Sidang kedua akhirnya digelar dengan suasana yang lebih tegang dari sebelumnya. Bukti-bukti yang dikumpulkan William, termasuk rekaman CCTV dan dokumen pendukung lainnya, telah diserahkan kepada pengacara Kayla. Di ruang sidang, semua fakta mulai terungkap satu per satu. Danu tidak bisa mengelak lagi, meskipun tetap mempertahankan wajah sombong dan senyum miringnya seolah semuanya masih berada dalam kendalinya.Hakim mengetuk palu, menyatakan Kayla tidak bersalah. Suara itu menggema di ruang sidang, disambut haru oleh Kayla dan pengacaranya. William yang duduk di barisan belakang tersenyum lega, sementara Ayunda menggenggam erat tangan Ardan.Namun, kelegaan itu tak sepenuhnya lengkap. Ardan dan Ayunda tahu—Danu memang licik. Bukti kejahatan lainnya, yang seharusnya bisa menyeret Danu ke penjara, lenyap tanpa jejak. Data yang sempat dikumpulkan hilang misterius, saksi kunci menghilang begitu saja. Danu pandai bermain di wilayah abu-abu hukum, membuat dirinya selalu
Danu berjalan mondar-mandir di dalam ruangan dengan dinding berwarna putih. Nafasnya memburu, gerakannya gelisah. Di dinding, foto-foto Ayunda dari masa remaja hingga dewasa terbingkai rapi, seolah ruangan itu adalah kuil obsesinya. Wajah Ayunda terpampang di mana-mana—senyumnya, tatapannya, bahkan potret candid yang seharusnya tidak dimiliki oleh sembarang orang.Wajah Danu memerah karena amarah yang ia pendam terlalu lama. Semua rencananya berantakan. Ia gagal memenjarakan Keyla, padahal ia yakin wanita itu adalah kunci untuk menekan Ayunda dan Ardan.Kini Mahesa pun memutuskan hubungan. Mantan sekutunya itu menolak mentah-mentah setiap tawaran yang ia berikan. Bahkan Mahesa menyebut Danu sebagai “orang gila yang terjebak dalam obsesinya sendiri.”“Sialan kamu, Mahesa!” teriak Danu sambil membanting gelas ke dinding. Pecahan kaca berserakan, tapi ia tidak peduli.Ia menatap kembali salah satu foto Ayunda yang tergantung di hadapannya—Ayunda ters
Ayunda baru saja meneguk air putih yang diberikan oleh Oma Ola ketika tiba-tiba perutnya terasa sangat nyeri. Kontraksi datang begitu cepat dan kuat, membuat tubuhnya refleks membungkuk menahan sakit."Oma, ini rasanya sakit sekali," ucap Ayunda dengan wajah yang mulai pucat. Napasnya memburu, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.Keyla yang saat itu berdiri tak jauh langsung menghampiri dengan panik. Ia melihat cairan bening merembes dari bagian bawah tubuh Ayunda, membasahi lantai."Oma! Ini ketubannya pecah! Sepertinya Ayunda akan melahirkan!" serunya kaget.Ardan yang duduk tak jauh langsung panik. Ia ingin berdiri, tapi kesulitannya membuat semuanya terasa lebih tegang. Dengan cepat, ia berteriak memanggil sopir."Pak Rudi! Cepat siapkan mobil! Kita ke rumah sakit sekarang!"Dalam waktu singkat, suasana rumah berubah jadi penuh kecemasan. Oma Ola membantu menopang tubuh Ayunda, sementara Keyla mengambil tas perlengkapa
Dua minggu berlalu sejak kepulangan dari rumah sakit. Rumah itu kini tak pernah sepi. Tangisan kecil, suara tawa, dan obrolan lembut jadi pengisi setiap sudut ruang. Kehadiran Elvano dan Aluna seperti menyulap segalanya—lelah jadi bahagia, tangis jadi syukur.Hari itu, Ayunda sedang duduk di ruang tengah, mengayun pelan kursi goyangnya sambil menyusui Aluna. Wajah mungil anak perempuannya itu begitu tenang, dan entah kenapa, tiba-tiba Aluna mengangkat sedikit bibirnya seolah tersenyum.Ayunda membeku sejenak, lalu air matanya menetes.“Ardan … Ardan, dia tersenyum,” bisiknya dengan suara bergetar.Ardan yang sedang mengganti popok Elvano di dekat sana langsung menoleh. “Apa? Senyum? Serius?”Ayunda mengangguk cepat, menahan isak. “Dia kayaknya dia kenal aku dia tahu aku ibunya.”Ardan mendekat dan mencium kening istrinya. “Tentu dia tahu. Mana mungkin dia nggak kenal cinta pertama dalam hidupnya?”Malam itu juga, mereka
Beberapa bulan setelah Ayunda mulai menjalani hidup barunya sebagai ibu sekaligus CEO, badai baru mulai muncul di balik ketenangan yang ia ciptakan dengan susah payah.Blue Cooperation, yang kini dikenal sebagai perusahaan visioner dan progresif, mulai menjadi incaran para pesaing. Beberapa perusahaan baru yang didirikan oleh tokoh-tokoh lama yang dulu tersingkir karena strategi Blue Cooperation, mulai bangkit kembali. Mereka membentuk aliansi diam-diam, bersatu dengan satu tujuan: menjatuhkan Ayunda.Salah satu dari mereka adalah Dipta Santosa, mantan direktur dari perusahaan lawas yang bangkrut karena kalah bersaing. Ia membentuk perusahaan rintisan baru bernama Natura Corp, yang bergerak di bidang yang hampir serupa dengan Blue Cooperation. Namun cara yang digunakan Dipta berbeda, ia tak bermain bersih.William masuk dengan raut wajah serius sambil melemparkan map ke meja Ayunda. “Ini laporan dari tim intel bisnis kita. Mereka sengaja menurunkan harga p
Ayunda telah menyelesaikan persoalan Reno. Baginya, tidak ada ruang bagi pengkhianat di Blue Cooperation. Ia percaya bahwa kepercayaan adalah fondasi, dan sekali itu dilanggar, tidak ada kompromi. Reno langsung dipecat tanpa kompensasi apa pun. Itu prinsip yang Ayunda pegang teguh—tegas dan tanpa celah.Sambil merapikan berkas terakhir di mejanya, Ayunda melirik ponsel. Ada satu janji penting yang menunggunya: makan malam keluarga, tempat di mana mereka akan membahas pernikahan Kayla dan William secara serius.“Iya, tunggu sebentar lagi. Aku akan datang,” katanya di telepon dengan suara hangat. Setelah menutup sambungan, ia segera beranjak keluar dari ruangannya.Gedung tempat Blue Cooperation berkantor memang megah. Dalam satu menara itu, terdapat tiga perusahaan besar, dan Blue Cooperation menempati dua lantai teratas.Saat hendak masuk ke lift, langkah Ayunda terhenti.“Eh!”Ia tak sengaja menabrak seorang pria bertubuh tegap.
Ayunda menatap ke arah suaminya yang tengah tertidur begitu juga dengan si kembar yang berada di box bayi. Memang walaupun ia memiliki dua orang babysitter, tetapi si kembar tetap tidur di kamarnya karena Ayunda jika malam memang tidak pernah lembur.Ayunda juga mengusap kepala dari suaminya dengan begitu sangat lembut.Wanita itu terkejut ketika foto pernikahannya dan juga Ardan tiba-tiba pecah mungkin karena angin dari luar."Ya Allah pertanda apa ini?"Ayunda segera bangkit dari tempat tidur, langkahnya ringan tapi tergesa menuju jendela yang sedikit terbuka. Angin malam menyusup masuk, dingin dan membawa aroma tanah basah. Ia merapatkan jendela, lalu kembali memandangi bingkai foto yang kini pecah di lantai. Gambar dirinya dengan Ardan, tersenyum di hari bahagia mereka, kini retak di bagian wajah sang suami.Perasaannya tak enak. Entah mengapa, dada Ayunda terasa sesak. Ia menunduk, memungut pecahan kaca dengan hati-hati, takut meluka
Ardan dan keluarganya segera dilarikan ke rumah sakit. Di masjid, tempat pernikahan Kayla tengah berlangsung, suasana berubah mencekam saat kabar itu sampai. Kayla merasa sangat risau, pikirannya kacau, dan air matanya tak terbendung. Sementara itu, Ardan yang kehilangan banyak darah langsung dilarikan ke ruang ICU. Tim medis bergerak cepat, namun kepanikan jelas terlihat. Kondisinya terus memburuk, membuat para dokter kebingungan dalam mengambil keputusan. Detak jantungnya tak stabil, tekanan darahnya terus menurun, dan tubuhnya semakin pucat. Di ruang lain, Ayunda masih belum sadarkan diri. Dua anaknya, Aluna dan Elvano, juga dalam kondisi kritis. Luka-luka di tubuh mereka cukup parah dan membutuhkan penanganan segera. Tangisan perawat dan suara alat medis yang terus berbunyi menciptakan suasana yang penuh ketegangan. Waktu terasa berjalan lambat. Kayla yang akhirnya tiba di rumah sakit, langsung berlari ke ruang tunggu ICU. Ia menggeng
Hari-hari Ayunda kini sepenuhnya dipenuhi oleh pekerjaan. Ia tenggelam dalam tumpukan berkas, rapat, dan tanggung jawab sebagai CEO. Beberapa kali ia hampir menekan nomor William di ponselnya—ingin memintanya pulang lebih cepat, ingin sekadar berbagi beban. Namun setiap kali jari-jarinya mendekati tombol panggil, ia menarik napas panjang dan mengurungkan niat itu.Ia tidak boleh egois. William juga punya keluarga. Ia tahu betapa Keyla dan Kenan berharga bagi William, dan ia tidak ingin menjadi orang yang merusak kebahagiaan itu.Kadang-kadang, Ayunda hanya ingin menyerah. Ingin hidup sederhana. Menjadi ibu rumah tangga yang sepenuhnya hadir untuk Aluna dan Elvano. Tapi ia tahu, dirinya tak bisa. Masa depan anak-anaknya bergantung padanya. Ia harus tetap kuat—demi mereka.Malam itu, Ayunda duduk di ruang kerjanya di rumah. Lampu redup menyelimuti ruangan, sementara matanya terpaku pada sebuah bingkai foto yang berdiri di meja—foto Ardan. Suaminya. Lelaki yang pernah menjadi seluruh hid
Ayunda merasa heran dengan keputusan mendadak William yang tiba-tiba mengajukan cuti. Padahal sejak meninggalnya Ardan, bahkan di hari libur pun William masih sering terlihat menyibukkan diri dengan pekerjaan.“Kok dadakan, Wil? Memangnya ada apa?” tanya Ayunda, mencoba menahan nada khawatir di suaranya.William tersenyum tipis, sedikit canggung. “Sepertinya aku dan Kayla ingin program adik untuk Kenan. Jadi kami berencana liburan ... mungkin ke luar negeri selama satu minggu.”Ayunda mengangguk pelan, mencoba mencerna. Ia tahu betul bahwa Keyla memang belum hamil lagi, dan beberapa kali sempat curhat padanya soal keinginannya untuk memberikan seorang adik bagi Kenan. Tapi tetap saja, keputusan ini terlalu tiba-tiba.“Tapi Wil, perusahaan kita sedang menjalin kerja sama penting dengan Skylar Group, dan kamu tahu sendiri hanya kamu atau aku yang bisa handle meeting dengan Dipta. Kita nggak bisa asal lempar ke tim lain.”William menatap Ayunda dengan tatapan memohon. “Tolonglah, Ay. Ken
William kembali datang dengan ide spontan yang seperti biasa sulit ditolak."Gimana kalau akhir pekan ini kita ajak anak-anak piknik? Biar mereka nggak bosan terus-terusan di rumah," usulnya santai saat mereka duduk di ruang tamu Ayunda.Ayunda sempat mengernyitkan dahi. "Piknik? Aku nggak yakin, Will. Aluna baru sembuh, dan Elvano belum tentu nyaman di tempat ramai."Namun belum sempat William menjawab, Keyla langsung menyambar pembicaraan, menarik tangan Ayunda dan merengek manja, "Aunty Yunda, ikut yaa, Kenan juga mau ikut, tapi aku nggak mau kalau nggak ada temen cewek."Ayunda menatap wajah polos Keyla yang memelas. Sulit baginya untuk menolak. Apalagi, Elvano dan Aluna memang jarang sekali pergi ke luar rumah.Ia pun akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi cuma sebentar, dan jangan terlalu ramai ya.”Hari piknik pun tiba. Mereka berangkat bersama—Ayunda, William dan keluarganya, serta Dipta yang sejak pagi sudah terlihat
Ayunda sudah kembali ke perusahaan. Pagi itu ia datang lebih awal dari biasanya. Tangannya cekatan membolak-balik beberapa berkas yang sempat tertunda selama Aluna dirawat di rumah sakit. Meski pikirannya belum sepenuhnya tenang, tapi ia tahu, tanggung jawabnya tak bisa lama-lama ia tinggalkan.Saat tengah fokus membaca laporan, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Dipta melangkah masuk tanpa ekspresi terburu-buru. Belakangan ini, lelaki itu memang jauh lebih sering muncul di perusahaannya. Karyawan pun mulai terbiasa dengan kehadirannya, bahkan tak sedikit yang mulai melihat sisi lain dari sang CEO—bukan hanya dingin dan tegas, tapi kini lebih ramah dan terbuka.“Oh, aku kira tadi William,” ucap Ayunda sambil tersenyum tipis.“Maaf mengganggu,” sahut Dipta santai.Ayunda mempersilakan Dipta masuk dan duduk. Ia pun memanggil OB untuk membawakan kopi, seperti biasa.“William belum datang, mungkin sebentar lagi dia muncul,” katanya sambi
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dekat dengan Ardan atau William,
Pagi itu, kondisi Aluna sudah jauh lebih baik, meski infus masih terpasang di tangannya. Senyum kecil menghiasi wajah mungilnya. Saat Ayunda baru saja memasuki ruang rawat, langkahnya langsung terhenti. Matanya membelalak saat melihat pemandangan tak terduga—Aluna begitu dekat dengan Dipta, menggenggam tangannya erat seakan tak ingin dilepaskan.Sekilas bayangan Ardan melintas dalam benak Ayunda. Andai saja Ardan masih hidup mungkin Aluna tak akan pernah merasakan kehilangan sosok ayahnya, batinnya pilu. Melihat keakraban antara Dipta dan Aluna membuat hati Ayunda bergetar. Kenangan tentang Ardan mengalir deras, hingga tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipinya."Mama!" seru Aluna riang saat melihatnya. Suara itu, meski belum sempurna, membawa kehangatan yang tak tergantikan.Dipta spontan menoleh ke arah Ayunda. Ia sempat ingin bergeser, tapi tangan kecil Aluna menahan kuat. Ia enggan melepaskan. Ayunda mengamati itu dalam diam—biasanya, Aluna hanya dek
Di tengah malam, Ayunda terjebak dalam kesibukan mengurus perusahaan. Blue Cooperation semakin berkembang pesat, namun sayangnya, ia semakin jarang menghabiskan waktu dengan kedua anaknya, Aluna dan Elvano. Ayunda berangkat sebelum mereka bangun dan pulang saat mereka sudah tidur.Suatu malam, Aluna tiba-tiba demam tinggi. Suster yang menjaga anak-anak itu bergegas menghampiri Ayunda yang sedang duduk di ruang kerjanya."Bu, Aluna badannya panas. Dokter keluarga sedang cuti," ujar suster dengan cemas.Ayunda langsung terlonjak dari kursinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih kunci mobil, dan dengan sigap, ia serta suster segera menyiapkan tas Aluna yang berisi kebutuhan medis. Mereka langsung bergegas menuju rumah sakit.Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Kemacetan panjang menghalangi perjalanan mereka. Aluna semakin demam tinggi, dan Ayunda mulai cemas. Waktu semakin berharga.Dengan keputusan cepat, Ayunda memutuskan untuk berlari
Setelah insiden sindiran Mahesa di acara industri, Ayunda langsung mengadakan rapat darurat internal Blue Cooperation bersama tim PR dan hukum. Ia tahu, satu rumor saja bisa merusak reputasi bertahun-tahun.Dalam ruang rapat itu, Ayunda tampil sebagai pemimpin sejati.“Kita tidak perlu menanggapi dengan emosi. Kita lawan dengan data. Kita kumpulkan semua bukti integritas kita selama proses tender, dari dokumen transparansi hingga rekaman presentasi. Biar publik yang menilai.”Ia juga menghubungi Valterra secara langsung. Dengan tenang, ia menjelaskan situasi dan menyatakan kesediaan Blue Cooperation untuk diaudit secara terbuka jika diperlukan. Respons Valterra mengejutkan—mereka justru memuji keterbukaan Ayunda dan menyebut rumor itu sebagai “upaya kompetitor yang tidak sportif.”Usai rapat, Ayunda menghubungi William. Suaranya berat, tapi tetap tenang. “Wil, Mahesa mulai main kotor. Dia sebar rumor soal aku. Bahkan sampai nyentuh hubungan keluar
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, tim gabungan antara Blue Cooperation dan Skylar Group resmi terbentuk. Mereka menamainya Project Horizon, sebuah proyek kolaboratif yang menyatukan kekuatan kreatif dan teknologi dalam satu kampanye besar untuk klien korporat multinasional.Ayunda memimpin tim branding dan strategi dari Blue, sementara Dipta membimbing tim IT dan data engineer dari Skylar. Meski keduanya berasal dari dua dunia berbeda, sinergi mereka terbukti kuat. Setiap ide Ayunda, selalu disempurnakan oleh eksekusi teknis dari tim Dipta. Dan setiap batasan teknologi dari Skylar, selalu bisa dicairkan oleh pendekatan kreatif Ayunda.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.Saat mereka menghadiri forum pitching terbuka untuk kontrak kerja sama dari perusahaan retail terbesar di Asia Tenggara—Valterra Group—Ayunda mendapati nama yang tak asing muncul sebagai salah satu perwakilan perusahaan saingan: Mahesa Adikara.Mahesa kini menjabat seb