumam Tabian. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur. Kamarnya masih seperti hari pertama. Ia tidak berniat membeli barang-barang khusus yang memamerkan ciri khasnya. Sebaliknya, para tetangga sudah memulai debutnya.
"Tabian! Punya pomade gak?" tanya Gemba dari balik pintu. Ia memang suka berteriak-teriak memanggil dari balik pintu kamar temannya. Seolah ada jeda lima detik yang sengaja Gemba sediakan untuk mendengar jawaban Tabian, "Oh, gak punya ya? Oke," padahal Tabian belum mengucap sepatah kata apapun.
Tabian's rules.
Aturan yang tidak sengaja dibuat oleh Tabian karena pernah kesal dan meluapkannya pada Gemba sejak hari pertama di asrama. Jika Tabian tidak menjawab kata-kata Gemba, artinya adalah 'tidak' atau 'aku baik-baik saja.'
Setelah membersihkan diri, Tabian mencari posisi yang nyaman di bangku kayu keras dan mengambil buku catatan di sebuah rak. Pada sudut kanan kertas tercatat hari dan tanggal. Ia menorehkan momen hari ini yang ia ingat.
Tabian menatapi satu per satu lampu di taman dan jalan-jalan kecil yang mulai menyala-nyala secara bergantian. Sebuah sosok yang sedang berjalan sendirian menarik perhatiannya. Sosok itu datang dari arah sekolah menuju gedung asrama, entah akan bermuara dimana.
Akan tetapi bukan itu yang mengganggu Tabian, melainkan karena Tabian sangat tahu bagaimana kesannya terhadap si pemilik tubuh gempal barusan. Apa tujuan orang itu malam-malam sambil membawa ... ?
***
Kamis, 14 Juli 2022
Malam demi malam, Tabian lewati untuk mengawasi bocah bertubuh gempal. Setidaknya hingga satu minggu ini, ada beberapa fakta yang Tabian ketahui. Pertama, ia membawa kamera setiap malam dan kedua, ia pulang ke asrama di atas jam 9 malam.
Anehnya, tadi malam ia tidak terlihat. Tabian menunggunya hingga larut malam, tetapi hasilnya nihil. Bagaimana dengan hari ini?
Pagi hari yang membosankan seperti biasa menjadi atmosfer kelas. Beberapa cewek sudah berkerumun di depan untuk menunggu kehadiran si pemilik meja. Barisan paling depan, dekat jendela. Tabian tidak akan melupakan keinginannya yang pernah gagal. Ia menimbang-nimbang, urusan macam apa yang dimiliki Hanna dengan mereka.
“Permisi, aku mau duduk.” Hanna mengusir kerumunan itu secara halus.
“Kamu sudah tau? Ricardo dipanggil ke ruang guru barusan.” Salah satu dari mereka melempar pertanyaan.
“Lantas?” Hanna sedikit mengangkat dagunya. Ia merasa disudutkan namun ia tak akan membiarkan siapa pun menggoyahkan pertahanannya.
“Bukankah saranmu waktu itu terbukti tidak manjur? Lebih baik aku mendukung Intan,” timpal sebelahnya. Desakannya didukung oleh yang lain.
“Silahkan. Itu hak kalian.”
“Kalau kamu masih berniat punya teman, tolong tanggung jawab ya. Saranmu bisa menjadi senjata makan tuan lho,” pesan si pelempar pertanyaan. Ia menutup percakapan dan membubarkan teman-temannya.
Tabian menebak kalau si pelempar pertanyaan adalah ketua geng. Anya. Cewek paling kurus di kelas dengan rambut panjang yang hitam kelam.
Ia memakai kata ‘teman’ ya? Pintar juga. Sejak kapan mereka berteman? Sindir Tabian.
Bukan hanya Ricardo, Glen juga diminta ke ruang guru. Tabian menebak kalau jam pelajaran pertama tidak akan ada. Ia memanfaatkan kesempatan itu untuk beristirahat sejenak. Selama seminggu ini, ia terus terjaga hingga larut malam untuk menyelidiki sesuatu.
Ya, terkait bocah bertubuh gempal.
Tabian kemudian menempelkan wajahnya ke meja yang sudah dilapisi oleh bantalan tangan. Hanya kurang dari satu menit, ia mulai terlelap. Sebuah pusaran dari alam bawah kesadaran menariknya dengan lembut.
Duk.
"Aw," pekik Tabian. Ia mengelus keningnya yang tidak memar.
Gelap. Ini dimana? Aku tidak bisa melihat apa-apa.
Tabian meraba-raba kegelapan yang menyelimutinya. Ia berharap dapat menebak sedang berada dimana ia sekarang. Sejak kapan ruang kelas jadi tidak terlihat?
Tunggu. Aku sedang berbaring di atas sesuatu. Apa ini?
Tidak empuk dan tidak keras. Tanpa bantal dan tanpa selimut. Langit-langitnya seperti terbuat dari kaca tebal berlapis-lapis.
"Sial."
Insting bertahan hidup Tabian teraktivasi. Kedua tangannya dikepal dan dikeraskan. Ia menggedor-gedor lapisan kaca dengan sekuat tenaga, kedua kakinya juga ikut membantu. Tetapi, nihil. Satu mili retakan pun tidak terukir.
"Tolong!"
Sebuah titik cahaya tiba-tiba muncul di langit-langit. Jaraknya hanya 20 cm dari wajah Tabian. Titik cahaya semakin besar dengan perlahan hingga Tabian tidak dapat membuka kedua kelopak matanya akibat silau.
"Tolong!"
Cahaya semakin besar seakan melahap sekujur tubuh Tabian dari kaki hingga kepala. Tubuh Tabian seolah ditarik dalam sekejap ke ruang dimensi yang berbeda. Ia bergetar-getar seperti orang yang kesurupan.
Entah mengapa dengan mata tertutup, Tabian dapat melihat sebuah bongkahan batu besar terbang hendak menimpa tubuhnya. Untuk ketiga kalinya, ia meneriakkan kata sakti yang tidak membantunya sama sekali.
"TOLONG!!!"
Duk.
Dalam waktu singkat, ruangan gelap menjadi terang. Terlalu terang karena kini puluhan mata menatap Tabian yang baru bangun tidur dengan wajah penuh peluh. Matanya melebar dan kedua alisnya yang tebal terangkat seakan mau lepas.
Tabian menggelengkan kepala sepelan mungkin untuk mengembalikan kesadarannya. Ia menepuk pipinya sekilas untuk memastikan bahwa itu semua hanya mimpi. Mimpi buruk lainnya.
Tabian kembali tegak di tempat duduknya, seakan tidak ada sesuatu yang terjadi beberapa saat yang lalu. Ia memalsukan batuk kecil untuk mencairkan suasana. Kemudian ia melempar tanya dengan wajah tanpa bersalah.
"Tadi sampai dimana?"
Kamis, 14 Juli 2022 "Tadi sampai dimana?" tanya Tabian dengan wajah tanpa dosa. "Semua fokus!" perintah Glen dari depan kelas. Glen menyampaikan bahwa Ricardo telah terlibat dalam sebuah insiden. Ricardo dituduh telah melukai Tommy, anak kelas X-4. Tommy sekarang dirawat di rumah sakit akibat luka tusukan di perutnya. Satu-satunya saksi mata adalah Ricardo karena ia orang terakhir yang bertemu dengan Tommy. Namun keputusan akhir menyatakan bahwa Ricardo adalah pelakunya. Masalah semakin besar ya? Tabian kini melirik ke kiri dan ke kanan. Hujatan demi hujatan dilontarkan pada Ricardo. Sebagian kelas memperlihatkan kebencian dengan nyata. Semakin parah. Tabian menyimpulkan. “Tolong tenang, teman-teman. Aku belum selesai. Ricardo, silahkan terangkan pada mereka.” Ricardo berdiri dari belakang mejanya. Mulutnya tidak melebar seperti biasanya. Dadanya lapang, siap menerima olokan. “Silahkan kalian i
Kamis, 14 Juli 2022 “Apa tujuanmu?” tantang Hanna. Tabian melirik sekilas dan kembali fokus dengan layar handphone. “Maksudnya?” “Tiba-tiba punya minat pada Ricardo,” selidik Hanna. Tabian menghela napas sejenak. “Anggap saja, aku tidak mau dapat hukuman karena poin kelas kita rendah.” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” Tabian mulai menjauhi Hanna. Ia membungkuk dan mendekatkan wajah ke tanah sekitar TKP. Ia terdiam menganalisis sesuatu yang sepertinya tidak dapat dilihat oleh mata manusia sembari meraba tanah merah. Ia memicingkan mata tiba-tiba lalu berjongkok. Hanna tidak mau kalah. Sedari tadi ia telah mencatat segala sesuatu yang ditangkap panca indranya. Bidang tanah merah berukuran sekitar 10x5 meter, rerumputan liar yang menjulang tinggi hingga sebahu orang dewasa, dan tembok gedung tanpa jendela. Pagar besi memanjang hingga ujung lapangan sepak bola dan dibaliknya ada tanah kosong seperti habis dipangk
Aku duduk dikelilingi oleh teman-teman baru yang berumur dua minggu. Tidak sedikit yang mengerutkan kening mendengar ceritaku barusan. Apa mereka juga belum mengerti taktik yang aku rencanakan? "Tabian." "Ada apa, Tuan Handoko?" Tuan Handoko yang memiliki badan paling kekar diantara para tahanan mulai bangkit dari zona nyaman. Lengan kanannya yang bertato gagak hitam bergerak-gerak seiring ia mengelus dagunya yang kasar akibat cukuran. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Tuan Handoko kemarin, jadinya tahu bagaimana perjuangannya mencukur dengan silet setengah tumpul. "Seberapa cantik si Fisesa itu? Apakah dia seksi?" Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku bisa menebak isi kepala Tuan Handoko. Ia dan kawan-kawannya lebih fokus pada teman-teman cewekku daripada cerita itu sendiri. Apa yang harus aku jawab agar Tuan Handoko merasa senang? Fisesa memang memiliki mata yang indah dengan kecokelatan. Tetapi, ia sulit didekati bahkan sebagai teman s
Senin, 20 Juli 2022 Bel pulang sekolah berdering menjadi tanda dimulainya persidangan. Para perwakilan masing-masing pihak terkait memasuki ruang rapat sekolah. Air muka mereka mengeras dan sulit berseri-seri. Masa depan seseorang sedang dipertaruhkan di sini. Tiga meja panjang dirangkai membentuk huruf U. Setiap sisinya diisi oleh perwakilan kelas X-1, kelas X-4, dan pimpinan sidang, yaitu Juan serta Nanda, sekretaris osis. Selain Juan, tidak ada yang tahu bahwa seseorang sedang meneliti. Kepala sekolah mengawasi dari balik jendela satu arah. Ruang rapat terhubung dengan bilik kerja kepala sekolah melalui jendela itu. Ia menyeduh kopi sambil menikmati tontonannya. Tanpa basa-basi, Juan membuka sidang dengan pembacaan beberapa peraturan. Hal paling penting adalah setiap kesaksian harus disertai dengan bukti, minimal konfirmasi dari dua orang. Pengecualian untuk konteks tertentu. “Sekarang saya persilahkan perwakilan Ricardo untuk memberi pembe
Rabu, 27 Juli 2022 Minggu lalu Tabian dan teman sekelasnya pada jam khusus diberi PR untuk merangkum novel karya Jostein Gaarder. Setiap anak mendapat bagian filsuf yang berbeda. Tabian pun berkenalan dengan murid Plato, yaitu Aristoteles. Dua minggu lalu tentang matematika, sekarang tentang bahasa. Apakah seperti ini pola mengajar sekolah Yudhis yang membuatnya begitu terkenal? Bagaimana dengan kelas lain? Sekolah Yudhis merupakan salah satu sekolah terbaik karena sebagian besar lulusannya mendapat undangan untuk melanjutkan studi baik di luar negeri maupun dalam negeri. Beberapa media khususnya yang berfokus pada pendidikan sering menyorot sekolah ini dalam berita. Para kritikus pun sering membahas sekolah Yudhis jika mengangkat topik sistem pendidikan di Indonesia. Seperti persidangan lalu yang ditangani dengan cepat dan tuntas. Berita tersebut sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah dengan versinya masing-masing. Ricardo tidak dihukum s
Jum'at, 29 Juli 2022 Fisesa adalah salah satu murid kelas X-1 yang langganan datang paling cepat. Ia mendapati Intan telah duduk di tempatnya dengan berbalut jaket abu-abu pagi itu. "Fisesa, kamu mau makan-makan gratis?" tanya Intan dengan mata berbinar. Cat kuku beningnya berkilauan dari balik lengan jaket, menambah kesan menggemaskan. "Terima kasih, tapi aku sudah punya." Fisesa menyodorkan buku agenda cokelatnya. Di sana terselip beberapa kupon makan dan struk belanja yang lupa dibuang. "Tapi inijapanese food lho." Sebuah kupon makan dengan gambar ramen dan sumpit menyembul tiba-tiba dari balik telapak tangan Intan. Bagaimana ia bisa tahu aku suka itu? Fisesa mendongak. Samar-samar ia dapat membaca sebuah kata: Ichibento. Nama kafe terkenal yang menyediakan makanan Jepang di daerah Tangerang. "Aku hanya ingin minta tolong satu hal." Intan menggigit bibir bawahnya perlahan dan menempelkan kedua ujung t
Dear teman-teman pembaca, Halo, aku Pandalica. Terima kasih sudah mengikuti cerita Vice Versa hingga chapter ini ya. Aku mengapresiasi antusiasme teman-teman sekalian. Vice Versa berasal dari kata serapan bahasa Latin yang artinya 'dan sebaliknya.' Kata ini aku pilih sebagai judul novelku untuk mewakili petualangan Tabian dalam memecahkan misteri di sekolahnya. Bagaimana pendapat teman-teman dengan cerita Tabian? Aku tunggu ya masukan dan kritiknya. Karena penulis tidak dapat berkembang tanpa masukan dari para pembaca. Oh iya, outline cerita ini sudah selesai dari setahun yang lalu lho dan penulis sedang meramunya agar menjadi cerita yang menarik. Mohon doa dan dukungannya ya! Salam kasih, Pandalica
Senin, 01 Agustus 2022 Apa yang akan kalian lakukan jika dua perempuan muda dengan gerak-gerik aneh mencegat kalian ketika ingin makan siang? Glen memilih untuk mendengarkan. "Ada apa, Intan? Fisesa?" Intan menyenggol pinggang Fisesa."Glen, boleh minta waktunya sebentar? Ada yang mau Intan sampaikan." Mereka bertiga kemudian melingkari meja Fisesa. Glen berada di tengah-tengah. "Jadi begi--." "Glen? Ayo ke kantin!" Sekonyong-konyong Tabian muncul. Intan mengepalkan tangannya diam-diam. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin. "Aku pinjam temanmu sebentar ya, Tabian." "Oh? Oke, aku tunggu," balas Tabian singkat. Ia mendaratkan tubuhnya tanpa beban di bangku miliknya. Fisesa dan Intan beradu pandang secara otomatis. Fisesa mengangguk untuk meyakinkan Intan. "Jadi begi--." "Intan~" panggil seorang laki-laki yang paling tidak diinginkan saat itu. Intan memutar bola matan
Senin, 01 Agustus 2022 Apa yang akan kalian lakukan jika dua perempuan muda dengan gerak-gerik aneh mencegat kalian ketika ingin makan siang? Glen memilih untuk mendengarkan. "Ada apa, Intan? Fisesa?" Intan menyenggol pinggang Fisesa."Glen, boleh minta waktunya sebentar? Ada yang mau Intan sampaikan." Mereka bertiga kemudian melingkari meja Fisesa. Glen berada di tengah-tengah. "Jadi begi--." "Glen? Ayo ke kantin!" Sekonyong-konyong Tabian muncul. Intan mengepalkan tangannya diam-diam. Ia berusaha tersenyum semanis mungkin. "Aku pinjam temanmu sebentar ya, Tabian." "Oh? Oke, aku tunggu," balas Tabian singkat. Ia mendaratkan tubuhnya tanpa beban di bangku miliknya. Fisesa dan Intan beradu pandang secara otomatis. Fisesa mengangguk untuk meyakinkan Intan. "Jadi begi--." "Intan~" panggil seorang laki-laki yang paling tidak diinginkan saat itu. Intan memutar bola matan
Dear teman-teman pembaca, Halo, aku Pandalica. Terima kasih sudah mengikuti cerita Vice Versa hingga chapter ini ya. Aku mengapresiasi antusiasme teman-teman sekalian. Vice Versa berasal dari kata serapan bahasa Latin yang artinya 'dan sebaliknya.' Kata ini aku pilih sebagai judul novelku untuk mewakili petualangan Tabian dalam memecahkan misteri di sekolahnya. Bagaimana pendapat teman-teman dengan cerita Tabian? Aku tunggu ya masukan dan kritiknya. Karena penulis tidak dapat berkembang tanpa masukan dari para pembaca. Oh iya, outline cerita ini sudah selesai dari setahun yang lalu lho dan penulis sedang meramunya agar menjadi cerita yang menarik. Mohon doa dan dukungannya ya! Salam kasih, Pandalica
Jum'at, 29 Juli 2022 Fisesa adalah salah satu murid kelas X-1 yang langganan datang paling cepat. Ia mendapati Intan telah duduk di tempatnya dengan berbalut jaket abu-abu pagi itu. "Fisesa, kamu mau makan-makan gratis?" tanya Intan dengan mata berbinar. Cat kuku beningnya berkilauan dari balik lengan jaket, menambah kesan menggemaskan. "Terima kasih, tapi aku sudah punya." Fisesa menyodorkan buku agenda cokelatnya. Di sana terselip beberapa kupon makan dan struk belanja yang lupa dibuang. "Tapi inijapanese food lho." Sebuah kupon makan dengan gambar ramen dan sumpit menyembul tiba-tiba dari balik telapak tangan Intan. Bagaimana ia bisa tahu aku suka itu? Fisesa mendongak. Samar-samar ia dapat membaca sebuah kata: Ichibento. Nama kafe terkenal yang menyediakan makanan Jepang di daerah Tangerang. "Aku hanya ingin minta tolong satu hal." Intan menggigit bibir bawahnya perlahan dan menempelkan kedua ujung t
Rabu, 27 Juli 2022 Minggu lalu Tabian dan teman sekelasnya pada jam khusus diberi PR untuk merangkum novel karya Jostein Gaarder. Setiap anak mendapat bagian filsuf yang berbeda. Tabian pun berkenalan dengan murid Plato, yaitu Aristoteles. Dua minggu lalu tentang matematika, sekarang tentang bahasa. Apakah seperti ini pola mengajar sekolah Yudhis yang membuatnya begitu terkenal? Bagaimana dengan kelas lain? Sekolah Yudhis merupakan salah satu sekolah terbaik karena sebagian besar lulusannya mendapat undangan untuk melanjutkan studi baik di luar negeri maupun dalam negeri. Beberapa media khususnya yang berfokus pada pendidikan sering menyorot sekolah ini dalam berita. Para kritikus pun sering membahas sekolah Yudhis jika mengangkat topik sistem pendidikan di Indonesia. Seperti persidangan lalu yang ditangani dengan cepat dan tuntas. Berita tersebut sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah dengan versinya masing-masing. Ricardo tidak dihukum s
Senin, 20 Juli 2022 Bel pulang sekolah berdering menjadi tanda dimulainya persidangan. Para perwakilan masing-masing pihak terkait memasuki ruang rapat sekolah. Air muka mereka mengeras dan sulit berseri-seri. Masa depan seseorang sedang dipertaruhkan di sini. Tiga meja panjang dirangkai membentuk huruf U. Setiap sisinya diisi oleh perwakilan kelas X-1, kelas X-4, dan pimpinan sidang, yaitu Juan serta Nanda, sekretaris osis. Selain Juan, tidak ada yang tahu bahwa seseorang sedang meneliti. Kepala sekolah mengawasi dari balik jendela satu arah. Ruang rapat terhubung dengan bilik kerja kepala sekolah melalui jendela itu. Ia menyeduh kopi sambil menikmati tontonannya. Tanpa basa-basi, Juan membuka sidang dengan pembacaan beberapa peraturan. Hal paling penting adalah setiap kesaksian harus disertai dengan bukti, minimal konfirmasi dari dua orang. Pengecualian untuk konteks tertentu. “Sekarang saya persilahkan perwakilan Ricardo untuk memberi pembe
Aku duduk dikelilingi oleh teman-teman baru yang berumur dua minggu. Tidak sedikit yang mengerutkan kening mendengar ceritaku barusan. Apa mereka juga belum mengerti taktik yang aku rencanakan? "Tabian." "Ada apa, Tuan Handoko?" Tuan Handoko yang memiliki badan paling kekar diantara para tahanan mulai bangkit dari zona nyaman. Lengan kanannya yang bertato gagak hitam bergerak-gerak seiring ia mengelus dagunya yang kasar akibat cukuran. Aku tidak sengaja berpapasan dengan Tuan Handoko kemarin, jadinya tahu bagaimana perjuangannya mencukur dengan silet setengah tumpul. "Seberapa cantik si Fisesa itu? Apakah dia seksi?" Ah, bodohnya aku. Seharusnya aku bisa menebak isi kepala Tuan Handoko. Ia dan kawan-kawannya lebih fokus pada teman-teman cewekku daripada cerita itu sendiri. Apa yang harus aku jawab agar Tuan Handoko merasa senang? Fisesa memang memiliki mata yang indah dengan kecokelatan. Tetapi, ia sulit didekati bahkan sebagai teman s
Kamis, 14 Juli 2022 “Apa tujuanmu?” tantang Hanna. Tabian melirik sekilas dan kembali fokus dengan layar handphone. “Maksudnya?” “Tiba-tiba punya minat pada Ricardo,” selidik Hanna. Tabian menghela napas sejenak. “Anggap saja, aku tidak mau dapat hukuman karena poin kelas kita rendah.” “Aku tidak percaya.” “Itu urusanmu.” Tabian mulai menjauhi Hanna. Ia membungkuk dan mendekatkan wajah ke tanah sekitar TKP. Ia terdiam menganalisis sesuatu yang sepertinya tidak dapat dilihat oleh mata manusia sembari meraba tanah merah. Ia memicingkan mata tiba-tiba lalu berjongkok. Hanna tidak mau kalah. Sedari tadi ia telah mencatat segala sesuatu yang ditangkap panca indranya. Bidang tanah merah berukuran sekitar 10x5 meter, rerumputan liar yang menjulang tinggi hingga sebahu orang dewasa, dan tembok gedung tanpa jendela. Pagar besi memanjang hingga ujung lapangan sepak bola dan dibaliknya ada tanah kosong seperti habis dipangk
Kamis, 14 Juli 2022 "Tadi sampai dimana?" tanya Tabian dengan wajah tanpa dosa. "Semua fokus!" perintah Glen dari depan kelas. Glen menyampaikan bahwa Ricardo telah terlibat dalam sebuah insiden. Ricardo dituduh telah melukai Tommy, anak kelas X-4. Tommy sekarang dirawat di rumah sakit akibat luka tusukan di perutnya. Satu-satunya saksi mata adalah Ricardo karena ia orang terakhir yang bertemu dengan Tommy. Namun keputusan akhir menyatakan bahwa Ricardo adalah pelakunya. Masalah semakin besar ya? Tabian kini melirik ke kiri dan ke kanan. Hujatan demi hujatan dilontarkan pada Ricardo. Sebagian kelas memperlihatkan kebencian dengan nyata. Semakin parah. Tabian menyimpulkan. “Tolong tenang, teman-teman. Aku belum selesai. Ricardo, silahkan terangkan pada mereka.” Ricardo berdiri dari belakang mejanya. Mulutnya tidak melebar seperti biasanya. Dadanya lapang, siap menerima olokan. “Silahkan kalian i
Rabu, 06 Juli 2022 Daniarsyah Faldy Yunus. Nama pesaing Kak Juan cukup berlawanan dengan nama Juan Juandi yang mudah diingat. Tabian tidak pernah melihat batang hidung laki-laki bernama Daniarsyah ini termasuk dalam promosi eskul kemarin. Serius nih? Kalau Kak Juan sampai teriak-teriak pakai TOA. “Jangan dipandangin lama-lama. Nanti naksir,” goda seseorang. “Ka Juan?” “Mau pulang?” Tabian mengiyakan. “Ayo bareng.” Gedung utama mulai sepi. Sepanjang jalan dari lorong hingga halaman depan, hanya anggota osis yang terlihat. Mereka lalu lalang untuk mempersiapkan acara pemilihan ketua osis SMA Yudhis ke-10 yang sebentar lagi dilaksanakan. Jumat depan. “Hebat ya, masih semester tiga sudah terpilih jadi ketua osis,” puji Tabian asal. Ia mengamati reaksi Juan dari setiap perubahan pada raut wajahnya. Kening, alis, pupil mata, lekukan bibir, apapun itu. Tabian mencari setitik tanda. Juan tertawa kec