Ardan mencoba untuk mengalihkan rasa takut Ayunda ke hal-hal yang positif. Ia selalu memberikan dukungan dan meyakinkan Ayunda.
"Bimo sudah mati Ayunda. Kamu jangan takut, aku ingin Ayunda yang dulu Ayunda yang seperti dulu pemberani dan cerdas bukan Ayunda yang seperti ini bagaimana dengan anak kita nanti?" Ardan mengelus perut Ayunda yang memang sudah memasuki bulan ketujuh ini.Ayunda terdiam merasapi setiap perkataan yang dikatakan oleh suaminya itu. Begitu juga dengan Oma Ola yang memberikan semangat agar Ayunda berani melawan semuanya jika Ayunda takut seperti ini maka para penjahat itu akan semakin senang.Ayunda merasa jika dirinya harus bangkit dan ia tidak bisa terus-terusan seperti ini."Benar, aku harus bangkit. Aku tidak boleh seperti ini aku tidak boleh lemah!"Ardan tersenyum melihat tekad yang mulai tumbuh di mata istrinya. Ia menggenggam tangan Ayunda erat, seolah ingin mentransfer seluruh kekuatan dan keberaniannya.Seminggu setelah surat pengadilan itu datang, akhirnya mereka semua hadir dalam sidang pertama di pengadilan.Ayunda mendorong kursi roda sang suami dengan langkah mantap. Wajahnya terlihat jauh lebih segar dari sebelumnya, dan perutnya yang mulai membuncit menjadi pertanda kehidupan baru yang tengah mereka nantikan. Ardan, yang duduk di kursi roda, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia bahagia melihat istrinya kembali cerah dan penuh semangat.“Kita hadapi semuanya sama-sama,” ujar Ayunda lembut, menggenggam tangan Ardan sejenak.Di belakang mereka, Oma Ola mendorong stroller bayi Keyla yang tampak tertidur pulas. Di sisi lain, William berjalan berdampingan dengan dua pengacara ternama, yang biasanya menangani kasus-kasus besar di dunia hiburan. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menunjukkan kesungguhan.Saat mereka memasuki ruang sidang, suasana menjadi sedikit tegang. Ayunda duduk di kursi saksi, sementara di seberangnya, Danu duduk bersama pengacaranya dan beberapa orang
Ayunda benar-benar kembali menata hidupnya. Perlahan namun pasti, ia mulai membenahi perusahaan Ardan yang sempat terabaikan saat hidupnya berada di titik terendah. Kini, dengan semangat dan keyakinan baru, ia ingin membuktikan bahwa dirinya mampu berdiri kembali, bahkan lebih kuat dari sebelumnya.Malam itu, rumah sudah sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Ardan yang baru terbangun karena tidak mendapati istrinya di tempat tidur, mendorong kursi rodanya menuju ruang kerja."Ayunda, ini sudah malam. Kamu sedang apa?" tanyanya lembut, heran melihat sang istri masih duduk di depan laptop, dikelilingi kertas dan catatan.Ayunda menoleh dan tersenyum kecil. Wajahnya lelah tapi matanya berbinar penuh semangat. “Aku sedang menyusun strategi bisnis. Aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Dan aku juga nggak mau kalau sampai Danu mengambil alih peluang ini.”Ardan menatapnya dalam diam. Di satu sisi, ia bangga melihat Ayunda yan
Hari ini adalah jadwal Ayunda untuk melakukan USG kandungan. Kehamilannya telah memasuki bulan kedelapan. Ayunda sudah tidak sabar menanti kelahiran buah hatinya, begitu pula Ardan dan Oma Ola yang sangat menantikan kehadiran cicit pertama mereka."Aku sudah nggak sabar ingin melihat si kembar," ujar Ardan dengan senyum kecil, matanya berbinar penuh harap.Ardan, yang kini duduk di kursi roda, telah berdamai dengan keadaannya. Dulu, ia sempat takut Ayunda akan meninggalkannya karena kondisinya yang tak lagi sempurna. Namun, ketakutannya itu tak terbukti. Ayunda tetap memilih bertahan, mendampinginya, dan kini tengah mengandung anak-anak mereka—sepasang bayi kembar yang menjadi simbol cinta mereka.Di ruang USG, Ayunda sudah berbaring di ranjang pemeriksaan. Perutnya yang besar telah diolesi gel bening, dan alat pemindai mulai digerakkan perlahan oleh sang dokter. Ia menggenggam tangan Ardan yang duduk di samping ranjang, jari-jarinya saling menguatkan.“Lihat ini…” ucap dokter sambil
Sidang kedua akhirnya digelar dengan suasana yang lebih tegang dari sebelumnya. Bukti-bukti yang dikumpulkan William, termasuk rekaman CCTV dan dokumen pendukung lainnya, telah diserahkan kepada pengacara Kayla. Di ruang sidang, semua fakta mulai terungkap satu per satu. Danu tidak bisa mengelak lagi, meskipun tetap mempertahankan wajah sombong dan senyum miringnya seolah semuanya masih berada dalam kendalinya.Hakim mengetuk palu, menyatakan Kayla tidak bersalah. Suara itu menggema di ruang sidang, disambut haru oleh Kayla dan pengacaranya. William yang duduk di barisan belakang tersenyum lega, sementara Ayunda menggenggam erat tangan Ardan.Namun, kelegaan itu tak sepenuhnya lengkap. Ardan dan Ayunda tahu—Danu memang licik. Bukti kejahatan lainnya, yang seharusnya bisa menyeret Danu ke penjara, lenyap tanpa jejak. Data yang sempat dikumpulkan hilang misterius, saksi kunci menghilang begitu saja. Danu pandai bermain di wilayah abu-abu hukum, membuat dirinya selalu
Danu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan dengan dinding berwarna putih. Nafasnya memburu, gerakannya gelisah. Di dinding, foto-foto Ayunda dari masa remaja hingga dewasa terbingkai rapi, seolah ruangan itu adalah kuil obsesinya. Wajah Ayunda terpampang di mana-mana—senyumnya, tatapannya, bahkan potret candid yang seharusnya tidak dimiliki oleh sembarang orang.Wajah Danu memerah karena amarah yang ia pendam terlalu lama. Semua rencananya berantakan. Ia gagal memenjarakan Keyla, padahal ia yakin wanita itu adalah kunci untuk menekan Ayunda dan Ardan.Kini Mahesa pun memutuskan hubungan. Mantan sekutunya itu menolak mentah-mentah setiap tawaran yang ia berikan. Bahkan Mahesa menyebut Danu sebagai “orang gila yang terjebak dalam obsesinya sendiri.”“Sialan kamu, Mahesa!” teriak Danu sambil membanting gelas ke dinding. Pecahan kaca berserakan, tapi ia tidak peduli.Ia menatap kembali salah satu foto Ayunda yang tergantung di hadapannya—Ayunda ters
Ayunda baru saja meneguk air putih yang diberikan oleh Oma Ola ketika tiba-tiba perutnya terasa sangat nyeri. Kontraksi datang begitu cepat dan kuat, membuat tubuhnya refleks membungkuk menahan sakit."Oma, ini rasanya sakit sekali," ucap Ayunda dengan wajah yang mulai pucat. Napasnya memburu, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.Keyla yang saat itu berdiri tak jauh langsung menghampiri dengan panik. Ia melihat cairan bening merembes dari bagian bawah tubuh Ayunda, membasahi lantai."Oma! Ini ketubannya pecah! Sepertinya Ayunda akan melahirkan!" serunya kaget.Ardan yang duduk tak jauh langsung panik. Ia ingin berdiri, tapi kesulitannya membuat semuanya terasa lebih tegang. Dengan cepat, ia berteriak memanggil sopir."Pak Rudi! Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!"Dalam waktu singkat, suasana rumah berubah jadi penuh kecemasan. Oma Ola membantu menopang tubuh Ayunda, sementara Keyla mengambil tas perlengkapa
Dua minggu berlalu sejak kepulangan dari rumah sakit. Rumah itu kini tak pernah sepi. Tangisan kecil, suara tawa, dan obrolan lembut jadi pengisi setiap sudut ruang. Kehadiran Elvano dan Aluna seperti menyulap segalanya—lelah jadi bahagia, tangis jadi syukur.Hari itu, Ayunda sedang duduk di ruang tengah, mengayun pelan kursi goyangnya sambil menyusui Aluna. Wajah mungil anak perempuannya itu begitu tenang, dan entah kenapa, tiba-tiba Aluna mengangkat sedikit bibirnya seolah tersenyum.Ayunda membeku sejenak, lalu air matanya menetes.“Ardan … Ardan, dia tersenyum,” bisiknya dengan suara bergetar.Ardan yang sedang mengganti popok Elvano di dekat sana langsung menoleh. “Apa? Senyum? Serius?”Ayunda mengangguk cepat, menahan isak. “Dia kayaknya dia kenal aku dia tahu aku ibunya.”Ardan mendekat dan mencium kening istrinya. “Tentu dia tahu. Mana mungkin dia nggak kenal cinta pertama dalam hidupnya?”Malam itu juga, mereka
Beberapa bulan setelah Ayunda mulai menjalani hidup barunya sebagai ibu sekaligus CEO, badai baru mulai muncul di balik ketenangan yang ia ciptakan dengan susah payah.Blue Cooperation, yang kini dikenal sebagai perusahaan visioner dan progresif, mulai menjadi incaran para pesaing. Beberapa perusahaan baru yang didirikan oleh tokoh-tokoh lama yang dulu tersingkir karena strategi Blue Cooperation, mulai bangkit kembali. Mereka membentuk aliansi diam-diam, bersatu dengan satu tujuan: menjatuhkan Ayunda.Salah satu dari mereka adalah Dipta Santosa, mantan direktur dari perusahaan lawas yang bangkrut karena kalah bersaing. Ia membentuk perusahaan rintisan baru bernama Natura Corp, yang bergerak di bidang yang hampir serupa dengan Blue Cooperation. Namun cara yang digunakan Dipta berbeda, ia tak bermain bersih.William masuk dengan raut wajah serius sambil melemparkan map ke meja Ayunda. “Ini laporan dari tim intel bisnis kita. Mereka sengaja menurunkan harga p
Ayunda mengikuti langkah Dipta menuju ruang kecil di sisi kanan lantai itu—ruang privat yang biasanya digunakan untuk percakapan internal atau diskusi mendadak. Begitu pintu tertutup, suasana hening sejenak.Dipta berdiri di hadapan Ayunda, posturnya tegap namun ekspresinya tenang.“Sebelumnya, saya minta maaf kalau pesan saya semalam membuat Ibu Ayunda merasa tak nyaman,” ucap Dipta membuka percakapan dengan nada serius. “Saya tidak bermaksud melewati batas.”Ayunda sedikit terkejut dengan sikap langsung itu. Ia menatap Dipta tanpa menyela.“Saya tahu, sejak meninggalnya Pak Ardan, Ibu jadi pribadi yang lebih tertutup dan fokus pada anak-anak serta pekerjaan. Bahkan saya dengar Ibu sendiri sempat bilang, tidak berniat menikah lagi.”Ayunda sedikit menunduk. Ia tak menyangka Dipta sampai sejauh itu mengetahui tentang dirinya.Dipta melanjutkan, “Tapi pesan kemarin, sungguh bukan karena saya berniat mendekati Ibu secara personal.
Malam itu, setelah melewati rutinitas menyenangkan bersama anak-anak, Ayunda akhirnya berhasil menidurkan Aluna dan Elvano. Elvira sudah lebih dulu tertidur di pelukan Oma Ola, sementara Ayunda membaringkan dua anak lainnya di kamar. Ia menatap wajah polos mereka yang terlelap dengan penuh cinta, lalu perlahan keluar kamar, menutup pintu dengan hati-hati.Ia berjalan menuju ruang tengah, mengambil segelas air putih, lalu duduk di sofa sambil membuka ponsel. Belum sempat membuka aplikasi yang dituju, matanya langsung menangkap satu notifikasi yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Dipta Satriaputra — nama itu muncul di layar, lengkap dengan ikon pesan pribadi.Alis Ayunda langsung bertaut. Ia tertegun beberapa detik. Kenapa Dipta mengirim pesan? Bukannya biasanya dia selalu menyampaikan sesuatu lewat sekretarisnya… William?Rasanya tak biasa—bahkan aneh. Terlebih lagi, ini tengah malam.Dengan sedikit ragu, Ayunda membuka pe
Setelah satu minggu absen dari perusahaan untuk lebih fokus merawat si kembar dan mendampingi Aluna yang masih dalam masa pemulihan, hari ini Ayunda akhirnya kembali masuk kerja. Ia tak bisa menolak, karena ada pertemuan penting yang tidak bisa diwakilkan-rapat kerja sama dengan Skylar Grup, perusahaan besar yang tengah menjalin proyek bersama perusahaannya.Ruang rapat terasa lebih formal dari biasanya, terlebih karena pertemuan itu dipimpin langsung oleh Dipta-ya, lelaki yang seminggu lalu secara tidak sengaja ia tabrak di lorong rumah sakit.Ayunda duduk dengan raut tenang, meski dalam hati agak canggung. Sesekali ia melirik Dipta, yang hari itu tampil rapi dengan jas abu-abu dan gaya maskulin khas CEO sukses. Tapi Ayunda tahu-di balik tatapan tajam dan pembawaan profesional itu, tersimpan satu rahasia memalukan yang ia tahan mati-matian untuk tidak tertawa saat mengingatnya.Saat sesi presentasi selesai dan rapat memasuki jeda ringan, Ayunda memberanik
Enam bulan telah berlalu sejak kepergian Ardan. Sejak saat itu, Ayunda berubah menjadi wanita yang gila kerja. Ia menenggelamkan dirinya dalam rutinitas kantor, seolah ingin melupakan rasa kehilangan yang terus membayangi. Kini, si kembar bahkan sudah pandai berlari, namun Ayunda hanya bisa benar-benar meluangkan waktu untuk mereka di hari Sabtu dan Minggu. Di hari-hari lain, ia sering memilih lembur hingga larut malam.Sementara itu, Keyla dan William telah menempati rumah baru mereka. Meski begitu, William masih kerap membantu Ayunda, terutama karena mereka bekerja di kantor yang sama. Ia paham betul bagaimana sahabatnya itu mencoba berdiri sendiri setelah kehilangan besar yang dialaminya.Suatu sore, saat mereka berkumpul di rumah Keyla, perempuan itu menatap Ayunda dengan cemas."Ayunda, kamu sekarang makin kurus aja," tegur Keyla sambil menyerahkan secangkir teh hangat. Ia baru saja mendengar dari William tentang kebiasaan kerja Ayunda yang makin meng
Dipta menatap Ayunda lekat-lekat. Ia memang sudah lama mendengar reputasi wanita itu—mantan model papan atas yang memilih meninggalkan dunia gemerlap demi mendampingi suaminya, Ardan, yang lumpuh akibat kecelakaan. Dan kini, Ayunda duduk di hadapannya sebagai CEO Blue Cooperation—posisi yang tidak mudah, apalagi dalam kondisi berduka.Ayunda duduk tenang, anggun dan berwibawa. Tatapannya lurus, penuh kendali, meski sorot kesedihan masih sesekali muncul di balik matanya. Dipta, dengan jas gelap dan sikap dinginnya yang khas, akhirnya membuka percakapan.“Saya sebenarnya benar-benar merasa terhina, ketika Anda mengembalikan karangan bunga itu,” ucap Dipta tanpa basa-basi.Ayunda tak bereaksi seketika. Ia hanya menatap pria itu dengan profesionalisme yang luar biasa. Kemudian, dengan nada datar namun sopan, ia menjawab, “Saya minta maaf, Pak Dipta. Tapi menurut saya, karangan bunga itu tidak lagi relevan. Suami saya meninggal dua minggu lalu. Tidak perlu lagi
Kabar meninggalnya Ardan menjadi pemberitaan yang mengguncang publik. Begitu pula dengan keterpurukan Ayunda, yang membuat kekuasaan di perusahaan Blue Cooperation seolah kosong. Para pesaing pun bersemangat mencari celah untuk menjatuhkannya.Kabar itu pun sampai ke telinga Dipta. Namun berbeda dengan perusahaan lain yang berlomba-lomba merebut pangsa pasar atau menarik investor Blue Cooperation, Dipta justru merasa iba. Padahal, selama ini perusahaannya adalah rival terberat Blue Cooperation—selalu bersaing ketat di berbagai ajang bisnis.“Pak Dipta, bukankah ini kesempatan kita?” tanya seorang staf muda dengan nada antusias, matanya berbinar penuh ambisi.Dipta menoleh perlahan. Tatapannya tajam, namun tenang. “Kesempatan?” gumamnya. “Kita bukan predator. Kita pebisnis. Jika hanya bisa menang saat lawan sedang jatuh, maka kita bukan pesaing yang layak.”Staf itu terdiam, sedikit bingung dengan sikap pemimpinnya yang tak biasa.Dipta me
Setibanya di rumah sakit, langkah Ayunda terasa begitu berat. Sepanjang lorong rumah sakit yang dingin dan sunyi itu, ia berjalan perlahan, seolah setiap langkah mengoyak luka di hatinya. Pandangannya tertuju pada papan nama yang menunjukkan ruang rawat anak-anak. Ruangan di mana buah hatinya kini dirawat.Beberapa hari terakhir, Ayunda begitu larut dalam kesedihan karena kehilangan Ardan, sampai-sampai ia melupakan hal terpenting yang masih ia miliki—anak-anaknya.Ketika sampai di depan pintu, ia melihat dua perawat yang menjaga si kembar tengah menatapnya dengan pandangan pilu. Wajah mereka menyiratkan kelegaan sekaligus kekhawatiran. Seolah kedatangan Ayunda adalah harapan terakhir untuk menenangkan dua bocah kecil yang terus menangis memanggil ibunya.Ayunda menarik napas dalam-dalam dan mendorong pintu perlahan.Langkahnya makin lambat saat matanya menangkap sosok mungil Elvano yang duduk bersandar di ranjang dengan mata kanan yang tampak leb
Sesampainya di rumah, Ayunda tak berkata sepatah kata pun. Ia langsung berjalan pelan menuju kamar, tempat yang dulu menjadi saksi kebersamaannya dengan Ardan. Setiap sudut ruangan masih terasa begitu hidup, seolah Ardan baru saja pergi sebentar dan akan kembali kapan saja. Bahkan wangi khas tubuh lelaki itu masih samar-samar menggantung di udara.Dengan langkah lemah, Ayunda mendekati lemari pakaian yang penuh dengan kemeja dan jas Ardan. Tangannya bergetar saat membuka pintu lemari, dan begitu melihat deretan pakaian itu masih rapi tergantung, dadanya seketika sesak."Ar, kenapa sih secepat ini kamu pergi?" lirihnya.Tangisnya kembali pecah. Histeris. Ia benar-benar belum siap kehilangan Ardan. Kepergian itu terlalu mendadak, terlalu menusuk hati.Dirinya tanpa Ardan, bisa apa?Selama ini, Ardan adalah segalanya. Lelaki itu yang selalu membuatnya bangkit dari keterpurukan. Yang menggenggam tangannya ketika semua orang menjauh. Yang meng
Ardan dan keluarganya segera dilarikan ke rumah sakit. Di masjid, tempat pernikahan Kayla tengah berlangsung, suasana berubah mencekam saat kabar itu sampai. Kayla merasa sangat risau, pikirannya kacau, dan air matanya tak terbendung. Sementara itu, Ardan yang kehilangan banyak darah langsung dilarikan ke ruang ICU. Tim medis bergerak cepat, namun kepanikan jelas terlihat. Kondisinya terus memburuk, membuat para dokter kebingungan dalam mengambil keputusan. Detak jantungnya tak stabil, tekanan darahnya terus menurun, dan tubuhnya semakin pucat. Di ruang lain, Ayunda masih belum sadarkan diri. Dua anaknya, Aluna dan Elvano, juga dalam kondisi kritis. Luka-luka di tubuh mereka cukup parah dan membutuhkan penanganan segera. Tangisan perawat dan suara alat medis yang terus berbunyi menciptakan suasana yang penuh ketegangan. Waktu terasa berjalan lambat. Kayla yang akhirnya tiba di rumah sakit, langsung berlari ke ruang tunggu ICU. Ia menggeng