“Benci dan cinta itu dua hal yang memiliki perbedaan tipis. Tanpa sadar, saat kamu membenci, tiba-tiba cinta telah terselip di antaranya.” –Hafiz Altariksyah
——
“KALAU tahu kayak gini jadinya, mending gue enggak ikut.” Seira melirik Sean yang tengah fokus menyetir. Pipinya sengaja digembungkan kemudian mendengkus kasar.
Sean mengacak rambut Seira gemas. “Lo gemasin banget, sumpah. Kalau bukan adik, sudah gue awetkan terus gue letak di museum.”
Seira menepis tangan Sean dari rambutnya. Kemudian menatap horor sekaligus menghadiahi satu pukulan kuat di lengan sang tertua.
Hanya kekehan sebagai respons dari tindakan sang bungsu.
“Sean, lo enggak boleh goda calon pacar gue kayak gitu.” Suara bariton yang lebih rendah terdengar di antara mereka. Pemilik suara itu adalah Hafiz, lelaki yang memiliki wajah seperti tokoh dalam animasi.
Namun, sayangnya, Seira sangat membenci Hafiz!
“Lo diam! Jangan sampai mulut lo gue koyak!” peringat Seira, kemudian bersedekap.
Ia kesal pada Sean dan benci pada Hafiz. Niat untuk menonton hilang begitu saja, sejak Hafiz masuk ke mobil.
“Sei, lo enggak boleh benci sama gue terlalu dalam, karena lo bisa saja jatuh cinta sama gue suatu saat dan sangat dalam.” Hafiz menaik turunkan alisnya secara bersamaan, menggoda Seira yang masih setia memasang wajah datar.
Sean hanya tersenyum tipis menanggapi interaksi Seira dan Hafiz. Tidak ingin ikut campur lebih, karena ia tahu, keduanya mampu mengatasi masalah yang terjadi.
“Abang, gue mau pulang. Turunkan gue di depan!” pinta Seira.
Sean mengangguk. Tidak ada yang bisa ia lakukan jika bungsu sudah memberi titah. Sehebat apa pun ia memaksa dan mengekang orang lain, itu tidak akan berlaku kepada Seira. Adiknya punya senjata ampuh untuk melumpuhkan dirinya.
“Lain kali, kalau mau ngajak gue jalan, si Alien itu jangan diajak. Muak gue!” saran Seira setelah keluar dari mobil. Kemudian membanting pintu kuat hingga membuat Sean dan Hafiz terkejut mendadak.
“Adik lo mirip singa betina,” ucap Hafiz refleks.
Sean melirik Hafiz di bangku penumpang. “Elo sih, cari masalah mulu sama Seira. Lo tahu ‘kan, itu anak gimana sifatnya?”
Hafiz mengangguk. Lantas pindah ke samping Sean. “Tapi jujur, gue cinta dia yang seperti itu.”
Kekehan terdengar dari mulut Sean. “Lo suka apa dari Seira, sih? Dia itu dingin kayak kulkas. Enggak kayak gue, ramah dan menyenangkan.” Menaikkan sudut bibirnya begitu tipis.
Hafiz bergidik ngeri. “Sial! Gue masih normal, Monyet. Gue masih suka tempe bukan terung.”
Kening Sean mengerut namun detik berikutnya ia tertawa. Kalimat Hafiz barusan terasa menggelitik perutnya.
“Kalau pun gue gay, ogah gue jalin hubungan sama lo! Gue bingung menentukan siapa uke dan seme di antara kita. Enggak mungkin gue, ‘kan? Dan gue yakin, lo juga enggak bakalan mau jadi uke.” canda Sean. Tawanya masih menggema
di dalam mobil, dan itu membuat Hafiz cemberut layaknya seorang perempuan yang sedang datang bulan.
“Sialan lo!”
——
Kaki mungil itu berlari menyelusuri jalan setapak yang semakin lama semakin digenangi air hujan. Sepatu kets warna biru tua itu tak bisa terselamatkan dari genangan air karena Velin berlari cukup kencang. Rambut ekor kudanya bergoyang sana-sini mengikuti irama langkah kakinya.
Untuk hari ini, ia terlalu sial! Motornya yang selalu setia menemaninya tiba-tiba saja sakit dan harus di rawat di bengkel terdekat. Dan lebih parah, tak satu pun yang meminjamkan motor kepadanya. Padahal karyawan di toko bunga tempatnya bekerja bukan hanya dirinya. Ada sekitar 4 orang dan ditambah dirinya menjadi 5 orang.
Dengan terpaksa ia mengantar bunga dengan menggunakan angkutan umum. Sangat ribet! Tadinya, Miska menawarkan untuk membawa mobil, tapi ... helo, Velin tidak bisa membawa benda yang mampu mengirimnya ke rumah sakit itu dalam hitungan detik.
Lupakan saja!
Velin meneduh di emperan toko terdekat. Ada sekitar 7 orang yang meneduh jika Velin tidak salah hitung. Menepuk pelan rambut dan pakaiannya yang basah akibat guyuran hujan.
Dan refleks Velin menoleh ke samping kiri saat sebuah jaket tiba-tiba mendarat di tubuhnya.
Velin melotot seakan bola matanya melompat keluar, dan menghempaskan jaket itu dari tubuhnya saat tahu siapa lelaki yang berani menyampirkan kain hangat itu padanya. Sean!
Lagi-lagi lelaki itu.
“Lo butuh itu.” Sean kembali memasang jaket itu ke tubuh Velin dan lagi Velin menolak.
“Aku lebih baik kedinginan dari pada memakai jaket kamu.”
Sean tidak akan terpancing. Ia tahu bahkan sangat tahu bagaimana sifat seorang Velin. Meskipun dalam suasana marah jika diberi sedikit ancaman maka amarah itu akan mereda sendiri.
“Tapi gue enggak bisa membiarkan lo mati sebelum gue puas bermain. Seandainya lo mati, itu harus di tangan gue.” Senyum Sean terpatri indah di bibir.
Velin merinding melihat itu. “Dasar psikopat!” pekiknya kuat. Tidak peduli jika beberapa pasang mata menatap aneh ke arah mereka.
“Gue suka gelar itu. Gelar yang selalu lo sematkan ke gue dari dulu.”
“Sakit jiwa!”
Velin berlari menembus hujan. Tidak peduli jika ia terguyur hujan. Tidak peduli jika nantinya ia akan demam atau flu. Menghindari Sean jauh lebih diutamakan dari pada yang lain.
Pulang ke flat adalah tujuan yang lebih baik. Pekerjaan? Ia bisa meminta izin pada Miska melalui telepon nantinya. Karena percuma jika ia kembali ke toko, pakaiannya tidak menjamin itu.
Setidaknya ada rasa lega dalam hati, karena bunga telah diantar dengan sempurna olehnya. Jadi, beristirahat untuk sementara tidak apa, bukan?
——
Klakson terdengar dari mobil sport warna merah yang berhenti di depan Sean. Kepala Hafiz menyembul keluar setelah jendela kaca berhasil turun.
“Woi, lo gila! Main lari saja. Lo kata kita sedang syuting adegan film bollywood?” keluh Hafiz.
Sean tersenyum geli sambil membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. “Ya, seperti itu. Tapi sayangnya, bukan lo yang jadi pemeran ceweknya.”
“Jangan mulai Sean. Sumpah, rasanya gue pengin tendang bagian bawah lo itu. Biar impoten sekalian.” Hafiz berlagak seolah akan menendang bagian bawah Sean.
Sean refleks menutup bagian bawahnya dengan kedua telapak tangan. “Lo kira-kira kalau kasih ancaman! Kalau barang gue mati, Velin gue apa kabar?”
Hafiz mendelik kesal. Dia pikir, hanya dirinya yang gila karena mengejar Seira selama ini. Tapi ternyata ada yang lebih gila darinya.
Sean!
Berhenti membuat luka untukku. Jika tidak, kamu akan melihatku mati dalam remuk!" –Velin Ashakira ——"MOCHA latte, satu ya, Mas." Velin tersenyum kepada kasir yang sedang menulis pesanannya."Siap." Sang kasir menjawab sembari memamerkan senyum sebagai balasan dari keindahan yang diberikan oleh Velin.Hanya butuh beberapa menit, dan mocha latte sudah berada di tangan Velin."Mbak, cantik. Kalau senyum, cantiknya tambah," goda kasir itu sembari mengembalikan sisa uang Velin.Velin mengangguk sembari berkata, "Terima kasih." Lantas meninggalkan kafe.Satu hal yang Velin tidak sadari. sejak tadi, ada seseorang yang duduk di sudut kafe sedang memperhatikan interaksi Velin dan sang kasir.Sean! Ya, orang itu adalah Sean.Rahang mengeras sempurna, bersamaan sorot mata yang memerah karena rasa marah dan cemburu bercampur menjadi satu.Lelaki itu ikut keluar, menyusul Velin yang
Jika tak sanggup memberi, setidaknya tetap berada di sisiku." – Sean Varza Nasution——HAFIZ menggeleng berulang kali, lantaran terlalu bosan melihat tingkah aneh seorang Sean. Sahabatnya itu benar-benar sudah gila! Sudah hampir 1 jam, lelaki yang memiliki pesona yang mampu membuat perempuan-perempuan di belahan dunia histeris, sedang tersenyum layaknya orang bodoh yang baru jatuh cinta.Kadang memukul kepalanya sendiri, lalu mengusap wajah frustrasi. Bahkan terkadang juga mengacak rambutnya sendiri.Rasanya, Hafiz ingin sekali menendang punggung itu agar kembali sadar.Oke, bukan untuk pertama kalinya Hafiz melihat Sean seperti itu. Namun, kali ini jauh lebih buruk. Dan penyebabnya adalah perempuan yang tengah tertidur nyenyak di sofa dengan mulut menganga.Tidak sempurna tetapi kecantikan yang terlihat natural.Velin Ashakira!Segaris senyum tertera di bibir Hafiz. Sepertinya, ia tahu kelemahan seorang
Bagaimana aku bertahan hidup, jika sandaranku telah menjadi asing?" –Velin Ashakira——VELIN menatap layar handphone yang menyala, menampilkan serial drama dari negara Korea Selatan. Park Seo Joon dan Park Min Young, si tampan dan si cantik yang membintangi drama 'What's Wrong With Secretary Kim'. Sebenarnya, Velin tidak sepenuhnya terfokus pada drama itu, sebab otaknya melayang pada kejadian siang di mana seorang iblis mengganggu ketenangannya.Bahkan pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat ulah lelaki yang sangat ia benci itu.Seandainya membunuh itu tidak berdosa dan tidak masuk penjara, mungkin Velin sudah menancapkan belati di perut Sean.Anehnya, meskipun pemikiran itu terlintas, Velin tidak berani mengambil tindakan lebih. Bukan hanya karena takut dosa atau takut masuk penjara, Sean itu mengerikan tanpa bisa diatasi.Seperti memiliki kelainan jiwa!"Kamu bisa menguras handphone
"Rasaku mendalam, meskipun kamu lerai dengan berbagai cara." –Sean Varza Nasution——VELIN mengerjap berkali-kali dari tidur nyenyaknya, lantaran bias cahaya mentari yang menyembul dari balik tirai jendela warna biru muda menusuk tepat pada netranya."Aish ...." Ia mengacak rambut kasar. Setahu dirinya, gorden itu telah tertutup hingga tak mampu memberi celah pada bias mentari yang menggilai pagi.Lalu?"Hai, Sayang. Sudah siang, bangun dong."Belum sepenuhnya mata terbuka, suara bariton menyapa tepat pada rungu.Mata menajam sepenuhnya, mengarah pada lelaki yang masih berdiri di dekat jendela. Tangannya begitu lihai merapikan gorden menjadi lebih rapi dan satu padu.Ternyata!Velin spontan terduduk di ranjang. Meremas selimut kuat hingga membuat buku-buku jari memutih. Bagaimana bisa manusia yang memiliki kelainan jiwa itu bisa berada di kamarnya?"Bangun, Honey! Lo sudah melewatkan
"Ketika takdir berputar pada satu poros, haruskah aku menyesalinya atau menghakiminya?"–Velin Ashakira ——MATA indah itu mengerjap pelan, dan sejurus kemudian terbuka lebar. Hal pertama yang disaksikan adalah langit-langit kamar serba putih dan bau obat-obatan yang menusuk indra penciuman.Rumah sakit! Itu yang terlintas di pikirannya.Seketika bulu kuduknya berdiri. Ia benci tempat yang selalu mengingatkan dirinya pada kenangan buruk.Dengan tergesa, dia melepaskan jarum infus dari pergelangan tangan."Aw ...." Sedikit memekik karena sakit dan setetes darah mengalir dari sana.Namun, Velin tidak peduli, memilih menyingkap selimut dan berjalan menuju pintu.Tangan sudah berada di kenop, bersiap membuka, tetapi terurungkan karena seseorang dari luar terlebih dahulu membuka pintu itu."Kamu sudah sadar? Kenapa infusnya dilepas?" Gafa melemparkan pertanyaan secara beruntun kepada Velin, membuat perempuan c
"Setiap benci yang tercipta, ada satu alasan yang mendalam." –Author ‘Velin-Sean’(Ayne Kim)——Velin kira semuanya akan baik-baik saja setelah ia melepas Gafa. Ia pikir semua akan setenang biasanya setelah menenggelamkan diri di kehidupan Sean. Nyatanya ia malah semakin terjebak dan mungkin akan merangkak untuk keluar dari sana, jika ia tak mati terendam oleh tumpukan lara.Siapa yang hendak Velin salahkan?Keputusan bodoh yang ia ambil saat emosi membuatnya tidak mampu bergerak sedikit pun. Kakinya seolah terantai besi yang panas. Dan semakin lama akan membekas, tanpa mampu ia hilangkan!Dan manusia bisa berubah menjadi iblis. Lalu, iblis yang terobsesi akan menjadi parasit yang menggerogoti makhluk lain.Ya, itulah Sean.Velin menyesal karena langkah yang ia ambil tidak tepat sama sekali. Imajinasinya telah dikalahkan oleh Realita."Gimana, Dok? Harus dirawat?" Sean melempar pertanyaan pada Dokter yang sedang memeriksa kondi
“Ayah! Ibu! Selamatkan mereka! Aku mohon!”Sean mengelus pucuk kepala Velin lembut saat kekasihnya itu mengigau dalam tidur. Sean tahu, ada satu luka yang tak mampu diobati oleh siapa pun, bahkan dirinya sendiri.“Ayah!” Bulir air mata jatuh. Sean dengan sigap menghapus tanpa membuat pergerakan lebih yang mengganggu tidur perempuan yang telah mengalihkan dunianya itu.Kening Sean mengernyit saat jari-jari lentik Velin meremas selimut begitu kuat. Sean bertanya-tanya, apa mimpi yang sedang dialami Velin begitu mengerikan? Apa kehilangan yang dirasakan Velin seperti yang ia rasakan, dulu?“Vel.” Sean mengelus pipi lembut itu. Berharap sang pemimpi segera terbangun. Sean tidak ingin Velin melanjutkan mimpi buruk itu!Kehilangan adalah sesuatu yang menguras kinerja otak hingga membuat air mata tumpah.“Vel.” Sekali lagi, Sean membangunkan Velin. Tangannya kini menepuk pelan pipi mulus itu.Dan berhasil. Velin terbangun!“
"Jika Tuhan membiarkanku kembali pada masa lalu, aku akan memilih tidak mengenalmu!"— Velin Ashakira——Ketika Tuhan telah menempatkan takdir di titik terendah. Manusia hanya bisa menerima dan belajar untuk memperbaiki diri. Jika tidak sanggup bertahan, pilihan terburuk akan menjadi akhir dari semuanya.Namun, seburuk apa pun takdir, Tuhan tidak akan memorak-porandakan begitu saja hidup hambanya. Karena ada kalanya di balik tangis dan derita, ada sejuta tawa yang menunggu.Dan Velin selalu percaya, setiap langkah yang ia ambil, Tuhan selalu menyertainya. Tidak peduli jika itu bahkan mampu membuat dirinya dirundung pilu sepanjang masa.****Velin mendorong pintu kaca swalayan, berlenggok-lenggok masuk. Tujuannya cuma satu, mencari ramen di deretan rak mi instan.“Wah!” Binar bahagia terlihat jelas di mata Velin saat deretan mi ramen tersusun rapi di rak. Rasa lapar mendadak menderanya, ramen itu seolah melamba
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas