"Baik, Bu. Aku permisi pergi ingin mengambil alat kebersihannya," pamit Hafizah pada Ibu mertuanya. "Ya, sudah sana!"Lestari yang dari tadi sudah rapih untuk pergi ke tempat biasa dirinya bersenang-senang, tentu bersama teman sosialitanya yang setiap hari selalu belanja barang-barang mewah. "Saatnya aku belanja-belanja, terserah Hafizah di rumah ini, aku juga butuh kesenangan."Lestari sebenarnya tidak merelakan menantunya tenang di rumahnya, apalagi bisa berdua bersama Hafidz. Tetapi Lestari tahu sifat Hafidz yang tidak mungkin menggoda seorang wanita. "Tante cantik, apa yang Tante lakukan?"Putri sudah mengenakan pakaian seragam sekolahnya dengan menggendong tas ranselnya. "Putri, ternyata kamu. Ini Tante mau bersih-bersih," jawab Hafizah menaruh alat kebersihannya karena ingin bicara dengan anak itu. "Tante sudah sarapan? Hari ini aku mau sarapan di luar sama Ayah, tapi perutku sudah lapar, apa di sini ada makanan untuk mengganjal perutku dulu ya, Tante?" tanyanya dengan meme
"Bukan apa-apa Tante, cuma lupa kalau Putri ada tugas sekolah, kalau begitu Putri mau masuk kamar dulu untuk mengerjakan semuanya," jawab Putri. "Rajin ya, Putri. Kalau begitu Putri masuk kamar, nanti Tante buatkan kamu camilan," balas Hafizah. "Asik, Tante cantik memang baik, aku masuk dulu," ujar Putri berlarian menuju kamarnya. Bergegas Hafizah menyiapkan segalanya, karena semuanya sudah disediakan sebelum Putri datang, dan mertuanya juga belum pulang. Selesai menyiapkan makanan untuk Putri dan mengantarkannya ke kamar anak itu, sekarang Hafizah ingin pergi ke kamarnya karena harus merapihkan pakaiannya yang waktu itu di keluarkan semua dari lemarinya. "Kotak perhiasanku, kenapa ada di sini?"Dengan terheran-heran melihat kotak perhiasan dan brankasnya ada di atas tempat tidur, dan ada sepucuk surat yang menempel di atas brankas. Isi surat: "Sembunyikan semuanya di tempat yang aman, jangan sampai Ibu Lestari mengambilnya lagi, aku hanya membantu satu kali untuk hal ini."Tida
"Bu, silakan buahnya sudah ada," ucap Hafizah menaruhnya di meja makan. Lestari sudah menunggu buah yang diinginkannya, akan tetapi Hafizah baru memberikannya setelah dirinya kesal. "Aku tidak mau lagi!""Kenapa Bu? Aku sudah belikan buah yang Ibu mau, tolong hargai.""Hargai? Kamu yang tidak menghargai mertuamu, di sini aku menunggu lama sampai mulutku kering, dan kamu meminta aku menghargai kamu? Yang benar saja!"Lestari berdiri menatap penuh dengan kemarahan kepada Hafizah yang menundukkan kepalanya. "Maafkan aku, aku sudah berusaha cepat membelikannya, dan memang membutuhkan waktu, tapi buahnya sudah ada sekarang. Ibu bisa memakannya.""Singkirkan dari hadapan aku sekarang juga! Aku tidak membutuhkannya lagi, pantas Hamid berselingkuh dengan wanita yang lebih pintar dan tau bagaimana menghargai mertua, bukan seperti kamu yang menyediakan apa yang aku mau kalau diperintah saja." Air mata Hafizah mengalir, bisa-bisanya mertuanya membandingkan dirinya dengan selingkuhan suaminya
"Baiklah, aku mau kembali ke kamarku, apa kamu mau kembali ke kamarmu juga?" tanya Hafidz. Sudah jelas terlihat oleh Hafidz mata Hafizah merah, belum lagi Hafizah selalu menundukkan pandangannya. Ingin rasanya menghibur Hafizah, tetapi Hafizah begitu tertutup tidak mau menceritakan semua yang dialaminya. "Iya, kalau begitu aku juga pamit."Hafizah berjalan menuju kamar dengan perasaannya yang hancur, belum lagi selalu terbayang mendiang suaminya yang telah meluluhlantakkan harapannya, cintanya, kesetiaannya. Namun, di mata mendiang suaminya itu Hafizah tidaklah penting. "Mas Hamid, aku lelah, mengapa kamu berikan aku kehidupan masa depan yang seperti ini untukku? Bukankah ketika kamu menikahi aku berjanji untuk memastikan masa depanku bahagia bersamamu? Kenapa harus aku, Mas?"Merenung sendiri di samping tempat tidur yang menjadi saksi bisu kesedihannya, tidak lupa matanya mengarah pada jendela yang masih terbuka lebar. Tidak ada yang menemaninya kecuali rasa dingin, kekecewaan d
"Tante," panggilnya. Hafizah bisa bernafas lega karena tahu kalau yang memanggilnya itu Putri. Hafizah berusaha tersenyum untuk menutupi ketegangannya tadi. "Iya, Putri. Kamu sudah bangun?""Sudah, Tante cantik. Tapi apa boleh Tante ke kamar untuk menemani Putri tidur lagi, karena kata Ayah hari ini Putri libur. Putri akan menemani Ayah ke kota.""Boleh, Tante akan tidur sama kamu," jawab Hafizah dengan tulusnya. Ada perasaan yang sangat hangat ketika memandangi mata Putri yang dirinya tidak mengerti, apa yang dirasakannya pada anak sambung adik iparnya seolah-olah memiliki sumber kekuatan yang lebih kuat dari yang dia miliki selama ini. "Asik, akhirnya Putri bisa tidur sama Tante cantik, itu artinya Tante akan menjadi istri untuk Ayah," ucapnya begitu kegirangan. Hafizah hampir tidak percaya dengan yang dikatakan Putri mengenai dirinya yang akan menjadi ibu barunya. "Sayang, kamu ada-ada saja, kita langsung ke kamar.""Iya, Tante. Ayo kita masuk ke kamarku, kamar termanis yang
"Hafidz!""Cukup Hafizah! Kamu tidak memiliki status apa pun sama Putri. Aku sangat takut kalau dia bergantung padamu, biarkan dia tetap bersamaku, lagipula dia juga bukan keponakan kamu, bahkan Dera pun hanya Ibu sambungnya. Aku yang berhak atas anakku."Sudah diperjelas sekali lagi oleh Hafidz untuk tidak memberikan harapan kepada anak kecil yang mungkin akan mengalami kekecewaan jauh lebih besar dan berdampak di masa depannya nanti. "Maaf, kalau begitu kamu bisa membawanya," balas Hafizah menyerah. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali membiarkan Hafidz membawa anak itu, karena kalau di rumah ini akan jauh lebih bahaya, dan memahami kalau anak itu juga mengharapkan seorang ibu baru yang menyayanginya. "Baiklah, aku memaafkan kamu. Lain kali kamu harus sedikit menghindarinya, aku benar-benar sangat takut dia kecewa kalau harapannya tidak terpenuhi.""Maksud kamu, Hafidz?""Dia berharap kamu menjadi Ibunya, itu yang aku tangkap dari apa yang aku lihat selama ini, tidak bisa dipung
"Rasakan ini, Hafizah!" Tangan Hafizah diinjak-injak oleh Lestari yang berdiri di balkon, ternyata Hafizah masih bertahan dengan keadaannya yang hampir jatuh. "Aw ... Sakit, Bu."Hafizah menyadari kalau ibu mertuanya tidak mungkin membantunya, apalagi sekarang ibu mertuanya berusaha menjatuhkan dirinya dengan menginjak-injak tangannya agar tidak lagi mempertahankan pegangannya. "Kamu harus mati, Hafizah! Aku tidak mau melihat kamu lagi di rumah anakku, mau berusaha sekeras apa pun kamu untuk memegang pagar ini, akan aku pastikan kamu jatuh ke bawah dengan mengenaskan."Lestari semakin menginjakkan kakinya pada tangan Hafizah yang mulai merah. Sekali lagi Hafizah harus menerima akibat dari kebencian yang menumpuk dihati ibu mertuanya. "Bu, tolong jangan begini, sakit sekali rasanya."Hafizah berusaha untuk kuat tidak menangis saat kondisinya sudah bergelantungan di atas pagar balkon. "Sakit ya, Hafizah? Memangnya aku perduli padamu? Sayangnya aku tidak mau kamu selamat, kasihan ka
Menjelang pagi Hafizah belum menyelesaikan pekerjaannya, dia masih dijaga oleh Ibu mertuanya yang ingin memastikan kalau menantunya memang bekerja setiap hari untuknya tanpa bantuan orang lain, dengan terpaksa Rina pembantu bayaran harian Hafizah tidak masuk hari ini karena Hafizah belum memberikan kabar. "Bu, mau sampai kapan di situ terus? Ini sudah jam setengah enam pagi, apa Ibu tidak mau tidur?" tanya Hafizah masih menyetrika baju-baju Lestari. Lestari masih duduk memperhatikan Hafizah yang sibuk dengan pekerjaannya, wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan Hafizah dikarenakan sedang memegang ponsel di tangannya. "Bu, bolehkah aku istirahat dulu? Sungguh aku bosan dari semalam begini. Ini sudah pagi, aku harus membuat sarapan untuk Ibu."Lestari masih sibuk dengan ponselnya yang melihat konten mengenai perhiasan dan barang-barang mewah seperti tas bermerk yang tidak kalah menakjubkan harganya. "Bu!" "Apa?"Akhirnya Lestari menjawab, baru Hafizah memberanikan dirinya untuk be
Sejak dini hari hingga pukul enam pagi, Lestari tetap berjaga, mengamati rumah Hafizah dari kejauhan. Tidak ada seorang pun yang terlihat keluar masuk rumah itu. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah Hafizah sudah pindah rumah? Ini bukan kebiasaan Hafizah. Biasanya, sesibuk apa pun, ia pasti menyempatkan diri keluar rumah, sekalipun hanya untuk membuang sampah.Merasa lelah, Lestari akhirnya memutuskan untuk kembali ke kontrakan barunya yang sengaja disewa tak jauh dari rumah Hafizah. Dari sana, ia bisa terus memantau gerak-gerik menantunya.Sementara itu, di dalam kamar, Hafizah dan Putri masih terlelap. Mereka tidur larut malam sebelumnya, sehingga belum juga terbangun.Di sebuah ruangan lain dalam rumah itu, Hafidz berdiri diam di dekat pintu kamar anaknya. Pandangannya tertuju pada wajah kedua orang yang ia sayangi, Hafizah dan Putri. Dalam hati ia merenung, betapa miripnya dua sosok di kamar itu. Seperti ibu dan anak kandung, pikirnya. Na
Hafidz, dengan suara lembut namun mendesak, bertanya pada Hafizah apakah ia bersedia ikut dengannya ke rumahnya lagi. Menurut Hafidz, Putri sepertinya tak bisa jauh dari Hafizah, dan jika Hafizah setuju, mereka harus segera pergi sebelum Putri merasa kelaparan. Hafidz mengungkapkan bahwa ia meninggalkan Putri tadi karena mendapat pesan dari Hafizah. Namun, Hafizah tidak kunjung menjawab, membuat Hafidz akhirnya bertindak tanpa meminta persetujuan wanita itu. Dia berkata sambil bercanda, jika Hafizah tak memberikan jawaban, maka ia tak akan segan untuk langsung menggendongnya. Tanpa menunggu jawaban, Hafidz mengangkat tubuh Hafizah dan membawanya keluarHafizah terkejut setengah mati melihat dirinya tiba-tiba digendong oleh Hafidz keluar dari rumah. Dia memprotes keras, memintanya untuk segera menurunkannya. Namun, Hafidz bergeming, tetap membawanya hingga ke depan mobilnya.Sambil membuka pintu mobil, Hafidz menjelaskan bahwa malam ini ia memiliki janji k
Hafizah bertanya dengan percaya diri, menyiratkan harapan besar dalam suaranya. "Jadi, maksudnya ada kesempatan aku diterima cintanya sama kamu? Aku memang bukan Dera, tapi aku Hafizah, wanita yang tulus menyayangi Putri, anakmu. Aku yakin Putri juga akan bahagia jika aku bersama kamu."Hafidz menghentikan mobilnya perlahan. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan rumah Hafizah. Namun, kebingungan masih menguasai dirinya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan Hafizah yang begitu jujur."Sudah sampai, Hafizah. Kamu bisa masuk sekarang. Aku harus segera pulang. Putri pasti mencariku di rumah," katanya singkat dengan nada terukur.Hafizah hanya mengangguk memahami situasi. Ia turun dari mobil tanpa mendesak lebih jauh. Setelah menutup pintu mobil, ia melambaikan tangan ke arah Hafidz yang langsung melanjutkan perjalanan.Dalam hatinya, Hafizah berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku tahu kamu cuma mau kebahagiaan untuk Putri, tapi aku j
Hari itu terasa hangat dan penuh semangat saat Hafizah berdiri di depan pintu rumah. Dalam suaranya, terdengar harapan yang tersirat, "Hari ini menyenangkan. Apa aku masih boleh bertemu dengan Putri? Aku tahu mungkin hanya ada satu kesempatan, tapi aku pasti akan merindukan Putri."Hafidz berdiri tak jauh darinya, mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya menunjukkan pemahaman akan ketulusan wanita di hadapannya terhadap anak perempuannya."Benarkah?" tanyanya dengan mata yang berbinar penuh harapan."Benar. Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu pulang sebelum malam semakin larut. Apa aku boleh mengantarmu? Rasanya tidak pantas jika seorang wanita pulang larut malam sendirian."Hafizah mengangguk kecil. "Baiklah, aku tidak masalah.""Sekarang ayo ke mobil, biar aku antar kamu pulang," lanjut Hafidz.Tanpa banyak kata lagi, mereka menuju mobil Hafidz. Di dalam kendaraan itu, keduanya duduk bersebelahan, namun keheningan menyelimut
Hafizah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Hafidz. Dia tahu betul bahwa keluarganya memiliki harapan besar padanya, untuk melanjutkan bisnis keluarga dan menjadi sosok yang diandalkan. "Aku akan bekerja di perusahaan Ayahku, aku bisa memulai dari sana," ucapnya bersemangat. Sebuah perasaan campur aduk mengisi hatinya. Di satu sisi, dia merasa lega bisa berbagi beban dengan Hafidz, adik ipar yang tidak disangka-sangka bisa menjadi pendengar yang baik. Namun di sisi lain, bayang-bayang masalah dengan mertuanya masih membayangi pikirannya.Hafidz, yang duduk di dekatnya, merasakan ketegangan yang menyelimuti suasana. "Kamu tahu, Hafizah, setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah yang tak terduga, aku rasa langkahmu sudah benar," katanya sambil memandangi wanita itu. "Terima kasih, Hafidz. Semua ini berguna untuk aku, tidak akan aku lupakan semua ucapan kamu, Hafidz."Pembicaraan mereka
Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubun
Hafizah memohon dengan nada penuh harap kepada Hafidz, meminta kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama mereka. "Setidaknya untuk hari ini saja aku bisa bersama kalian, atau aku ke tempat tinggal kalian berdua. Aku janji tidak akan meminta lebih dari itu," katanya sambil menatap Hafidz.Meski berusaha menahan diri, Hafidz akhirnya mengalah. Ia tahu, terutama karena Putri, anaknya, juga senang berada di dekat Hafizah. "Baiklah, kita pergi ke rumahku. Tapi jangan kaget kalau nanti kamu mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu tahu tentangku," kata Hafidz tegas."Tenang saja. Aku akan mencoba memahami semuanya. Hal yang kamu sembunyikan mungkin memang urusanmu. Aku tidak berhak menanyakan itu. Aku hanya ingin bersama Putri hari ini," jawab Hafizah dengan lembut.Tanpa kata tambahan, Hafidz menyetujui. "Baik, kita pergi sekarang," putusnya, berjalan lebih dulu meninggalkan Hafizah dan Putri yang masih saling pandang. Putri terus memeluk Hafiz
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang