"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution
****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlalTakdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
VELIN menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah kafe yang terletak sedikit terpojok karena terimpit dua bangunan tinggi. Hotel yang tingginya melebihi batas penglihatan seorang Velin, dan sebuah bangunan yang masih belum terlihat siap ditempati. Velin menarik napas mencoba menangkan diri karena terlalu gugup. Ia yakin, di dalam sana teman-teman seangkatan dengannya telah berkumpul dan mungkin bercerita tentang kesuksesan masing-masing setelah 5 tahun tidak bersua.Jujur saja, Velin ragu untuk memasuki kafe yangterlihat sepi itu. Ia ragu jika di dalam sana akan menjadi seseorang yang terasingkan karena hidupnya tidak memiliki perubahan selama 5 tahun. Dan juga ragu untuk bertemu dengan orang-orang yang dihindari semasa SMA dulu.Semua mengacaukan otaknya yang terlalu kecil dan pas-pasan untuk berpikir. Seandainya saja otaknya itu bisa lebih genius, mungkin ia akan bekerja di sebuah perusahaan ternama, bukan menjadi pengantar bunga.Apa la
BAGAIMANA reunimu tadi malam? Berjalan lancar?"Velin yang duduk di depan meja bundar beralas bantal kecil tidak menyahut sama sekali saat Mili-teman sekamarnya itu melemparkan pertanyaan tentang reuni yang ia datangi tadi malam. Velin terlalu malas untuk membahas, mengingat tentang reuni yang kembali membawanya dalam kisah luka masa lalu."Yak, pelan-pelan makannya. Tidak akan ada yang mengejarmu." Mili memukul kepala Velin menggunakan sendok makan. Tidak terlalu keras, tapi mampu membuat Velin melotot kepada Mili. Sedang Mili, perempuan berkacamata itu hanya tersenyum."Aish ... sial! Jangan menanyakan itu lagi, Mbak," pinta Velin dengan mimik memohon. Ia ingin melupakan apa pun yang berkaitan dengan reuni. Melupakan Arga, Sean dan yang lainnya."Kenapa? Burukkah?" Mili mengunyah sarapannya santai, tapi matanya begitu antusias kepada Velin.Velin mengangguk."Wah. Apa mereka memamerkan apa yang mereka capai selama lima tah
VELIN memarkir motornya di depan toko bunga. Setelahnya, masuk ke dalam untuk meletakkan keranjang bunga.Dengkusan kasar terdengar jelas keluar dari bibirnya. Ia sangat kesal mengingat kejadian mengesalkan yang menimpanya tadi. Bahkan ia menyesal karena bertemu dengan 2 makhluk aneh yang memiliki ikatan darah murni itu."Cih ... abang dan adik sama saja, sama-sama mengesalkan. Mereka benar-benar ditakdirkan menjadi saudara." Velin menggerutu seraya mengentakkan kakinya ke lantai."Dasar manusia aneh. Dia bilang apa? Kangen sama bibir seksinya? Hah? Yang benar saja. Yang ada di otak sekarang ini, aku ingin menendangnya hingga ke Kutub Utara, sampai ia lupa jalan pulang." Velin masih setia menggerutu bahkan tidak menyadari jika seorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya sedang memperhatikannya dengan saksama."Aku sumpahi enggak bakalan nemu perempuan yang cocok seumur hidup." Velin masih menggerutu. Dan lelaki yang sedari tadi berdiri tid
VELIN mendengkus berkali-kali lantaran terlalu bosan berada di tempat yang sama sekali tidak pernah ia datangi selama ini. Musik yang berdentum sangat keras membuat indra pendengarannya terasa berdengung. Belum lagi aroma alkohol yang menyengat di penciumannya. Tempat yang sangat buruk!Beberapa orang bahkan sudah terlena akan musik yang mengentak itu. Menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri. Berdempet atau lebih tepatnya saling menempel, lalu beraksi dengan cumbuan penuh gairah.Sial!Velin ingin sekali menendang Sean! Lelaki dengan tampang di atas rata-rata itu malah terlihat sangat menikmati setiap gerakan perempuan yang menjadi pasangannya di lantai dansa. Bergelayut manja di dada bidang Sean, bahkan dengan sangat jelas perempuan itu menghadiahi kecupan-kecupan kecil di dada itu.Dan Sean tidak protes! Mana mungkin protes jika lelaki itu menikmati? Lihat saja tangan nakalnya sudah masuk ke dalam gaun merah menyala yang panjangnya han
VELIN mengerjap pelan saat bias cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan mendera di penglihatannya. Sudah terlalu pagi! Velin meregangkan otot kakunya, ternyata tidur dengan posisi duduk menekuk membuat seluruh tulang dan sarafnya kaku.Sejenak, ia berjalan ke depan cermin panjang yang berdiri tegak di dekat lemari. Menatap wajahnya yang sungguh tidak baik-baik saja. Daripada disebut manusia, Velin malah lebih pantas disebut sebagai Zombi! Wajah sembab dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Rambut yang berantakan karena Velin terus menjambak tanpa henti ketika emosinya meluap mengingat Sean.Semua karena Sean! Lelaki itu benar-benar lebih mirip Iblis daripada manusia.Dari dulu, Sean adalah masalah yang tidak mampu Velin atasi dari hidupnya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan lelaki itu, sialnya ... Sean tetap berdiri kokoh di depannya.Entah alasan apa yang membuat Sean begitu semangat mengganggu dirinya?Suka? Tidak mungkin! Jika S