"Lepas!"
Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak di lantai. "Diam kamu, Hafizah!" sembur Lestari pada Hafizah yang mau menghentikan dirinya berseteru dengan Hafidz. "Nyonya, aku minta maaf, rasanya Dera jauh lebih penting daripada masalah ini, kita harus segera mengurusnya." Lestari beralih ke Hafizah yang sudah berani mengaturnya sekarang, "Berani kamu mengatur aku?" tanyanya melebarkan mata kuat-kuat memandangi Hafizah. Hafizah sudah tidak kuat lagi dengan perkataan Lestari yang selalu semena-mena padanya, apalagi sekarang Hafizah melihat seorang ibu kandung yang tidak memperdulikan anaknya yang meninggal dunia. "Biarkan aku yang keluar dari rumah ini," kata Hafizah di depan Lestari yang masih meledak-ledak amarahnya. "Oh, jadi kamu mau pergi? Sudah siap kamu melihat anakmu sama persis seperti Dera? Aku bisa menyuruh anak buahku untuk menghabisi anakmu di panti asuhan!" ancam Lestari untuk kesekian kalinya pada Hafizah. Hafizah menggelengkan kepalanya, dia tidak mau anaknya mati mengenaskan sebelum dirinya bertemu, hatinya terenyuh ibu mertuanya tega menggunakan cucunya sendiri sebagai ancaman. "Jangan, Nyonya. Aku mohon jangan lakukan itu, aku akan mengurusnya sampai tuntas. Nyonya akan terima rapih saat penguburan, tapi tolong jangan sakiti anakku." Butiran mutiara bening yang keluar dari mata mengalir begitu dirinya memohon pada Lestari untuk tidak menyakiti anaknya. Hatinya sakit seketika mengingat lima tahun ini tidak bisa melihat pertumbuhan anaknya seperti apa? Yah, sebagai seorang Hafizah menginginkan semua itu. "Bagus! Rapihkan bersama Hafidz dan anak haramnya itu! Aku tidak mau rumah ini kotor!" Lestari pergi meninggalkan tempat setelah selesai mengancam Hafizah, ada Hafidz yang masih memegangi anaknya yang ketakutan. "Hikss ... Aku tidak mau anakku disakiti, hanya ini yang bisa aku lakukan. Aku ingin bertemu dengan kamu anakku, maafkan Ibumu ini yang tidak berdaya melawan nenekmu yang jahat." Hafizah meratapi nasibnya, mengapa dirinya memiliki ibu mertua yang tidak bisa sayang kepadanya, padahal Hafizah selalu berbakti dan menghormati Lestari sebagai mana perlakuannya pada kedua orang tua sendiri. "Tan-te," ucap Putri yang mendekati Hafizah. Sontak menghentikan tangis Hafizah setelah dihampiri Putri dan Hafidz. "Kamu, terima kasih telah menyelamatkan aku," ucap Hafizah meraih tangan Putri dan mengecupnya lembut. Putri bisa merasakan kehangatan dari perlakuan Hafizah pada dirinya, jauh berbeda dari Dera yang selalu memakinya dan menyalahkan dia setiap hari. "Tante cantik, sama-sama. Tante juga sudah menyelamatkan aku," balasnya sudah lancar berbicara. Entah dari mana Putri bisa lancar bicara, padahal lima tahun Hafidz selalu hidup dengannya, tidak ada satu katapun keluar dari mulut anaknya itu. "Kamu anak baik, pasti Ibu kandungmu juga seseorang yang luar biasa, Nak." Hafizah memujinya. "Ibuku sudah tidak ada, kata Ayahku, Ibuku ada di surga sana," balas Putri menatap dengan mata yang sendu. "Jadi, kamu tidak tau wajah Ibumu?" "Ya, Tante." Hafizah teringat kembali akan anaknya yang dibuang ibu mertuanya, dia tidak mau nasib anaknya sama seperti Putri. "Kamu masih punya Ayah yang sangat sayang padamu, Nak. Percayalah dia selalu mengorbankan segalanya untuk kamu," balas Hafizah menguatkan Putri untuk tidak bersedih. "Iya, Tante. Ayahku yang terbaik." Senyuman Putri terpancar melihat ke arah ayahnya yang mematung mendengarkan mereka berbicara. "Ayah," panggilnya. "Iya, sayang?" "Aku mau pergi dari rumah ini, aku tidak mau melihat Tante yang galak itu," tunjuknya ke arah Dera. Hafidz saling pandang ke Hafizah, ternyata anak sekecil itu mengerti Dera memiliki sifat kurang baik terhadap orang lain. "Ayah tau kamu tidak suka sama Tante Dera, tapi bagaimanapun dia adalah Ibu sambung Putri, itu artinya Putri harus memaafkannya walaupun Tante Dera pernah jahat sama Putri, jadi anak yang baik ya, sayang. Ayah tidak mau kamu mengotori hati kamu," kata Hafidz menasehati anak kesayangannya. Putri mengangguk, walaupun masih berumur lima tahun, tetapi Putri cukup pintar mendengarkan dan merespon orang dewasa, bahkan dia bisa berbicara lancar karena mendengarkan orang-orang sekitarnya. "Kalau begitu Ayah mau kamu pergi ke kamar lebih dulu, karena Ayah masih ada kerjaan, sekarang sudah waktunya kamu tidur." "Iya, Ayah." Putri berlalu meninggalkan tempat itu, dia mendengarkan ayahnya untuk masuk ke dalam kamar. Sedangkan Hafizah masih sedih membayangkan anak sekecil Putri belum pernah melihat wajah ibunya. "Ambil ini," kata Hafidz menyodorkan tissue pada Hafizah. "Tidak perlu, aku biasa menyeka air mataku dengan tangan, anakmu berhak tau wajah Ibunya, aku sebagai seorang wanita dewasa yang kehilangan seorang anak bisa merasakan kalau anak sangat berharga." "Dia tidak memiliki Ibu kandung, aku tidak tau Ibu kandungnya." Jawaban Hafidz membuat Hafizah kebingungan, bisa-bisanya ada mantan suami yang tidak mau anaknya bertemu dengan Ibu kandungnya, salah paham pun terjadi. "Eh, kasihan anakmu, masa kamu biarkan dia hidup sampai dewasa tanpa tau Ibunya, jangan begitu jadi orang tua, kamu tidak lihat kalau anakmu menangis? Dia berhak tau Ibunya! Jangan karena kalian berpisah tidak baik, anak jadi korban." Hafidz menggelengkan kepala dirinya dikomentari Hafizah yang tidak tahu apa-apa mengenai hidupnya. "Cerewet sekali jadi wanita! Aku mau mengurus istriku dulu, lagipula bukan urusanmu, benar kata Ibu Lestari, kamu terlalu ikut campur urusan orang," balas ketus Hafidz. Hafizah tidak terima, dia harus membantu Putri untuk mencari tahu Ibu kandungnya, kalau perlu meneror Hafidz setiap hari, mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengenai keberadaan Ibu kandung Putri. "Aku bukan cerewet! Tapi anakmu memiliki hak bertemu dengan Ibunya. Pasti kamu tipe laki-laki yang tidak mau mantan istrimu mengunjungi anak sendiri. Dasar egois! Aku tidak suka laki-laki seperti kamu!" Tiba-tiba Hafizah emosi karena Hafidz tidak mau terbuka, padahal dirinya juga baru mengenal laki-laki yang ada di depannya. Normal apabila Hafidz tidak terbuka mengenai kehidupan rumah tangganya. "Berhenti bicara! Aku tidak mau mendengar satu kata pun dari mulutmu! Aku harus mengurus Dera, kamu tau kalau Ibu Lestari masih melihat Dera di sana, kamu juga akan terkena marahnya." "Huft, kamu benar. Nyonya pasti marah besar kalau tidak segera diselesaikan. Tapi jangan harap aku lupa ya, sama kamu yang menutupi Ibu kandung Putri, aku akan pastikan kamu buka mulut untuk memberitahukan keberadaan Ibu kandung Putri," balas Hafizah menyipitkan mata tanda dirinya akan meneror Hafidz sampai mendapatkan jawaban. "Terserah!" Rasanya baru pertama kali bertemu dengan wanita semacam Hafizah, terlihat pendiam saat pertama bertemu, nyatanya salah. Hafizah berani memarahinya. Hafidz menghubungi rumah sakit untuk membersihkan mayat Dera yang berlumuran darah, dengan begitu besok akan siap dikebumikan. Saat ambulance datang ke rumah, ada sepasang mata dari dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah itu terus memperhatikan. "Dengan begini, harta Hamid jadi milikku," ucapnya.Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
"Maksud kamu?"Lestari mendongakkan kepalanya lebih berani daripada Hafizah. "Ya, aku akan katakan sesuatu yang mungkin membuat Ibu malu seumur hidup," balas Hafizah masih dengan puncak emosinya. "Malu? Seharusnya kamu yang malu seumur hidup, Hafizah! Kamu itu tidak tau diri, selalu menyusahkan aku di sini."Lestari ingin sekali mengusir Hafizah dari rumah, karena sudah tidak ada penghalang lagi untuknya bisa menikmati harta Hamid yang diincarnya selama ini. "Menyusahkan? Apa Ibu tidak pernah bercermin sama diri sendiri? Selalu aku yang Ibu salahkan, padahal aku yang sepantasnya marah sama Ibu dan Mas Hamid. Kalian jahat! Ibu juga sudah membuang cucu sendiri, coba bayangkan jika anakku kedinginan dan kelaparan di luar sana, Bu! Di mana hati Ibu sebagai seorang Ibu? Ibu sama Mas Hamid memiliki sifat yang sama-sama jahat dan tidak pernah memikirkan orang lain!"Dengan lantang Hafizah berbicara seperti itu pada Ibu mertuanya, apalagi semuanya memang harus diselesaikan agar ibu mertua
Selesai memberikan makanan ke Hafizah membuat Hafidz jauh lebih tenang saat masuk ke dalam kamar anaknya lagi. "Ayah, apa Tante cantik sudah makan?"Mata kecil yang ditatap Hafidz begitu mengkhawatirkan Hafizah, padahal mereka masih baru mengenal dan anaknya yang sulit akrab dengan orang lain bisa begitu perduli pada Hafizah. "Sudah, sekarang Putri tidur dulu ya. Ayah juga mau tidur, kamu harus bangun pagi karena besok mau sekolah," balas Hafidz. "Siap, Ayahku yang paling baik."Dikecupnya dahi Putri oleh Hafidz, anaknya ini selalu bisa memanjakan diri setiap bersamanya. "Aku janji akan menyayangi kamu seumur hidupku," ucapnya membelai halus rambut anaknya. Hafidz segera mandi membersihkan badannya, sedangkan Hafizah ingin menemui Putri sebelum dirinya tidur malam ini, dan dia melihat kalau kamar Putri tidak ditutup dengan rapat. "Putri, ternyata kamu sudah tidur, padahal Tante masih mau ngobrol sama kamu."Ada yang dipandangnya, wajah Putri yang begitu mirip dengan almarhum sua
"Baik, Bu. Aku permisi pergi ingin mengambil alat kebersihannya," pamit Hafizah pada Ibu mertuanya. "Ya, sudah sana!"Lestari yang dari tadi sudah rapih untuk pergi ke tempat biasa dirinya bersenang-senang, tentu bersama teman sosialitanya yang setiap hari selalu belanja barang-barang mewah. "Saatnya aku belanja-belanja, terserah Hafizah di rumah ini, aku juga butuh kesenangan."Lestari sebenarnya tidak merelakan menantunya tenang di rumahnya, apalagi bisa berdua bersama Hafidz. Tetapi Lestari tahu sifat Hafidz yang tidak mungkin menggoda seorang wanita. "Tante cantik, apa yang Tante lakukan?"Putri sudah mengenakan pakaian seragam sekolahnya dengan menggendong tas ranselnya. "Putri, ternyata kamu. Ini Tante mau bersih-bersih," jawab Hafizah menaruh alat kebersihannya karena ingin bicara dengan anak itu. "Tante sudah sarapan? Hari ini aku mau sarapan di luar sama Ayah, tapi perutku sudah lapar, apa di sini ada makanan untuk mengganjal perutku dulu ya, Tante?" tanyanya dengan meme
"Cukup, Hafizah! Apakah kamu masih belum bisa menerima aku dan keluargaku? Aku sudah memperkenalkanmu sebelum kita menikah, tetapi kamu tetap ingin bersamaku. Aku dan Dera tidak bisa dipisahkan, dan jika kamu bersikap keras padanya, aku tidak akan membiarkannya. Lagipula, aku telah berjanji kepada ibuku untuk bertanggung jawab penuh atas adik perempuanku yang satu-satunya."Hafizah menghela napas panjang mendengar suaminya yang masih membela adik kesayangannya. Dera, adik kandungnya, tidak pernah memikirkan dari mana kakaknya mendapatkan uang tersebut. Yang Dera tahu hanyalah bahwa Hamid selalu memberikannya sesuai permintaannya setiap kali dia membutuhkan bantuan dari kakaknya."Mas Hamid, tolong pahami situasi ini. Aku tahu kita sudah sepakat sebelum menikah, tetapi aku tidak bisa terus bertahan dengan sikap Dera yang terlalu boros dalam menghabiskan uang. Apakah kamu tidak pernah mempertimbangkan bahwa Dera bisa hidup mandiri? Dia mampu melakukannya, atau kamu bisa membantunya untu
Hamid menyentuh kaki Hafizah yang terjulur tanpa selimut. Selimut itu memang tak pernah dipakai Hafizah karena Hamid melarang. Bagi Hamid, selimut tersebut miliknya semata. “Hafizah!” serunya mencoba membangunkan istrinya, tetapi Hafizah tetap tertidur. Saat panggilan kedua tidak membuahkan hasil, Hamid menarik tangan Hafizah dengan kasar hingga hampir membuatnya terjatuh dari tempat tidur. “Bangun kamu!” bentaknya tajam. Hafizah membuka mata dengan pandangan kebingungan dan nada lemah bertanya, “Mas Hamid, kenapa Mas seperti ini?” Ia lelah, baik fisik maupun hatinya. Beban dari sikap mertua yang terus-menerus menyalahkannya serta suami yang jarang berpihak sudah cukup menguras emosinya. Namun, jawaban Hamid jauh dari kata meredakan. “Masih tanya kenapa? Kamu itu istri! Tugas kamu membahagiakan aku dan ibu aku! Kamu tuh siapa? Hanya seorang wanita sebatang kara yang soalnya beruntung bisa masuk ke keluarga kami. Tapi apa yang kamu lakukan? Bukan cuma nggak membuat ibuku senang,
"Bu, kenapa Ibu selalu meminta uang dari Mas Hamid? Kami juga memiliki banyak kebutuhan yang belum terpenuhi setiap bulannya. Aku berusaha menghemat untuk semua itu, tetapi Ibu dengan mudahnya berbelanja untuk kebutuhan pribadi dan uangnya cepat habis. Aku tidak suka jika Ibu terus-menerus melakukan hal ini kepada Mas Hamid. Aku adalah istrinya, dan aku berhak untuk tidak setuju mengenai masalah keuangan dalam rumah tangga kami."Hafizah berusaha menegur mertuanya yang tampaknya tidak mempertimbangkan kehidupan Hamid dan istrinya. Mereka masih memiliki banyak cicilan yang harus dibayar setiap bulan, dan situasi keuangan mereka semakin memburuk, ditambah lagi dengan permintaan uang dari mertuanya hanya untuk bersenang-senang."Diam lah, Hafizah! Jangan berani menegur aku tanpa sepengetahuan anakku. Kamu tahu bahwa anakku sendiri memberikan uangnya padaku, jadi kenapa kamu yang harus pusing? Uang itu adalah uang anakku, dan kamu tidak berhak mengatur, meskipun kamu adalah istrinya. Seor
"Tutup mulutmu, Hafizah! Jangan sekali lagi berani bicara seolah Ayahmu lebih baik darimu! Aku tidak mau tahu, sekarang minta maaf kepada Ibuku atau aku akan melakukan sesuatu padamu."Ancaman itu dilontarkan Hamid kepada Hafizah, yang merasa terinjak-injak oleh sikap Hafizah, sementara sikap Hafizah sendiri sudah kurang pantas pada ibunya, itu yang membuat emosi Hamid membara. "Mas Hamid, aku tidak mau. Kamu tahu aku tidak bersalah di sini, tetapi kamu selalu membela Ibumu meskipun dia salah. Apa yang salah dariku? Aku hanya membela diriku sendiri, dan Ibu juga yang memulai. Aku rasa Ibu terlalu ikut campur dalam pernikahan kita. Seharusnya kamu bisa tegas sebagai suami. Apakah kamu ingin pernikahan ini hancur?"Hafizah berusaha menyadarkan suaminya agar menegur ibunya, setidaknya memberikan ketegasan bahwa ibunya sudah terlalu jauh mencampuri urusan rumah tangga mereka."Jadi, menurutmu, ibuku adalah orang yang akan merusak rumah tangga kita? Apakah kamu tidak menyadari bahwa kamu
"Mas! Mas Hamid, apakah kamu membawa uang untuk belanja hari ini?"Hafizah berdiri di depan rumah, melihat suaminya pulang saat ia melirik ke arah jendela."Uang, uang, terus yang ada di pikiranmu, Hafizah! Kamu terus meminta tanpa memikirkan bagaimana aku mendapatkan uang itu."Alih-alih memberikan uang kepada istrinya, Hamid justru memarahi Hafizah di depan ibunya, Lestari, yang tinggal bersama mereka. Tentu saja, hal ini membuat Lestari semakin marah pada Hafizah karena merasa anaknya dijadikan mesin pencetak uang."Hafizah! Sejak anakku menikah denganmu, kenapa dia harus selalu memberikanmu uang? Bukankah kamu juga bekerja? Gunakanlah uangmu sendiri, jangan terus-menerus mengandalkan uang anakku. Uang anakku seharusnya juga untuk ibunya, aku juga butuh uangnya."Lestari sudah berani mencampuri urusan rumah tangga anaknya dan tidak ragu untuk memarahi Hafizah ketika merasa anaknya terpojok."Ibu, aku hanya ingin memasak, dan i
Hafizah sudah tiba lebih dulu di kantor polisi dan melihat Hafidz memasuki ruangan yang sama."Hafidz, ada urusan apa kamu di sini?" Hafidz tampak terkejut saat melihat Hafizah juga hadir, mungkin dalam pikirannya ia mengira Hafizah akan menemui ibu mertua mereka."Aku ingin bertemu dengan Ibu. Lalu, kamu sendiri ke sini untuk apa?" tanyanya sambil berpura-pura tidak mengerti maksud Hafizah."Aku ingin bertemu Ibu juga. Jadi, kita memiliki tujuan yang sama. Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya bahwa kamu akan ke sini? Kita bisa pergi bersama. Aku ke sini untuk menanyakan tentang anakku, lalu kamu ingin bertanya apa kepada Ibu?""Aku ... hanya ingin menjenguk Ibu. Meskipun Ibu telah berbuat jahat, dia tetap mertuaku, dan aku masih memiliki tanggung jawab untuk mengurusnya."Hafizah memperhatikan bahwa Hafidz menghindari kontak mata dengannya, sepertinya ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh Hafidz."Kalau begitu, kita bisa masuk bersama untuk menemui Ibu. Apakah kamu keberatan?""O
Hafidz berada di ruang rumah sakit bersama seorang dokter yang telah menyelesaikan analisis tes DNA. Ia merasa cemas menunggu hasilnya, meskipun ia tahu bahwa ini adalah taruhan besar terkait anaknya sendiri.Saat hasilnya sudah keluar, dokter sudah menyerahkan kertas hasil tes DNA tersebut. "Rasanya aku sangat takut, tapi aku harus segera membuka hasilnya. Aku harus memastikan tidak ada orang lain yang mengikuti ku," pikirnya.Ketika Hafidz membuka hasil tes tersebut, ia terkejut melihat bahwa Putri ternyata adalah anak dari Hafizah. Ia tidak bisa langsung mempercayai informasi itu."Ini tidak mungkin! Kenapa aku tidak menyadarinya sebelumnya? Apakah selama ini kedekatan mereka disebabkan oleh ikatan batin antara ibu dan anak? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku memberi tahu Hafizah tentang semua ini atau lebih baik aku menyimpannya? Aku khawatir jika Hafizah tahu bahwa Putri adalah anaknya, dia akan mengambilnya, sementara status hubungan kami berdua masih belum jelas
"Aku langsung pulang. Jangan lupa istirahat hari ini, nanti aku akan kabari lagi setelah sampai di rumah," ucapnya dengan nada yang masih dingin, membuatku semakin penasaran dengan sikapnya.Hafidz berhasil mendapatkan sehelai rambut Hafizah saat dia memasang sabuk pengaman di mobil tadi."Ini dia, aku tidak akan pulang sebelum mendaftarkan tes DNA antara Hafizah dan Putri. Jika mereka memang Ibu dan anak, aku tidak akan bisa memisahkan mereka. Hafizah akan menikah denganku, dan itu berarti dia tidak akan menjauhkan aku dari Putri. Rasanya mungkin akan jauh lebih bahagia jika kami bisa bersatu."Hafidz bersedia melakukan apa pun demi kebahagiaan Putri dan Hafizah. Mereka adalah alasan utama yang membuatnya tetap hidup, meskipun ia dikelilingi oleh harta yang sebenarnya tidak ingin diambilnya saat diwariskan kepadanya.Sementara itu, di dalam rumah, Hafizah merasa penasaran. Ia segera keluar malam-malam dan mengendarai mobilnya dengan cepat, mengikuti mobil Hafidz yang baru saja mening
Hari ketika Hafizah sibuk mengantar Putri ke sekolah, Hafidz ternyata memiliki rencana lain untuk mencari anak Hafizah yang hilang."Kamu bisa mencari informasi tentang anak kecil yang hilang lima tahun lalu. Tentu saja dia tidak menghilang begitu saja, dan aku tidak ingin mendengar tentang kegagalan," perintah Hafidz kepada orang yang ada di depannya."Baik, Bos. Jika begitu, saya pamit untuk mencarinya," jawab orang itu."Ya, silakan," balas Hafidz sebelum orang itu pergi dari ruangan kerjanya.Sementara itu, Hafidz mulai mendapatkan informasi terbaru mengenai anak Hafizah, sedikit demi sedikit, termasuk tanggal di mana anak itu dibuang oleh Ibu Lestari dan Dera."Apa ini? Tanggalnya sama dengan saat aku mengadopsi Putri di panti asuhan itu. Aku juga tidak tahu asal-usul orang tua Putri. Apakah ada hubungannya dengan semua ini? Atau mungkin Putri adalah anak Hafizah yang hilang? Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan semua ini?"