BAGAIMANA reunimu tadi malam? Berjalan lancar?"
Velin yang duduk di depan meja bundar beralas bantal kecil tidak menyahut sama sekali saat Mili-teman sekamarnya itu melemparkan pertanyaan tentang reuni yang ia datangi tadi malam. Velin terlalu malas untuk membahas, mengingat tentang reuni yang kembali membawanya dalam kisah luka masa lalu.
"Yak, pelan-pelan makannya. Tidak akan ada yang mengejarmu." Mili memukul kepala Velin menggunakan sendok makan. Tidak terlalu keras, tapi mampu membuat Velin melotot kepada Mili. Sedang Mili, perempuan berkacamata itu hanya tersenyum.
"Aish ... sial! Jangan menanyakan itu lagi, Mbak," pinta Velin dengan mimik memohon. Ia ingin melupakan apa pun yang berkaitan dengan reuni. Melupakan Arga, Sean dan yang lainnya.
"Kenapa? Burukkah?" Mili mengunyah sarapannya santai, tapi matanya begitu antusias kepada Velin.
Velin mengangguk.
"Wah. Apa mereka memamerkan apa yang mereka capai selama lima tahun terakhir?"
Lagi-lagi Velin mengangguk.
"Amazing." Mili terkekeh. Bukan menertawakan penderitaan Velin melainkan menertawakan kehidupan kejam yang menimpa mereka. Mili dan Velin tidak jauh berbeda. Mereka terlahir dari kehidupan yang pas-pasan. "Itu alasan kenapa aku tidak pernah mau menghadiri acara yang berkaitan dengan sekolah. Apa pun itu."
Velin mendengkus kasar. "Bukan hanya itu, Mbak, dua lelaki paling berengsek yang pernah aku kenal kembali lagi.”
"What?" Mili berteriak. Tangannya yang memegang sendok yang masih berisi nasi goreng itu menggantung di udara.
"Mereka mendatangkan bahaya masing-masing. Aish ... seharusnya aku tidak menghadiri reuni sialan itu." Velin menggulingkan tubuhnya ke lantai seperti anak kecil yang sedang protes kepada orang tuanya karena tidak dibelikan permen.
"Yak ... yak ... berhenti bertingkah seperti anak kecil. Ingat umur," protes Mili. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyum tipis. "Cepat habiskan sarapanmu. Setelah itu berangkat kerja."
"Ya." Velin kembali membetulkan duduknya. Tanpa protes kembali mengunyah sarapannya yang tertunda meskipun dengan wajah kesal.
"Anak pintar." Mili mengacak rambut Velin. Ia gemas melihat tingkah kekanak-kanakan yang dimiliki oleh teman sekamarnya itu.
Bolehkah Mili mengawetkannya? Velin terlalu imut meskipun kadang memasang dinding kokoh pada irang asing.
Velin tidak menyahut. Ia memilih menghabiskan sarapannya dan segera berangkat kerja.
——
Velin tersenyum ramah kepada siswi berseragam SMA yang berdiri di depan pintu, mencoba memberi layanan terbaik dari toko bunga 'Beautiful Flower' tempatnya bekerja. Sehingga langganan akan semakin bertambah. Dengan begitu semakin banyak bonus menanti dirinya dan siap masuk ke saku celana. Dan jika ia mendapatkan bonus lebih, ia ingin mentraktir Mili makan sepuasnya di restoran terbaik di kota Jakarta ini.
"Gue enggak memesan bunga sama sekali. Lo mungkin salah alamat." Siswi SMA itu berucap dengan nada dingin. Jelas sekali tidak ada kesempatan memberi waktu untuk orang lain berlama-lam di depannya.
Sombong? Mungkin! Atau memang angkuh! Ah, mungkin juga sudah menjadi sifat siswi itu.
Velin mengernyit keningnya bingung. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan catatan kecil yang isinya adalah nama-nama beserta alamat tempat ia akan mengantar beberapa bunga.
"Seira Virza Nasution, 'kan?" Velin masih menatap kertas kecil itu.
Siswi SMA itu mengangguk.
"Nah, nama dan alamatnya sama. Mana mungkin salah alamat," tukas Velin. Ia menyodorkan bunga mawar merah yang terbungkus rapi kepada Seira.
Seira hanya menatap tidak tertarik pada bunga mawar cantik itu. "Gue enggak tertarik sama sekali."
Velin menghela napas pelan."Jadi?"
Siswi SMA itu menaikkan sudut bibirnya. "Setidaknya lo bisa kasih tahu ke gue siapa yang ngirim bunga itu."
Velin masih mencoba ramah meskipun hatinya mendidih melihat tingkah mengesalkan bocah SMA di depannya itu.
"Di sini tertulis, pengirimnya adalah Hafiz Altariksyah. Adik Seira bisa lihat lebih jelas di kartu yang terdapat di bunga itu." Velin menunjuk kertas yang terdapat di antara rangkaian bunga mawar.
"Buang saja. Gue enggak tertarik." Seira memutar tubuhnya. "Ah ya ... kalau dia memesan lagi dan menyuruh lo mengantar ke sini, lo enggak usah repot-repot, buang saja di tengah jalan."
Tidak lama setelah itu suara bantingan pintu mengalun terlalu buruk di telinga Velin. Ia mendengus kasar, menatap sendu pada rangkaian bunga mawar yang ditolak mentah-mentah.
"Uh ... mengerikan sekali," gerutu Velin. Dengan gontai ia kembali ke motornya yang sudah terparkir di luar pagar rumah besar itu.
Namun, langkahnya memburu saat mata tajamnya menangkap seseorang sedang memperhatikan motor matic dengan sangat saksama. Perasaan Velin semakin buruk apalagi orang yang memperhatikan motornya berpakaian sangat aneh dan pantas dicurigai.
Jaket kulit hitam, celana jeans hitam, topi hitam, masker hitam bahkan sepatu yang dikenakan pun warnanya hitam. Ya ... manusia dengan warna serba hitam. Perasaan mencurigai semakin menjadi di hati Velin.
"Yak! Kamu maling motor, ya?" teriak Velin begitu nyaring memekakkan telinga.
Orang yang diteriaki sebagai maling itu terkejut. Ia menggelengkan kepalanya, tapi Velin yang dari awal memiliki firasat buruk tidak percaya begitu saja.
"Mana ada maling mau ngaku. Kalau ngaku mah, jaksa pasti kelelahan menangani kasus itu terus menerus di pengadilan," ketus Velin.
Dan satu tendangan mendarat di tulang kering orang yang dicurigai Velin sebagai maling itu.
"Sakit, bodoh!" Leaki itu berteriak setelah tendangan mendarat padanya.
Velin mengernyitkan keningnya. Suara bariton itu terdengar tidak asing di pendengarannya sama sekali.
Dan ya ... pemilik suara itu membuka masker serta topi hitamnya. Spontan Velin mundur beberapa langkah. Otaknya kembali bekerja tidak karuan saat lelaki yang dicurigainya itu sangat ia kenal.
"Sean ...." Velin menatap gugup ke arah lelaki itu.
"Hai, kita bertemu lagi. Takdir selalu berpihak kepada lelaki tampan seperti gue." Sean maju selangkah, dan Velin mundur selangkah.
"Ngapain kamu di sini?" Velin berusaha tidak takut menghadapi Sean, walau sebenarnya dirinya sudah sangat ingin melarikan diri saat itu juga.
Sean kembali maju selangkah, dan lagi-lagi Velin mundur selangkah.
"Seharusnya gue yang nanya, kenapa lo ada di depan rumah gue?"
Velin menatap sekilas kepada Sean lalu menatap rumah besar yang ada di belakangnya. Velin rasanya ingin menenggelamkan diri di lautan karena terlalu takut berurusan dengan Sean.
Kenapa otak kecilnya sama sekali tidak bisa menyadari jika rumah itu milik keluarga Sean. Bukankah nama siswi SMA tadi memiliki kesamaan dengan nama Sean? Sean Varza Nasution dan Seira Virza Nasution.
"Lo rindu sama gue ya? Aish ... padahal kita baru ketemu tadi malam. Dan bukannya tadi malam gue yang mengantar lo pulang? Atau lo merindukan ciuman dari bibir seksi gue ini seperti tadi malam?" Sean menunjuk pada bibirnya.
Velin mendorong Sean kuat. Sean benar-benar gila! Membahas ciuman yang ia rebut dari Velin dengan paksa.
"Minggir. Aku harus mengantar bunga-bunga ini lagi." Velin meletakkan bunga milik Seira kembali ke keranjang bunga.
Namun, dengan cepat Sean meraihnya bunga itu. "Ini untuk gue saja."
Velin tidak menolak. Ia ingin segera menyudahi berurusan dengan Sean. Masih banyak hal yang lebih penting dari pada berurusan dengan manusia absurd seperti Sean.
"Nanti malam gue jemput, ya? Gue mau ngajak lo jalan. Mungkin sewa kamar juga." Sean mengedipkan matanya kepada Velin.
Velin mendecit seperti anak burung. Otak Sean perlu dibersihkan dari pikiran-pikiran mesum yang luar biasa.
"Jangan menolak!" teriak Sean ketika motor Velin meninggalkan halaman rumah besar milik keluarganya.
Sean tersenyum tipis. Ia mencium bunga mawar itu. Kemudian membuang kartu yang ada. Dengan santai masuk ke dalam rumah besar dan siap menghadapi kenyataan baru.
"Ah, Velin." Sudut bibirnya naik membentuk seringai mematikan.
VELIN memarkir motornya di depan toko bunga. Setelahnya, masuk ke dalam untuk meletakkan keranjang bunga.Dengkusan kasar terdengar jelas keluar dari bibirnya. Ia sangat kesal mengingat kejadian mengesalkan yang menimpanya tadi. Bahkan ia menyesal karena bertemu dengan 2 makhluk aneh yang memiliki ikatan darah murni itu."Cih ... abang dan adik sama saja, sama-sama mengesalkan. Mereka benar-benar ditakdirkan menjadi saudara." Velin menggerutu seraya mengentakkan kakinya ke lantai."Dasar manusia aneh. Dia bilang apa? Kangen sama bibir seksinya? Hah? Yang benar saja. Yang ada di otak sekarang ini, aku ingin menendangnya hingga ke Kutub Utara, sampai ia lupa jalan pulang." Velin masih setia menggerutu bahkan tidak menyadari jika seorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya sedang memperhatikannya dengan saksama."Aku sumpahi enggak bakalan nemu perempuan yang cocok seumur hidup." Velin masih menggerutu. Dan lelaki yang sedari tadi berdiri tid
VELIN mendengkus berkali-kali lantaran terlalu bosan berada di tempat yang sama sekali tidak pernah ia datangi selama ini. Musik yang berdentum sangat keras membuat indra pendengarannya terasa berdengung. Belum lagi aroma alkohol yang menyengat di penciumannya. Tempat yang sangat buruk!Beberapa orang bahkan sudah terlena akan musik yang mengentak itu. Menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan kiri. Berdempet atau lebih tepatnya saling menempel, lalu beraksi dengan cumbuan penuh gairah.Sial!Velin ingin sekali menendang Sean! Lelaki dengan tampang di atas rata-rata itu malah terlihat sangat menikmati setiap gerakan perempuan yang menjadi pasangannya di lantai dansa. Bergelayut manja di dada bidang Sean, bahkan dengan sangat jelas perempuan itu menghadiahi kecupan-kecupan kecil di dada itu.Dan Sean tidak protes! Mana mungkin protes jika lelaki itu menikmati? Lihat saja tangan nakalnya sudah masuk ke dalam gaun merah menyala yang panjangnya han
VELIN mengerjap pelan saat bias cahaya matahari masuk ke dalam kamar dan mendera di penglihatannya. Sudah terlalu pagi! Velin meregangkan otot kakunya, ternyata tidur dengan posisi duduk menekuk membuat seluruh tulang dan sarafnya kaku.Sejenak, ia berjalan ke depan cermin panjang yang berdiri tegak di dekat lemari. Menatap wajahnya yang sungguh tidak baik-baik saja. Daripada disebut manusia, Velin malah lebih pantas disebut sebagai Zombi! Wajah sembab dengan mata bengkak akibat menangis semalam. Rambut yang berantakan karena Velin terus menjambak tanpa henti ketika emosinya meluap mengingat Sean.Semua karena Sean! Lelaki itu benar-benar lebih mirip Iblis daripada manusia.Dari dulu, Sean adalah masalah yang tidak mampu Velin atasi dari hidupnya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan lelaki itu, sialnya ... Sean tetap berdiri kokoh di depannya.Entah alasan apa yang membuat Sean begitu semangat mengganggu dirinya?Suka? Tidak mungkin! Jika S
“Mencintaimu dalam diam adalah luka terindah!” –Velin Ashakira——SENYUM tipis tercetak jelas di bibir tipis Velin setelah berhasil memoles liptint. Sentuhan terakhir untuk menyempurnakan penampilannya yang sebenarnya sangat sederhana. Pakaian yang digunakan hanya kemeja kotak merah tua lengan panjang, sengaja digulung untuk mempermudah gerak. Dan celana jeans biru tua yang menutupi kaki jenjangnya.“Vel!”Velin mendengkus pelan saat ketukan keras dan teriakan menggema bersamaan dari luar kamar. Pelakunya tentu saja Mili, si perempuan yang kata orang-orang lebih mirip seperti kakak kandungnya.“Vel, sarapan.”Suara itu kembali terdengar. Velin tidak menyahut, justru lebih memilih berjalan ke pintu, sebelum itu, ia sempat meraih tas selempang berukuran sedang yang tergeletak di atas ranjang.“Kamu ... kerja?” Pertanyaan itu keluar dari bibir Mili saat kepala Velin menyembul dari celah pintu yang ter
“Benci dan cinta itu dua hal yang memiliki perbedaan tipis. Tanpa sadar, saat kamu membenci, tiba-tiba cinta telah terselip di antaranya.” –Hafiz Altariksyah——“KALAU tahu kayak gini jadinya, mending gue enggak ikut.” Seira melirik Sean yang tengah fokus menyetir. Pipinya sengaja digembungkan kemudian mendengkus kasar.Sean mengacak rambut Seira gemas. “Lo gemasin banget, sumpah. Kalau bukan adik, sudah gue awetkan terus gue letak di museum.”Seira menepis tangan Sean dari rambutnya. Kemudian menatap horor sekaligus menghadiahi satu pukulan kuat di lengan sang tertua.Hanya kekehan sebagai respons dari tindakan sang bungsu.“Sean, lo enggak boleh goda calon pacar gue kayak gitu.” Suara bariton yang lebih rendah terdengar di antara mereka. Pemilik suara itu adalah Hafiz, lelaki yang memiliki wajah seperti tokoh dalam animasi.Namun, sayan
Berhenti membuat luka untukku. Jika tidak, kamu akan melihatku mati dalam remuk!" –Velin Ashakira ——"MOCHA latte, satu ya, Mas." Velin tersenyum kepada kasir yang sedang menulis pesanannya."Siap." Sang kasir menjawab sembari memamerkan senyum sebagai balasan dari keindahan yang diberikan oleh Velin.Hanya butuh beberapa menit, dan mocha latte sudah berada di tangan Velin."Mbak, cantik. Kalau senyum, cantiknya tambah," goda kasir itu sembari mengembalikan sisa uang Velin.Velin mengangguk sembari berkata, "Terima kasih." Lantas meninggalkan kafe.Satu hal yang Velin tidak sadari. sejak tadi, ada seseorang yang duduk di sudut kafe sedang memperhatikan interaksi Velin dan sang kasir.Sean! Ya, orang itu adalah Sean.Rahang mengeras sempurna, bersamaan sorot mata yang memerah karena rasa marah dan cemburu bercampur menjadi satu.Lelaki itu ikut keluar, menyusul Velin yang
Jika tak sanggup memberi, setidaknya tetap berada di sisiku." – Sean Varza Nasution——HAFIZ menggeleng berulang kali, lantaran terlalu bosan melihat tingkah aneh seorang Sean. Sahabatnya itu benar-benar sudah gila! Sudah hampir 1 jam, lelaki yang memiliki pesona yang mampu membuat perempuan-perempuan di belahan dunia histeris, sedang tersenyum layaknya orang bodoh yang baru jatuh cinta.Kadang memukul kepalanya sendiri, lalu mengusap wajah frustrasi. Bahkan terkadang juga mengacak rambutnya sendiri.Rasanya, Hafiz ingin sekali menendang punggung itu agar kembali sadar.Oke, bukan untuk pertama kalinya Hafiz melihat Sean seperti itu. Namun, kali ini jauh lebih buruk. Dan penyebabnya adalah perempuan yang tengah tertidur nyenyak di sofa dengan mulut menganga.Tidak sempurna tetapi kecantikan yang terlihat natural.Velin Ashakira!Segaris senyum tertera di bibir Hafiz. Sepertinya, ia tahu kelemahan seorang
Bagaimana aku bertahan hidup, jika sandaranku telah menjadi asing?" –Velin Ashakira——VELIN menatap layar handphone yang menyala, menampilkan serial drama dari negara Korea Selatan. Park Seo Joon dan Park Min Young, si tampan dan si cantik yang membintangi drama 'What's Wrong With Secretary Kim'. Sebenarnya, Velin tidak sepenuhnya terfokus pada drama itu, sebab otaknya melayang pada kejadian siang di mana seorang iblis mengganggu ketenangannya.Bahkan pergelangan kakinya masih terasa sakit akibat ulah lelaki yang sangat ia benci itu.Seandainya membunuh itu tidak berdosa dan tidak masuk penjara, mungkin Velin sudah menancapkan belati di perut Sean.Anehnya, meskipun pemikiran itu terlintas, Velin tidak berani mengambil tindakan lebih. Bukan hanya karena takut dosa atau takut masuk penjara, Sean itu mengerikan tanpa bisa diatasi.Seperti memiliki kelainan jiwa!"Kamu bisa menguras handphone
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas