"Lo udah bangun?"
Velin yang baru menginjak ruang tamu, langsung disuguhi pertanyaan yang sebenarnya tidak butuh jawaban. Terdengar sangat klise. Namun, Velin tetap menganggukkan kepalanya menanggapi pertanyaan Natasya."Duduk." Hafiz menepuk sofa kosong di sampingnya.Velin tidak memberi respons. Malah terlihat seperti orang kebingungan, melirik sana dan sini, seolah mencari seseorang.Natasya yang paham situasi yang mendera Velin segera berkata, "Sean keluar sebentar. Membeli sarapan dan juga pakaian ganti." Senyum Natasya tersaji begitu lebar menampakkan deretan gigi putihnya.Seketika Velin salah tingkah. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Ditambah tatapan Seira dan Hafiz yang sangat sulit diartikan olehnya. Velin tidak terbiasa berinteraksi terlalu lama terhadap orang asing, bahkan saat ia kerja di toko bunga, hanya sekedar. Mili adalah satu-satunya yang ia percaya dalam hidupnya.Namun ....Seketika Velin teringat pada teman sekamarnya yang“Aku tidak tahu seberapa kejam dunia menjebakku dalam sandiwara, yang jelas, aku terlalu takut untuk menjatuhkan rasa.”—Velin Ashakira——Velin menghela napas panjang saat kakinya memijak halaman luas rumah milik keluarga Nasution. Melirik sekilas pada lelaki yang sedang tersenyum manis sembari menggenggam erat tangannya. Seperti tidak ada rasa gugup yang mendera Sean, atau lelaki itu sangat pandai menutupinya.Lupakan saja soal Sean. Toh, lelaki itu hanya punya satu ekspresi saat ini, yaitu tersenyum. Sepertinya, dalam jangka waktu beberapa detik jikalau terus seperti itu, mungkin saja bibir tak bisa tertutup lagi, dan giginya akan kering.Velin menepuk keningnya. Apa yang ia pikirkan? Kenapa terdengar klise?“Hei, are you ok?”Velin terlihat linglung saat Sean menyentuh keningnya. Pemikiran bodohnya tentang Sean hilang secara menyeluruh.“Lo sakit? Apa kita pulang saja?” Sean berucap penuh kelembutan. T
"Pada akhirnya, aku akan terjebak semakin dalam." -Velin Ashakira***Hardan layaknya remaja yang uring-uringan karena sesuatu hal, mondar-mandir, menggigit kuku dan kadang komat-kamit tidak jelas. Seira saja mulai kesal melihat tingkah aneh sang Papa sejak 30 menit yang lalu.Menyebalkan tapi itu kenyataannya.Cukup! Seira benar-benar pusing dan tak mampu lagi menoleransi sikap papanya.“Hentikan kekonyolan, Papa. Sampai Papa botak pun, kenyataan tidak akan berubah jadi kebohongan.”Hardan menghentikan gerakannya, mengalihkan atensinya kepada Seira. “Papa sedang berpikir, Sei. Bagaimana bisa?”Seira menaikkan kaki kanannya ke atas kaki kiri, lantas bersandar di sandaran sofa. “Tidak usah dipikirkan kenapa bisa, Pa. Yang perlu kita tanamkan dalam hati, gimana caranya Bang Sean sembuh. Mau terapi dan minum obat!”Hardan mendudukkan dirinya di samping Seira. “Cari psikiater secepatnya.”“Sei sudah menemukan psi
"Jika neraka berada di jalur utama, lalu aku harus berbelok ke mana? Sedang di jalur cadangan, badai siap menghadang!" -Velin Ashakira***Hampir 2 jam Velin berkeliling mencari pekerjaan, dan hingga saat ini tak satu pun pekerjaan yang berhasil dia dapatkan. Yang ada hanya kelelahan, tapak kakinya terasa sangat perih, mungkin saja ada banyak luka di sana karena berjalan kaki terlalu lama.Velin sedikit lega ketika menemukan tempat layak dijadikan tempat berteduh dari panas matahari yang begitu menyengat di atas ubun-ubun kepalanya.Warung pinggir jalan yang menjual berbagai gorengan menarik perhatian Velin. Di sana dia bisa memanjakan perutnya dengan berbagai menu murah tetapi mengenyangkan. Cacing peliharaannya tidak pernah protes soal itu, asalkan diisi itu sudah jauh lebih bagus.“Bu, gorengan 5 ribu.” Velin mendudukkan dirinya di bangku kayu yang terlihat rapuh.“Itu aja, Neng?” Penjual gorengan bertanya sembari menyiapkan p
Velin menghela napas kasar saat kakinya menapaki lantai tempat praktik Natasya. Tidak ada pilihan lain selain ke sana, meminta bantuan dokter cantik itu untuk mencarikan pekerjaan. Velin sudah mencoba membujuk Sean mencarikannya kerja, tetapi lelaki itu malah menyombongkan diri, membanggakan kekayaan Hardan yang akan habis 7 turunan sekalipun.Mengesalkan!Dan pada akhirnya, Velin berkeliling kota Jakarta selama 4 hari demi mencari pekerjaan untuk membiayai hidup. Sean memang selalu datang saat pagi buta, membawa makan dan meninggalkan beberapa lembar uang untuknya sebelum pergi. Hati Velin tidak bisa menerima begitu saja, tidak mungkin bergantung pada lelaki yang hanya mengandalkan kekayaan dari keluarganya tanpa bersusah payah, tanpa tahu bagaimana rasanya mencari uang dari hasil kerja sendiri. Sean jauh dari kata itu!Velin bukan seseorang yang tergiur harta. Lagian, perasaannya pada Sean tidak kokoh sama sekali. Tujuannya hanya ingin membantu agar lela
"Semangat kerjanya, Sayang.” Sean menyemangati Velin sembari memamerkan senyum termanis yang dimiliki setelah kekasihnya itu turun dari mobil. Velin tidak menyahuti sama sekali, bahkan senyum pun tak tampak dari bibirnya. Suasana hati Velin kacau sejak pagi tadi saat Sean datang ke flatnya dan memaksa mengantar ke tempat praktik Natasya menggunakan mobil mewah.Apa Sean tidak malu memamerkan mobil hasil dari keringat papanya? Dasar pengangguran!Bukan itu alasan utama kenapa mood Velin kacau pagi ini, padahal hari pertama ia mencari nafkah setelah sekian lama menganggur. Masalahnya, pagi buta sekitar jam 5 subuh, Sean datang ke flat membawa beberapa makanan dan tas ransel yang isinya tentu saja pakaian. Gilanya, Sean meminta Velin pergi berlibur bersama ke Bandung. Velin menolak secara lembut dengan berbagai alasan tetapi Sean kekeh ingin berlibur. Perdebatan mereka berakhir ketika Velin berkata, “Mari kita akhiri saja hubungan ini. Percuma, kamu gak pernah mengerti tent
Velin menggerutu dalam hati saat Arga menahan tangannya. Niat untuk turun dari mobil lelaki itu jadinya tertunda. Menyebalkan!“Boleh gue ngantar lo sampai depan pintu flat?” Puppy eyes Arga bermain layaknya remaja belasan tahun yang sedang membujuk kekasih.Ingin sekali Velin menjambak rambut lelaki di depannya itu sekuat mungkin. Sungguh sangat menyesal pulang bersama Arga hingga penyesalan itu mendera hingga ke tulangnya.“Ini sudah malam, lain kali saja,” tolak Velin. Itu alasan kedua sebenarnya, karena alasan pertamanya adalah Sean.Mengingat nama Sean, hati Velin teriris. Dia merasakan ketakutan bercampur sedih dan khawatir, menjadi satu menggelitik perut hingga rasa penyesalan membayanginya begitu saja. Entah kenapa ia merasa kalau saat ini sedang berselingkuh di belakang kekasih yang hingga detik ini masih ragu untuk ia akui.Ada apa dengan perasaannya? Apa ia mulai jatuh cinta pada lelaki yang suka melakukan kekerasan dalam waktu yang sulit ditebak? Mat
"Jika waktu adalah kebohongan, maka aku berharap waktu tidak berputar pada poros hidupku." -Velin Ashakira***Velin mengerjap saat merasakan pergerakan ranjang. Seseorang berusaha naik ke atas tempat tidur dengan pelan, mungkin niatnya tidak ingin membangunkan si putri tidur, tetapi nyatanya Velin tetap terbangun juga.Tanpa menoleh pun, Velin tahu jika orang yang berbaring di sampingnya adalah Sean. Aroma kopi yang semerbak, menyeruak dari tubuh tegap berotot itu. Velin sendiri heran, Sean tidak suka minum kopi tetapi sangat menyukai parfum beraroma kopi.Aneh, bukan? Ya, namanya juga seorang Sean, dari sananya sudah aneh, maka seluruh kehidupannya pun akan terlihat aneh.Velin masih setia memunggungi Sean. Meskipun ia telah bangun, tetapi masih setia berpura-pura tidur. Dia ingin tahu apa yang lelaki itu lakukan padanya. Meminta maaf karena telat menjemput, atau sebaliknya menyakiti dirinya tanpa iba. Segala kemungkinan bisa saja terjadi jika situasi hati Sea
Velin menghela napas berat, memejam lalu menatap kapas yang sudah ia celup di alkohol beberapa detik lalu. Menggigit bibir ketika membayangkan rasa perih yang didapatkannya saat kapas menyentuh pipinya. Astaga, sungguh menyebalkan. Tidak mungkin juga dia membiarkan luka gores itu begitu saja, meskipun tidak begitu dalam, tetap saja harus diobati. Bagaimana jika terinfeksi?Itu akan lebih buruk nantinya."Argh!" Velin meringis kesakitan setelah kapas benar-benar mendarat di pipinya. Sesuai yang sempat terbayangkah olehnya beberapa saat tadi. Rasa perih masih berlangsung selama Velin mengobati lukanya. Cermin kecil di depannya menjadi saksi betapa menderita seorang Velin melakukan hal yang seperti itu terus menerus setiap Sean bertindak kasar. Sejenak air mata mengalir mengingat kejadian yang menderanya tadi malam.Velin kembali menghela napas. Semalam ia tidur di sofa sedangkan lelaki itu tidur di ranjang empuk dengan posisi meringkuk layaknya bayi. Harusnya Velin melaporkan
"Jadi semua akan selesai seperti ini? Bahkan saat kita belum memulai sama sekali." Seira mencoba menahan tangisnya saat lelaki yang belakangan ini memorak-porandakan hatinya menghubunginya untuk pamit dari hidup Seira.Membuat kisah baru tanpa menyelesaikan kisah lama yang telah terbentuk. Seira tidak bisa memahami meskipun telah mencoba untuk mengerti. Ia tahu, Hafiz melakukan semua itu karena janji dan juga untuk melindungi banyak orang dari amukan seorang Sean. Namun, kenapa harus perasaannya yang dikorbankan?"Maaf. Ini mungkin menyakitkan, tetapi gue gak bisa mengingkari janji yang telah gue buat sendiri. Velin butuh bantuan." Suara di ujung telepon itu terdengar serak.Seira yakin, Hafiz juga terluka sama sepertinya. Lalu kenapa memilih jalan yang menyesakkan dada?"Apa lo mencintai gue?" Seira menggigit bibirnya. Demi Tuhan, jika ditanya apa ia rela, tentu jawabannya tidak. Bagaimana ia bisa rela jika perasaan yang berusaha ia sangkal selama ini muncul di pe
Hafiz menghela napas saat ponselnya yang ada di atas meja kayu berdering. Sekilas melirik dan mengusap wajahnya frustrasi lantaran yang menelepon adalah nomor yang sama sejak sejam yang lalu.Seira Varza Nasution, gadis remaja yang ia tinggalkan di Jakarta dengan luka menganga di hati.Hafiz menatap langit-langit rumahnya yang benar-benar jauh dari kata mewah. Kemudian memejamkan mata dan menggigit bibir bagian dalamnya untuk mereda rasa sesak yang beberapa hari ini terus menghantui.Cintanya!Ia telah melukai dengan sangat kejam. Tidak memberi sedikitpun kesempatan untuk tetap berada di samping. Padahal dalam sebuah jalinan kasih, jarak bukan sebuah penghalang jika saling mengerti satu sama lain. Namun, Hafiz meniadakan semuanya, tanpa kabar, tanpa jejak bahkan tanpa memberi kata yang tepat untuk perpisahan.Kenapa ia sekejam itu?Demi menepati janji. Demi menolong Velin dan Sean, ia mematahkan hati Seira. Ah, bukan
Takdir memang selalu bermain di antara insan yang bernapas. Entah itu takdir baik atau pun buruk semua berjalan beriring tanpa peduli apa seseorang sanggup untuk bertahan atau tidak sama sekali. Toh, hidup akan terus berjalan meskipun tersendat dan tertatih hingga mencapai pada tujuannya.Ya, begitu hidup. Begitulah takdir!Meskipun air mata terus mengalir bahkan berubah dari bening menjadi memerah, tidak akan ada yang bisa melepaskan siapa pun dari rencana yang Tuhan tentukan untuk manusia yang ia ciptakan dari kata kesempurnaan.Sejurus, jika dilihat dalam kaca mata awam, semua adalah kesalahan yang memilih jalan untuk terseret dalam kesesatan, tapi percayalah, tidak ada yang ingin hidup dalam ambang kehancuran di mana bayangan keresahan dan ketakutan mendiami sudut hati.Ah, semua sudah tertulis saat dalam kandungan, apa pun pilihan tidak akan berubah jalan tujuan yang sudah ditentukan. Begitu juga Velin yang sudah memilih jalan hidup
"Kepergiannya adalah kematianku!" -Sean Varza Nasution****Air mata itu menjadi satu-satunya cara untuk melepaskan semua beban di dada. Meskipun nyatanya akan tetap ada luka yang menganga bahkan menciptakan luka lama yang entah kapan sembuhnya. Seira tidak dapat memahami bagaimana Tuhan menciptakan jalan hidup seorang Sean yang begitu berantakan. Kadang kala gadis manis itu menyalahkan takdir karena membiarkan Sean merasakan yang namanya penderitaan kasat mata.Berawal dari meninggalnya sang mama adalah pembuka jalan untuk air mata dan segala yang berkaitan dengan kesesakan dada yang seolah tidak mampu terkendalikan. Meskipun Seira masih terlalu muda saat itu, tetapi ia mengerti bagaimana menderitanya seorang Sean, menangis dalam diam adalah bukti dari sesaknya jiwa seorang anak lelaki yang terlalu dekat dengan perempuan yang melahirkan mereka dengan penuh cinta.Penderitaan yang ditanggung semakin menjadi kala Sean mengalami pelecehan seksual. Astaga, hidup yang terlal
Tidak ada yang tahu bagaimana orang-orang suruhan Hardan bekerja mengurus tindakan kriminal yang Sean ciptakan, termasuk Hardan sendiri. Lelaki berumur itu hanya menerima hasil kerja tanpa diberitahu bagaimana proses yang anak buahnya lakukan. Dia menerima kabar beberapa jam yang lalu jika di vila tidak ada lagi jejak Sean tertinggal, bersih total! Seandainya polisi mengusut apa pun di sana, maka mereka akan kewalahan karena vila itu bersih seperti tidak pernah ada kejadian pembunuhan.Benar-benar luar biasa. Hardan tidak menyesal menyewa orang-orang seperti mereka.Lalu bagaimana dengan Arga? Apa masih hidup atau benar-benar sudah tidak bernyawa?Jika dipikirkan lagi bagaimana Sean menancapkan pisau di perut dan leher berulang kali, maka jawabannya sudah pasti meninggal di tempat. Lantas ke mana mayat lelaki tampan itu perginya? Tubuh penuh darah Arga telah dipindahkan ke mobil dan kemudian dibawa ke tempat jauh yang jaraknya dari vila menempuh waktu sela
Setelah Sean mematikan sambungan telepon secara sepihak, Hafiz segera berlari menuju kamar mandi sekedar untuk membasuh muka. Langsung mengambil kunci mobil beserta dompet yang ada di atas nakas tanpa mengganti pakaian. Ia masih mengenakan kaos warna putih berkerah V dan juga celana training warna hitam bekas tidur.“Sandal gue mana?” Hafiz seperti orang kebingungan mencari sandal jepitnya padahal ada di dekat kakinya.Setelah menemukan apa yang dicari, Hafiz berlari menuju garasi mobil. Ia harus cepat menyusul Sean sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi. Dari nada suara beserta kalimat Sean tadi di telepon, Hafiz yakin kali ini tidak ada kelonggaran yang akan diberikan oleh Sean. Ini seperti tendangan final dalam permainan bola, sungguh menegangkan.“Sial, kenapa pake mogok segala!” Hafiz memukul setir mobil karena mobil tidak kunjung menyala. “Saat genting gini malah berulah.” Terpaksa Hafiz turun dari mobilnya. Satu-satunya cara adalah menghubungi Seira ag
"Ini mau ke mana, Arga?" Velin melirik kanan dan kiri, mencoba mencari tahu hendak ke mana mobil Arga menuju.Arga tidak menyahut hanya diam sembari menyeringai.Velin menghela napas kasar. Arga gila! Lelaki itu menyeretnya secara kasar dari flat bahkan saat dirinya masih baru bangun dari tidur nyenyak. Ia masih menggunakan baju tidur, belum sempat cuci muka, mandi dan juga gosok gigi. Velin tidak habis pikir apa yang lelaki di sampingnya itu pikirkan."Kita mau ke mana, Arga?" Nada suara Velin meninggi. Mencoba memberi perlawanan meskipun hanya dengan teriakan. Velin ingin sekali menjambak rambut Arga, mungkin menendang bagian bawah lelaki itu agar berhenti menyetir dan mengantarnya pulang, tetapi ia tidak ingin mengambil risiko, bisa-bisa mereka mengalami kecelakaan nanti."Liburan." Arga menyahut singkat.Netra Velin menatap tajam pada Arga. Liburan? Yang benar saja. Lelucon macam apa yang tengah mainkan oleh Arga. "Ini bukan waktunya liburan, Arga. Aku
Yang Sean tahu, Velin itu miliknya. Yang ia yakini sepanjang hidup tanpa peduli jika banyak orang di luar sana mencoba mematahkan dalil yang terlontar dari mulutnya. Selagi hatinya bahagia, kenapa harus memedulikan pendapat insan yang tidak ada sangkut-paut dalam takdirnya. Terlalu memusingkan dan bisa-bisa membuatnya menghakimi mereka dengan cara menghilangkan nyawa.Sean sangat membenci jika miliknya disentuh apalagi berniat merebut darinya."Abang mau ke mana? Periksa jiwa, ya?" Seira melemparkan pertanyaan membuat Sean menghentikan langkahnya tepat di samping sofa yang di duduki sang adik."Tahu aja lo, ya." Senyum Sean mengembang sempurna layaknya orang bodoh.Seira memutar bola matanya. "Abang benaran gila ternyata. Mana ada orang yang ketemu psikiater bahagia?""Ada. Gue pastinya." Senyum masih dipertahankan oleh Sean dari wajahnya.Ia terlalu bahagia hari ini. Alasannya sederhana, karena semalaman dia dan Velin menghabiskan waktu ber
"Pink atau putih?" Hafiz menggaruk kepala yang tidak gatal saat kebingungan memilih warna terbaik dari dua warna yang ada di depannya saat ini. Pink yang terlalu genit yang pasti sangat dibenci oleh calon kekasihnya, dan putih yang mudah kotor yang tidak ia sukai. "Pink aja kali, ya?" Kembali membuat pertanyaan untuk dirinya sendiri sembari menatap objek yang menarik perhatiannya sejak beberapa menit yang lalu. Dua benda cantik yang dipajang di etalase.Hafiz menghela napas pelan. Astaga, ia begitu bingung menentukan warna yang pantas untuk Seira kenakan. Tidak mungkin membeli kedua-duanya, sudah pasti calon kekasihnya itu akan menatapnya horor sembari berdiam diri seharian. Seira itu aneh, tapi Hafiz cinta."Aish, ini terlalu sulit," kata Hafiz sembari mengacak rambutnya frustrasi. Seandainya Siera itu cewek manis yang menyukai warna pink, maka dia tidak akan sebingung ini. "Kenapa harus pink sama putih, sih?" Kembali menghela napas dan kali ini terdengar kasar."Maaf, Mas