USAI KEPUTUSAN CERAI- Kita Suami Istri Author's POV [Mbak, tolong bukakan pintu.] Tristan mengirimkan pesan pada pengasuh anaknya. Kalau mengetuk pintu atau membunyikan bel, khawatir mengganggu tidurnya Giska. Kalau Aruna mungkin saja belum tidur, karena mereka baru berpisah beberapa menit saja.[Ya, Pak.]Tidak lama pintu terbuka. Tristan langsung masuk."Ibu sepertinya sudah tidur, Pak," kata si mbak lirih. Wanita itu tidak tahu tentang keributan tadi, karena dia sudah di kamar dan tidur bersama Giska."Nggak apa-apa, Mbak. Saya di sofa saja." Tristan menata bantal sofa lalu berbaring. Mbak Sari mengambil selimut lantas memberikannya kepada sang majikan.Tristan memandang pintu kamar Aruna yang tertutup rapat. Ia yakin sekali istrinya belum tidur. Pria itu memejam dengan satu lengan menumpang di keningnya. Namun sepanjang malam, dia tidak bisa tidur. Keinginan yang memberontak dalam diri begitu menyiksanya. Pukul tiga pagi, Aruna terbangun. Dia kaget melihat suaminya meringkuk
Bre masuk ke ruang meeting di dampingi oleh Mbak Sri, wanita bertubuh subur yang bertugas di bagian HR (Human Resource).Pria itu duduk tenang di kursinya. Di hadapannya ada lima gadis muda yang akan menjalani masa magang duduk berjajar. Menampilkan wajah-wajah penuh harapan dan semangat.Sejenak Bre membuka percakapan. Sebab profil perusahaan Hutama Jaya pastinya mereka sudah tahu sebelum mengajukan diri untuk magang di sana. Tentang situasi kantor juga sudah diperkenalkan oleh Mbak Sri. Cuman Bre memang belum sempat berkenalan dengan mereka kemarin pagi."Perkenalkan, nama saya Indira," ujar salah satu dari mereka. Suaranya tenang dan percaya diri. "Saya kuliah di Universitas Ud*yana, jurusan Administrasi Bisnis."Bre mengangguk pelan, memperhatikan cara bicara mereka satu per satu. Gadis kedua hingga kelima menyusul memperkenalkan diri. Bahasa tubuh mereka sopan dan rapi, meski Bre menangkap sorot canggung di mata mereka. Wajar, ini hari pertama. Namun gadis pertama, terlihat penuh
Bre memberikan barang bawaannya pada Mak As, lalu ia mendekati istrinya yang baru saja mematikan kompor. "Masak apa?""Sup iga yang Mas request kemarin.""Sudah selesai.""Sudah.""Rifky mana?""Habis mandi, main di kamar sama Leon."Bre meraih jemari sang istri lalu diajaknya ke kamar mereka. Bre langsung terlentang di kamar. Sedangkan Hilya membuka lemari untuk menyiapkan pakaian."Sayang, sini dulu. Mas mau ngomong." Bre menarik istrinya dan direbahkan di lengannya. Mereka sama-sama memandang langit-langit kamar."Tadi pagi, Arham mengirim pesan. Dia belum bisa jenguk Rifky lagi karena urusan perceraian dengan Atika belum selesai."Keduanya saling pandang. Begitu lamanya? Sudah berapa bulan saja sekarang. Pasti Atika yang membuat semuanya menjadi sulit."Kabar kedua, anak magang dari Ud*yana sudah sampai kemarin. Hari ini bertemu dengan Mas. Mereka ada lima orang. "Terus yang ketiga, perjalanan pulang tadi Mas di telepon sama Agatha. Dia sudah ada di Surabaya dan kembali ke Singap
USAI KEPUTUSAN CERAI- Keputusan Author's POV Aruna membantu Giska melepaskan mukena, lalu melipatnya dan ditaruh di atas meja. Bocah itu naik ke atas tempat tidur untuk menyusul papanya. "Papa, sudah sembuh?" Giska meletakkan telapak tangan di kening sang papa. "Udah nggak panas. Papa, sudah sembuh?"Tristan mengangguk lalu memeluk putrinya. Menggelitik pinggang bocah itu yang membuatnya terkekeh. Mereka bercanda beberapa lama. Giska juga menemani papanya makan.Namun tetap saja kepala Tristan terasa semakin berat. Tadi nyaris saja ia berhasil menyentuh Aruna. Namun keberadaan Giska membuyarkan segalanya. Anak itu pulang dari salat tarawih lebih cepat dari perkiraannya. Dan pintu kamar lupa tidak dikunci."Mama, Giska ngantuk," rengek Giska seraya mengucek kedua matanya."Tidur sini aja sama Mama, ya?" Aruna menepuk bantal di sampingnya. Giska yang sudah ngantuk berat mengangguk lalu merebahkan diri. Sebentar saja bocah itu terlelap.Aruna turun dari atas tempat tidur, lalu masuk k
Jam enam pagi, Tristan sudah berpakaian rapi. Dia harus ke kantor lebih awal karena beberapa hari ini tidak bisa fokus pada pekerjaan.Ia menghampiri Aruna yang tengah membukan gorden jendela kamar. Tristan memeluknya dari belakang. Tentu saja dia terlihat segar, karena tadi malam mendapatkan apa yang ia mau. Perlahan Aruna melepaskan tangan Tristan dari perutnya tanpa memandang sang suami. "Sore nanti aku nggak akan pulang ke rumah, tapi langsung ke sini."Aruna memandang suaminya sekilas, lalu mengambil keranjang baju kotor dan membawanya keluar kamar.Tristan masuk ke kamar putrinya. Namun Giska masih tertidur pulas. Hari ini dia masih libur awal puasa. Diciumnya pipi sang anak, baru ia keluar kamar.🖤LS🖤"Mbak Sri, bawakan data anak-anak magang kemarin pada saya." Bre menghampiri Mbak Sri sebelum masuk ke ruangannya."Baik, Pak."Sejak awal Bre curiga dengan salah satu di antara kelima gadis itu. Ada yang terasa aneh saja. Sebab baru kali ini perusahaannya menerima peserta mag
Lebaran ....Suara takbir menggema di seluruh penjuru alam. Hari kemenangan telah pun tiba. Tristan berharap, ini bukan sekedar kemenangan puasa, melainkan kemenangan dalam rumah tangganya.Meski Aruna masih belum banyak bicara, tapi mereka sudah bisa saling berkomunikasi dengan baik. Mereka juga membeli barang bersama-sama untuk persiapan menyambut hari raya.Semenjak malam kebersamaan mereka, Tristan tak lagi pulang ke rumahnya. Tapi ke apartemen. Dia yang menemani anaknya bermain jika Aruna ada acara pengajian. Dan habis Maghrib itu, ia, Aruna, dan Mbak Sari bersiap-siap untuk kembali ke rumah. Mereka akan merayakan lebaran di rumah. Besok sehabis salat Idul Fitri, dua keluarga akan bertemu untuk membahas tentang kelanjutan hubungan mereka."Ada apa?" Tristan menghampiri Aruna yang tampak menunduk diam setelah menyusun pakaian di dalam koper."Nggak apa-apa," jawabnya mengelak. Padahal kepalanya terasa agak pusing. Mungkin imbas dari benturan waktu dia kecelakaan hari itu."Kamu n
USAI KEPUTUSAN CERAI- Berteman Author's POV Hilya berdiri di depan cermin, membetulkan jilbab warna sage. Gamis senada yang membalut tubuhnya memberi kesan anggun, tidak mencolok, tapi justru karena itulah Hilya tampak memikat. Malam itu dia dan Bre akan pergi ke sebuah restoran yang telah disepakati untuk bertemu dengan Agatha. Dada Hilya berdebar-debar. Penasaran dengan sosok Agatha itu seperti apa? Kalau dilihat dari foto profilnya, dia sangat cantik. Usianya sekarang hampir empat puluh tahun dan masih bertahan sendiri setelah bercerai dari Bre.Dia mencintai Bre semenjak masih SMA. Duh selama itu. Apa bermakna sekarang dia belum bisa move on. Perasaan Hilya jadi kebat-kebit."Sayang, sudah apa belum?" Bre muncul di pintu kamar sambil menggendong Rifky yang sudah berpakaian rapi. Bocah tampan itu mengenakan kemeja warna navy, sama dengan yang dipakai papanya."Sudah, Mas." Hilya mengambil tas kecil, menyampirkannya di bahu, lalu keluar. Ia menyembunyikan ketegangan yang menyeli
Bre duduk berseberangan dengan Agatha. Rifky di sebelahnya dan Hilya di sebelah kanan. Pelayan datang membawa buku menu, memberi mereka waktu sejenak untuk memilih makanan.Hilya memperhatikan bekas luka yang katanya ada di wajah Agatha. Namun ternyata sudah tidak ada. Mungkin sudah disamarkan."Bentar ya, Bunda ambilin mainan." Hilya bicara pada sang anak, lantas berdiri menuju sebuah rak untuk mengambilkan kotak mainan yang tersedia di sana.Agatha menoleh ke arah Hilya dan terkejut saat melihat perut wanita itu sedikit menonjol di balik gamis sage-nya. Dia baru menyadari kalau wanita itu tengah hamil."Hilya sedang hamil, Bre?""Iya, sudah lima bulan," jawab Bre sambil tersenyum.Agatha menarik napas. Sekilas jemarinya mengusap rambut yang jatuh ke pipinya. Hatinya terusik. Dia sudah legowo menerima takdirnya bersama Bre, tapi jujur juga kalau dia merasa terluka. Setahun menikah, Bre sama sekali tidak menyentuhnya."Wah, selamat, ya. Aku senang mendengarnya. Calon ayah."Bre tersen
Sambil menunggu pesanan, mereka berbincang hal-hal ringan. Ngobrol tentang ini, itu, hingga merasa nyaman dan kembali enjoy. Tawa Agatha pun begitu lepas.Percakapan terhenti disaat azan Maghrib berkumandang. Mereka bergantian salat di mushola kafe. Lantas kembali duduk dan langsung memesan menu untuk makan malam.Suasana di antara mereka kian hangat. Dan Arham memanfaatkan situasi yang tepat ini untuk bicara hal serius. Kalau dirinya tidak memulai, Agatha tidak mungkin mengawali bicara. Sebab dia perempuan."Saya sudah cerita ke Mama. Tentang apa yang terjadi di antara saya, kamu, Bre, dan Hilya."Sambil menyesap jus jambu, Agatha memperhatikan Arham. "Mama awalnya kaget juga."Agatha menegakkan duduk dengan menumpukan kedua siku di atas meja. Penasaran bagaimana tanggapan Bu Rida. "Gimana reaksi beliau?""Mungkin ini takdir. Nggak ada yang tak mungkin di dunia ini. Justru Mama bilang, mungkin ini sudah menjadi garis nasib. Aku dan kamu bisa saling mengobati. Bisa menjalin silaturah
Bu Rida mengangkat cangkir teh di tangannya, ditiup sebentar lalu diseruput dengan pelan. Arham menunggu pendapat mamanya. Namun wanita itu masih diam menikmati tehnya. Usia dan pengalaman hidup, perjalanan rumit putranya, membuat Bu Rida sudah ahli mengendalikan gejolak diri. Dia ingin sehat di sisa usia, biar bisa melihat anak-anaknya bahagia. Makanya harus bisa mengontrol hati."Aku dan Agatha nggak pernah nyangka. Kami dekat, mulai cocok, saling memahami. Tapi saat tahu latar belakang masing-masing, rasanya aneh. Seperti dunia ini terlalu kecil dan sempit."Bu Rida tersenyum. "Dunia memang sempit, Ham. Tapi perasaan manusia luas sekali."Arham menatap mamanya. "Kalau aku serius dalam kedekatan kami, seperti kami bertukar pasangan. Aku mantan suami Hilya, dia mantan istrinya Bre.""Nak," ucap Bu Rida lembut. "Semua ini bukan kesengajaan. Kalian bertemu nggak sengaja di saat sudah sama-sama saling sendiri. Kamu dan Hilya sudah selesai. Agatha dan Bre pun sudah bercerai lebih dari se
USAI KEPUTUSAN CERAI - Sang Mantan 2Author's POV Arham tercekat. Ini kejutan yang sungguh luar biasa baginya. Kebetulan macam apa ini. Hening. Mereka saling pandang dalam perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Kenapa tidak sejak awal saja saling bercerita, biar terungkap semuanya. Ketika hati sama-sama bertaut dan ingin lebih dekat lagi, muncul kenyataan yang sangat luar biasa."Pernikahan kami hanya setahun saja. Dia pria yang baik." Agatha menarik napas panjang sambil membuang pandang ke luar lewat sekat kaca. "Kami terakhir bertemu tiga setengah tahun yang lalu. Disaat dia sudah menikah dan istrinya tengah hamil lima bulan. Rifky diajaknya saat itu."Agatha menarik napas panjang lalu melanjutkan bicara. "Makanya saya kaget melihat Rifky kemarin. Saya masih ingat betul wajahnya."Senyum getir terbit di bibir Arham. "Lucu cerita ini, Mbak.""Ya." Agatha pun ikut tersenyum. Sama-sama mengulas senyum yang terasa pahit. Setelah diam beberapa saat, Agatha kembali bicara tentang
"Aku tahu dari anaknya Arham. Aku masih ingat wajah anak itu yang dulu di gendong Bre saat kami ketemuan di sebuah rumah makan. Tiga setengah tahun yang lalu." Agatha mengeluarkan ponsel yang sejak tadi belum dikeluarkan dari dalam sakunya. Ia menunjukkan foto Rifky yang diambilnya di area tempat bermain."Ini anak tirinya Bre?" Bu Wawan memandang Agatha."Ya. Ganteng, kan?"Bu Wawan mengangguk. Kemudian meletakkan ponsel di atas meja. "Apa itu masalah buatmu?" tanyanya lembut pada Agatha."Aku kaget, Ma. Dikala aku siap membuka hati, harus menghadapi kenyataan seperti ini. Kalau ada jodoh antara aku dan Arham. Begitu lucunya kenyataan. Kami seolah bertukar pasangan.""Semua nggak disengaja dan ini bukan lelucon. Majulah terus, Nduk. Kalian bisa sama-sama berusaha untuk saling menyembuhkan dan membina masa depan. Apapun yang terjadi di masa lalu, kalian berhak juga mendapatkan kebahagiaan. Kalau Nak Arham memang serius, terima saja. Percayalah hati kalian akan sembuh seiring berjalann
Namun hari ini dia tahu satu kenyataan. Ternyata Arham mantan suaminya Hilya, istri Bre. Lalu bagaimana dia bisa bangkit dan melupakan semuanya kalau masih saling berkaitan begini."Dari sini Mas Arham langsung mengajak Rifky pulang ke rumah?""Aku mampir ke rumah mama dulu. Sorenya baru pulang ke rumah. Mbak Gatha, mau ikut?""Sore ini saya harus mengantarkan mama keluar, Mas. Lain kali saja.""Oke." Arham mengangguk.Mereka menemani Rifky bermain hingga satu jam kemudian. Lantas keluar mall dan berpisah di parkiran.Melihat sikap Agatha yang perhatian terhadap Rifky, Arham lega. Timbul harapan hubungan mereka akan ada peningkatan. Dia tidak mempermasalahkan usianya yang lebih muda dari Agatha. Apalagi sang mama juga menyukai wanita itu. Arham ingin mewujudkan keinginan mamanya untuk segera menikah. "Mama ingin melihatmu berumah tangga lagi, sebelum mama pergi. Lihat sekarang mama sakit-sakitan. Mama berharap kamu punya pasangan dan hidup bahagia. Toh hubunganmu dengan Hilya juga su
USAI KEPUTUSAN CERAI- Sang MantanAuthor's POV "Rifky, salim dulu sama Tante Agatha." Rifky mengulurkan tangan kecilnya untuk menyalami wanita yang seketika itu menyondongkan tubuh padanya.Benar, tidak salah lagi. Dia anak tirinya Bre. Agatha masih ingat wajah tampannya. Untuk Rifky sendiri, tentu saja dia tidak ingat dengan Agatha. Saat bertemu kala itu baru berumur dua setengah tahun."Sudah sekolah?" tanya Agatha dengan wajah ramah."Sudah, Tante."Agatha mengusap lembut rambut Rifky. Kemudian ia berbincang dengan Arham. Namun belum membahas tentang apa yang ia ketahui. Setelah perkenalan di rest area saat itu, mereka berteman. Lumayan akrab setelah beberapa bulan kemudian. Sama-sama bekerja di bidang yang sama, jadi bertukar pengalaman. Apalagi sudah sepuluh tahun lebih Agatha meninggalkan Surabaya. Jadi dia belum begitu memahami banyaknya perubahan.Mereka sudah beberapa kali janjian makan siang di sela jam istirahat. Akan tetapi, Arham tidak banyak menceritakan tentang kehid
Hilya teringat satu malam yang berlalu begitu cepat saat sang suami menginginkannya. Malam di mana ia lupa menelan pil kecil yang biasa melindungi dari kemungkinan seperti ini. Hamil. Apa mungkin hamil hanya karena sekali saja lupa minum pil kontrasepsi? Tapi dia merasakan perubahan itu. "Sayang." Suara serak Bre terdengar dari balik selimut. Ia menggeliat lalu melihat istrinya duduk termenung."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" tanya Bre sambil bangkit dan duduk merapat pada sang istri dan menyentuh keningnya.Hilya menoleh, menatap wajah suaminya yang terlihat masih mengantuk. Tadi malam Bre memang pulang dari Surabaya sudah jam sebelas. Hilya menarik napas panjang lalu berkata pelan, "Aku mual sudah beberapa hari ini, Mas. Tapi pagi ini malah tambah begah."Bre mengerutkan kening. Seketika matanya terbuka lebar karena ingat percakapan mereka suatu malam, di mana Hilya bilang lupa minum pil kontrasepsi. "Kamu hamil?""Mungkin. Aku sudah sebulan lebih telat haid."Napas Bre langsung t
"Kalau gitu, saya pamit dulu." Arham bangkit dari duduknya lalu menyalami Bre dan Hilya. Pria itu mendekat pada dua bocah yang masih sibuk dengan mainannya. Rifky dan Rafka langsung berdiri dan memeluk Arham. Menciuminya bergantian. Dia pun sayang pada Rafka yang tampan dan menggemaskan. Arham melangkah keluar rumah di antarkan oleh Bre, Hilya, dan anak-anak. Arham menoleh sebelum membuka pintu pagar. Melambaikan tangan yang dibalas oleh Rifky dan Rafka.Setelah itu Hilya mengajak Rifky untuk berganti pakaian ke kamarnya, sedangkan Rafka duduk bermain di karpet ditemani oleh sang papa.Sementara Arham kembali melaju di jalan utama. Sendirian lagi setelah dua hari ditemani. Namun sebenarnya dia sudah terbiasa kesepian semenjak perceraian. Hidup sendiri, kalau sakit juga sendiri. Arham tidak pernah memberitahu pada mamanya, karena Bu Rida sendiri juga sakit-sakitan. Kalau memang sudah tidak tahan, baru ia memberitahu adiknya. Itu pun setelah sangat terpaksa, karena Arham juga kasihan p
USAI KEPUTUSAN CERAI- KenalanAuthor's POV "Mas." Wanita berpakaian seragam sebuah butik itu menghampiri Arham."Tika." Arham mendekap erat Rifky.Mereka saling pandang sejenak. Wajah wanita itu berbinar. Semenjak bercerai, dia tidak pernah bertemu mantan suaminya. Berbagai cara dilakukan supaya bisa berjumpa dengan Arham, tapi tak pernah berhasil.Setiap kali melihatnya, mungkin Arham sengaja menghindar. Hubungan mereka benar-benar sudah selesai di akhir persidangan.Sudah setahun ini dia bekerja di butik yang ada di mall itu. Setahun kemarin sibuk dengan keterpurukannya. Tak ada dukungan, tak ada support karena keluarganya memang berantakan. Sudah seperti orang stres saja menghabiskan waktu ke sana ke mari tanpa teman. Karena beberapa teman dekat menjauhi, tidak peduli, dan mereka juga sibuk dengan aktivitas masing-masing.Apalagi Aruna sama sekali tidak pernah menghubunginya. Dihubungi juga tidak bisa. Ia dengar wanita itu sudah kembali bahagia dengan suami dan anaknya.Uang Idda