Tawamu adalah obat bagiku. Dan air matamu adalah racun yang membuatku mati dalam hitungan detik."
—Sean Varza Nasution——Mobil yang dikendarai oleh Hafiz berhenti tepat di depan sebuah rumah sederhana, tempat praktik seorang dokter. Hafiz menoleh ke belakang di mana Sean terus memeluk Velin yang masih pingsan. “Kita sudah sampai?” Seira yang duduk di samping Hafiz bertanya lantaran mobil telah berhenti. Hafiz mengangguk. Namun, tatapannya masih fokus ke Sean. “Brother, sebaiknya kita segera masuk,” saran Hafiz. Kini giliran Sean yang mengangguk. Kemudian pintu belakang terbuka, pelakunya tentu saja Seira. Perempuan itu lebih dulu keluar dari mobil, tepatnya setelah Hafiz menjawab pertanyaannya tadi. Dengan pelan Sean keluar dari mobil sembari menggendong Velin layaknya di drama Korea, dibantu oleh Seira. Sedang Hafiz sudah lebih dulu jalan di depan. Hafiz mendorong pintu kaca, lalu menahan menggunakan punggungnya, membi"Kenangan itu secuil rindu yang tak ingin di tuju. Akan terkubur dalam lautan nestapa, menjadikannya buih yang hilang tanpa jejak."—Seira Virza Nasution——"Pelecehan seksual," cicit Seira pelan.Sontak, Natasya dan Hafiz terdiam. Tidak ada pembicaraan dalam beberapa menit. Seira mengunci mulutnya rapat, meskipun netranya mulai berembun. Ada bulir-bulir kristal bening mendesak ingin keluar dari sana.Hafiz yang mengetahui perubahan mimik Seira, menggenggam erat tangan itu. Masih belum berani untuk mengeluarkan sepatah kata. Di otaknya, beberapa pertanyaan seperti menari-nari mendesak ingin segera dilontarkan.Mengingat situasi, Hafiz mengendalikan mulutnya untuk sementara.Lain halnya dengan Natasya. Dokter cantik itu menggigit ujung pulpennya. Ia masih mencari waktu yang tepat untuk kembali bertanya. Sumpah, ia sangat penasaran tentang apa yang dikatakan oleh Seira barusan."Saat kami pulang dari makam Mama, tiga orang pr
"Kenyataannya adalah kamu yang terluka dan aku yang menderita."—Velin Ashakira—Velin membungkam mulutnya menggunakan kedua tangan. Matanya memanas dan hatinya teriris mendengar segala hal yang dibicarakan oleh 3 orang yang berbeda usia dan jenis kelamin itu. Ia mendengar dengan sangat jelas meskipun tidak semua. Mungkin pertengahan dari cerita utuh yang berlangsung.Sean mengidap OLD!Ya Tuhan.Meskipun Velin bukan seorang yang hebat dalam ilmu psikolog, tapi ia masih tahu apa yang dimaksud dengan penyakit gangguan kejiwaan itu.Pantas saja sifat Sean itu aneh. Kadang baik, kadang menakutkan dan kadang menyakiti dirinya tanpa iba, sehingga Velin ingin sekali mengakhiri nyawa lelaki itu.Namun, yang menjadi pertanyaan yang membebani pikirannya, kenapa harus dia? Kenapa Sean menjatuhkan obsesi cinta kepadanya? Kenapa bukan dengan yang lain? Velin belum mengetahui itu. Ah, seandainya ia lebih awal terbangun dari pingsannya, mungk
Mata memejam, kepala bersandar di dinding, memeluk kedua lutut, tanpa peduli akan dinginnya lantai yang menusuk kulitnya. Velin tetap pada posisi duduk di lantai tanpa alas.Ia menangis dalam diam. Saat berbicara dengan Natasya beberapa waktu yang lalu, Velin berusaha menahan air matanya agar tak jatuh meskipun setetes. Ia tidak ingin Natasya menyaksikan air matanya. Lebih baik terlihat kuat dan tegar, walau hati rapuh sekalipun. Namun, kini cairan kristal itu mengalir tanpa bisa ia bendung lagi. Alasannya, karena saat ini ia tengah kembali masuk ke dalam bait-bait kenangan masa lalu.“Ya Tuhan,” monolog Velin.Velin semakin terisak. Penderitaan yang ia alami saat masa SMA adalah neraka yang ia ciptakan sendiri.****Velin menatap wajahnya di cermin kecil yang selalu dibawa ke mana pun dan selalu berada dalam tas.. Menyaksikan kesempurnaan setelah mengoles pelembab di wajah putih mulusnya, dan liptink di bibir ranum.Di atas meja terdapat kotak kecil bers
"Lo udah bangun?"Velin yang baru menginjak ruang tamu, langsung disuguhi pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban. Terdengar sangat klise. Namun, Velin tetap menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Natasya."Duduk." Hafiz menepuk sofa kosong di sampingnya.Velin tidak memberi respons. Malah terlihat seperti orang kebingungan, melirik sana dan sini, seolah mencari seseorang.Natasya yang paham situasi yang mendera Velin segera berkata, "Sean keluar sebentar. Membeli sarapan dan juga pakaian ganti." Senyum Natasya tersaji begitu lebar menampakkan deretan gigi putihnya.Seketika Velin salah tingkah. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Ditambah tatapan Seira dan Hafiz yang sangat sulit diartikan olehnya. Velin tidak terbiasa berinteraksi terlalu lama terhadap orang asing, bahkan saat ia kerja di toko bunga, hanya sekedar. Mili adalah satu-satunya yang ia percaya dalam hidupnya.Namun ....Seketika Velin teringat pada teman sekamarnya yang
“Aku tidak tahu seberapa kejam dunia menjebakku dalam sandiwara, yang jelas, aku terlalu takut untuk menjatuhkan rasa.”—Velin Ashakira——Velin menghela napas panjang saat kakinya memijak halaman luas rumah milik keluarga Nasution. Melirik sekilas pada lelaki yang sedang tersenyum manis sembari menggenggam erat tangannya. Seperti tidak ada rasa gugup yang mendera Sean, atau lelaki itu sangat pandai menutupinya.Lupakan saja soal Sean. Toh, lelaki itu hanya punya satu ekspresi saat ini, yaitu tersenyum. Sepertinya, dalam jangka waktu beberapa detik jikalau terus seperti itu, mungkin saja bibir tak bisa tertutup lagi, dan giginya akan kering.Velin menepuk keningnya. Apa yang ia pikirkan? Kenapa terdengar klise?“Hei, are you ok?”Velin terlihat linglung saat Sean menyentuh keningnya. Pemikiran bodohnya tentang Sean hilang secara menyeluruh.“Lo sakit? Apa kita pulang saja?” Sean berucap penuh kelembutan. T
"Pada akhirnya, aku akan terjebak semakin dalam." -Velin Ashakira***Hardan layaknya remaja yang uring-uringan karena sesuatu hal, mondar-mandir, menggigit kuku dan kadang komat-kamit tidak jelas. Seira saja mulai kesal melihat tingkah aneh sang Papa sejak 30 menit yang lalu.Menyebalkan tapi itu kenyataannya.Cukup! Seira benar-benar pusing dan tak mampu lagi menoleransi sikap papanya.“Hentikan kekonyolan, Papa. Sampai Papa botak pun, kenyataan tidak akan berubah jadi kebohongan.”Hardan menghentikan gerakannya, mengalihkan atensinya kepada Seira. “Papa sedang berpikir, Sei. Bagaimana bisa?”Seira menaikkan kaki kanannya ke atas kaki kiri, lantas bersandar di sandaran sofa. “Tidak usah dipikirkan kenapa bisa, Pa. Yang perlu kita tanamkan dalam hati, gimana caranya Bang Sean sembuh. Mau terapi dan minum obat!”Hardan mendudukkan dirinya di samping Seira. “Cari psikiater secepatnya.”“Sei sudah menemukan psi
"Jika neraka berada di jalur utama, lalu aku harus berbelok ke mana? Sedang di jalur cadangan, badai siap menghadang!" -Velin Ashakira***Hampir 2 jam Velin berkeliling mencari pekerjaan, dan hingga saat ini tak satu pun pekerjaan yang berhasil dia dapatkan. Yang ada hanya kelelahan, tapak kakinya terasa sangat perih, mungkin saja ada banyak luka di sana karena berjalan kaki terlalu lama.Velin sedikit lega ketika menemukan tempat layak dijadikan tempat berteduh dari panas matahari yang begitu menyengat di atas ubun-ubun kepalanya.Warung pinggir jalan yang menjual berbagai gorengan menarik perhatian Velin. Di sana dia bisa memanjakan perutnya dengan berbagai menu murah tetapi mengenyangkan. Cacing peliharaannya tidak pernah protes soal itu, asalkan diisi itu sudah jauh lebih bagus.“Bu, gorengan 5 ribu.” Velin mendudukkan dirinya di bangku kayu yang terlihat rapuh.“Itu aja, Neng?” Penjual gorengan bertanya sembari menyiapkan p
Velin menghela napas kasar saat kakinya menapaki lantai tempat praktik Natasya. Tidak ada pilihan lain selain ke sana, meminta bantuan dokter cantik itu untuk mencarikan pekerjaan. Velin sudah mencoba membujuk Sean mencarikannya kerja, tetapi lelaki itu malah menyombongkan diri, membanggakan kekayaan Hardan yang akan habis 7 turunan sekalipun.Mengesalkan!Dan pada akhirnya, Velin berkeliling kota Jakarta selama 4 hari demi mencari pekerjaan untuk membiayai hidup. Sean memang selalu datang saat pagi buta, membawa makan dan meninggalkan beberapa lembar uang untuknya sebelum pergi. Hati Velin tidak bisa menerima begitu saja, tidak mungkin bergantung pada lelaki yang hanya mengandalkan kekayaan dari keluarganya tanpa bersusah payah, tanpa tahu bagaimana rasanya mencari uang dari hasil kerja sendiri. Sean jauh dari kata itu!Velin bukan seseorang yang tergiur harta. Lagian, perasaannya pada Sean tidak kokoh sama sekali. Tujuannya hanya ingin membantu agar lela