VELIN memarkir motornya di depan toko bunga. Setelahnya, masuk ke dalam untuk meletakkan keranjang bunga.
Dengkusan kasar terdengar jelas keluar dari bibirnya. Ia sangat kesal mengingat kejadian mengesalkan yang menimpanya tadi. Bahkan ia menyesal karena bertemu dengan 2 makhluk aneh yang memiliki ikatan darah murni itu.
"Cih ... abang dan adik sama saja, sama-sama mengesalkan. Mereka benar-benar ditakdirkan menjadi saudara." Velin menggerutu seraya mengentakkan kakinya ke lantai.
"Dasar manusia aneh. Dia bilang apa? Kangen sama bibir seksinya? Hah? Yang benar saja. Yang ada di otak sekarang ini, aku ingin menendangnya hingga ke Kutub Utara, sampai ia lupa jalan pulang." Velin masih setia menggerutu bahkan tidak menyadari jika seorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya sedang memperhatikannya dengan saksama.
"Aku sumpahi enggak bakalan nemu perempuan yang cocok seumur hidup." Velin masih menggerutu. Dan lelaki yang sedari tadi berdiri tidak jauh darinya mendekat.
"Kalau kamu terus menggerutu seperti itu, mungkin kamu bakalan tua sebelum waktunya."
Velin mengalihkan atensinya saat suara bariton menyapa rungunya.
"Mas Gafa enggak tahu saja sih gimana ribetnya pelanggan hari ini. Belum lagi ketemu sama orang berengsek yang sotoi minta dijitak kepalanya." Dengan nada sewot Velin sedikit curhat.
Laki-laki bernama Gafa itu tersenyum mendengar penuturan Velin. "Emang siapa yang berengsek? Mantan pacar?" goda Gafa. Lelaki itu lebih tertarik soal ketemu orang berengsek dari pada yang lain.
Velin mengerucut bibirnya. Kakinya ia entak beberapa kali ke lantai. "Aish ... Mas Gafa jahat banget, sih. Gimana punya mantan pacar kalau pacaran saja belum pernah." Velin kesal bukan main.
"Cantik begini kok belum pernah pacaran? Kok Mas enggak percaya, ya." Gafa menelisik wajah Velin dengan sangat saksama. "Enggak nemu kekurangan sama sekali," tukas Gafa lagi.
Velin semakin kesal. Kalimat Gafa benar-benar membuat mood-nya semakin kacau. Jika saja ia secantik yang dipikirkan Gafa mungkin dulu ia bakalan jadi kekasihnya Arga. Tapi nyatanya?
"Mas Gafa sebenarnya niat menghibur apa mengejek, sih? Aku kesal sama Mas Gafa." Velin menampilkan wajah tidak sukanya pada Gafa.
Ayolah, pembahasan awalnya bukan soal pacar, tapi soal seseorang yang berengsek.
"Maaf. Mas bukan maksud mengejek kok. Maaf, ya ...." Gafa mengacak rambut Velin dengan lembut. Spontan membuat Velin mengangguk.
Velin tidak pernah bisa marah terlalu lama kepada Gafa. Apalagi jika Gafa sudah mengusap rambutnya begitu lembut seperti tadi. Bagi Velin, usapan lembut itu seperti sebuah semangat baru dan seperti ungkapan cinta dalam diam. Velin sangat menyukai itu!
Sayangnya, Velin tidak bisa memiliki seseorang yang memperlakukannya dengan begitu lembut itu. Semua karyawan di toko bunga itu juga tahu jika Gafa sudah memiliki kekasih. Dan kekasih Gafa itu adalah Miska yang merupakan pemilik toko bunga tempat mereka bekerja.
Sakit? Tentu saja! Setiap hari Velin harus bertemu dengan Gafa dan Miska. Dan terkadang ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri saat Gafa dan Miska bercumbu di sembarangan tempat.
Luar biasa bukan?
"Vel, nanti malam temani Mas, ya." Velin sedikit tersentak saat suara Gafa kembali terdengar. Ia sempat melamun beberapa saat dan lamunannya itu lumayan melayang jauh.
"Ke mana?" Velin mendudukkan dirinya di bangku kosong. Tangannya sibuk mengikat rambutnya yang sempat berantakan karena ulah tangan Gafa.
"Ketemu sepupu Mas di kafe dekat sini," sahut Gafa. Ia kembali mengacak rambut Velin yang sudah rapi hingga kembali berantakan lagi.
Velin menatap Gafa horor. Ia lagi-lagi merapikan rambutnya. "Kenapa enggak minta ditemani sama Mbak Miska?" tanya Velin heran. Jelas heran, kekasih Gafa adalah Miska. Kenapa dirinya yang harus menemani Gafa?
Bukankah jika seperti itu, perasaan cinta seorang Velin kepada Gafa akan semakin tumbuh besar.
"Miska enggak bisa. Lagian Mas sudah minta izin kok sama Miska, dan dia setuju saja selagi itu sama kamu." Gafa menjelaskan. Ia memosisikan dirinya di samping Velin.
Velin mendengkus pasrah. "Oke. Jam berapa?"
"Jam tujuh tepat." Gafa tersenyum. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan lalu per sekian detik ia mengecup pipi Velin.
Velin mematung. Wajahnya mendadak memerah layaknya tomat dan jantungnya bahkan seperti berlomba dengan aliran darahnya.
Gafa membuatnya semakin jatuh dalam perangkap yang disebut cinta.
——
Velin mondar-mandir tidak menentu. Kadang duduk kadang berdiri. Kadang membuka pintu lalu menutup lagi. Bahkan Mili sampai pusing melihat tingkah aneh Velin. Berulang kali Mili menegur agar Velin diam dan menunggu saja, tetapi dasar Velin si keras kepala tidak mau mendengar sama sekali.
Sebenarnya, bukan sepenuhnya kemauan Velin bertingkah seperti itu. Ia hanya terlalu resah menunggu Gafa. Gafa berjanji akan menjemputnya jam 7 malam untuk bertemu dengan sepupu Gafa. Dan anehnya, hingga jam 9 malam, Gafa belum juga menunjukkan batang hidungnya. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi sama sekali.
Jika seperti ini, Velin kesal kepada Gafa. Bukankah sudah ia luangkan waktu untuk malam ini? Seandainya Gafa tidak memintanya, mungkin ia sudah tidur berdamai dalam mimpi indah.
"Sudahlah. Ini sudah jam sembilan. Mungkin janji sama sepupunya itu batal." Mili memberi nasihat sepintas.
"Tidak mungkin Mbak. Jika batal, pasti Mas Gafa menelepon." Velin masih setia menunggu.
"Masalahnya, ini sudah lewat dua jam dan batang hidung Gafa itu enggak tampak sama sekali. Dia niat mau ngajak kamu atau enggak, sih?" Mili kesal. Rasanya ia ingin sekali menendang tulang kering lelaki bernama Gafa itu jika ketemu.
Velin mendengkus. Apa yang dikatakan Mili ada benarnya. Ia sudah menunggu selama 2 jam, dan sampai sekarang Gafa tidak muncul. Namun, otak kecilnya mengabaikan semua itu. Baginya Gafa tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jika mengajak Velin keluar pasti akan selalu jadi.
Lalu malam ini?
Tidak lama kemudian ketukan terdengar di pintu membuat Velin spontan mendekat ke sana. Ia menampilkan senyum manisnya. Penantiannya tidak sia-sia. Gafa pasti datang meskipun terlambat, tapi itu tidak masalah sama sekali. Tangannya terulur membuka pintu dan matanya membulat sempurna saat orang yang berdiri di depan pintu bukalah Gafa.
"Hai, honey. Gue terharu pakai banget. Ternyata lo sangat mengharapkan kedatangan gue sampai berdandan secantik ini."
Ingin sekali Velin menimpuk kepala lelaki yang berada di depannya ini dengan apa saja. Bagaimana bisa Gafa yang ia harapkan datang malah Sean yang berdiri di depan pintu.
Tanpa menunggu lama, Velin menutup pintu tetapi Sean lebih cepat dari Velin. Ia bergerak layaknya vampir hingga tanpa Velin sadari Sean sudah berada di dalam flat mereka.
"Hai, gue Sean."
Mili yang sedang duduk seraya menatap layar televisi itu mengerutkan kening karena tiba-tiba Sean berdiri di depannya. Mengulurkan tangan dan memamerkan senyum begitu manis.
Mili salah tingkah. Ia menatap intens pada Sean yang nyatanya sangat mampu membuat siapa saja jatuh hati mendadak. Mili mengelap tangannya di baju sebelum menyambut uluran tangan Sean.
"Mili," tukas Mili sembari tersenyum. "Oh, kok kamu yang datang? Kamu sepupunya Gafa, ya?" Mili terlalu polos.
Kini giliran Sean yang mengerutkan keningnya. "Gafa? Gue enggak kenal."
Mili tersenyum kikuk. "Aku kira kamu kenal."
"Ngapain kamu ke sini?" Velin menarik tangan Sean agar menjauh dari Mili. Ia tidak ingin Sean menjadi parasit yang menggerogoti Mili nantinya.
Sean mencolek pipi Velin. "Ya Tuhan, masa lo lupa sih honey, gue 'kan ke sini mau jemput lo." Kedipan mata menggoda Sean menerpa Velin.
Bisakah Velin mengubur Sean hidup-hidup malam ini? Bagaimana bisa lelaki itu tidak berubah selama ini?
"Dari mana kamu tahu tempat tinggalku?"
Velin menghindar saat menyadari Sean hendak mencium pipinya.
"Lo enggak lupa siapa gue, 'kan?" tanya Sean. Senyum merekah indah di bibirnya.
Senyum itu menakutkan. Velin bahkan gemetaran saat ini. Aliran darahnya seolah berhenti berdetak. Jika Sean seperti ini, maka bisa di pastikan ia akan hidup dalam teror.
"Sekarang lo ikut gue keluar atau gue ngajak teman lo itu? Pilihan ada di tangan lo, sih. Kalau teman lo itu yang gua ajak, mungkin besok tinggal nama sama jasad saja yang pulang."
Velin tahu itu hanya ancaman Sean, tapi Velin tidak bisa mengabaikannya. Bukankah ancaman bisa jadi nyata jika terkesan diabaikan? Dan Velin ingin menghindari itu. Walaupun selama ini, Sean tidak pernah sampai mengakhiri nyawa seseorang.
"Baiklah." Velin pasrah.
Sean tersenyum penuh kemenangan. "Selamat datang di kehidupan Sean," bisiknya tepat di telinga Velin.
VELIN mendengkus berkali-kali lantaran terlalu bosan berada di tempat yang sama sekali tidak pernah ia datangi selama ini. Musik yang berdentum sangat keras membuat indra pendengarannya terasa berdengung. Belum lagi aroma alkohol yang menyengat di penciumannya. Tempat yang sangat buruk!Beberapa orang bahkan sudah terlena akan musik yang mengentak itu. Menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri. Berdempet atau lebih tepatnya saling menempel, lalu beraksi dengan cumbuan penuh gairah.Sial!Velin ingin sekali menendang Sean! Lelaki dengan tampang di atas rata-rata itu malah terlihat sangat menikmati setiap gerakan perempuan yang menjadi pasangannya di lantai dansa. Bergelayut manja di dada bidang Sean, bahkan dengan sangat jelas perempuan itu menghadiahi kecupan-kecupan kecil di dada itu.Dan Sean tidak protes! Mana mungkin protes jika lelaki itu menikmati? Lihat saja tangan nakalnya sudah masuk ke dalam gaun merah menyala yang panjangnya han
VELIN mengerjap pelan saat bias cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan mendera di penglihatannya. Sudah terlalu pagi! Velin meregangkan otot kakunya, ternyata tidur dengan posisi duduk menekuk membuat seluruh tulang dan sarafnya kaku.Sejenak, ia berjalan ke depan cermin panjang yang berdiri tegak di dekat lemari. Menatap wajahnya yang sungguh tidak baik-baik saja. Daripada disebut manusia, Velin malah lebih pantas disebut sebagai Zombi! Wajah sembab dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Rambut yang berantakan karena Velin terus menjambak tanpa henti ketika emosinya meluap mengingat Sean.Semua karena Sean! Lelaki itu benar-benar lebih mirip Iblis daripada manusia.Dari dulu, Sean adalah masalah yang tidak mampu Velin atasi dari hidupnya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan lelaki itu, sialnya ... Sean tetap berdiri kokoh di depannya.Entah alasan apa yang membuat Sean begitu semangat mengganggu dirinya?Suka? Tidak mungkin! Jika S
“Mencintaimu dalam diam adalah luka terindah!” –Velin Ashakira——SENYUM tipis tercetak jelas di bibir tipis Velin setelah berhasil memoles liptint. Sentuhan terakhir untuk menyempurnakan penampilannya yang sebenarnya sangat sederhana. Pakaian yang digunakan hanya kemeja kotak merah tua lengan panjang, sengaja digulung untuk mempermudah gerak. Dan celana jeans biru tua yang menutupi kaki jenjangnya.“Vel!”Velin mendengkus pelan saat ketukan keras dan teriakan menggema bersamaan dari luar kamar. Pelakunya tentu saja Mili, si perempuan yang kata orang-orang lebih mirip seperti kakak kandungnya.“Vel, sarapan.”Suara itu kembali terdengar. Velin tidak menyahut, justru lebih memilih berjalan ke pintu, sebelum itu, ia sempat meraih tas selempang berukuran sedang yang tergeletak di atas ranjang.“Kamu ... kerja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Mili saat kepala Velin menyembul dari celah pintu yang ter
“Benci dan cinta itu dua hal yang memiliki perbedaan tipis. Tanpa sadar, saat kamu membenci, tiba-tiba cinta telah terselip di antaranya.” –Hafiz Altariksyah——“KALAU tahu kayak gini jadinya, mending gue enggak ikut.” Seira melirik Sean yang tengah fokus menyetir. Pipinya sengaja digembungkan kemudian mendengkus kasar.Sean mengacak rambut Seira gemas. “Lo gemasin banget, sumpah. Kalau bukan adik, sudah gue awetkan terus gue letak di museum.”Seira menepis tangan Sean dari rambutnya. Kemudian menatap horor sekaligus menghadiahi satu pukulan kuat di lengan sang tertua.Hanya kekehan sebagai respons dari tindakan sang bungsu.“Sean, lo enggak boleh goda calon pacar gue kayak gitu.” Suara bariton yang lebih rendah terdengar di antara mereka. Pemilik suara itu adalah Hafiz, lelaki yang memiliki wajah seperti tokoh dalam animasi.Namun, sayan
Berhenti membuat luka untukku. Jika tidak, kamu akan melihatku mati dalam remuk!" –Velin Ashakira ——"MOCHA latte, satu ya, Mas." Velin tersenyum kepada kasir yang sedang menulis pesanannya."Siap." Sang kasir menjawab sembari memamerkan senyum sebagai balasan dari keindahan yang diberikan oleh Velin.Hanya butuh beberapa menit, dan mocha latte sudah berada di tangan Velin."Mbak, cantik. Kalau senyum, cantiknya tambah," goda kasir itu sembari mengembalikan sisa uang Velin.Velin mengangguk sembari berkata, "Terima kasih." Lantas meninggalkan kafe.Satu hal yang Velin tidak sadari. sejak tadi, ada seseorang yang duduk di sudut kafe sedang memperhatikan interaksi Velin dan sang kasir.Sean! Ya, orang itu adalah Sean.Rahang mengeras sempurna, bersamaan sorot mata yang memerah karena rasa marah dan cemburu bercampur menjadi satu.Lelaki itu ikut keluar, menyusul Velin yang
Jika tak sanggup memberi, setidaknya tetap berada di sisiku." – Sean Varza Nasution——HAFIZ menggeleng berulang kali, lantaran terlalu bosan melihat tingkah aneh seorang Sean. Sahabatnya itu benar-benar sudah gila! Sudah hampir 1 jam, lelaki yang memiliki pesona yang mampu membuat perempuan-perempuan di belahan dunia histeris, sedang tersenyum layaknya orang bodoh yang baru jatuh cinta.Kadang memukul kepalanya sendiri, lalu mengusap wajah frustrasi. Bahkan terkadang juga mengacak rambutnya sendiri.Rasanya, Hafiz ingin sekali menendang punggung itu agar kembali sadar.Oke, bukan untuk pertama kalinya Hafiz melihat Sean seperti itu. Namun, kali ini jauh lebih buruk. Dan penyebabnya adalah perempuan yang tengah tertidur nyenyak di sofa dengan mulut menganga.Tidak sempurna tetapi kecantikan yang terlihat natural.Velin Ashakira!Segaris senyum tertera di bibir Hafiz. Sepertinya, ia tahu kelemahan seorang
Bagaimana aku bertahan hidup, jika sandaranku telah menjadi asing?" –Velin Ashakira——VELIN menatap layar handphone yang menyala, menampilkan serial drama dari negara Korea Selatan. Park Seo Joon dan Park Min Young, si tampan dan si cantik yang membintangi drama 'What's Wrong With Secretary Kim'. Sebenarnya, Velin tidak sepenuhnya terfokus pada drama itu, sebab otaknya melayang pada kejadian siang di mana seorang iblis mengganggu ketenangannya.Bahkan pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat ulah lelaki yang sangat ia benci itu.Seandainya membunuh itu tidak berdosa dan tidak masuk penjara, mungkin Velin sudah menancapkan belati di perut Sean.Anehnya, meskipun pemikiran itu terlintas, Velin tidak berani mengambil tindakan lebih. Bukan hanya karena takut dosa atau takut masuk penjara, Sean itu mengerikan tanpa bisa diatasi.Seperti memiliki kelainan jiwa!"Kamu bisa menguras handphone
"Rasaku mendalam, meskipun kamu lerai dengan berbagai cara." –Sean Varza Nasution——VELIN mengerjap berkali-kali dari tidur nyenyaknya, lantaran bias cahaya mentari yang menyembul dari balik tirai jendela warna biru muda menusuk tepat pada netranya."Aish ...." Ia mengacak rambut kasar. Setahu dirinya, gorden itu telah tertutup hingga tak mampu memberi celah pada bias mentari yang menggilai pagi.Lalu?"Hai, Sayang. Sudah siang, bangun dong."Belum sepenuhnya mata terbuka, suara bariton menyapa tepat pada rungu.Mata menajam sepenuhnya, mengarah pada lelaki yang masih berdiri di dekat jendela. Tangannya begitu lihai merapikan gorden menjadi lebih rapi dan satu padu.Ternyata!Velin spontan terduduk di ranjang. Meremas selimut kuat hingga membuat buku-buku jari memutih. Bagaimana bisa manusia yang memiliki kelainan jiwa itu bisa berada di kamarnya?"Bangun, Honey! Lo sudah melewatkan
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas