Happy Reading . . .
***"Daddy, bisakah nanti menjemputku setelah pulang sekolah?"Kunyahanku terhadap sarapan yang sedang aku makan ini secara otomatis langsung terhenti disaat mendengar permintaan Renne, yang sesungguhnya sangatlah mudah untuk dilakukan. Namun setelah pandanganku langsung bertemu dengan pandangan Bryce yang duduk di kursi berhadapan denganku, lagi dan lagi tanpa harus pria itu menjawabnya, akulah yang harus menangani hal sederhana seperti ini."Hmm..., bagaimana kalau Mommy saja yang nanti menjemput Renne sepulang sekolah?" Ucapku yang memberikan penawaran kepada anakku ini, sebagai inisiatif untuk mencegah Bryce yang pasti tidak akan bisa melakukannya."Daddy sudah sangat lama tidak pernah menjemput Renne di sekolah lagi. Kemarin Renne melihat teman-teman Renne banyak yang dijemput oleh Daddy-nya setelah sepulang sekolah. Renne ingin seperti itu, Mommy." Rajuk Renne yang membuat hatiku luluh, namun aku sendiri tidak tahu harus melakukan hal apalagi mengetahui Bryce yang pasti tidak bisa memberikan hal yang Renne inginkan itu."Kita akan membuat kukis sepulang Renne sekolah. Bagaimana?" Bujuk ku yang justru membuat Renne menjadi terlihat murung dan sedih. Dan bujukanku itu rupanya sudah tidak berlaku lagi untuk Renne. Karena faktanya sudah puluhan atau bahkan ratusan kali aku selalu membujuknya untuk membuat kukis setelah sepulangnya dari sekolah jika keinginannya itu tidak bisa diwujudkan oleh Bryce. Dan kini, aku bisa melihat kembali raut kekecewaan serta kesedihan yang langsung tertera di wajah mungil anakku itu."Renne sudah kenyang, dan sebentar lagi bis sekolah akan datang." Ucapnya dengan sedih yang langsung beranjak dari duduknya lalu aku melihat Renne yang melangkah menuju kamarnya, yang pasti akan mengambil tas sekolah miliknya. Setelah melihat Renne yang sudah memasuki kamarnya, kini pandanganku langsung tertuju kepada Bryce di hadapanku."Kau lihat sendiri, bukan? Bujukan ku itu sudah menjadi gaya lama, dan tidak akan pernah berhasil lagi untuk Renne. Apa yang harus aku lakukan setelah ini, Bryce? Demi menutupi dirimu yang selalu tidak bisa, bahkan tidak ingin mencoba untuk Renne.""Maafkan aku, Mandy. Tetapi aku tidak bisa. Sungguh aku tidak bisa.""Aku tidak mempermasalahkan jika kau yang sudah tidak ingin mempedulikan atau pun tidak ingin memberikan rasa perhatianmu lagi terhadapku. Sungguh aku tidak mempermasalahkannya. Tetapi aku mohon, Renne masih membutuhkan hal itu darimu, Bryce. Kau tidak bisa mengacuhkannya, seperti kau yang selalu mengacuhkanku.""Aku tidak mengacuhkanmu.""Tetapi kenyataannya memang seperti itu!" Seru ku dengan tegas untuk meyakinkan kenyataan itu di depan mata Bryce."Okay. Jika itu yang kau minta, esok aku akan mengantarnya ke sekolah dan juga menjemputnya setelah sepulang sekolah. Apakah kau puas?""Kau yakin?" Tanyaku yang meyakinkan Bryce atas janji yang baru saja diucapkannya itu."Y-ya, tentu saja.""Dan untung saja kau mengucapkan janji itu kepadaku, tidak kepada Renne langsung. Bisa-bisa aku harus memikirkan cara kedua, ketiga dan seterusnya untuk membujuknya jika saja kau tidak bisa menepati janji itu."Tanpa ingin memperpanjang perdebatan akan janji yang saat diucapkan saja terdengar begitu meragukan, aku pun langsung meninggalkan sarapanku yang masih belum selesai untuk menghampiri Renne yang saat ini pasti masih merasa kecewa terhadap Bryce di kamarnya."Hei, apa semuanya baik-baik saja?" Tanyaku saat telah berada di antara celah pintu kamar Renne yang sedikit terbuka."Ya, Mom.""Semuanya sudah berada di dalam tas?""Ya."Dengan tersenyum, aku pun melangkah memasuki kamar Renne lalu ikut mendudukkan diri di tepi ranjang dimana anakku itu sedang menutup resleting tas sekolahnya di atas ranjang."Apa hari ini rambutmu ingin Mommy kepang?" Tanyaku yang masih berusaha untuk menghilangkan rasa kekecewaan Renne sambil membelai rambut brunette panjangnya itu. Warna rambut yang aku turunkan kepadanya, dan begitu juga banyak gen milikku dibandingkan Bryce di dalam diri Renne."Tidak, Mom. Hari ini Renne ingin seperti ini saja.""Tetapi jika dikepang akan terlihat lebih indah. Hari ini kau ada kelas olahraga, bukan?""Mom, bis sekolahnya akan datang sebentar lagi. Tidak ada waktu, atau Renne akan terlambat dengan berakhir ditinggal bisnya.""Okay. Tetapi setelah Mommy jemput nanti, kita akan tetap membuat kukis, bukan?""Bolehkah kita membuat yang banyak agar keesokan harinya dapat Renne membawa ke sekolah dan memberikannya untuk teman-teman?""Tentu saja. Kita akan membuat banyak kukis, okay?""Okay.""Kalau begitu, Mommy akan antar sampai ke depan, sebelum nanti kau akan tertinggal bis."Setelah membantu Renne memakai tas sekolah di punggungnya, aku pun menggenggam tangan Renne untuk berjalan beriringan keluar dari kamar. Namun pada saat melewati meja makan, aku sudah tidak melihat keberadaan Bryce lagi di sana. Begitu juga di luar rumah, aku sudah tidak melihat keberadaan mobilnya lagi. Mungkin ia memilih untuk bergegas berangkat menuju rumah sakit, sebelum diminta suatu hal lagi dari Renne yang tidak mungkin bisa dilakukannya. Begitu juga dengan Renne, sebaiknya ia tidak melihat Daddy-nya itu terlebih dahulu agar hati kecil yang hanya menginginkan kasih sayang dan perhatian dari Bryce namun tidak kunjung pria itu berikan juga, tidak terus menerus merasakan kekecewaan akannya."Baiklah. Jauhi hal berbahaya dan Mommy ingin melihat nilai-nilai terbaikmu di setiap pelajaran. Okay?""Okay, Mommy.""Hati-hati dalam melangkah. Sampai bertemu sepulang sekolah nanti, Mommy sayang Renne."Kecupan di kening dan pelukanku pada tubuh mungil Renne itu, menjadikan perpisahan sebelum ia melangkah menghampiri bis sekolah yang behenti tidak jauh di depan rumah. Setelah memastikan Renne sudah berada di dalam bis, dan bis tersebut yang juga langsung pergi. Aku pun hendak melangkah memasuki rumah untuk mulai melakukan pekerjaan rumahku seperti biasanya.Namun disaat baru beberapa langkah aku berjalan, suara klakson mobil yang dibunyikan secara berkali-kali dan terdengar cukup mengganggu itu membuatku secara otomatis langsung memutar tubuhku untuk melihat hal apa yang sedang terjadi. Dan tiba-tiba saja aku melihat sosok Ava yang sudah turun dari mobilnya dan sedikit berlari menhampiriku. Dengan nafas terengahnya, ia memegang kedua lenganku dan sedikit mengguncangnya sambil mengatakan hal yang tidak aku mengerti."Aku akan mendapatkan masalah besar jika kau tidak ingin membantuku.""Masalah apa?""Masalah yang sangat besar.""Hei, tenanglah terlebih dahulu. Ada apa? Bicaralah yang jelas agar aku bisa mengerti.""Aku kekurangan model untuk pemotretan. Hari ini adalah deadline terakhir, dan jika pemotretan tidak dilakukan edisi musim panas kali ini akan mundur dan Style's akan kehilangan banyak investor. Kau adalah hidup dan matiku, Mandy.""Av, aku sungguh tidak mengerti dengan yang kau ucapkan. Model, musim panas, deadline, investor. Ada apa? Dan apa hubungannya denganku?" Tanyaku yang masih begitu bertanya-tanya akan setiap ucapan Ava yang sama sekali tidak aku mengerti."Simpan pertanyaanmu itu untuk di perjalanan. Dan sekarang, sebaiknya kau ikut aku ke lokasi pemotretan.""Untuk apa? Aku tidak bisa pergi kemana-mana, Ava. Bryce akan marah besar jika aku meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan apalagi seizinnya.""Persetan dengan bajingan itu! Dan kau, ikut aku sekarang!"Tanpa memberikan waktu untukku bertanya lagi apalagi melemparkan protes, tanganku sudah ditarik oleh Ava dan secara paksa tubuhku juga langsung dimasukkan ke dalam mobil miliknya. Bahkan belum sempat untukku memakai sabuk pengaman, Ava sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan yang untungnya sedang sepi dari kendaraan lain."Ada apa, Av? Jelaskan kepadaku sejelas-jelasnya dan jangan membuatku menjadi semakin merasa bingung seperti ini, okay?" Tanyaku sambil memakai sabuk pengaman demi menjaga keselamatanku."Bulan depan seperti biasanya Style's akan menerbitkan majalah edisi musim panas. Dan hari ini adalah jadwal pemotretan untuk sampulnya. Aku memliki enam model, tetapi yang satu tiba-tiba saja memberitahu tidak bisa datang karena dia masih di Brazil. Aku yang tidak memiliki cadangan model menjadi sangat bingung, Mandy. Dan saat ini pun aku seperti berada di ambang kematian jika bosku sampai mengetahuinya.""Lalu, apa hubungannya denganku?""Kau harus menjadi model yang ke-enam. Kau tahu? Tubuhmu yang sudah sempurna layaknya seorang model ini adalah alasan utamaku memilihmu. Kau akan tampil luar biasa untuk pemotretan perdanamu ini, Mandy.""APA?! Kau sudah gila, Av! Aku tidak bisa. Apa yang Bryce katakan jika aku menjadi model sampul majalah edisi musim panas? Aku tidak siap mendapatkan caci maki dari Lorraine jika ia sampai melihat majalah itu. Dan apa yang Renne katakan nanti ketika ia melihatku yang pasti harus mengenakan pakaian renang. Aku tidak mau dan tidak bisa, Av! Sekarang turunkan aku di sini sekarang juga. Aku mohon.""Tidak ada jalan pulang. Dan dengan kau yang sudah berada di dalam mobilku, itu berarti kau tidak bisa kemana-mana lagi.""Av, kau tidak bisa seperti ini. Hentikan mobilnya, aku ingin turun.""Tidak bisa. Mandy, kau harus mengerti. Pekerjaanku di sini yang menjadi taruhannya. Dan lagi pula, ada bagusnya jika Bryce dan Lorraine sampai melihatmu menjadi model sampul majalah. Mereka yang menjadi tidak menyukaimu itu justru akan memudahkanmu yang ingin bercerai dan berpisah dengan keluarga laknat itu.""Jadi, kau lebih mementingkan karirmu yang sangat cerah itu, dari pada memikirkan perasaanku yang pasti akan dicap sebagai istri tidak tahu diri dan hanya bisa mempermalukan nama baik keluarga saja?" Ucapku dengan sedikit mulai mereda dari emosi yang sebelumnya begitu meluap-luap setelah melihat pemikiran egois Ava yang ternyata cukup mengecewakanku."Hei, tidak seperti itu, Mandy. Aku sungguh tidak pernah memiliki pikiran seperti itu terhadapmu. Aku hanya ingin membuatmu bisa merasakan bagaimana kehidupan di dunia luar sana, agar kau tidak terus menerus memikirkan Bryce yang sesungguhnya tidak pantas untuk kau pikirkan." Balas Ava dengan suara yang terdengar menyesal.Hingga suasana keheningan pun sempat terjadi di antara kami setelah ucapanku tadi yang seperti langsung menyadarkan Ava atas keegoisan yang dimilikinya itu. Tetapi, ucapan Ava tadi seperti ada benarnya juga, dan hal itu membuatku menjadi mulai berpikir. Karena dihidupku ini, aku menyadari hanyalah Ava yang selalu ingin membuatku bahagia. Ia satu-satunya sahabatku yang selalu memikirkan kebahagiaanku, di saat terkadang dirinya sendiri pun belum tentu selalu merasakan kebahagiaan. Dan disaat Ava yang selalu berusaha memberikannya untukku, bagaimana bisa kini aku tidak ingin memberikan pertolongan disaat ia yang sedang membutuhkannya?Jika seperti ini, justru akulah yang menjadi sosok egois di antara persahabatanku dengan Ava. Dan lagi pula, menjadi model sampul majalah. Sepertinya hal seperti itu tidak pernah terbayang di dalam pikiranku. Tetapi, apa salahnya aku mencoba hal baru untuk bisa membuat pengalaman hidupku menjadi lebih bewarna lagi? Setelah cukup lamanya hidupku ini selalu saja dikekang dan dibatasi oleh Bryce, yang tidak laik adalah suamiku sendiri."Baiklah. Jika kau tidak menginginkannya, tidak masalah. Aku akan mengantarmu pulang kembali ke rumah," putus Ava."Tidak perlu, Av.""Tidak, jika kau tidak menginginkannya, tidak masalah. Sungguh tidak apa-apa, Mandy. Mungkin aku akan mencari orang lain yang merasa siap saja. Maafkan aku yang tadi sudah memaksamu, okay? Aku tidak berpikir bahwa aku sudah bersikap egois terhadapmu.""Tidak perlu, Av. Biarkan aku saja yang menjadi modelnya. Sekali-sekali, aku ingin menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Bagaimana pun juga, kau itu satu-satunya sahabat yang aku miliki. Aku tidak akan memiliki siapa-siapa lagi jika hubungan di antara kita sampai berjarak hanya karena sikap egoisku ini," ucapku yang memutuskan untuk membantu Ava dengan menerima permintaannya itu yang menginginkanku untuk bisa menjadi model di sampul majalah tempatnya bekerja."Sungguh? Kau tidak mempermasalahkannya? Di depan ada putar balik, dan aku masih bisa mengantarmu pulang.""Ava, aku menginginkannya. Aku bersedia mengisi posisi kosong sebagai model itu. Berikan aku kesempatan untuk mencoba hal baru yang tidak pernah ada di pikiranku sebelumnya.""Kau yakin? Aku tidak ingin memaksamu lagi.""Ya, aku sangat yakin. Dan kau tidak perlu memaksaku lagi, karena sekarang aku sudah menginginkan kesempatan yang kau berikan itu.""Baiklah. Sepertinya aku sudah mendapatkan sosok Mandy yang baru, sosok yang sudah sangat lama aku inginkan dari dalam dirimu. Mandy-ku yang keluar dari zona kewajiban, dan menjadi sedikit pembangkang dari si penyiksa Bryce.""Ava!" Protesku dengan tawa sambil memukul kecil lengannya setelah mendengar ucapan Ava yang terdengar cukup berlebihan itu, namun terdapat fakta juga di dalamnya.***To be continued . . .Happy Reading . . . *** Aku menatap diriku yang kini sudah mengenakan pakaian renang bermodel dua potong di depan cermin besar yang memperlihatkan keseluruhan tubuhku. Potongan atas dan bawah dari pakaian yang aku kenakan ini terlalu minim sehingga tidak cukup menutupi bagian pribadi tubuhku, terutama dibagian dada dan bokong. Bokong ku yang memang tidak tertutupi apa-apa selain pakaian renang yang aku kenakan ini, membuatku benar-benar merasa seperti telanjang saja. Belum lagi warna hijau neon yang terlihat cukup kontras di tubuhku yang berkulit natural ini, semakin membuatku merasa tidak percaya diri dengan seketika. "Wow..., lihatlah dirimu. Kau terlihat sama mengagumkan layaknya model profesional," ucap Ava yang tiba-tiba saja datang di ruang ganti pakaianku ini, membuatku langsung menerbitkan senyuman bersamaan dengan pujian yang diberikannya kepadaku itu. "Jangan menyindirku, Av." "Siapa yang menyindir? Kau memang benar-benar terlihat begitu luar biasa, Mandy." "Tetapi aku
Happy Reading . . . *** "Dimana pikiranmu, Mandy? Kau tidak menjemput Renne di sekolah dan membiarkannya menunggu sendirian disaat sekolah pun juga sudah sepi. Guru Renne sudah berkali-kali menghubungi ponselmu, tetapi kau tidak kunjung mengangkatnya juga dan hingga pada akhirnya aku yang hendak melakukan operasi dengan terpaksa aku tunda dulu karena aku yang harus menjemput Renne di sekolahnya. Pergi kemana kau hari ini, Mandy?" Aku sudah tidak asing lagi menghadapi situasi seperti ini. Dengan hanya tertunduk pasrah di bawah amarah yang sedang begitu menguasai Bryce, aku hanya bisa tersenyum kecut di dalam hati disaat mendengar setiap ocehan yang keluar dari bibir pria itu saja. Hanya karena baru satu kali aku terlambat untuk menjemput Renne, ia bisa sampai semarah ini kepadaku. Aku sungguh sudah tidak habis pikir lagi dengannya. "Tetapi lihatlah dari sisi baiknya, Bryce. Dengan begitu kau jadi bisa menjemput Renne sepulang dari sekolah, bukan? Dan Renne pun pasti sangat merasa s
Happy Reading . . . *** Setelah mengantar Renne menuju bis sekolahnya, aku melangkah memasuki rumah kembali dan langsung melihat Bryce yang sedang memakai sepatunya dan bersiap untuk pergi ke rumah sakit di kursi yang berada di dekat pintu. "Hari ini aku ingin pergi keluar sejenak. Tidak sampai malam hari, mungkin siang dan sekaligus menjemput Renne di sekolah, setelah itu aku sudah kembali ke rumah." "Pergilah." Balasan singkat dan tidak adanya keraguan ataupun keterpaksaan pada nada bicaranya itu membuatku langsung mengernyitkan kening setelah mendengarnya. "Kau tidak ingin menginterogasi atau melarangku terlebih dahulu?" Tanyaku yang sedikit bingung akan sikap yang baru aku lihat darinya itu. Padahal aku sudah menyiapkan jawaban karanganku jika saja Bryce menanyakan kepergianku yang ingin menemui Becks. "Tidak perlu. Kau ini istriku, bukan seorang tawanan. Jadi aku tidak ingin mengekangmu lagi." "Ada apa denganmu? Terasa cukup berbeda." "Hanya perasaanmu saja. Kalau begitu
Happy Reading . . . *** Aku yang saat ini sedang berada di dapur untuk mencuci beberapa perlatan bekas masak tadi, langsung mendengar suara pintu rumah yang terbuka lalu tertutup kembali secara tiba-tiba. Aku yang merasa penasaran akan siapa yang datang itu, hendak melangkah menuju pintu rumah untuk melihatnya. Namun pada saat aku baru saja mematikan aliran air yang mengalir dari keran wastafel tempat mencuci piring ini, aku pun langsung melihat keberadaan Bryce yang rupanya sudah pulang di saat langit di luar sana masih terang. Dengan masih mengenakan pakaian tugas rumah sakitnya itu, ia melangkah memasuki dapur dan menghampiri keberadaanku. "Bryce? Tidak biasanya kau pulang disaat hari masih terang seperti ini. Ini masih pukul enam, kau baik-baik saja?" Tanyaku yang tentu merasa bingung akan hal tidak biasa yang kembali pria itu lakukan. "Ya, tentu aku baik-baik saja." "Kau sedang sakit?" "Tidak. Aku baik-baik saja, Mandy." "Kau yakin?" "Ya, tentu saja. Hei, ada apa? Kenapa k
Happy Reading . . . *** "Kau yakin tidak apa-apa pergi dengan Renne saja? Aku masih bisa membatalkan rencanaku, Bryce." Tanyaku sambil memasukkan beberapa kotak bekal berisi makan siang yang sudah aku buat tadi ke dalam tas. "Tidak apa, Mandy. Kita sudah membicarakan permasalahan ini kemarin, bukan?" "Aku tidak ingin membuat siapapun merasa kecewa." "Aku tidak kecewa. Begitu pun juga dengan Renne. Aku sudah bertanya kepadanya tadi. Katanya, ia justru senang karena akan bertemu dengan Nana-nya yang sudah cukup lama tidak dijumpainya." "Lorraine akan benar-benar marah kepadaku, Bryce. Aku akan dianggap sebagai Mommy tidak bertanggung jawab dan-“ "Hei, Mommy tidak seperti itu." "Ia memang tidak seperti itu, tetapi hanya kepadamu dan Renne saja. Seakan-akan aku ini tidak dianggap sebagai menantunya saja." "Mandy..., kau tidak perlu takut. Di depan Mommy, aku yang akan menjadi pembela nomor satu untukmu." "Tetap saja, Lorraine tidak akan pernah baik kepadaku." Pembela apanya? Kau
Happy Reading . . . *** "Kau sungguh terlihat luar biasa, Mandy." "Benarkah?" "Tetap pertahankan posisimu pada cahaya itu, dan keluarkan improvisasi yang lainnya dari dirimu." Sudah cukup lama pemotretan ini berjalan, dan entah sudah ke berapa kalinya juga Becks menghasilkan foto diriku pada kameranya. Di sebuah gedung kosong yang sudah sangat lama sudah ditinggalkan terlihat dari struktur bangunan yang terlihat sebagian besarnya sudah rapuh. Namun Becks mengatakan bukan situasi yang terasa cukup menyeramkan yang ingin ia ambil, tetapi pencahayaan alami yang masuk melalui celah dan jendela bangunan adalah targetnya. Dan sebagai modelnya, tentu aku hanya bisa mengikuti perintah yang diucapkan oleh Becks saja. Dan di sebuah tangga melingkar yang menuju penghubung menuju lantai demi lantai bangunan tersebut, aku mencoba memberikan pose terbaikku di depan kamera Becks. Pencahayaan siang hari menjelang sore dan sedikit angin yang menyapu wajahku, memberikan efek alami dalam pemotretan
Happy Reading . . . *** Sebisa mungkin aku mencoba untuk menahan senyuman yang entah mengapa tidak bisa aku kendalikan dengan menghilangkannya dari bibirku. Dengan sesekali mengusap dan menggigit kecil bibirku ini, pikiranku pun tidak bisa terlepas dari hal yang sudah terjadi di antara diriku dan dirinya tadi siang. Ciuman yang memberikan banyak arti dan menimbulkan kesan yang begitu mendalam di dalam diriku itu seakan tidak ingin menghilang dari bayanganku. Oh, tidak! Apakah benar aku sedang jatuh cinta? Rasa ini, kembali aku rasakan, tetapi justru kepada orang lain. Jatuh cinta yang terasa salah, namun entah mengapa aku justru menginginkannya. "Mandy..." Suara panggilan itu langsung membangunkanku dari lamunan, dan aku pun tidak tersadar akan keberadaan Bryce yang rupanya sudah duduk di sofa tepat di sampingku. "Hei, kau sudah pulang?" Tanyaku dengan senyuman di wajah. "Ya, sejak tadi. Sejak aku yang memperhatikanmu sedang senyum-senyum sendirian." "Benarkah?" "Seberapa dala
Happy Reading . . . *** Menyiapkan sarapan saat pagi hari seperti ini sudahlah menjadi kewajiban untukku. Maupun Bryce tidak pergi bekerja sekalipun, aku tetap harus membuatkannya sarapan pagi. Bersamaan dengan dua telur mata sapi yang baru saja selesai aku buat, dan hendak aku pindahkan ke atas piring tiba-tiba saja sebuah pelukan dan kecupan singkat di pipi aku rasakan sehingga sedikit membuatku terkejut. "Bryce..., kau mengejutkanku." Protesku yang membuat sang pelaku hanya tertawa dan melangkah menuju meja makan. "Selamat pagi, aku hanya memberikanmu ciuman pagi saja." "Menyebalkan," balasku sambil melangkah menuju meja makan sambil membawa sepiring telur mata sapi yang sudah aku buat tadi. "Tetapi aku mencintaimu." Bryce pun langsung memeluk pinggangku setelah aku menaruh piring tersebut di atas meja tepat di hadapannya. Aku tahu ia sedang mencoba untuk membangun kembali sikap manis dan romantisnya kepadaku, tetapi sayangnya hal itu tetap tidak bisa meluluhkan perasaanku.