Happy Reading . . .
***[Los Angeles, California]~Aku membuka mata dengan perlahan, disaat merasakan cahaya matahari yang menembus melalui kaca jendela dan ternyata sudah menerangi ruangan ini, sehingga terasa begitu mengganggu tidurku. Perasaan hangat nan nyaman pun selalu aku rasakan disaat membuka mata, dan merasakan beban berat dari sebuah tangan besar yang berada di atas tubuhku. Dengan lembut pun aku mulai membelai setiap urat nadi sekaligus rambut-rambut halus yang terdapat pada sepanjang tangan ini. Merasakan betapa kokohnya tangan yang seakan melindungi diriku dari segala ancaman bahaya, sekaligus membuatku tidak bisa pergi dari pelukan sang pemilik tangan.Setelah puas merasakan urat nadi dan otot kencang dari sebuah tangan yang menggambarkan betapa gagah dan begitu berartinya menjaga bentuk idealitas tubuh sekaligus penampilan bagi sang pemilik, kini aku pun memiringkan kepala untuk melihat wajah yang bisa membuatku selalu tersenyum pada saat memandangi betapa sempurna struktur wajah makhluk ciptaan Tuhan di hadapanku ini. Rahang tegas begitu membentuk dan mendukung ketampanannya. Ditambah lagi dengan hidung runcing sekaligus mata biru aqua yang entah selalu terasa menusukku disaat memandangnya, adalah nilai tambah di atas segala kesempurnaan pria itu. Walaupun sosok sang pemiliknya masih tertidur dengan pulas, aku tetap tidak bisa menghentikan diriku yang sangat tergila-gila dan begitu mengagumi dirinya. Becks, itulah nama dan juga panggilanku kepadanya. Sang pemilik nama yang begitu aku kagumi itu, tidak hanya dengan segala kesempurnaan yang pria itu miliki, namun ia juga bisa membuatku menjadi seorang wanita yang selalu merasa istimewa karena dirinya.Namun sayangnya semua kesempurnaan serta kebahagiaan diriku yang selalu merasa nyaman saat berada di sampingnya, di dalam pelukannya, menerima segala keromantisan yang diberikan kepadaku, hanyalah sebuah kesenangan semata. Dia bukanlah kekasih, tunangan atau suamiku. Kita sama-sama yakin untuk menjalani hubungan yang sesungguhnya bersifat terlarang ini hanya demi sebuah ego yang timbul pada diri kami masing-masing. Dan semua ini tidak akan bisa terjadi jika enam bulan yang lalu, aku dan Becks tidak bertemu pada sebuah pesta yang aku hadiri bersama dengan temanku. Pertemuanku dengan Becks, yang dimulai hanya dengan curi-curi pandang saja hingga aku yang sudah tidak bisa mengabaikan perasaan di dalam hatiku lagi karena ternyata sudah mulai dicuri, dari suami yang sudah menikahi diriku selama sepuluh tahun lamanya.***[Brooklyn, New York] Enam Bulan Lalu . . .~Mandy Clay Simmons, seorang wanita berusia tiga puluh tahun, istri yang sangat patuh dan Mommy dari Renne Simons. Menjadi seorang Mommy bagi satu-satunya anakku bersama suamiku Bryce Simmons, bukanlah hal yang sulit. Apalagi aku ini hanyalah seorang istri dan Mommy yang tidak boleh meninggalkan rumah selain tidak ada kepentingan lain yang mendesak, bahkan hanya diperbolehkan untuk berurusan mengenai perihal keluarga saja.Jika saja aku memiki keberanian besar untuk berbicara sejujurnya kepada Bryce langsung, ingin rasanya aku mengatakan cukup dengan pernikahan ini. Aku sungguh sudah bosan dan merasa tidak bisa lagi menjalani pernikahan, dengan diriku yang selalu berada di posisi mengalah dan berusaha mengerti dengan segala keinginan Bryce. Katakan aku wanita yang egois dan tidak bersyukur karena telah menikah dengan seorang pria yang aku yakini sangat mencintai diriku. Tetapi aku juga tidak bisa menahan perasaan tidak suka atas sikap Bryce yang juga sama egoisnya seperti diriku.Dan semua itu pun berawal dari diriku yang memiliki pola pikir dengan menikah muda adalah sebuah hal baru yang menyenangkan, menantang dan patut untuk dicoba. Namun semua itu justru hanya menjadi omong kosong dan hal yang sangat membosankan setelah selama sepuluh tahun aku melaluinya. Ditambah sepuluh tahun lagi karena aku dan Bryce adalah teman kecil. Dulu saat masih kanak-kanak kami selalu menghabiskan waktu bersama untuk bermain. Total sudah dua puluh tahun kehidupanku ditemani dan dipenuhi oleh bayang-bayang Bryce.Tidak, aku sama sekali tidak menyesali kehidupanku bersama Bryce, apalagi dengan pernikahanku. Tetapi hanya saja merasa bagaimana bisa saat itu aku berpikiran menikah di usia dua puluh tahun terasa lebih menarik, daripada menghabiskan waktu di masa muda dengan sekedar bermain-main atau mengejar gelar pendidikan setinggi-tingginya? Dan sekarang, setelah merasakan semua itu, aku menjadi tahu mengapa orang-orang sangat ingin bahagia dengan dirinya sendiri terlebih dahulu, daripada harus membaginya bersama pendamping hidup yang akan menemani sampai akhir hayat nanti.Mungkin sampai saat ini aku masih berada pada tahap cukup sabar, namun tidak tahu bagaimana ke depannya nanti. Dan sikap ketidakpekaan Bryce adalah salah satu hal yang sangat aku benci dari diri suamiku itu. Seperti saat ini, aku sedang mencoba membujuk Bryce setelah hampir dua bulan lamanya aku tidak diperbolehkan keluar dari rumah olehnya. Kejam? Aku sudah terbiasa mendapatkan hal seperti itu, bahkan aku pernah merasakan yang lebih buruk lagi."Aku bosan..." Keluh-ku kepada Bryce yang sedang sibuk memakai sepatunya."Kita bisa pergi liburan, Mandy. Coney Island, sepertinya sudah sangat lama kita tidak pergi ke sana. Renne pasti juga menyukainya.""Kita? Hanya aku dan Renne, atau kau juga?" Balasku dengan skeptis."Tergantung kapan kita akan pergi? Tetapi, kemarin asistenku sudah mengeluh tidak bisa memberi jeda untuk jadwal praktek-ku. Fey mengatakan sebagian besar pasien yang datang hanya ingin ditangani olehku saja.""Aku rasa Coney Island tidak akan berhasil. Kau itu tuan super sibuk. Sedangkan aku, nyonya super sibuk dengan banyak waktu luang di hidupnya.""Hei, aku sedang mencoba, Mandy. Memangnya kau pikir aku tidak ingin menghabiskan waktu bersama denganmu dan Renne? Itu adalah cita-cita keduaku setelah orthodontist berhasil aku raih."Ya, pekerjaan sialan itulah yang selalu membuatku merasa lebih menjadi seperti hiasan dalam sebuah pernikahan dari pada menjadi seorang istri. Pekerjaannya di sebuah rumah sakit yang baru ditekuni selama hampir dua tahun lamanya itu langsung mengambil perhatian dari banyak pasien yang datang untuk menyempurnakan penampilan giginya. Alhasil, waktu Bryce untukku dan juga Renne langsung otomatis banyak berkurang. Tidak seperti disaat pria itu masih menempuh pendidikan di Universitas, dan bekerja paruh waktu untukku serta Renne."Dua bulan, Bryce. Kau sama sekali melarangku untuk keluar dari rumah.""Aku mengerti, Mandy. Tetapi kau juga harus tahu dengan waktu pekerjaanku yang mulai tidak terkendali ini, aku menjadi tidak bisa menjaga sekaligus mengawasimu dan juga Renne." Balas Bryce yang langsung menghampiriku di tepi ranjang dimana posisiku sedang duduk. Ia pun berlutut di hadapanku, lalu menggenggam kedua tanganku. Mata coklat terangnya itu pun mulai memberikan tatapan lembut hingga bertabrakan dengan mata hijau hazel-ku ini. "Semua ini untukmu, Mandy. Renne, dan juga keluarga kita. Aku ingin membahagiakanmu. Dengan pekerjaan yang sudah mulai menunjang kehidupan kita, aku yakin kita bisa bangkit dari segala keterbatasan yang sudah cukup untuk kita rasakan dalam kehidupan kita."Kehidupan kami yang setelah menikah dulu memang sedikit jauh dari kata cukup. Bryce yang hanya bekerja paruh waktu harus memenuhi kebutuhanku dan Renne yang hadir di antara diriku dan Bryce di tahun kelima usia pernikahan kami."Aku tidak ingin memaksa untuk meluangkan waktumu, Bryce. Aku mengerti dengan kesibukan pekerjaan yang saat ini kau miliki. Tetapi kau juga harus memperhatikanku juga. Kau tidak perlu membuang waktumu hanya untuk mengajakku dan Renne pergi berlibur. Aku bisa melakukan semuanya sendiri, dengan Renne. Asal aku mendapatkan izin darimu. Hanya itu saja, Bryce.""Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa diriku.""Ava. Kau ingat dia satu-satunya teman yang aku miliki?""Yang bekerja di majalah?""Ya. Majalah Style's. Kau bisa mempercayakannya untuk menjagaku, jika itu yang kau takutkan. Dan kebetulan sekali kemarin dia mengajakku pergi ke pesta yang akan diadakan di kantornya. Apakah aku boleh datang? Ava memintaku menemaninya karena ia tidak tega melihatku yang tidak ada bedanya dengan seekor burung di dalam sangkar.""Renne bagaimana?""Apakah aku boleh mengantarkannya kepada Lorraine?""Mommy tidak akan senang menerima Renne, jika alasanmu pergi adalah untuk bersenang-senang."Tentu saja Bryce akan lebih membela orangtuanya itu, dari pada harus memikirkan kebahagiaan istrinya. Karena cinta Bryce hanya ada pada Lorraine, ibu tunggal yang sudah membesarkannya seorang diri itu. Tidak heran lagi bagiku jika Bryce lebih menjaga perasaan Mommy-nya itu dari pada diriku yang lebih jelas adalah istrinya."Hanya satu hari saja.""Setengah hari pun, aku rasa tidak.""Jadi... kau tidak mengizinkannya?""Kau lebih baik di rumah bersama Renne.""Aku hanya ingin mendapatkan sedikit hiburan, Bryce!" Protes-ku yang mulai menaikan intonasi."Hiburan? Apakah aku dan Renne bukanlah kebahagiaanmu sehingga kau ingin mencari hiburan di luar sana? Ayolah Mandy, kau ini bukanlah seorang anak kecil lagi. Tidak perlu merajuk apalagi sampai merengek hanya agar kau bisa mendapatkan kesenangan di luar sana, yang sangatlah jelas belum tentu bisa kau dapatkan juga.”"Kau harus pergi, ponselmu tidak berhenti berdering sejak tadi." Balasku yang mulai jengah mendengar nada dering ponsel Bryce yang memang sejak tadi sudah berbunyi dan sangat mengganggu pembicaraan yang sedang aku lakukan ini."Aku hanya ingin kau mengerti dengan aku yang tidak suka jika kau mendapatkan hal tidak baik dari dunia luar, Mandy."Dan lagi, Bryce lebih memilih untuk mengurung diriku, daripada ia mendapati istrinya sudah terpengaruh buruknya dunia luar seperti yang ada di dalam pikirannya itu. Aku pun sampai saat ini masih tidak mengerti dengan alasan yang selalu dikeluarkannya itu. Pengaruh buruk atau apapun itu, yang jelas di mataku Bryce sudah berlebihan bersikap posesif kepadaku, yang bahkan sudah dua puluh tahun lamanya saling mengenal satu sama lain."Aku sudah sangat mengerti dengan sikapmu yang satu itu.""Aku senang kau selalu mengerti akan diriku, Mandy."'Ia yang lima tahun usianya lebih tua dariku, tetapi justru akulah yang memiliki sikap lebih dewasa dan sangat mengerti dengan setiap keinginan pasangannya,’ batinku yang sudah kembali merasakan kejengahan atas sikap keras kepala nan egois yang Bryce berikan kepadaku itu."Sebagai gantinya, aku ingin memaksa Fey untuk bisa mengosongkan jadwalku esok hari. Agar aku bisa menghabiskan waktu bersama dengan istri tercintaku ini, okay?" sambung Bryce yang membuatku tidak ingin berharap banyak terhadapnya."Jangan berjanji jika kau tidak bisa menepatinya. Kau bisa membuatku kecewa untuk yang kesekian kalinya lagi jika kau melakukan hal itu, Bryce.""Aku berjanji.”"Okay," balasku dengan senyuman palsu yang aku terbitkan di bibirku."Aku mencintaimu."Bryce pun mengecup bibir dan juga keningku dengan cepat sebelum ia berpamitan untuk pergi ke rumah sakit. Ponsel yang semakin berdering itu pun pasti panggilan dari sang asisten yang menandakan jika Bryce harus cepat-cepat berada di rumah sakit saat ini juga. Dan dengan Bryce yang sudah pergi, aku pun hanya bisa menghabiskan waktu bersama Renne yang saat ini pasti baru saja terbangun.***To be continued . . .Happy Reading . . . *** "Av, sepertinya ajakanmu kemarin tidak akan berlaku." Ucapku setelah Ava yang langsung mengangkat sambungan telepon yang baru saja aku lakukan kepadanya ini. "Apa? Kenapa? Ini akan terasa menyenangkan, Mandy-ku." "Tanpa harus aku beritahu, pasti kau sudah mengetahui sendiri alasannya." "Pasti si Bryce sialan itu. Bagaimana kau bisa bertahan hidup bersama dengan si pengekangan itu? Kau tidak seharusnya bertahan selama ini, Mandy. Aku tidak tega melihatmu yang seperti ini terus. Rasanya sudah cukup, kau tahu?" "Kau membuatku ingin tertawa, Av." Balasku dengan senyuman penuh arti. "Sungguh." "Apa aku perlu yang berbicara dengannya?" "Jangankan dirimu, aku saja yang sebagai istrinya terasa percuma. Sudahlah, Av. Sepertinya aku memang tidak ditakdirkan untuk menikmati hidupku ini." "Aku akan datang ke rumahmu sekarang." "Tidak perlu, Av. Kau sedang bekerja." "Tidak, karena sekarang aku sudah memutar arah mobilku ke sana." "Ava!" Panggilanku yang ingin pr
Happy Reading . . . *** Seperti biasanya, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam namun saat ini aku justru sedang memanaskan makan malam yang aku simpan untuk Bryce, untuk yang kedua kalinya. Ya, aku sudah menunggu lama yang ternyata Bryce tidak kunjung pulang juga, sampai-sampai aku sudah memanaskan makanan untuk yang kedua kalinya. Setelah dirasa cukup, aku pun menaruh makanan-makanan yang aku masak di piring semula, lalu menatanya di atas meja makan seperti sedia kala. Lalu aku melangkah kembali menuju sofa untuk menunggu di sana sambil menonton televisi. Hingga tidak lama kemudian, aku pun mendengar suara pintu rumah yang terbuka dan munculah Bryce di sana. Dengan cepat aku pun menghampiri pria itu untuk membantu membukakan mantel sekaligus membawakan tas kerjanya. "Hai, maafkan aku jika sampai di rumah hingga selarut ini. Pasieku tadi benar-benar begitu tidak terkendali hingga sampai menguras tenagaku." Ucap Bryce lalu ia pun memberikan kecupan pada keningku. "Tidak mas
Happy Reading . . . *** Dengan menampilkan senyuman, aku menatap akan rasa puas yang aku rasakan pada saat memandang diriku yang sudah merasa cukup setelah selesai merias penampilan yang hanya bisa aku lakukan sederhana ini. Setelah memakai high heels setinggi lima centimeter, sekali lagi aku memandang penampilanku di depan kaca dengan gaun sederhana setinggi di atas lututku sedikit, dan cukup tertutup yang Bryce pernah belikan untukku dulu, membuatku merasa cukup siap untuk datang ke pesta undangan Ava. Sejenak aku pun mengirimkan pesan kepada Bryce untuk memberitahu bahwa aku akan pergi dan Renne pun yang juga sudah tertidur sejak tadi. Tidak lupa dengan makan malam pria itu juga sudah aku taruh di dalam microwave, agar jika ingin memakan Bryce bisa langsung mengeluarkannya dengan kondisi makanan yang hangat. Hingga dentingan suara pesan masuk dari Ava yang memberitahu jika dia sudah sampai di luar rumah, membuatku langsung mengambil tas jinjing dan bergegas melangkah keluar dari
Happy Reading . . . *** "Daddy, bisakah nanti menjemputku setelah pulang sekolah?" Kunyahanku terhadap sarapan yang sedang aku makan ini secara otomatis langsung terhenti disaat mendengar permintaan Renne, yang sesungguhnya sangatlah mudah untuk dilakukan. Namun setelah pandanganku langsung bertemu dengan pandangan Bryce yang duduk di kursi berhadapan denganku, lagi dan lagi tanpa harus pria itu menjawabnya, akulah yang harus menangani hal sederhana seperti ini. "Hmm..., bagaimana kalau Mommy saja yang nanti menjemput Renne sepulang sekolah?" Ucapku yang memberikan penawaran kepada anakku ini, sebagai inisiatif untuk mencegah Bryce yang pasti tidak akan bisa melakukannya. "Daddy sudah sangat lama tidak pernah menjemput Renne di sekolah lagi. Kemarin Renne melihat teman-teman Renne banyak yang dijemput oleh Daddy-nya setelah sepulang sekolah. Renne ingin seperti itu, Mommy." Rajuk Renne yang membuat hatiku luluh, namun aku sendiri tidak tahu harus melakukan hal apalagi mengetahui
Happy Reading . . . *** Aku menatap diriku yang kini sudah mengenakan pakaian renang bermodel dua potong di depan cermin besar yang memperlihatkan keseluruhan tubuhku. Potongan atas dan bawah dari pakaian yang aku kenakan ini terlalu minim sehingga tidak cukup menutupi bagian pribadi tubuhku, terutama dibagian dada dan bokong. Bokong ku yang memang tidak tertutupi apa-apa selain pakaian renang yang aku kenakan ini, membuatku benar-benar merasa seperti telanjang saja. Belum lagi warna hijau neon yang terlihat cukup kontras di tubuhku yang berkulit natural ini, semakin membuatku merasa tidak percaya diri dengan seketika. "Wow..., lihatlah dirimu. Kau terlihat sama mengagumkan layaknya model profesional," ucap Ava yang tiba-tiba saja datang di ruang ganti pakaianku ini, membuatku langsung menerbitkan senyuman bersamaan dengan pujian yang diberikannya kepadaku itu. "Jangan menyindirku, Av." "Siapa yang menyindir? Kau memang benar-benar terlihat begitu luar biasa, Mandy." "Tetapi aku
Happy Reading . . . *** "Dimana pikiranmu, Mandy? Kau tidak menjemput Renne di sekolah dan membiarkannya menunggu sendirian disaat sekolah pun juga sudah sepi. Guru Renne sudah berkali-kali menghubungi ponselmu, tetapi kau tidak kunjung mengangkatnya juga dan hingga pada akhirnya aku yang hendak melakukan operasi dengan terpaksa aku tunda dulu karena aku yang harus menjemput Renne di sekolahnya. Pergi kemana kau hari ini, Mandy?" Aku sudah tidak asing lagi menghadapi situasi seperti ini. Dengan hanya tertunduk pasrah di bawah amarah yang sedang begitu menguasai Bryce, aku hanya bisa tersenyum kecut di dalam hati disaat mendengar setiap ocehan yang keluar dari bibir pria itu saja. Hanya karena baru satu kali aku terlambat untuk menjemput Renne, ia bisa sampai semarah ini kepadaku. Aku sungguh sudah tidak habis pikir lagi dengannya. "Tetapi lihatlah dari sisi baiknya, Bryce. Dengan begitu kau jadi bisa menjemput Renne sepulang dari sekolah, bukan? Dan Renne pun pasti sangat merasa s
Happy Reading . . . *** Setelah mengantar Renne menuju bis sekolahnya, aku melangkah memasuki rumah kembali dan langsung melihat Bryce yang sedang memakai sepatunya dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit di kursi yang berada di dekat pintu. "Hari ini aku ingin pergi keluar sejenak. Tidak sampai malam hari, mungkin siang dan sekaligus menjemput Renne di sekolah, setelah itu aku sudah kembali ke rumah." "Pergilah." Balasan singkat dan tidak adanya keraguan ataupun keterpaksaan pada nada bicaranya itu membuatku langsung mengernyitkan kening setelah mendengarnya. "Kau tidak ingin menginterogasi atau melarangku terlebih dahulu?" Tanyaku yang sedikit bingung akan sikap yang baru aku lihat darinya itu. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban karanganku jika saja Bryce menanyakan kepergianku yang ingin menemui Becks. "Tidak perlu. Kau ini istriku, bukan seorang tawanan. Jadi aku tidak ingin mengekangmu lagi." "Ada apa denganmu? Terasa cukup berbeda." "Hanya perasaanmu saja. Kalau begitu
Happy Reading . . . *** Aku yang saat ini sedang berada di dapur untuk mencuci beberapa perlatan bekas masak tadi, langsung mendengar suara pintu rumah yang terbuka lalu tertutup kembali secara tiba-tiba. Aku yang merasa penasaran akan siapa yang datang itu, hendak melangkah menuju pintu rumah untuk melihatnya. Namun pada saat aku baru saja mematikan aliran air yang mengalir dari keran wastafel tempat mencuci piring ini, aku pun langsung melihat keberadaan Bryce yang rupanya sudah pulang di saat langit di luar sana masih terang. Dengan masih mengenakan pakaian tugas rumah sakitnya itu, ia melangkah memasuki dapur dan menghampiri keberadaanku. "Bryce? Tidak biasanya kau pulang disaat hari masih terang seperti ini. Ini masih pukul enam, kau baik-baik saja?" Tanyaku yang tentu merasa bingung akan hal tidak biasa yang kembali pria itu lakukan. "Ya, tentu aku baik-baik saja." "Kau sedang sakit?" "Tidak. Aku baik-baik saja, Mandy." "Kau yakin?" "Ya, tentu saja. Hei, ada apa? Kenapa k
Happy Reading . . . *** Aku menatap sebuah benda kecil yang sudah melingkar pada jari manis, di tangan kiriku ini. Rasanya sudah cukup lama aku tidak mengenakan benda seperti ini di jari tanganku. Bahkan pada saat aku memiki cincin pernikahan dulu pun aku memutuskan untuk tidak memakainya. Aku yang memang pada dasarnya tidak menyukai memakai hal-hal seperti itu pun, justru kini mendapatkan benda yang sejenis namun kali ini terlihat lebih mewah, bernilai tinggi, dan begitu berharga. Dan semalam, tanpa aku duga Becks baru saja melamarku. Ia begitu membuktikan betapa dirinya tidak ingin kehilanganku, sampai-sampai ia berani untuk melamarku di saat aku yang masih berpura-pura menderita amnesia ini. Dan kini, aku yang harus menjalani peranku atas jawaban yang sudah aku berikan semalam dimana aku menerima lamaran Becks, juga memperlihatkan kepada pria itu jika aku yang masih mencintainya. Walau sesungguhnya rasa itu seperti sudah tidak ada lagi di dalam diriku, dan tidak bisa aku rasakan
Happy Reading . . . *** Genggaman erat tangan Becks pada tangan kiriku yang tidak memegang kruk untuk membantu kaki kananku yang masih belum pulih untuk bisa berjalan dengan normal ini, seakan tidak ingin ia lepaskan sampai kapan pun. Genggaman tangan itu pun seakan memanduku melangkah memasuki sebuah restaurant di depan sana yang terlihat begitu eksklusif dan menggambarkan kemewahan luar biasa dari luar sini. "Kau sudah benar-benar merencanakan makan malam ini dengan sempurna, Becks?" Ucapku saat kami masih melangkah masuk menuju restaurant tersebut. "Kau sudah bisa menebaknya, huh?" "Bagaimana tidak? Hari ini kau sudah mengajakku ke salon, memberikanku gaun yang aku kenakan dengan luar biasa dan pasti tidaklah murah ini, dan sekarang kau membawaku ke restauran berbintang seperti ini. Dan sehabis ini, hal apalagi yang menjadi bagian dari kejutanmu itu, Becks?" "Kau bisa mendapatkannya nanti." "Jadi, kau masih memiliki kejutan untukku?" "Hhmm..., tebak dan pikirkanlah." "Kemb
Happy Reading . . . *** Aku menatap diriku di depan cermin untuk melihat penampilan diriku yang setiap hari dan setiap tahunnya seperti ini saja. Rambut panjangku ini, entah sudah berapa lama terakhir kali aku mengguntingnya. Panjangnya yang sudah mencapai pinggangku ini, membuatku bertaruh bahwa terakhir kali aku memendekkan rambutku sudah bertahun-tahun lamanya. Belum lagi bagian dalam rambutku terdapat sedikit potongan rambut yang tidak teratur, yang sengaja dihilangkan pada saat setelah kecelakaan tersebut, untuk menangani bagian kepalaku yang saat itu terkena benturan pada aspal jalanan. Sehingga aku pun memutuskan ingin menggunting rambutku menjadi sangat pendek, membuatku mengira-ngira sampai sependek apa potongan gaya rambut yang cocok untukku. Namun di saat aku yang baru saja sedang mengira, pintu kamar ini pun terbuka dan munculah Becks di sana yang sudah melangkah masuk menghampiriku. "Hei, apa yang kau lihat?" Tanya-nya kepadaku. "Rambutku. Aku ingin menggunting dan me
Happy Reading . . . *** Aku menatap kosong jalanan di luar sana melalui kaca jendela pintu mobil di sampingku ini. Pikiranku sejak tadi benar-benar tidak bisa terlepas dari ucapan Ava yang mengajakku untuk ikut dengannya pergi ke Paris. Tawaran menjadi asisten Ava, seperti peluang yang begitulah besar bagiku untuk bisa memulai kehidupan baru, dan harus benar-benar aku pertimbangkan dengan sangat baik-baik. Dan pemikiran seperti itulah yang sejak tadi membuatku melamun dan memikirkan kesempatan yang mungkin akan membawaku menuju kebahagiaan yang sesungguhnya, semenjak pertemuanku bersama dengan Ava tadi berakhir. "Hei, Mandy." Panggilan dengan genggaman tangan itu pun membuatku langsung tersadar dari lamunan. "Ya?" "Kau baik-baik saja?" "Ya. Memangnya ada apa?" "Tidak. Hanya saja, sejak dari cafe tadi kau lebih banyak terdiam. Memangnya, hal apa saja yang kau bicarakan dengan Ava tadi?" "Hanya beberapa hal yang aku lupakan saja darinya. Kehidupan barunya di Paris, pekerjaannya
Happy Reading . . . *** Suara ketukan pintu yang sudah berkali-kali dengan samar-samar aku dengar dari luar sana dan mulai terasa menggangguku itu, membuatku dengan perlahan langsung membuka mata yang sebelumnya masih setengah sadar dari tidurku ini. "Mandy, apakah kau sudah terbangun?" Suara Becks, yang terdengar dari luar sana membuatku benar-benar terbangun dengan sepenuhnya. Aku yang memutuskan untuk meminta kepada pria itu agar kami bisa berpisah kamar saja, membuatku tentu menempati kamar lain di rumahnya ini karena bagiku hal seperti itulah yang terbaik untukku di situasi seperti ini. Aku ingin mulai menjaga jarak dengan pria itu, sekaligus jika bisa membuatnya sadar bahwa sudah seharusnya ia tidak lagi terus berpikir bahwa aku ini adalah miliknya. "Kau bisa masuk," balasku dengan sedikit berteriak dan langsung membuat pintu kamar ini terbuka bersamaan dengan Becks yang muncul di sana. "Hei, selamat pagi. Apa kau baru terbangun setelah mendengar suara ketukan pintuku? At
Happy Reading . . . *** Tiga minggu berlalu, total waktu yang sudah aku habiskan selama berada di rumah sakit dimana aku dirawat ini untuk menjalani pemulihan semenjak kecelakaan tersebut menimpaku. Hingga pada akhirnya, aku pun juga sudah diperbolehkan untuk keluar dari tempat yang sudah cukup menyiksaku selama berminggu-minggu ini. Dan kini, aku sedang bersiap-siap untuk keluar dari rumah sakit yang tentunya dengan bantuan dan keberadaan Becks di sini. Pria itu benar-benar sungguh tidak pernah meninggalkanku sendirian di tempat ini, kecuali ia memiliki pemotretan yang tidak mendesak sehingga tidak bisa ia tolak lagi. "Pakai mantelnya, di luar sedang sedikit dingin." Ucap Becks yang menghampiriku yang sedang duduk di tepi ranjang dan hendak memakaikan mantel yang ia bawa kepadaku."Apakah saat ini sudah memasuki musim dingin?" "Hampir." "Aku lupa bertanya. Apakah saat ini aku berada di Brooklyn? Karena hal terakhir yang aku ingat, aku tinggal di kota itu." "Saat ini kau berada
Happy Reading . . . *** Aku menatap kosong ke arah luar jendela yang berada tidak jauh di sampingku ini, yang sepertinya mengarah kepada sebuah taman di luar sana. Sudah beberapa hari waktu berlalu semenjak aku yang terbangun dari masa koma singkatku itu. Aku yang sudah merasa semakin lebih baik dari hari ke hari, tetapi walaupun sesekali aku masih merasa nyeri di bagian kepala dan di bagian beberapa letak luka yang aku miliki ini, namun rupanya aku masih juga tidak diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit ini. Aku pun yang sudah merasa begitu bosan berada di ruangan ini selama berhari-hari, tidak termasuk masa koma yang aku alami kemarin, membuatku menjadi lebih banyak berdiam diri dan melamun. "Hei, selamat pagi. Apa kabarmu hari ini, Mandy?" Suara itu, datang bersamaan dengan terbukanya pintu ruangan ini yang menampilkan Becks yang kembali datang di pagi hari seperti biasanya, dengan sebuket bunga di tangannya. Hal baru yang entah kenapa belakang ini selalu Becks lakukan te
Happy Reading . . . *** Oh, tidak! Apa yang baru saja terjadi? Aku membuka kedua mataku dengan cepat, di saat diriku yang merasa seperti sehabis dikejutkan secara tiba-tiba. Namun kali ini, bukanlah langit-langit kamar Becks yang menyambut indra penglihatanku seperti biasanya. Tetapi sebuah langit-langit bernuansa putih dengan beberapa lampu yang menerangi ruangan ini. Tidak hanya penglihatanku saja yang aneh, tetapi pendengaranku pun juga menangkap suara-suara alat khas rumah sakit yang digunakan untuk mendeteksi detak jantung dan nadi seseorang. Tetapi belum selesai aku mengira-ngira akan hal yang sedang terjadi saat ini pada diriku, aku langsung merasakan betapa sakit dan rasa berdenyut yang begitu luar biasa pada kepalaku saat ini. Tanganku yang terasa begitu dingin akibat pendingin udara di ruangan ini, membuatku juga menjadi semakin merasa sulit untuk digerakan akibat rasa kaku pada sekujur tubuhku, cukup menghambatku yang ingin mencengkram kuat kepalaku berharap rasa sakit l
Happy Reading . . . *** Aku membuka mataku di saat aku merasakan cahaya matahari yang mulai menggangguku karena selalu menembus melalui jendela kamar ini. Aku melirik jam di atas meja yang berada di samping ranjang yang aku tempati ini, dan melihat waktu yang kini sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dan itu tandanya, aku baru mengistirahatkan tubuhku selama empat jam lamanya. Sudah satu minggu waktu berlalu semenjak terbongkarnya rahasia yang selalu disembunyikan oleh pria itu, dan itu artinya sudah selama itu juga aku memutuskan untuk mogok bicara dengannya dan juga tentunya berusaha untuk menghindar dari pandangan Becks, walau aku tahu hal itu akan sangat sulit untuk dilakukan karena aku yang masih tinggal di rumahnya ini. Itu semua aku lakukan karena aku yang benar-benar sama sekali tidak diperbolehkan untuk pergi oleh pria itu. Aku yang kini seakan kembali seperti kehidupanku yang terdahulu dan mendapatkan perlakuan yang sama, dimana aku yang dikurung dan tidak boleh beranja