Menjelang pagi Hafizah belum menyelesaikan pekerjaannya, dia masih dijaga oleh Ibu mertuanya yang ingin memastikan kalau menantunya memang bekerja setiap hari untuknya tanpa bantuan orang lain, dengan terpaksa Rina pembantu bayaran harian Hafizah tidak masuk hari ini karena Hafizah belum memberikan kabar. "Bu, mau sampai kapan di situ terus? Ini sudah jam setengah enam pagi, apa Ibu tidak mau tidur?" tanya Hafizah masih menyetrika baju-baju Lestari. Lestari masih duduk memperhatikan Hafizah yang sibuk dengan pekerjaannya, wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan Hafizah dikarenakan sedang memegang ponsel di tangannya. "Bu, bolehkah aku istirahat dulu? Sungguh aku bosan dari semalam begini. Ini sudah pagi, aku harus membuat sarapan untuk Ibu."Lestari masih sibuk dengan ponselnya yang melihat konten mengenai perhiasan dan barang-barang mewah seperti tas bermerk yang tidak kalah menakjubkan harganya. "Bu!" "Apa?"Akhirnya Lestari menjawab, baru Hafizah memberanikan dirinya untuk be
"Cepat Bu, segera Ibu ganti ke tempat yang ada di rumah ini dan sajikan untuk tamu-tamu Ibu mertua, aku harus pulang lagi bersama yang lainnya."Rina ada di dapur, dia masuk melalui pintu dapur yang dibuka oleh Hafizah, mereka memang sudah sepakat tentang semua ini, sedangkan Lestari masih sibuk dengan ponselnya membalas pesan grup teman-temannya yang mau datang. "Terima kasih Rin, kamu dan temanmu sangat membantuku, maaf kalau pekerjaannya ditambah mendadak seperti ini, tapi kamu tenang saja, aku pasti memberikan lebih," ucap Hafizah tidak enak pada Rina yang mengikuti permainannya agar tidak ketahuan ibu mertua. "Sama-sama Bu. Rina dengan senang hati membantu Ibu Hafizah, karena lima tahun yang lalu membuat Rina tidak memiliki pekerjaan seperti ini, rasanya bersyukur Ibu telah menghubungi Rina lagi.""Baiklah, ini uangnya dan sekali lagi aku berhutang budi padamu Rin, kalau kamu membutuhkan bantuan apa pun, tolong segera kabari aku.""Siap Bu, Hafizah. Kalau begitu Rina permisi du
"Bisa-bisanya kamu menggagalkan transaksi berlian yang akan aku beli dari teman-temanku, mulutmu itu tidak bisa di jaga untuk menjaga perasaan tamuku, sampai-sampai kamu menuduh mereka menjadi penipu, di mana otak kamu, Hafizah? Pantas aku begitu membencimu. Dan tingkahmu yang seperti ini membuat orang tidak ingin kamu hidup!" Kemarahan Lestari tidak bisa dikendalikan di depan menantunya yang sekarang ketakutan, padahal tadi sangat berani mengusir orang-orang yang menjadi tamu Ibu mertuanya. "Bu, aku tidak bermaksud begitu, tapi aku perduli sama Ibu, mereka semua akan jahat. Ibu harus berhati-hati membeli barang mahal seperti berlian, lebih baik langsung ke tempatnya kalau Ibu mau membeli sesuatu yang mahal, aku takut Ibu akan menyesalinya di belakang kalau percaya dengan orang-orang tadi. Aku tidak menuduh mereka, karena faktanya mereka penipu Bu, aku bisa menjamin kalau berlian yang mereka bawa itu palsu." Hafizah masih meyakinkan mertuanya untuk percaya padanya, tetapi Lesta
Pada pukul delapan pagi rumah kedatangan orang-orang yang kemarin diusir oleh Hafizah, terlihat juga ada Lestari yang berdiri di antara mereka semua. "Ibu, kenapa bersama mereka lagi? Dan berlian palsu itu, kenapa Ibu memakainya? Oh, apa Ibu jadi membelinya?" tanya Hafizah mencecar Ibu mertuanya dengen banyak pertanyaan setelah Lestari membuka pintu dapur. "Sudahlah Hafizah, jangan banyak drama lagi, aku membeli barang apa pun bukan urusan kamu. Sekarang cepat buatkan aku dan teman-temanku minuman, dan jangan lupa panggil aku 'Nyonya' jangan Ibu lagi."Teman-teman ibu menahan tawanya karena ternyata Hafizah dijadikan pembantu oleh mertuanya sendiri, tentu Hafizah kesal melihat mereka semua. "Hmmm, aku buatkan Nyonya.""Cepat!""Iya."Lestari dan yang lainnya pergi ke ruang tamu kembali setelah melihat adegan Hafizah dikunci oleh Lestari di dapur karena hukuman telah mengusir mereka semua, dan itu membuat mereka senang
"Kamu benar, Hafidz. Sebenarnya aku yang membuat diriku masuk dalam amarah Ibu. Aku mau masuk dulu, kamu istirahatlah, terima kasih telah membantuku."Hafidz melihat ke mata Hafizah yang terlihat lembab karena hampir menangis. "Sama-sama, aku pergi dulu.""Iya, Hafidz."Hafizah masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan yang berbeda dari biasanya, mengingat tatapan mata Hafidz selalu meneduhkan hatinya yang kacau ditinggalkan oleh suaminya, bahkan pikirannya menjadi rumit memikirkan sifat ibu mertuanya. "Tatapannya seperti mengandung arti yang berbeda, tapi aku tidak mengerti, kenapa dia yang bisa membuat aku seperti ini?"Hafizah memejamkan matanya karena lelah dengan apa yang terjadi, begitu juga Hafidz yang tidur di kamarnya dengan tenang karena sudah memastikan Hafizah baik-baik saja. Alarm ponsel Hafizah berbunyi sangat keras, tanda jika dirinya harus bangun jam lima untuk memberikan kabar pada Rina seperti biasanya. "Sudah pagi, aku harus segera sebelum Ibu pulang."Tangannya m
Dengan cepat Hafizah menghapus air matanya sendiri untuk terlihat tegar di depan Putri yang sudah mengkhawatirkannya. "Tante tidak apa-apa, tadi Tante terkena debu, kamu baik sekali mau menghapus air mata Tante, terima kasih sayang." Hafizah memeluk Putri, rasanya tenang saat berada di dekat anak Hafidz, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan bisa dirasakan hatinya. "Sama-sama Tante, aku tadi baru buat gambar untuk Tante cantik, gambar ini aku buat sembunyi-sembunyi dari Ayah." "Kenapa begitu?" "Karena di gambar ini ada Tante cantik menggunakan gaun pengantin yang cantik dan Ayah yang menggunakan jas pengantin. Aku takut Ayah marah, jadi aku berikan gambar ini sama Tante saja. Semoga Tante menyukai gambar aku," jawab Putri memberikan gambar yang dibuatnya ketika di kamar sendirian. Hafizah mengambilnya, melihat dengan jelas kalau gambar anak kecil memang tidak berbentuk rapih dan bagus, tetapi a
Saat keduanya masih berbicara membahas ibu kandung Putri, ada suara telepon rumah yang terdengar lama, sudah pasti dari seseorang yang sangat penting ingin mengabari sesuatu. "Biarkan aku yang angkat teleponnya," ucap Hafidz berjalan meninggalkan Hafizah yang tadinya mau dirinya yang angkat telepon masuk itu. "Ya, sudahlah. Aku mau taman depan dulu, rasanya menenangkan diri di luar jauh lebih baik," ucap Hafizah berjalan ke arah pintu depan. Sedangkan Hafidz sudah mengangkat telepon masuk, ternyata dari seseorang yang memberikan kabar buruk. Hafidz:"Siapa ini?"Lestari: "Ini aku, cepat datang ke rumah sakit yang dekat dari rumah, aku kecelakaan dan membutuhkan biaya rumah sakit, bilang sama Hafizah untuk keluarkan uang tabungan yang dia miliki, itu juga uang anakku."Suara ketus itu tentu dikenali oleh Hafidz yang malas menanggapinya, tetapi Lestari sedang membutuhkan pertolongan sekarang ini, walaupun terdengar men
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Hafidz setelah menerima pesanan makanan yang dia beli tadi. Hafizah masih sibuk dengan pot yang rusak beberapa sudah dikumpulkan menjadi satu, sedangkan masih ada dua pot lagi di tangannya akan dia rapihkan. "Kamu bisa melihatnya sendiri, jadi kamu beli makanan untuk orang rumah lagi? Dari mana uang yang kamu dapatkan sedangkan kata Ibu kamu itu pengangguran? Maaf aku bertanya soal ini, tapi aku penasaran dari mana kamu mendapatkannya?"Sebenarnya tidak enak bertanya seperti itu, tetapi Hafizah penasaran sekali dengan kebenaran yang selama ini ibu katakan setiap marah pada Hafidz. "Aku meminjamnya dari temanku, kami selalu bisa berbagi ataupun meminjam, bisa dikatakan kita berdua sahabat," jawab Hafidz membohongi Hafizah. Terlihat dari wajah Hafidz yang berpaling ke arah lain membuat Hafizah meragukan jawaban pria itu. Tentu karena Hafidz memakai uang bukan uangnya, sedangkan Hafidz menggunakan setiap ha
Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubun
Hafizah memohon dengan nada penuh harap kepada Hafidz, meminta kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama mereka. "Setidaknya untuk hari ini saja aku bisa bersama kalian, atau aku ke tempat tinggal kalian berdua. Aku janji tidak akan meminta lebih dari itu," katanya sambil menatap Hafidz.Meski berusaha menahan diri, Hafidz akhirnya mengalah. Ia tahu, terutama karena Putri, anaknya, juga senang berada di dekat Hafizah. "Baiklah, kita pergi ke rumahku. Tapi jangan kaget kalau nanti kamu mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu tahu tentangku," kata Hafidz tegas."Tenang saja. Aku akan mencoba memahami semuanya. Hal yang kamu sembunyikan mungkin memang urusanmu. Aku tidak berhak menanyakan itu. Aku hanya ingin bersama Putri hari ini," jawab Hafizah dengan lembut.Tanpa kata tambahan, Hafidz menyetujui. "Baik, kita pergi sekarang," putusnya, berjalan lebih dulu meninggalkan Hafizah dan Putri yang masih saling pandang. Putri terus memeluk Hafiz
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang
"Ayah, kita ada di mana?" Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya. "Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan. "Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya. "Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai. "Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya. "Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter
"Tidak mau!"Lestari tidak sedikitpun melangkah pergi dari rumah yang menurutnya adalah peninggalan anaknya. "Aku tidak perduli Ibu mau atau tidak, yang aku mau Ibu pergi dari rumahku sekarang."Ditariknya tangan Lestari oleh Hafizah yang tidak bisa sabar terhadap sikap mertuanya selama ini. "Jangan kurang ajar kamu, Hafizah! Aku berhak tinggal di rumah anakku."Masih terus berontak menolak untuk keluar dari rumah, walaupun sebenarnya Lestari sendiri memiliki kecurigaan pada Hamid anaknya yang selalu bisa memberikannya uang, karena Hamid tidak terlihat bekerja sama sekali. "Lepaskan aku!""Pergi sekarang!"Hafizah tetap mau mertuanya pergi dari rumahnya yang seharusnya bisa nyaman dan tenang di dalamnya, rumah yang sudah beberapa tahun ditinggalkannya selama dirinya di dalam penjara. "Jangan coba-coba kamu mengusir aku! Kamu lupa aku bisa melakukan apa saja yang aku mau terhadap kamu? Hukuman akan a
"Hanya kebetulan, di dunia ini nama orang bisa sama, kedua orang tua bebas memberikan nama pada anaknya, bahkan wajah seseorang terkadang sama walaupun kita tidak sedarah."Hafizah mulai berpikir dan melihat Hafidz dari atas sampai bawah, tidak mungkin kalau Hafidz yang dia kenal ini orang kaya. "Dari jawaban kamu aku percaya, aku rasa tidak mungkin kamu seorang pengusaha kaya raya, aku saja yang berlebihan, mungkin memang kalian memiliki wajah dan nama yang sama, hanya kehidupan yang berbeda, atau jangan-jangan pengusaha ini adalah saudara kembar kamu?""Tidak perlu sembarangan bicara lagi, aku tidak mungkin memiliki saudara kembar, karena aku anak tunggal dari keluargaku," balas Hafidz. Hafidz masih berusaha menyembunyikan semua identitasnya di depan Hafizah ataupun semua orang yang ada di rumah, bukan tanpa alasan, tetapi Hafidz tidak mau kalau dirinya akan dimanfaatkan. "Maaf, aku rasa karena tekanan hidupku jadi aku seperti ini, t
"Putri, kamu mau sekolah lagi besok 'kan? Ayah ada acara penting, jadi nanti Ayah kemungkinan tidak bisa menjemput kamu, tapi kamu tenang saja, Ayah akan mengirim seseorang untuk datang menjemput kamu," ucap Hafidz duduk di samping anaknya yang sedang bermain boneka. "Tidak apa-apa Ayah, Putri tau kalau Ayah pasti mau mencari uang untuk kebutuhan Putri. Kalau Tante cantik yang menjemput Putri, bagaimana Ayah?" tanyanya menatap mata ayahnya yang sendu akibat kesedihan yang dipendam sendiri. Hafidz meraih tangan anaknya yang mungil, dia mengecupnya lembut penuh kasih sayang, ditatapnya mata anaknya yang ingin dipenuhi keinginannya. "Maafkan Ayah, untuk kali ini Ayah tidak mungkin memaksa Tante Hafizah untuk menjemput kamu. Tante Hafizah sibuk di rumah membersihkan semuanya, nanti Tante Hafizah bisa dimarahi Nenek kalau pergi sembarangan. Jadi kamu harus memahami itu semua, kamu tau bagaimana Nenek 'kan?""Baiklah Ayah, Putri mengerti. Nenek memil
"Tenanglah, aku akan menolong kamu," ucap Hafidz mendekati Hafizah yang hampir tidak sadarkan diri. Hafizah tersenyum setelah tangan dan kakinya dilepaskan oleh penolongnya, tidak pernah dibayangkannya kalau Hafidz berani melepaskan dirinya dari hukuman mertuanya . "Hafidz, bagaimana Ibu?""Sudahlah jangan bicara tentang Ibu, aku harus bersembunyi dulu," jawab Hafidz sudah melepaskan semua ikatan Hafizah. "Kenapa bersembunyi?""Karena aku telah memukul Ibu Lestari dengan kayu yang ada di kamarmu, jadi sekarang kita harus bersembunyi sebelum Ibu memaki kita berdua."Hafizah menahan tawanya, ternyata Hafidz lebih berani daripada yang dipikirkannya, tentu laki-laki semacam ini adalah idaman wanita-wanita di luar sana. "Jadi menurutmu ini lucu, Hafizah?""Tidak, aku tidak bilang ini lucu, maaf kalau aku menertawakan perbuatanmu ke Ibu, aku seharusnya berterima kasih sama kamu, karena telah menolong aku."Hafidz membantu Hafizah berdiri untuk berjalan, tetapi Hafizah kesulitan karena l