“Mencintaimu dalam diam adalah luka terindah!” –Velin Ashakira
——
SENYUM tipis tercetak jelas di bibir tipis Velin setelah berhasil memoles liptint. Sentuhan terakhir untuk menyempurnakan penampilannya yang sebenarnya sangat sederhana. Pakaian yang digunakan hanya kemeja kotak merah tua lengan panjang, sengaja digulung untuk mempermudah gerak. Dan celana jeans biru tua yang menutupi kaki jenjangnya.
“Vel!”
Velin mendengkus pelan saat ketukan keras dan teriakan menggema bersamaan dari luar kamar. Pelakunya tentu saja Mili, si perempuan yang kata orang-orang lebih mirip seperti kakak kandungnya.
“Vel, sarapan.”
Suara itu kembali terdengar. Velin tidak menyahut, justru lebih memilih berjalan ke pintu, sebelum itu, ia sempat meraih tas selempang berukuran sedang yang tergeletak di atas ranjang.
“Kamu ... kerja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Mili saat kepala Velin menyembul dari celah pintu yang terbuka.
Hanya anggukan yang diberi Velin sebagai respons dari pertanyaan itu. Kemudian menggeser tubuh Mili ke samping dengan pelan agar ia bisa lewat.
“Kamu baik-baik saja?” Lagi, Mili sepertinya tidak puas hanya memberi satu pertanyaan kepada Velin. Bahkan ia terus mengekori hingga ke meja makan.
“Aku baik-baik saja, Mbak. Tidak perlu khawatir,” tukas Velin. Tangannya meraih mangkuk berisi bubur ayam yang sudah tertata di meja bundar itu.
Mili menghela napas pelan. “Bagaimana tidak khawatir? Kamu mengurung diri selama dua hari di kamar.”
Velin yang sibuk memakan buburnya hanya tersenyum tipis. Ia tahu, apa yang dikatakan Mili itu adalah sungguh-sungguh tanpa kebohongan.
“Apa sebenarnya yang terjadi?” Mili masih belum berhenti khawatir. Meskipun sendok sudah berada di tangan, dan bubur sudah di depan mata, Mili masih belum menyentuh sama sekali.
Terlalu berharga meluangkan waktu untuk berbicara daripada menikmati bubur sarapan pagi.
Dengan susah payah Velin menelan salivanya. Tatapan menunduk tidak berani mengarahkan pada Mili yang sudah setia menanti jawaban.
“Vel,” kata Mili lagi saat Velin masih terdiam.
Sejenak Velin menengadah. “Enggak terjadi apa-apa, Mbak. Percayalah.” matanya mengarah ke mangkuk bubur. Sedang tangannya sibuk mengaduk-aduk bubur itu menggunakan sendok.
Mili mengangguk. Sebesar apa pun keinginannya untuk bertanya, Velin belum tentu memberi jawaban.
“Makan yang banyak. Kamu butuh asupan untuk menghadapi hari yang keras,” celetuk Mili. Ia mencolek pipi Velin dengan gemas.
Dan kini giliran Velin yang mengangguk.
Persaudaraan tidak hanya terjalin karena hubungan darah, tetapi karena rasa sayang dan cinta. Orang asing pun akan menjadi saudara ketika Tuhan telah berkenan.
——
Jari-jari lentik itu sibuk menyusun bunga-bunga di atas keranjang, dan sesekali netra melirik buku kecil yang dijadikan catatan. Ini rutinitas yang dilakukan Velin setiap hari di tempat kerja. Sebesar apa pun kesedihannya, pekerjaan adalah tanggung jawab yang tidak boleh ia abaikan.
“Bagaimana? Sudah sesuai catatan?”
Velin mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Ela, teman kerjaannya yang membantunya menata bunga-bunga.
“Kamu langsung berangkat?” Ela kembali bertanya sebelum meninggalkan Velin yang sudah sangat siap berangkat mengantar bunga.
“Iya. Lebih cepat lebih baik, bukan?” Senyum tipis tertera jelas di bibir Velin. Tidak terlalu tulus, tapi setidaknya mampu menghilangkan rasa khawatir orang lain terhadapnya.
Velin menghentikan pergerakan tangannya memasang helm saat dering telepon terdengar dan memekakkan telinga. Segera merogoh saku celana dan meraih benda pipih berwarna hitam itu.
Nama Gafa tertera jelas di layar ponselnya. Velin mengernyitkan keningnya dan menatap ke arah pintu toko. Kenapa Gafa menelepon? Bukankah lelaki itu ada di dalam?
Masalah baru!
“Halo!” Velin dengan sangat malasnya melemparkan satu kata yang terkesan datar.
“Mas ingin bicara.”
“Bicara soal apa? Aku harus kerja!” tukas Velin, masih mempertahankan suara datarnya.
“Vel, ini soal dua hari yang lalu ... maaf.” Suara Gafa di seberang telepon terdengar sendu.
Velin mendengkus kasar. “Apa Mas Gafa ingin membicarakannya di telepon?” tanya Velin. Awalnya ia tidak ingin membahas apa pun yang akan mengingatkannya pada luka karena ulah Sean. Namun, ia ingin tahu alasan kenapa Gafa tidak datang malam itu.
“Kafe depan toko. Kita bicara di sana.”
“Baiklah.” Velin mematikan sambungan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Gafa.
Cairan kristal dari netra itu meluncur tanpa bisa ia bendung. Sepertinya luka akan terkoyak lagi. Apa jatuh dan cinta itu tidak bisa satu padu? Setidaknya dengan begitu, ia tidak akan terlalu menderita!
——
Sudah terlalu lama keduanya terdiam, bahkan sarapan telah tandas habis di atas piring. Tidak ada yang memulai pembicaraan, mungkin tepatnya Gafa terlalu ragu untuk berucap, meskipun sejuta kata telah menumpuk dan berdesakan di bibirnya. Sedang Velin, ia memang sengaja diam, dan menunggu Gafa untuk menjelaskan alasan di balik tidak datangnya lelaki itu.
Velin melirik jam di ponselnya. Mereka sudah lebih 10 menit di kafe itu, dan rasa bosan telah menggerogoti tubuhnya.
“Jika Mas Gafa tidak berniat mengatakan sesuatu, aku akan pergi. Pekerjaan menunggu.” Velin berdiri dari duduknya. Tas selempang kecil miliknya sudah menggantung di pundak.
“Tunggu!” Dengan cepat Gafa meraih tangan Velin membuat perempuan itu kembali duduk. Tidak mungkin ia membiarkan Velin pergi begitu saja, sedang dirinya belum menjelaskan perihal tentang tidak datangnya menjemput Velin tadi malam.
Mata indah milik Velin beradu pada mata elang Gafa. Untuk waktu yang lama ia terhipnotis hingga lupa jika dirinya sedang kesal terhadap Gafa.
“Mas khawatir. Kamu tidak bekerja selama dua hari. Ada apa? Apa karena malam itu mas tidak datang?” Gafa menatap intens wajah Velin.
Velin hanya diam tanpa menyahut.
“Mas benar-benar minta maaf. Miska tiba-tiba menelepon, orang tuanya meminta datang untuk makam malam.” Gafa berucap lancar.
Hati kecil nan rapuh milik Velin seolah hancur dalam sesaat. Sial! Terlalu egois!
“Tidak apa-apa, Mas. Tidak perlu minta maaf. Aku tidak punya hak untuk itu. Tapi setidaknya beri kabar! Karena keegoisan Mas, aku hampir ....“ Velin menggigit bibirnya kuat. Hampir saja ia keceplosan tentang kejadian yang menimpanya di diskotek waktu itu.
Tidak! Gafa tidak boleh tahu soal itu. Velin akan menyembunyikan secara rapat.
Gafa mengernyitkan keningnya saat kalimat Velin menggantung. Demi apa pun lelaki itu sungguh penasaran.
“Hampir apa?” tanya Gafa. Menggenggam tangan Velin kuat.
Velin menggeleng. “Lupakan saja.” Tangan mengibas di depan wajah sendiri. “Sebaiknya Mas kembali ke toko. Aku juga harus mengantar bunga. Tidak baik menunda terlalu lama.” Velin menampilkan senyum manisnya. Percayalah, senyum itu malah terkesan menyedihkan.
“Kamu bisa menerimanya?” tanya Gafa sebelum keluar dari kafe.
“Menerima soal apa?” Velin menatap fokus pada Gafa.
“Alasan yang mas berikan.”
Velin menepuk pundak Gafa pelan. Senyumnya masih belum luntur. “Aku enggak punya hak untuk marah atau menolak alasan itu. Mbak Miska adalah tunangan, Mas. Sedang aku? Aku cuma rekan kerja.”
Velin berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban Gafa lagi. Ia sengaja mempercepat langkahnya agar Gafa tidak melihat bulir air mata yang jatuh di pipinya.
Ada rasa sakit yang tidak bisa ia ungkap untuk saat ini. Tentang perasaannya terhadap orang yang telah menjadi milik orang lain.
Egois, bukan!
“Benci dan cinta itu dua hal yang memiliki perbedaan tipis. Tanpa sadar, saat kamu membenci, tiba-tiba cinta telah terselip di antaranya.” –Hafiz Altariksyah——“KALAU tahu kayak gini jadinya, mending gue enggak ikut.” Seira melirik Sean yang tengah fokus menyetir. Pipinya sengaja digembungkan kemudian mendengkus kasar.Sean mengacak rambut Seira gemas. “Lo gemasin banget, sumpah. Kalau bukan adik, sudah gue awetkan terus gue letak di museum.”Seira menepis tangan Sean dari rambutnya. Kemudian menatap horor sekaligus menghadiahi satu pukulan kuat di lengan sang tertua.Hanya kekehan sebagai respons dari tindakan sang bungsu.“Sean, lo enggak boleh goda calon pacar gue kayak gitu.” Suara bariton yang lebih rendah terdengar di antara mereka. Pemilik suara itu adalah Hafiz, lelaki yang memiliki wajah seperti tokoh dalam animasi.Namun, sayan
Berhenti membuat luka untukku. Jika tidak, kamu akan melihatku mati dalam remuk!" –Velin Ashakira ——"MOCHA latte, satu ya, Mas." Velin tersenyum kepada kasir yang sedang menulis pesanannya."Siap." Sang kasir menjawab sembari memamerkan senyum sebagai balasan dari keindahan yang diberikan oleh Velin.Hanya butuh beberapa menit, dan mocha latte sudah berada di tangan Velin."Mbak, cantik. Kalau senyum, cantiknya tambah," goda kasir itu sembari mengembalikan sisa uang Velin.Velin mengangguk sembari berkata, "Terima kasih." Lantas meninggalkan kafe.Satu hal yang Velin tidak sadari. sejak tadi, ada seseorang yang duduk di sudut kafe sedang memperhatikan interaksi Velin dan sang kasir.Sean! Ya, orang itu adalah Sean.Rahang mengeras sempurna, bersamaan sorot mata yang memerah karena rasa marah dan cemburu bercampur menjadi satu.Lelaki itu ikut keluar, menyusul Velin yang
Jika tak sanggup memberi, setidaknya tetap berada di sisiku." – Sean Varza Nasution——HAFIZ menggeleng berulang kali, lantaran terlalu bosan melihat tingkah aneh seorang Sean. Sahabatnya itu benar-benar sudah gila! Sudah hampir 1 jam, lelaki yang memiliki pesona yang mampu membuat perempuan-perempuan di belahan dunia histeris, sedang tersenyum layaknya orang bodoh yang baru jatuh cinta.Kadang memukul kepalanya sendiri, lalu mengusap wajah frustrasi. Bahkan terkadang juga mengacak rambutnya sendiri.Rasanya, Hafiz ingin sekali menendang punggung itu agar kembali sadar.Oke, bukan untuk pertama kalinya Hafiz melihat Sean seperti itu. Namun, kali ini jauh lebih buruk. Dan penyebabnya adalah perempuan yang tengah tertidur nyenyak di sofa dengan mulut menganga.Tidak sempurna tetapi kecantikan yang terlihat natural.Velin Ashakira!Segaris senyum tertera di bibir Hafiz. Sepertinya, ia tahu kelemahan seorang
Bagaimana aku bertahan hidup, jika sandaranku telah menjadi asing?" –Velin Ashakira——VELIN menatap layar handphone yang menyala, menampilkan serial drama dari negara Korea Selatan. Park Seo Joon dan Park Min Young, si tampan dan si cantik yang membintangi drama 'What's Wrong With Secretary Kim'. Sebenarnya, Velin tidak sepenuhnya terfokus pada drama itu, sebab otaknya melayang pada kejadian siang di mana seorang iblis mengganggu ketenangannya.Bahkan pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat ulah lelaki yang sangat ia benci itu.Seandainya membunuh itu tidak berdosa dan tidak masuk penjara, mungkin Velin sudah menancapkan belati di perut Sean.Anehnya, meskipun pemikiran itu terlintas, Velin tidak berani mengambil tindakan lebih. Bukan hanya karena takut dosa atau takut masuk penjara, Sean itu mengerikan tanpa bisa diatasi.Seperti memiliki kelainan jiwa!"Kamu bisa menguras handphone
"Rasaku mendalam, meskipun kamu lerai dengan berbagai cara." –Sean Varza Nasution——VELIN mengerjap berkali-kali dari tidur nyenyaknya, lantaran bias cahaya mentari yang menyembul dari balik tirai jendela warna biru muda menusuk tepat pada netranya."Aish ...." Ia mengacak rambut kasar. Setahu dirinya, gorden itu telah tertutup hingga tak mampu memberi celah pada bias mentari yang menggilai pagi.Lalu?"Hai, Sayang. Sudah siang, bangun dong."Belum sepenuhnya mata terbuka, suara bariton menyapa tepat pada rungu.Mata menajam sepenuhnya, mengarah pada lelaki yang masih berdiri di dekat jendela. Tangannya begitu lihai merapikan gorden menjadi lebih rapi dan satu padu.Ternyata!Velin spontan terduduk di ranjang. Meremas selimut kuat hingga membuat buku-buku jari memutih. Bagaimana bisa manusia yang memiliki kelainan jiwa itu bisa berada di kamarnya?"Bangun, Honey! Lo sudah melewatkan
"Ketika takdir berputar pada satu poros, haruskah aku menyesalinya atau menghakiminya?"–Velin Ashakira ——MATA indah itu mengerjap pelan, dan sejurus kemudian terbuka lebar. Hal pertama yang disaksikan adalah langit-langit kamar serba putih dan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman.Rumah sakit! Itu yang terlintas di pikirannya.Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia benci tempat yang selalu mengingatkan dirinya pada kenangan buruk.Dengan tergesa, dia melepaskan jarum infus dari pergelangan tangan."Aw ...." Sedikit memekik karena sakit dan setetes darah mengalir dari sana.Namun, Velin tidak peduli, memilih menyingkap selimut dan berjalan menuju pintu.Tangan sudah berada di kenop, bersiap membuka, tetapi terurungkan karena seseorang dari luar terlebih dahulu membuka pintu itu."Kamu sudah sadar? Kenapa infusnya dilepas?" Gafa melemparkan pertanyaan secara beruntun kepada Velin, membuat perempuan c
"Setiap benci yang tercipta, ada satu alasan yang mendalam." –Author ‘Velin-Sean’(Ayne Kim)——Velin kira semuanya akan baik-baik saja setelah ia melepas Gafa. Ia pikir semua akan setenang biasanya setelah menenggelamkan diri di kehidupan Sean. Nyatanya ia malah semakin terjebak dan mungkin akan merangkak untuk keluar dari sana, jika ia tak mati terendam oleh tumpukan lara.Siapa yang hendak Velin salahkan?Keputusan bodoh yang ia ambil saat emosi membuatnya tidak mampu bergerak sedikit pun. Kakinya seolah terantai besi yang panas. Dan semakin lama akan membekas, tanpa mampu ia hilangkan!Dan manusia bisa berubah menjadi iblis. Lalu, iblis yang terobsesi akan menjadi parasit yang menggerogoti makhluk lain.Ya, itulah Sean.Velin menyesal karena langkah yang ia ambil tidak tepat sama sekali. Imajinasinya telah dikalahkan oleh Realita."Gimana, Dok? Harus dirawat?" Sean melempar pertanyaan pada Dokter yang sedang memeriksa kondi
“Ayah! Ibu! Selamatkan mereka! Aku mohon!”Sean mengelus pucuk kepala Velin lembut saat kekasihnya itu mengigau dalam tidur. Sean tahu, ada satu luka yang tak mampu diobati oleh siapa pun, bahkan dirinya sendiri.“Ayah!” Bulir air mata jatuh. Sean dengan sigap menghapus tanpa membuat pergerakan lebih yang mengganggu tidur perempuan yang telah mengalihkan dunianya itu.Kening Sean mengernyit saat jari-jari lentik Velin meremas selimut begitu kuat. Sean bertanya-tanya, apa mimpi yang sedang dialami Velin begitu mengerikan? Apa kehilangan yang dirasakan Velin seperti yang ia rasakan, dulu?“Vel.” Sean mengelus pipi lembut itu. Berharap sang pemimpi segera terbangun. Sean tidak ingin Velin melanjutkan mimpi buruk itu!Kehilangan adalah sesuatu yang menguras kinerja otak hingga membuat air mata tumpah.“Vel.” Sekali lagi, Sean membangunkan Velin. Tangannya kini menepuk pelan pipi mulus itu.Dan berhasil. Velin terbangun!“