"Tolong ! Beri kami waktu satu minggu lagi !" ucap Bu Nur pada Pak Tegar.
"Bosan saya dengar alasan kalian ! Sampai kapan kalian akan mengulur-ngulur waktu hah?" tanya Pak Tegar dengan kasar.
"Saya mohon Pak ! Kasihanilah kami !" ucap Pak Soleh.
" Baik ! Saya akan berbaik hati memberikan kalian waktu ! Saya beri kalian waktu satu bulan lagi. Tetapi, jika kalian masih belum juga bayar ! Aku akan membawa anak gadis kalian sebagai ganti ruginya !! Mengerti???" teriak Pak Tegar sambil menoleh ke arah Utari yang sedang bersembunyi di balik tirai kamarnya.
Mendengar ucapan Pak Tegar, Utari merasa takut dan menutup tirai kamarnya dengan cepat. Langkah kaki Pak Tegar terdengar menjauh dari ruang tamu Bu Nur dan Pak Soleh.
"Kita harus bagaimana Pak?" tanya Bu Nur dengan khawatir.
"Tenang Bu, aku akan pergi ke kota dan mencari pekerjaan." jawab Pak Soleh menenangkan Bu Nur. "Aku akan pergi subuh nanti." tambah Pak Soleh.
"Ibu do'akan Bapak lancar, selamat dan mendapatkan pekerjaan yang baik." ucap Bu Nur mendo'akan.
"Aamin Bu.." jawab Pak Soleh. "Jagalah baik-baik putri kita satu-satunya selama Bapak tidak ada ya Bu..".
"Pasti Pak.." jawab Bu Nur lirih.
"Pak...!" panggil Utari sambil menghampiri Bu Nur dan Pak Soleh.
"Sini Nak.." ucap Pak Soleh.
"Bapak akan pergi?" tanya Utari.
"Iya Nak, Bapak akan pergi..tapi tidak akan lama. Utari jaga diri dan jaga Ibu dengan baik ya." jawab Pak Soleh sambil membelai rambut Utari.
"Apa Utari juga kerja saja Pak?" ucap Utari tiba-tiba.
"Tidak sayang, kau belajarlah dengan rajin ya..." jawab Pak Soleh lembut.
"Tapi agar Utari bisa membantu Bapak dan Ibu membayar hutang ke Pak Tegar." ucap Utari lagi.
"Kau bantu Bapak dan Ibu dengan do'a ya.." ucap Bu Nur.
Subuh sekali Pak Soleh sudah berangkat ke kota. Bu Nur terlihat sedih dan khawatir dengan kepergian Pak Soleh. Pak Soleh berangkat ke kota dan tidak akan kembali sebelum mendapatkan pekerjaan, agar dapat mengirit keuangan mereka.
Selama Pak Soleh pergi, Bu Nur tidak pernah melepaskan ponsel dari tangannya. Menunggu kabar dari Pak Soleh suami yang sangat dicintainya. Satu minggu berlalu begitu cepat, namun belum ada kabar apapun dari Pak Soleh.
"Bu.." panggil Utari.
Usia Utari kini delapan belas tahun. Kini dia sedang menunggu pengumuman kelulusan dari sekolahnya.
"Ya.." jawab Bu Nur yang masih menantikan kabar dari Pak Soleh.
"Belum ada kabar dari Bapak?" tanya Utari.
"Belum Nak.." jawab Bu Nur singkat.
Tak lama kemudian ponsel yang dipegang Bu Nur berdering. Ketika Bu Nur lihat, dilayar tertera nomber yang tak dikenal.
"Mungkin ini bapak.." ucap Bu Nur senang.
"Halo..." jawab Bu Nur.
"Bu..ini Bapak..." ucap Pak Soleh.
"Pak...alhamdulillah...Ibu khawatir sekali, lama Bapak tidak memberi kabar..." ucap Bu Nur.
"Iya, maaf Bu. Bapak sudah dapat pekerjaan. Bapak kerja jadi buruh bangunan Bu, gajinya lumayan. Bapak akan pulang satu bulan lagi Bu." ucap Pak Soleh.
"Alhamdulillah Pak..! Bapak hati-hati disana.. jaga kesehatan..".
"Baik Bu, sudah dulu ya..salam buat Utari." ucap Pak Soleh yang menutup teleponnya.
"Apa Bu?" tanya Utari penasaran.
"Bapakmu sudah mendapat pekerjaan jadi buruh bangunan. Bapak akan pulang satu bulan lagi. Kita doakan ya Utari.." ucap Bu Nur senang.
"Iya Bu..." jawab Utari juga ikut senang.
Besok adalah tepat satu bulan keberadaan Pak Soleh di kota. Bu Nur dan Utari sangat menanti kedatangan Pak Soleh. Ponsel Bu Nur bedering. Lalu Bu Nur mengangkatnya dengan tergesa.
"Halo Pak..pulang sekarang?" tanya Bu Nur.
"Maaf Bu, apa benar anda keluarga Bapak Soleh?" tanya seseorqng di telepon itu.
"Oh, iya benar Pak. Saya istrinya. Ada apa Pak?" tanya Bu Nur mulai khawatir.
"Maaf Bu, kami dari pihak kontruksi menyatakan belasungkawa yang sebesar-besarnya. Pak Soleh mengalami kecelakaan di tempat kerja. Kami akan mengirimkan jenazah Pak Soleh beserta uang hasil kinerja Pak Soleh kepada Ibu." ucapnya.
Mendengar berita itu, Bu Nur langsung tak sadarkan diri. Utari benar-benar bingung. Utari langsung keluar meminta pertolongan tetangga. Bu Nur lalu di boyong ketempat tidur dan kaki Bu Nur dipijat oleh Utari.
"Ada apa Utari? Mengapa Ibu mu bisa tak sadarkan diri begini?" tanya Pak Sutrisno.
"Aku tidak tahu Pak, Ibu tadi menerima telepon dan Ibu langsung pinsan.
"Telepon? Apa dari Bapakmu?" tanya Pak Sutrisno lagi.
"Aku tidak tahu." jawab Utari khawatir.
"Ya sudah, jaga Ibumu. Mungkin sebentar lagi dia sadar." ucap Pak Sutrisno sambil berpamitan.
Belum juga Pak Sutrisno keluar rumah Utari. Sebuah mobil Ambulance tiba-tiba saja datang. Utari langsung bergegas keluar.
"Kamu menelepon Ambulance Utari ?" tanya Pak Sutrisno.
"Tidak Pak." jawab Utari.
Mereka menunggu sampai beberapa orang keluar dari ambulance itu.
"Selamat siang. Denga keluarga Bapak Soleh Amirta?" tanya lelaki itu.
Pak Sutrisno yang tahu keadaan Bu Nur yang sedang pingsan mewakili berbicara.
"Ya, kami keluarga Pak Soleh." jawab Pak Sutrisno.
"Saya perwakilan dari CV. Konstruksi Nasional Berkarya. Kami turun berduka atas kecelakaan yang menimpa Pak Soleh." ucap lelaki itu.
Mendengar hal itu, Utari langsung histeris tak percaya. Pak Sutrisno pun kaget mendengarnya. Barulah dia mengerti kenapa Bu Nur tak sadarkan diri.
Pintu ambulance mulai dibuka. Perlahan jenazah Pak Soleh dikeluarkan dan ditempatkan ditengah rumah Bu Nur. Mendengar keramaian diluar, Bu Nur terbangun perlahan, badannya lemah tak berdaya. Dia mencoba berjalan ke ruang tengah, betapa sangat hancur hatinya, melihat kerangkeng jenazah yang ada disana. Bu Nur berjalan dengan gontai menghampiri kerangkeng itu.
"Pak...Bapak sudah pulang?" ucapnya lirih. "Kenapa Bapak pulang hanya diam saja." ucapnya lagi.
"Ibu..." panggil Utari dengan isak tangis yang berusaha mendekati Bu Nur.
"Utari, kenapa Bapakmu hanya diam?" tanya Bu Nur lagi. "Pak...ayo bangun...!! Ibu sudah siapkan makanan kesukaan Bapak..." ucap Bu Nur.
Bu Nur dengan cekatan mengambil makanan yang sudah dia siapkan dimeja untuk Pak Soleh. Bu Nur membawa makanan-makanan itu kehadapan Pak Soleh yang sudah terbujur kaku.
"Lihat Pak, ini makanan kesukaan Bapak.. ayo makan dulu Pak. Bapak pasti lelah sudah bekerja selama ini." ucap Bu Nur.
"Bu...." panggil Utari lagi.
"Utari, kenapa Bapakmu hanya diam saja. Coba bangunkan Bapak.." pinta Bu Nur dengan senyum getir.
Para tetangga yang melihat kejadian itu sangat iba dan dapat merasakan kesedihan Bu Nur.
"Bu Nur..." sapa Bu Sutrisno lembut.
"Eh Bu..." ucap Bu Nur. "Saya mencoba membangunkan Pak Soleh, tapi dia lelap sekali tidurnya." ucap Bu Nur dengan isak tangis.
"Sabar Bu...ikhlaskan..." ucap Bu Sutrisno yang mengusap-usap punggung Bu Nur.
Mendengar perkataan Bu Sutrisno, tangis Bu Nur semakin bertambah. Dia memeluk erat Bu Sutrisno dan menumpahkan segala kesedihannya.
Bu Sutrisno hanya dapat menepuk-nepuk punggung Bu Nur dengan lembut.
Pemakaman berjalan dengan khidmat. Air mata Bu Nur dan Utari masih membasahi pipi mereka. Bu Nur dan Utari pulang dengan gontai. Sesampainya di rumah, Bu Nur sangat terkejut, karena tepat didepan rumahnya, ada Pak Tegar dan para pengawalnya sedang menunggu mereka.
"Bu...." ucap Utari ketakutan.
"Tenang, Ibu tidak akan biarkan mereka menyakitimu." jawab Bu Nur dengan pasti. "Ikut Ibu !" pinta Bu Nur.
Lalu mereka berjalan sembunyi-sembunyi lewat jalan belakang. Disana Bu Nur membawa arang yang ada di tungku yang selalu dia pakai untuk menghangatkan diri.
Bu Nur mengolesi wajah, tangan dan kaki Utari dengan arang itu. Arang itu memenuhi seluruh wajah Utari, sehingga Ibu Nur pun tak dapat mengenali wajah Utari.
"Dimanapun dan apapun yang terjadi. Kau harus selalu menggunakan arang ini. Kau harus bisa menyelamatkan diri. Pergilah !" ucap Bu Nur.
"Lalu Ibu bagaimana?." tanya Utari.
"Jangan khawatirkan Ibu !" jawab Bu Nur.
Bu Nur mendorong tubuh Utari agar segera pergi menjauh dari situ. Seruan Pak Tegar dan pengikutnya yang menggedor-gedor pintu dengan kasar, membuat Utari kerakutan, begitupun dengan Bu Nur. Namun dia berusaha tegar dihadapan Utari agar dia percaya bahwa dia akan baik-baik saja.
"Cepat pergi !" ucap Bu Nur tegas.
Utari lalu pergi dan bersembunyi, dia bersembunyi beberapa rumah dari rumahnya. Utari masih menyaksikan Ibunya yang menghampiri Pak Tegar.
"Pak..." ucap Bu Nur.
"Lama sekali, aku pikir kau akan kabur...! Mana uang saya? Ini sudah satu bulan !" ucap Pak Tegar dengan suara tinggi.
"Maaf Pak.."
"Apa? Maaf? Saya butuh uang saya ! Bukan maaf !" ucap Pak Tegar kasar. "Mana anak gadismu ?" tanya Pak Tegar lagi.
"Dia, tidak ada." jawab Bu Nur ketakutan.
"Apa ? Jangan macam-macam kamu !" ucap Pak Tegar lagi. "Diamana Soleh ?" tanya Pak Tegar lagi.
"Dia sudah tiada Pak.." jawab Bu Nur.
"Saya gak perduli ! Obrak-abrik rumah ini !" perintah Pak Tegar. "Ambil yang bisa kalian ambil dan bisa menjadi uang !" ucap Pak Tegar lagi.
Para pengawal Pak Tegar langsung memporak porandakan rumah Bu Nur. Utari yang bersembunyi hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
Bu Nur mencoba melawan, namun na-as salah satu pengawal Pak Tegar menghempaskan tubuh Bu Nur dengan keras. Bu Nur terjatuh dan kepalanya terbentur batu. Darah segar mengucur dari kepalanya.
"Aku akan menyusulmu Pak." ucapnya perlahan sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya.
"Bos ! Dia mati Bos !" ucap salah seorang pengawalnya itu.
"Ceroboh kalian ! Cabut !" perintah Pak Tegar kepada pengawalnya.
Lalu mereka semua pergi tanpa rasa belas kasih sedikitpun.
Setelah mereka semua pergi. Utari keluar dari persembunyiannya perlahan. Dia menghampiri Ibunya yang sudah tak bernyawa lagi.
"Buuu...." seru Utari.
Namun Ibunya hanya diam seribu bahasa dengan mata yang tertutup.
Utari menangis sejadi-jadinya. Lalu Utari tak sadarkan diri.
"Utari, tolong siapkan perlengkapan untukku nanti ya, aku akan pergi ke Kalimantan beberapa hari kedepan." titah Damar lembut. Utari yang mendengar hal itu merasa hatinya sangat senang, namun juga sedih, karena Damar akan pergi. "Tuan akan pergi?" tanya Utari yang sedang membersihkan hiasan di ruang tengah. "Iya, apa kau tidak dengar yang aku bilang tadi?" tanya Damar. "Dengar tuan..." jawab Utari agak sedih. "Kenapa? Ayo siapkan.." titah Damar. "Baik tuan..." jawab Utari dan hendak meninggalkan Damar di ruang tengah. "Hei Utari..." sapa Edo yang baru pulang dari kampusnya. "Tuan..." jawab Utari dengan senyum. "Hei, kamu tau ini apa?" tanya Edo sambil mengeluarkan permen kapas dari tasnya. "Apa itu tuan?" tanya Utari. "Ini namanya permen kapas, rasanya manis.." jawab Edo."Ambillah, aku sengaja belikan ini buat kamu.." jelas Edo. "Untuk aku tuan?" tanya Utari menegaskan. "Iya buat
Pagi itu, Utari tersadar. Dia membuka matanya perlahan dan duduk di pinggir kasur. Dia merasakan sakit di bagian kepalanya dan merasa pusing. Setelah beberapa waktu tubuhnya menyesuaikan diri. Dia mulai melihat sekeliling. "Ini dimana? Ini rumah siapa? Bagaimana bisa aku berada disini? Bapak... Ibu...." panggil Utari lirih. "Penyamaranku?" ucap Utari sambil berlari kedepan cermin yang menempel di dinding. Dilihatnya wajah dan tubuhnya yang masih hitam legam bagai orang keturunan Afrika. "Riasanku masih sempurna. Syukurla..." cakap Utari sambil mengelus dadanya. "Aku tidak akan pernah melepaskan riasan ini, aku janji." Ketika Utari sedang berbicara dengan dirinya sendiri didepan cermin, tiba-tiba suara pintu terbuka. Utari sempat kaget dan tak sengaja menjatuhkan sebuah pajangan di meja rias itu. "Prak" "Maaf..." resah Utari. Namun sepertinya lelaki itu tidak menghiraukan vas bunga yang terjatuh itu. "Siapa namamu?" tany
Malam itu, Utari duduk termenung di dapur. Dia memikirkan semua perkataan Bibi Rita."Dia jijik melihatku yang seperti ini, dia tidak tau kalau aku ini cantik..." gumam Utari pada dirinya sendiri."Aku akan perlihatkan wajahku yang sebenarnya, agar mereka semua yang menghinaku tau ! Aku ini cantik !" gerutu Utari.Utari menuju wastafel yang ada di depannya, dia berniat untuk mencuci wajahnya, agar semua orang tau kalau dia sangat cantik. Namun, dia mengurungkan niatnya dan menangis."Kamu gak apa-apa?" tanya Edo yang tiba-tiba sudah ada dibelakangnya."Tuan..." Utari terkejut dan menyeka air matanya perlahan."Jangan dengerin Bibi Rita, dia memang begitu..makanya kami sangat tidak menyukainya, tapi bagaimana lagi. Dia saudara Ibu satu-satunya." jelas Edo dengan sedikit mengekeh."Iya tuan..." jawab Utari singkat."Oh iya, kau bisa menolongku mencarikan bungkusan berwarna merah muda? Aku lupa simpan dimana." ucap Edo."Ba