Bu Tari, Mahesa, dan Mawar diliputi kecemasan ketika Tuan Surya tiba-tiba terjatuh dari ranjang dan mengalami kejang hebat. Tanpa menunggu waktu lama, mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.“Mas, bangun Mas jangan tinggalin aku!” seru Bu Tari dengan suara gemetar. Air matanya terus mengalir, menatap suaminya yang tak sadarkan diri di dalam ambulans.Sesampainya di IGD, mereka hanya bisa menunggu di luar ruangan dengan penuh harap. Waktu seolah berjalan lambat. Satu jam berlalu, dan akhirnya seorang dokter keluar. Wajahnya muram, suaranya lirih saat menyampaikan kabar duka.“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tuan Surya telah meninggal dunia.”Tangis Bu Tari pecah seketika. Ia limbung, nyaris jatuh jika tidak ditopang oleh Mawar. Mahesa, yang duduk di kursi roda, hanya bisa terisak, tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Sementara itu, Mawar memeluk anaknya erat-erat, mencoba menenangkan si kecil meski hatinya sendiri hancur berkeping.Suasana haru menyelimuti pem
Ayunda merasa begitu bingung. Hingga saat ini, ia belum memberitahu Ardan soal kehamilannya. Sejak pulang dari rumah sakit, Ardan hanya mengurung diri di kamar, menjauh darinya, dan bersikap dingin. Tak ada lagi kelembutan dalam sorot matanya, hanya dingin yang menusuk.“Ar, kamu mau makan di kamar atau kita ke ruang makan?” tanya Ayunda pelan dari ambang pintu.Namun Ardan tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop putih ke arah Ayunda. Tanpa berkata apa-apa.Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka dan membaca isinya. Matanya langsung membelalak.“Surat cerai?” bisiknya lirih, lalu dengan cepat merobek kertas itu di depan mata suaminya. Amarah dan kesedihan tumpah bersamaan.“Aku tidak mau cerai sama kamu, Ardan! Apalagi sekarang … aku sedang hamil!”Ardan terkejut. Ia menoleh, matanya melebar. “Kamu … hamil?” suaranya parau, nyaris tak terdengar.Ayunda mengangguk, air matanya jatuh. “Iya, dan aku gak peduli kamu l
Ardan menghela napas panjang, menatap wajah Ayunda yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Lima tahun telah berlalu sejak malam tragis itu, dan selama itu pula ia menjadi satu-satunya orang yang setia menemani Ayunda. Setiap hari, ia memastikan adik iparnya mendapatkan perawatan terbaik. Ia mengurus segala kebutuhannya, mulai dari mengganti perban luka-lukanya, memijat tubuhnya agar otot-ototnya tidak kaku, hingga membacakan cerita di sampingnya dengan harapan Ayunda bisa mendengar dan suatu hari akan bangun.Banyak orang yang mempertanyakan keputusannya. Bahkan ibunya sendiri pernah berkata, "Dia bukan istrimu, Dan. Kenapa kamu begitu keras kepala?" Tapi Ardan hanya tersenyum pahit. Ia tahu, perasaan yang ia miliki untuk Ayunda jauh lebih dalam dari sekadar tanggung jawab keluarga.Suaminya? Lelaki yang seharusnya ada di sini? Ia bahkan tak pernah datang setelah insiden itu. Sejak Ayunda terjatuh dan koma, pria itu seperti menghilang, tenggelam dalam kehidupannya sendiri dengan
Ardan masih terpaku di tempatnya, matanya menatap kosong ke arah Ayunda yang tertidur. Sudah lima tahun berlalu, dan selama itu pula keluarganya tidak pernah benar-benar peduli pada kondisi Ayunda. Mereka menganggap gadis itu hanya beban, sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada dalam kehidupan mereka sejak awal.Dan Mahesa? Lelaki itu bahkan tidak menoleh ke belakang. Sehari setelah pernikahannya dengan Ayunda, ia justru menikahi wanita lain—wanita yang sebenarnya memang sudah menjadi bagian dari hidupnya jauh sebelum Ayunda muncul. Pernikahan dengan Ayunda hanyalah formalitas, pemuas egonya semata, sesuatu yang ia lakukan hanya karena ia bisa.Ardan tahu semua itu, dan itu membuatnya semakin muak.Namun, sekarang Ayunda sudah sadar. Ia tidak bisa terus menyembunyikan wanita itu di rumah sakit selamanya. Ia harus mengambil keputusan—keputusan yang mungkin akan mengguncang segalanya.Ia ingin Ayunda mendapatkan keadilan. Lima tahun yang hilang dari hidupnya, penderitaan yang ia alami,
Ardan terjebak dalam rasa bersalahnya. Ia hampir saja keceplosan mengungkapkan bahwa selama Ayunda koma, ia telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.'Kali ini, aku harus lebih berhati-hati,' batinnya.Sementara itu, dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Ayunda. Meskipun ia masih belum bisa berdiri tanpa alat bantu, kondisinya telah membaik secara signifikan. Namun, masih banyak sesi fisioterapi yang harus dijalaninya untuk memulihkan kekuatan otot-ototnya yang kaku akibat lima tahun terbaring tanpa sadar.Ayunda menatap Ardan dengan tatapan penuh kebingungan. "Kalau Mahesa sudah tidak menginginkanku lagi, lantas aku harus pulang ke mana, Ardan?" tanyanya lirih.Ardan terdiam, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu, Ayunda tidak hanya bertanya tentang tempat tinggal, tetapi juga tentang masa depannya yang kini terasa begitu tak pasti.Ardan menelan ludah, menatap Ayunda yang kini menunggu jawaban darinya. Pertanyaan itu sederhana, tapi mengandung makna ya
Ayunda bukanlah wanita bodoh. Sejak pertama kali sadar dari koma, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam tubuhnya. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya, berpikir bahwa mungkin ini hanyalah efek dari terlalu lama terbaring tanpa gerakan. Namun, semakin hari, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak wajar.Mual yang datang tiba-tiba, rasa lelah yang berlebihan, dan yang paling mengganggu—rasa nyeri di area intimnya.Maka, saat Ardan pergi bekerja, Ayunda memutuskan untuk menemui dokter tanpa memberitahunya.Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya dokter yang menanganinya datang dan memulai pemeriksaan. Ayunda merasa cemas, tapi ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.“Dok, area intim saya terasa nyeri … dan tadi pagi saya sempat merasa mual,” ucapnya, mencoba tetap tenang.Dokter menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut.”Pemeriksaan berjalan cukup lama, dan Ayunda mulai merasa gelisah. Namun, apa yang terjadi selanjutnya
Ayunda melangkah dengan sisa tenaga yang ia miliki. Tubuhnya lemah, tapi tekadnya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang berada di sekitar rumah Mahesa menatapnya dengan ekspresi terkejut, seolah melihat hantu yang kembali dari kematian.Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan tatapannya kosong. Namun, di balik kelemahan itu, ada kobaran amarah yang mulai menyala.Mahesa yang sedang berdiri di depan pintu, tampak membeku di tempatnya. Matanya membelalak saat melihat sosok Ayunda yang berjalan ke arahnya dengan langkah sempoyongan."Kamu masih hidup?"Suara Mahesa terdengar kaget, lebih banyak keterkejutan daripada kebahagiaan. Tidak ada kehangatan, tidak ada rasa rindu—hanya keterkejutan dan mungkin sedikit ketakutan.Ayunda tersenyum getir, matanya menyapu penampilan Mahesa yang tampak semakin menawan, semakin berwibawa. Sedangkan dirinya? Ia benar-benar seperti mayat hidup.“Aku pikir, setidaknya kamu akan menanyakan kabarku. Tapi ternyata … satu-satunya yang bisa keluar dari mulu
Di halaman itu seketika terasa mencekam. Wajah Mahesa memerah, matanya berkilat penuh emosi. Sementara itu, Ayunda menatap Ardan dengan keterkejutan yang sulit disembunyikan. “Kau bohong!” Mahesa menggeram, langkahnya maju dengan tangan terkepal. “Kau hanya ingin mempermalukanku!” Ardan tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegap, menatap Mahesa tanpa gentar. “Aku tidak pernah berbicara tanpa bukti, Mahesa.” Suaranya dingin, nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Ayunda yang sejak tadi terpaku, akhirnya menggeleng lemah. “Ardan … apa maksud semua ini?” suaranya bergetar, antara bingung dan tidak percaya. Ardan menoleh, menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku tidak bisa diam saja melihatmu diperlakukan seperti ini. Aku tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan, dan aku bersumpah akan melindungimu.” Mahesa mendengus, tertawa sinis. “Kau pikir aku akan membiarkanmu membawa wanita ini dan mempermalukank
Ayunda merasa begitu bingung. Hingga saat ini, ia belum memberitahu Ardan soal kehamilannya. Sejak pulang dari rumah sakit, Ardan hanya mengurung diri di kamar, menjauh darinya, dan bersikap dingin. Tak ada lagi kelembutan dalam sorot matanya, hanya dingin yang menusuk.“Ar, kamu mau makan di kamar atau kita ke ruang makan?” tanya Ayunda pelan dari ambang pintu.Namun Ardan tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah amplop putih ke arah Ayunda. Tanpa berkata apa-apa.Dengan tangan gemetar, Ayunda membuka dan membaca isinya. Matanya langsung membelalak.“Surat cerai?” bisiknya lirih, lalu dengan cepat merobek kertas itu di depan mata suaminya. Amarah dan kesedihan tumpah bersamaan.“Aku tidak mau cerai sama kamu, Ardan! Apalagi sekarang … aku sedang hamil!”Ardan terkejut. Ia menoleh, matanya melebar. “Kamu … hamil?” suaranya parau, nyaris tak terdengar.Ayunda mengangguk, air matanya jatuh. “Iya, dan aku gak peduli kamu l
Bu Tari, Mahesa, dan Mawar diliputi kecemasan ketika Tuan Surya tiba-tiba terjatuh dari ranjang dan mengalami kejang hebat. Tanpa menunggu waktu lama, mereka segera membawanya ke rumah sakit terdekat.“Mas, bangun Mas jangan tinggalin aku!” seru Bu Tari dengan suara gemetar. Air matanya terus mengalir, menatap suaminya yang tak sadarkan diri di dalam ambulans.Sesampainya di IGD, mereka hanya bisa menunggu di luar ruangan dengan penuh harap. Waktu seolah berjalan lambat. Satu jam berlalu, dan akhirnya seorang dokter keluar. Wajahnya muram, suaranya lirih saat menyampaikan kabar duka.“Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tuan Surya telah meninggal dunia.”Tangis Bu Tari pecah seketika. Ia limbung, nyaris jatuh jika tidak ditopang oleh Mawar. Mahesa, yang duduk di kursi roda, hanya bisa terisak, tak sanggup mengucap sepatah kata pun. Sementara itu, Mawar memeluk anaknya erat-erat, mencoba menenangkan si kecil meski hatinya sendiri hancur berkeping.Suasana haru menyelimuti pem
Pagi itu, Ayunda dan Ardan sudah bersiap sejak pagi dan telah menghubungi pengacara untuk membuat janji temu. Dalam perjalanan menuju kantor pengacara, sebuah insiden nyaris terjadi."Awas, Ar!" teriak Ayunda panik.Ardan segera membanting setir ke kanan, membuat mobil oleng dan berhenti mendadak di pinggir jalan. Seorang wanita nyaris tertabrak—untung saja ia sempat mundur selangkah.Mereka berdua segera turun dari mobil, wajah mereka panik dan khawatir. Namun, keterkejutan mereka bertambah saat mengenali wanita yang hampir tertabrak itu."Keyla?" ujar Ardan nyaris bersamaan dengan Ayunda.Wanita itu tampak linglung, dengan mata sembab dan tubuh yang gemetar. Pakaiannya kusut, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa dia habis menangis."Kalian?" gumam Keyla lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunduk, malu dengan penampilannya yang berantakan, sangat kontras dengan Ayunda yang tampak rapi dan elegan."Kamu kenapa bisa di sini, Keyla? Kamu nggak apa-apa?" tanya Ayunda, lembut n
Malam mulai turun ketika mobil yang ditumpangi Ayunda dan Oma Ola memasuki halaman rumah. Aroma tanah yang baru saja disiram hujan menyeruak lembut, tapi suasana hati Ayunda masih bergemuruh. Meskipun ia telah bersuara, mengungkap kebenaran, tapi rasa lelah itu masih menggantung di pundaknya.Begitu mobil berhenti di depan gerbang utama, sosok yang amat dirindukan berdiri tegap di sana—Ardan.Wajahnya serius, sorot matanya penuh tanya sekaligus kekhawatiran. Ia melangkah cepat menghampiri, dan sebelum Ayunda sempat turun dari mobil, ia sudah membukakan pintu."Aku sudah baca pesanmu," ujar Ardan tanpa basa-basi. "Apa benar Ayah … masuk rumah sakit karena kecelakaan?"Ayunda mengangguk pelan, lalu turun dan berdiri di hadapan suaminya. Tatapan mereka bertemu, ada keheningan sejenak yang menyelimuti keduanya. Lalu Ayunda berkata dengan tenang, tapi jelas."Ya, dan itu terjadi setelah dia mencoba memaksa hakmu dirampas. Oma yang menamparnya … dua kali. Dan dia memberontak, lalu kecelakaa
Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tuan Surya. Tangan keriput namun penuh wibawa milik Oma Ola lah yang melayangkannya. Sebagai orang tua, ia merasa gagal. Gagal membesarkan Surya yang dulu ia banggakan, kini berubah menjadi sosok yang licik dan penuh perhitungan."Hak orang tua Ardan sudah kamu nikmati," suaranya bergetar, namun sorot matanya tajam menusuk. "Lantas sekarang kamu menginginkan hak Ardan juga? Di mana letak otakmu, Surya?"Ayunda hanya bisa terdiam. Sebagai menantu, sebagai cicit dalam lingkar keluarga itu, ia menyaksikan pemandangan itu dengan campur aduk—kaget, takut, namun juga lega. Akhirnya ada yang berani menegur Tuan Surya."Bukankah sudah tugas keluarga saling membantu?" bela Surya dengan nada membenarkan diri. "Aku sedang kesulitan, dan Ardan hidup dalam kemewahan. Apa salahnya jika dia membantuku? Selama ini juga aku tidak pernah menolak mengakui dia sebagai anakku."Plak!Satu tamparan lagi melayang, lebih keras dari yang pertama. Wajah Surya memera
Mawar merasa begitu senang karena rencananya berhasil dan dirinya akan melihat kehancuran Ayunda sekarang. Namun, saat dirinya tengah membaca komentar-komentar yang tengah menjatuhkan, menyudutkan bahkan mengatakan jika Ayunda adalah manusia yang tidak berperasaan akhirnya lenyap tiba-tiba. "Apakah ada gangguan jaringan ya?" Berulang kali dirinya membuka sosial media tetapi tidak bisa. Sampai akhirnya ia menyadari jika memang pemberitaan yang dibuat sudah lenyap dan tidak ada yang bisa membagikan bahkan sudah tidak ada orang-orang yang menshare lagi. Mawar yang tengah kebingungan itu pun, akhirnya mendekati sang suami dan menceritakan tentang kejadian yang ia alami. "Bodoh, Ayunda dan juga Ardan sekarang dia memiliki banyak uang sangat mudah membungkam media abal-abal seperti itu apalagi hanya sebuah media sosial. Jangan pernah buka akunmu lagi, jika tidak—"Mahesa yang tengah mengatakan hal tersebut kepada mawar pun tiba-tiba terkejut dengan k
Keyla meronta saat Ayunda menyeretnya keluar ruangan, tetapi genggaman Ayunda terlalu kuat. Wajahnya merah padam, baik karena malu maupun amarah yang mulai membakar dirinya. Semua mata karyawan yang menyaksikan adegan itu hanya bisa terdiam, tak berani berkomentar."Kalian semua lihat baik-baik! Ini wanita yang tak tahu malu!" suara Ayunda menggema di ruangan kantor, membuat Keyla semakin terpojok."Ayunda, kau sudah cukup!" Ardan yang baru tersadar dari keterkejutannya akhirnya angkat bicara. Ia menghampiri istrinya dengan wajah penuh penyesalan. "Aku tak tahu kenapa Keyla melakukan ini, tapi aku bersumpah, aku tak terlibat dalam skemanya!"Keyla menatap Ardan dengan mata yang berkaca-kaca. "Ardan, aku mencintaimu! Aku tahu kau juga memiliki perasaan yang sama! Mengapa kau berpura-pura tidak tahu?""Cinta?" Ayunda mencibir. "Jangan mengada-ada, Keyla. Ardan tidak akan pernah mencintai wanita licik sepertimu. Apa kau pikir dia akan mengkhianati pe
Tuan Surya, Bu Tari, serta anak dan menantu mereka benar-benar merasa bingung. Terlebih lagi Keyla, yang statusnya masih belum jelas. Apalagi, ia belum menikah dengan Mahesa, sehingga semakin merasa terkucilkan dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini."Pokoknya Mama nggak mau tinggal di kontrakan kecil dan kumuh seperti ini lagi!" Bu Tari terus saja mengomel, suaranya melengking memenuhi ruangan yang sudah terasa sesak."Sudah, jangan banyak bicara! Memangnya cuma kamu saja yang pusing? Aku juga!" sahut Tuan Surya dengan nada kesal.Ia sudah menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Ternyata, Blue Cooperation adalah perusahaan yang dipimpin oleh Ardan. Tuan Surya benar-benar tidak menyangka bahwa Ardan bisa bersikap seperti itu."Ardan dan ayahnya itu sama saja, sama-sama licik!" celetuk Bu Tari dengan geram.Mahesa, sejak tadi hanya diam. Ia tahu, jika ayahnya bangkrut dan seluruh uang perusahaan serta aset mereka disita oleh bank, maka mereka juga harus membayar ganti rug
Setelah kejadian sore tadi, ternyata Ardan demam tinggi membuat Ayunda merasa begitu sangat khawatir ini untuk pertama kalinya sang suami kembali lagi sakit. Mungkinkah lelaki itu menahan rasa kecewa dan juga amarah yang begitu sangat dalam sampai-sampai tubuhnya pun sekarang begitu sangat lemah. "Sayang, cepat sembuh, ya." Ardan memang sudah diperiksa oleh dokter. Dan dokter mengatakan jika Ardan esok masih demam makan mau tidak mau harus segera dilarikan ke rumah sakit. Oma Ola pun berada di sebelah Ardan mereka berdua sama-sama menjaga lelaki itu dengan begitu sangat baik terlebih Ayunda yang bolak-balik mengganti kompresan sang suami dengan begitu sangat perhatian. Oma Ola merasa begitu sangat senang, akhirnya cucu yang selama ini ia sayangi mendapatkan istri yang benar-benar begitu sangat perhatian. Walaupun Ayunda bekerja sebagai model, tetapi ia tidak pernah lupa tugasnya sebagai seorang istri. "Oma, kalau mengantuk boleh istirahat terlebih dahul