Ayunda merasa begitu bingung. Hingga saat ini, ia belum memberitahu Ardan soal kehamilannya. Sejak pulang dari rumah sakit, Ardan hanya mengurung diri di kamar, menjauh darinya, dan bersikap dingin. Tak ada lagi kelembutan dalam sorot matanya, hanya dingin yang menusuk.“Ar, kamu mau makan di kamar atau kita ke ruang makan?” tanya Ayunda pelan dari ambang pintu.Namun Ardan tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop putih ke arah Ayunda. Tanpa berkata apa-apa.Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka dan membaca isinya. Matanya langsung membelalak.“Surat cerai?” bisiknya lirih, lalu dengan cepat merobek kertas itu di depan mata suaminya. Amarah dan kesedihan tumpah bersamaan.“Aku tidak mau cerai sama kamu, Ardan! Apalagi sekarang … aku sedang hamil!”Ardan terkejut. Ia menoleh, matanya melebar. “Kamu … hamil?” suaranya parau, nyaris tak terdengar.Ayunda mengangguk, air matanya jatuh. “Iya, dan aku gak peduli kamu l
Keesokan paginya, sinar matahari menembus celah tirai dengan lembut. Ayunda sudah rapi dengan setelan formal berwarna putih gading. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersinar meski sempat pucat karena kehamilan yang makin terasa. Hari ini, ia tidak lagi berjalan di atas panggung sebagai model, tapi akan duduk di kursi pemimpin sebuah perusahaan besar—warisan kerja keras suaminya.Saat melangkah ke ruang makan, Ayunda melihat meja makan yang telah rapi, tapi kosong. Tak ada Ardan di sana. Ia mendesah pelan, lalu melangkah naik ke lantai atas menuju kamar suaminya.Ia mengetuk pelan sebelum masuk. Di dalam, Ardan duduk di kursi roda, membelakangi pintu, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong."Ar," panggil Ayunda lembut. "Kamu mau sarapan apa? Aku titip pesan ke dapur, ya?"Ardan tidak menjawab. Hanya diam, membiarkan keheningan menggantung.Namun Ayunda tidak menyerah. Ia sudah tahu, ini bukan Ardan yang sebenarnya—ini hanya tempur
Di sebuah café dengan interior modern minimalis tak jauh dari apartemen barunya, Mahesa duduk berhadapan dengan Danu. Aroma kopi dan suara dentingan gelas terdengar samar, namun tidak mampu meredam panasnya pembicaraan mereka.Danu menyesap espresso-nya pelan, raut wajahnya tampak kesal dan frustrasi.“Aku kira semuanya akan mudah, Mahesa. Aku pikir saat Ardan lumpuh, perusahaan itu akan runtuh. Tapi nyatanya? Justru Ayunda yang muncul dan mengubah semuanya.”Mahesa mengangguk pelan, matanya menerawang kosong ke arah jalanan di luar kaca café.“Dulu dia hanya gadis polos yang tak tahu apa-apa selain berjalan di atas runway. Tapi sekarang dia berubah jadi singa betina. Menyeramkan.”Danu menggebrak meja pelan. “Bahkan investor yang sebelumnya sudah mau bergabung denganku, sekarang justru kembali ke Blue Corp karena mereka percaya sama Ayunda! Dia terlalu pintar memainkan kekuatan nama dan pengaruhnya.”Mahesa menyeringai kecil, na
Di ruang keluarga, suasana sedikit lengang. Ayunda duduk di sofa dengan selimut menutupi kakinya, sementara William berdiri di hadapannya, ekspresinya serius tapi penuh hormat.“Aku tahu ini bukan tugas biasa, tapi aku mempercayakan semuanya padamu, William. Aku sudah terlalu sering diserang secara langsung, tapi sekarang serangannya mental. Dan aku tidak bisa membiarkan itu terus terjadi.”William mengangguk tegas. “Saya akan cari tahu siapa pengirim pesan-pesan ini, Bu. Nomor tidak terdaftar, tapi saya punya koneksi yang bisa bantu lacak. Tolong jaga Ibu dan calon bayi, serahkan sisanya pada saya.”Ayunda tersenyum kecil. “Terima kasih, William. Jaga ini sebagai rahasia, bahkan dari Ardan. Aku tidak mau dia makin terbebani.”William mengangguk sekali lagi, lalu meninggalkan ruangan.***Sore harinya, Ayunda yang sedang rebahan di kamar tiba-tiba merasa sangat ingin makan bakso. Ia tahu ada banyak bakso enak di luar sana, tapi y
Ayunda mematung, tangannya gemetar hebat saat menatap layar ponsel. Video itu—yang kini tersebar luas di media sosial—menampilkan dirinya saat remaja, ketika mimpi buruk di panti asuhan menjadi kenyataan. Kenangan kelam itu, yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam, kembali menyeruak begitu nyata. Tubuhnya berkeringat dingin, jantungnya berdebar kacau.Rasa takut dan trauma yang telah ia redam selama empat tahun terakhir kembali mencuat. Selama itu pula ia bergulat dengan psikiater, mencoba menyembuhkan luka yang membusuk di batin. Ia hampir kehilangan akal sehatnya—dan kini, luka itu kembali menganga, ditelanjangi di depan dunia.Ayunda terdiam, tak mengeluarkan satu kata pun. Hanya air mata yang tak terbendung, mengalir deras membasahi pipinya. Tubuhnya ambruk di lantai ruang tamu. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, seolah ingin menghilang dari kenyataan.Ardan, yang kebetulan melintas di ruang tamu, terpaku melihat sang istri dalam kondisi demikian.
Ayunda merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Ia terbangun dengan jantung berdebar dan langsung terduduk, matanya membelalak melihat Ardan berada tepat di sampingnya. Seketika pikirannya melayang kembali ke masa lalu—kenangan pahit yang terus menghantuinya, membuat tubuhnya gemetar ketakutan.Ardan menatap istrinya dengan lembut, mencoba menjangkau tangannya yang bergetar."Kamu jangan takut, Ayunda. Ada aku di sini," ujarnya dengan suara yang menenangkan.Namun Ayunda menarik tubuhnya menjauh, memeluk diri sendiri sambil menunduk dalam, seolah ingin menghilang dari dunia."Aku jijik sama diri aku sendiri, Ardan Jangan sentuh aku. Kamu pasti juga jijik, kan?" Suaranya parau, tertahan oleh isak yang makin lama makin deras.Ardan menggeleng cepat. “Tidak. Aku nggak pernah, sedikit pun, merasa jijik sama kamu.”Matanya menatap Ayunda dalam-dalam. Ia tahu, luka di hati istrinya lebih dalam dari apa yang terlihat. Ia tahu soal v
Ayunda berlari dengan napas tersengal, air mata membasahi pipinya. Meski hatinya hancur meninggalkan Ardan, ia tahu suaminya ingin ia selamat. Permintaan Ardan untuk berlari terus terngiang di kepalanya, seperti gema yang tak henti memukul batinnya.Rasa khawatir terhadap Ardan bercampur dengan ketakutan dan trauma yang mencengkeram, namun langkah kakinya tak mau berhenti. Ia berlari menembus kerumunan, tak mempedulikan teriakan orang-orang atau tatapan panik di sekitarnya. Dunia seakan buram—yang ada hanya desakan untuk menjauh, untuk bertahan hidup.Para penjahat mulai kehilangan jejaknya, terkecoh oleh keramaian. Tapi Ayunda tak menyadari itu. Ia terus berlari, tak tahu ke mana, tak tahu untuk apa—selain menjauh dari bahaya dan berharap keajaiban datang untuk Ardan."Ardan, maafkan aku," bisiknya lirih, nyaris tercekat di tenggorokan. Langkah Ayunda mulai goyah, tubuhnya terasa ringan seperti hendak tumbang, tapi ia terus berlari. Hatinya digerus rasa b
Keyla tak bisa menahan air matanya. Mendengar Ayunda berkata seperti itu—dengan suara yang nyaris tak terdengar, seperti pecahan kaca yang menyayat hati—membuat dadanya terasa sesak.“Ayunda, kamu ikut aku, ya. Nggak usah mikirin apa-apa dulu. Istirahat dulu, pulihkan dirimu,” ucap Keyla tegas namun lembut. Tanpa menunggu jawaban, ia memapah Ayunda pelan, membagi tangan antara menggendong bayinya dan menggandeng perempuan yang dulu selalu kuat itu yang kini terlihat rapuh seperti dedaunan kering di ujung musim.Perjalanan ke kontrakan Keyla hanya butuh sepuluh menit, tapi terasa panjang karena langkah Ayunda yang lemah dan lambat. Sesampainya di sana, Keyla langsung menyuruh Ayunda duduk di kasur tipis yang terhampar di sudut ruangan kecil itu. Tempatnya sederhana, tapi bersih dan hangat.Keyla mengambil kain basah, lalu membersihkan luka di tangan dan lutut Ayunda dengan hati-hati.“Aku tahu kamu mungkin nggak mau cerita sekarang, tapi aku di sin
Ayunda benar-benar kembali menata hidupnya. Perlahan namun pasti, ia mulai membenahi perusahaan Ardan yang sempat terabaikan saat hidupnya berada di titik terendah. Kini, dengan semangat dan keyakinan baru, ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri kembali, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.Malam itu, rumah sudah sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ardan yang baru terbangun karena tidak mendapati istrinya di tempat tidur, mendorong kursi rodanya menuju ruang kerja."Ayunda, ini sudah malam. Kamu sedang apa?" tanyanya lembut, heran melihat sang istri masih duduk di depan laptop, dikelilingi kertas dan catatan.Ayunda menoleh dan tersenyum kecil. Wajahnya lelah tapi matanya berbinar penuh semangat. “Aku sedang menyusun strategi bisnis. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dan aku juga nggak mau kalau sampai Danu mengambil alih peluang ini.”Ardan menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia bangga melihat Ayunda yan
Seminggu setelah surat pengadilan itu datang, akhirnya mereka semua hadir dalam sidang pertama di pengadilan.Ayunda mendorong kursi roda sang suami dengan langkah mantap. Wajahnya terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya, dan perutnya yang mulai membuncit menjadi pertanda kehidupan baru yang tengah mereka nantikan. Ardan, yang duduk di kursi roda, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia bahagia melihat istrinya kembali cerah dan penuh semangat.“Kita hadapi semuanya sama-sama,” ujar Ayunda lembut, menggenggam tangan Ardan sejenak.Di belakang mereka, Oma Ola mendorong stroller bayi Keyla yang tampak tertidur pulas. Di sisi lain, William berjalan berdampingan dengan dua pengacara ternama, yang biasanya menangani kasus-kasus besar di dunia hiburan. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan kesungguhan.Saat mereka memasuki ruang sidang, suasana menjadi sedikit tegang. Ayunda duduk di kursi saksi, sementara di seberangnya, Danu duduk bersama pengacaranya dan beberapa orang
Ardan mencoba untuk mengalihkan rasa takut Ayunda ke hal-hal yang positif. Ia selalu memberikan dukungan dan meyakinkan Ayunda."Bimo sudah mati Ayunda. Kamu jangan takut, aku ingin Ayunda yang dulu Ayunda yang seperti dulu pemberani dan cerdas bukan Ayunda yang seperti ini bagaimana dengan anak kita nanti?" Ardan mengelus perut Ayunda yang memang sudah memasuki bulan ketujuh ini.Ayunda terdiam merasapi setiap perkataan yang dikatakan oleh suaminya itu. Begitu juga dengan Oma Ola yang memberikan semangat agar Ayunda berani melawan semuanya jika Ayunda takut seperti ini maka para penjahat itu akan semakin senang.Ayunda merasa jika dirinya harus bangkit dan ia tidak bisa terus-terusan seperti ini."Benar, aku harus bangkit. Aku tidak boleh seperti ini aku tidak boleh lemah!"Ardan tersenyum melihat tekad yang mulai tumbuh di mata istrinya. Ia menggenggam tangan Ayunda erat, seolah ingin mentransfer seluruh kekuatan dan keberaniannya.
Ardan bercerita bahwa lelaki tua bengkak itu sudah tewas, mencoba menenangkan hati Ayunda yang masih trauma. Ayunda mengangguk pelan, meski matanya masih menyimpan ketakutan. Sejak kejadian itu, ia menjalani terapi rutin dan bergantung pada obat penenang untuk menjaga kestabilan pikirannya.Pintu mendadak terbuka. William masuk dengan napas memburu, wajahnya tegang.“Aku tidak percaya,” katanya sambil membanting map ke meja. “Danu—dia yang melaporkan kematian Bimo ke polisi. Dan sekarang Keyla dijadikan tersangka!”“Sialan, si Danu itu,” ulang William, menatap Ardan dengan sorot kecewa. “Justru dia yang memutarbalikkan semuanya.”Keyla yang sedang menyuapi anaknya sontak menghentikan gerakannya. Ia terdiam sejenak, lalu memaksakan senyum ke arah Ayunda.“Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja,” ujarnya lembut.Ayunda bangkit, melangkah pelan lalu memeluk Keyla erat-erat. Suaranya parau menahan tangis.“Maaf … kalau saja ak
Keesokan paginya, Ayunda diantar oleh Oma Ola, Ardan, dan William—yang duduk di balik kemudi. Beberapa anak buah mereka mengiringi dari depan dan belakang, memastikan keamanan selama perjalanan menuju tempat terapi. Tujuan mereka satu: membantu Ayunda pulih dari trauma mendalam dan rasa takut yang masih menghantui.Sesampainya di sana, Ardan memilih untuk menemani Ayunda masuk ke dalam ruangan terapi. Ia duduk tak jauh dari wanita itu, menyaksikan bagaimana Ayunda berjuang melawan bayang-bayang mengerikan yang terus membayangi pikirannya. Melihat wanita yang ia sayangi menggigil dan sesekali menahan air mata membuat hatinya mencelos. Ia ingin menarik Ayunda ke dalam pelukannya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja—tapi ia tahu, proses ini harus dijalani dengan pelan-pelan.Sementara itu, William berjaga di luar. Pandangannya waspada, tapi pikirannya berkecamuk. Ia masih teringat wajah lelaki tua paruh baya yang malam itu mencoba menyeret Ayunda—lelaki yang
Ayunda langsung memeluk suaminya begitu melihat wajahnya yang lebam-lebam dan kepala yang diperban. Hatinya remuk melihat kondisi Ardan seperti itu. Ia memeluknya erat, seolah tak ingin melepasnya lagi."Ar," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, hanya getaran emosi yang bisa dirasakan dari suara itu.Ardan menghela napas panjang, lalu membalas pelukan Ayunda dengan lemah. Ia merasa hancur, bukan karena luka di tubuhnya, tapi karena perasaan bersalah yang terus menggerogoti."Aku ... aku minta maaf, Ayunda. Aku gagal melindungimu. Aku nggak pantas jadi suami kamu," gumamnya pelan.Ayunda menggeleng cepat, air mata mengalir di pipinya. "Jangan bilang begitu. Kamu sudah berjuang. Kamu pulang dengan selamat, itu yang paling penting."Ardan menatap wajah istrinya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu nggak apa-apa, kan?" tanyanya, suaranya parau.Ayunda mengangguk sambil terus menggenggam tangannya. "Aku baik-baik saja sekarang,
Keyla tak bisa menahan air matanya. Mendengar Ayunda berkata seperti itu—dengan suara yang nyaris tak terdengar, seperti pecahan kaca yang menyayat hati—membuat dadanya terasa sesak.“Ayunda, kamu ikut aku, ya. Nggak usah mikirin apa-apa dulu. Istirahat dulu, pulihkan dirimu,” ucap Keyla tegas namun lembut. Tanpa menunggu jawaban, ia memapah Ayunda pelan, membagi tangan antara menggendong bayinya dan menggandeng perempuan yang dulu selalu kuat itu yang kini terlihat rapuh seperti dedaunan kering di ujung musim.Perjalanan ke kontrakan Keyla hanya butuh sepuluh menit, tapi terasa panjang karena langkah Ayunda yang lemah dan lambat. Sesampainya di sana, Keyla langsung menyuruh Ayunda duduk di kasur tipis yang terhampar di sudut ruangan kecil itu. Tempatnya sederhana, tapi bersih dan hangat.Keyla mengambil kain basah, lalu membersihkan luka di tangan dan lutut Ayunda dengan hati-hati.“Aku tahu kamu mungkin nggak mau cerita sekarang, tapi aku di sin
Ayunda berlari dengan napas tersengal, air mata membasahi pipinya. Meski hatinya hancur meninggalkan Ardan, ia tahu suaminya ingin ia selamat. Permintaan Ardan untuk berlari terus terngiang di kepalanya, seperti gema yang tak henti memukul batinnya.Rasa khawatir terhadap Ardan bercampur dengan ketakutan dan trauma yang mencengkeram, namun langkah kakinya tak mau berhenti. Ia berlari menembus kerumunan, tak mempedulikan teriakan orang-orang atau tatapan panik di sekitarnya. Dunia seakan buram—yang ada hanya desakan untuk menjauh, untuk bertahan hidup.Para penjahat mulai kehilangan jejaknya, terkecoh oleh keramaian. Tapi Ayunda tak menyadari itu. Ia terus berlari, tak tahu ke mana, tak tahu untuk apa—selain menjauh dari bahaya dan berharap keajaiban datang untuk Ardan."Ardan, maafkan aku," bisiknya lirih, nyaris tercekat di tenggorokan. Langkah Ayunda mulai goyah, tubuhnya terasa ringan seperti hendak tumbang, tapi ia terus berlari. Hatinya digerus rasa b
Ayunda merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Ia terbangun dengan jantung berdebar dan langsung terduduk, matanya membelalak melihat Ardan berada tepat di sampingnya. Seketika pikirannya melayang kembali ke masa lalu—kenangan pahit yang terus menghantuinya, membuat tubuhnya gemetar ketakutan.Ardan menatap istrinya dengan lembut, mencoba menjangkau tangannya yang bergetar."Kamu jangan takut, Ayunda. Ada aku di sini," ujarnya dengan suara yang menenangkan.Namun Ayunda menarik tubuhnya menjauh, memeluk diri sendiri sambil menunduk dalam, seolah ingin menghilang dari dunia."Aku jijik sama diri aku sendiri, Ardan Jangan sentuh aku. Kamu pasti juga jijik, kan?" Suaranya parau, tertahan oleh isak yang makin lama makin deras.Ardan menggeleng cepat. “Tidak. Aku nggak pernah, sedikit pun, merasa jijik sama kamu.”Matanya menatap Ayunda dalam-dalam. Ia tahu, luka di hati istrinya lebih dalam dari apa yang terlihat. Ia tahu soal v