"Jika neraka berada di jalur utama, lalu aku harus berbelok ke mana? Sedang di jalur cadangan, badai siap menghadang!" -Velin Ashakira
***Hampir 2 jam Velin berkeliling mencari pekerjaan, dan hingga saat ini tak satu pun pekerjaan yang berhasil dia dapatkan. Yang ada hanya kelelahan, tapak kakinya terasa sangat perih, mungkin saja ada banyak luka di sana karena berjalan kaki terlalu lama. Velin sedikit lega ketika menemukan tempat layak dijadikan tempat berteduh dari panas matahari yang begitu menyengat di atas ubun-ubun kepalanya. Warung pinggir jalan yang menjual berbagai gorengan menarik perhatian Velin. Di sana dia bisa memanjakan perutnya dengan berbagai menu murah tetapi mengenyangkan. Cacing peliharaannya tidak pernah protes soal itu, asalkan diisi itu sudah jauh lebih bagus. “Bu, gorengan 5 ribu.” Velin mendudukkan dirinya di bangku kayu yang terlihat rapuh. “Itu aja, Neng?” Penjual gorengan bertanya sembari menyiapkan pVelin menghela napas kasar saat kakinya menapaki lantai tempat praktik Natasya. Tidak ada pilihan lain selain ke sana, meminta bantuan dokter cantik itu untuk mencarikan pekerjaan. Velin sudah mencoba membujuk Sean mencarikannya kerja, tetapi lelaki itu malah menyombongkan diri, membanggakan kekayaan Hardan yang akan habis 7 turunan sekalipun.Mengesalkan!Dan pada akhirnya, Velin berkeliling kota Jakarta selama 4 hari demi mencari pekerjaan untuk membiayai hidup. Sean memang selalu datang saat pagi buta, membawa makan dan meninggalkan beberapa lembar uang untuknya sebelum pergi. Hati Velin tidak bisa menerima begitu saja, tidak mungkin bergantung pada lelaki yang hanya mengandalkan kekayaan dari keluarganya tanpa bersusah payah, tanpa tahu bagaimana rasanya mencari uang dari hasil kerja sendiri. Sean jauh dari kata itu!Velin bukan seseorang yang tergiur harta. Lagian, perasaannya pada Sean tidak kokoh sama sekali. Tujuannya hanya ingin membantu agar lela
"Semangat kerjanya, Sayang.” Sean menyemangati Velin sembari memamerkan senyum termanis yang dimiliki setelah kekasihnya itu turun dari mobil. Velin tidak menyahuti sama sekali, bahkan senyum pun tak tampak dari bibirnya. Suasana hati Velin kacau sejak pagi tadi saat Sean datang ke flatnya dan memaksa mengantar ke tempat praktik Natasya menggunakan mobil mewah.Apa Sean tidak malu memamerkan mobil hasil dari keringat papanya? Dasar pengangguran!Bukan itu alasan utama kenapa mood Velin kacau pagi ini, padahal hari pertama ia mencari nafkah setelah sekian lama menganggur. Masalahnya, pagi buta sekitar jam 5 subuh, Sean datang ke flat membawa beberapa makanan dan tas ransel yang isinya tentu saja pakaian. Gilanya, Sean meminta Velin pergi berlibur bersama ke Bandung. Velin menolak secara lembut dengan berbagai alasan tetapi Sean kekeh ingin berlibur. Perdebatan mereka berakhir ketika Velin berkata, “Mari kita akhiri saja hubungan ini. Percuma, kamu gak pernah mengerti tent
Velin menggerutu dalam hati saat Arga menahan tangannya. Niat untuk turun dari mobil lelaki itu jadinya tertunda. Menyebalkan!“Boleh gue ngantar lo sampai depan pintu flat?” Puppy eyes Arga bermain layaknya remaja belasan tahun yang sedang membujuk kekasih.Ingin sekali Velin menjambak rambut lelaki di depannya itu sekuat mungkin. Sungguh sangat menyesal pulang bersama Arga hingga penyesalan itu mendera hingga ke tulangnya.“Ini sudah malam, lain kali saja,” tolak Velin. Itu alasan kedua sebenarnya, karena alasan pertamanya adalah Sean.Mengingat nama Sean, hati Velin teriris. Dia merasakan ketakutan bercampur sedih dan khawatir, menjadi satu menggelitik perut hingga rasa penyesalan membayanginya begitu saja. Entah kenapa ia merasa kalau saat ini sedang berselingkuh di belakang kekasih yang hingga detik ini masih ragu untuk ia akui.Ada apa dengan perasaannya? Apa ia mulai jatuh cinta pada lelaki yang suka melakukan kekerasan dalam waktu yang sulit ditebak? Mat
"Jika waktu adalah kebohongan, maka aku berharap waktu tidak berputar pada poros hidupku." -Velin Ashakira***Velin mengerjap saat merasakan pergerakan ranjang. Seseorang berusaha naik ke atas tempat tidur dengan pelan, mungkin niatnya tidak ingin membangunkan si putri tidur, tetapi nyatanya Velin tetap terbangun juga.Tanpa menoleh pun, Velin tahu jika orang yang berbaring di sampingnya adalah Sean. Aroma kopi yang semerbak, menyeruak dari tubuh tegap berotot itu. Velin sendiri heran, Sean tidak suka minum kopi tetapi sangat menyukai parfum beraroma kopi.Aneh, bukan? Ya, namanya juga seorang Sean, dari sananya sudah aneh, maka seluruh kehidupannya pun akan terlihat aneh.Velin masih setia memunggungi Sean. Meskipun ia telah bangun, tetapi masih setia berpura-pura tidur. Dia ingin tahu apa yang lelaki itu lakukan padanya. Meminta maaf karena telat menjemput, atau sebaliknya menyakiti dirinya tanpa iba. Segala kemungkinan bisa saja terjadi jika situasi hati Sea
Velin menghela napas berat, memejam lalu menatap kapas yang sudah ia celup di alkohol beberapa detik lalu. Menggigit bibir ketika membayangkan rasa perih yang didapatkannya saat kapas menyentuh pipinya. Astaga, sungguh menyebalkan. Tidak mungkin juga dia membiarkan luka gores itu begitu saja, meskipun tidak begitu dalam, tetap saja harus diobati. Bagaimana jika terinfeksi?Itu akan lebih buruk nantinya."Argh!" Velin meringis kesakitan setelah kapas benar-benar mendarat di pipinya. Sesuai yang sempat terbayangkah olehnya beberapa saat tadi. Rasa perih masih berlangsung selama Velin mengobati lukanya. Cermin kecil di depannya menjadi saksi betapa menderita seorang Velin melakukan hal yang seperti itu terus menerus setiap Sean bertindak kasar. Sejenak air mata mengalir mengingat kejadian yang menderanya tadi malam.Velin kembali menghela napas. Semalam ia tidur di sofa sedangkan lelaki itu tidur di ranjang empuk dengan posisi meringkuk layaknya bayi. Harusnya Velin melaporkan
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku