Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata.
"Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tugasmu, aku akan terus mengawasi kamu sampai benar-benar selesai." Hafizah keceplosan lagi memanggil ibu pada mertuanya, "Baik, Nyonya." Tangannya baru memegang pintu mobil untuk dibuka, tangan Lestari mencegahnya. "Siapa yang menyuruh kamu membuka pintu mobilku?" "Nyonya, bukannya kita mau pulang?" "Ya, kita mau pulang, tapi kamu tidak boleh masuk ke dalam mobilku, duduk dengan gratis di sana, bisa gatal-gatal kalau kamu duduk di dalam." "Lalu, aku duduk di mana, Nyonya?" Pikiran Hafizah berkecamuk memikirkan kendaraan pulang, karena dia tadi menumpang di mobil Hafidz, belum lagi tidak membawa uang sama sekali. Ditariknya kasar Hafizah menuju belakang mobil, kini Lestari membuka bagasi mobilnya. "Di dalam sini!" Hafizah menatap bagasi yang pengap jika ditutup, apalagi perjalanan dari pemakaman sampai rumah cukup jauh. "Nyonya, aku tidak akan sanggup jika ada di dalam bagasi, izinkan aku masuk ke dalam mobil untuk menumpang duduk sampai rumah, aku janji tidak akan berisik." Tentu Hafizah menolak mentah-mentah kalau dirinya diletakkan di bagasi mobil, dan ada beberapa kardus yang isinya telur busuk yang Lestari letakkan untuk membuat menantunya tidak bisa bernafas lagi ketika sampai rumah. "Masuk!" pekiknya dengan mata yang melebar kuat. "B-baik, Nyonya." Dengan terpaksa Hafizah masuk, senyum Lestari terlihat saat menutup perlahan bagasi mobilnya, Hafizah masuk dengan kaki yang tertekuk di bagasi mobil mertuanya, di tambah dengan aroma tidak sedap membuatnya tidak tahan. Akan tetapi semua itu tidak ada apa-apanya dengan bau sel penjara selama lima tahun. "Bu, kenapa setega ini sama aku? Tapi aku akan kuat dengan bau ini, walaupun bau sekali, ini hanya sebagian kecil dari bau yang ada di dalam sel penjara dulu, aku sudah banyak menelan bau yang beda-beda. Bahkan bau ketiak teman satu sel, semua aku lakukan demi bisa melihat anakku," ucapnya bertekad. Lestari mengendarai mobil secara ugal-ugalan untuk lebih membuat Hafizah tersiksa ada di dalam bagasi mobil. "Auuu!" Kepala Hafizah terbentur sana sini, matanya mulai memudar karena tubuhnya kekurangan oksigen di dalam tempat yang tertutup dan sempit. Setengah jam mobil baru sampai di depan rumah, ternyata Lestari tidak langsung membukakan bagasi mobilnya. "Aku punya ide nih, aku biarkan dia dalam sana sampai malam. Aku yakin Hafizah sudah pingsan, lagipula melihatnya hanya membuatku kesal, aku bersantai tanpanya dulu." Lestari berjalan masuk meninggalkan mobilnya yang sudah ada di garasi mobil, dia bersantai hari ini di rumah mendiang Hamid dengan lebih tenang karena tidak ada Dera di dalamnya yang selalu mengomel dan meminta uang untuk berfoya-foya. "Begitu tenang di dalam rumah mewah anakku, apalagi Dera sudah tiada, baguslah dia sudah mati, aku bisa menguasai semua ini, dan tidak perlu lagi membiayai suami dan anak haramnya itu." Wanita paru baya yang usianya menginjak kepala empat itu akhirnya bisa menikmati hasil jeri payahnya membaca situasi agar Dera mati dan menyalahkan Hafizah. Sampai malam tiba sekitar jam dua puluh, mata Hafizah terbuka perlahan, benar kata Lestari kalau Hafizah pasti pingsan di dalam bagasi mobil. "Di mana aku?" Hafizah mencoba mengingat apa yang terjadi padanya, ternyata dia baru ingat kalau dirinya ada di dalam bagasi mobil ibu mertuanya. "Tolongggg!" Teriakan Hafizah pelan, tetapi terdengar oleh seseorang yang baru keluar dari mobil. "Kamu dengar tidak, Nak? Seperti ada yang teriak minta tolong." Putri mulai fokus mendengarkan teriakan yang dibilang ayahnya, sumber suara yang dicari Hamid ternyata ada di dalam bagasi mobil Lestari, posisinya bersebelahan dengan mobilnya. "Di dalam sini," ucapnya pada Putri. "Cepat buka, Ayah." Putri membantu ayahnya membuka bagasi mobil Lestari, dan terus terang Hafidz tidak menyangka kalau ada Hafizah di dalamnya. "Sedang apa kamu?" Hafizah bangun dari sana setelah dibukakan Hafidz, badannya sakit semua termasuk bagian kepalanya yang sakit. "Menurut kamu apa?!" Hafizah berjalan dengan badan yang terhuyung, lemas karena hanya makan satu roti tadi pagi, padahal malam Hafizah belum makan sama sekali. "Mana aku tau, kamu sendiri yang masuk ke dalam sana, aku pikir kamu akan pulang bersamaku dan Putri, tadi kami mencari kamu, tapi kamu tidak ada," balas Hafidz. "Ah, sudahlah jangan bicara lagi, aku mau masuk ke dalam, aku pusing." Hafidz memang melihat Hafizah terlihat memegangi kepala, dia ingin membantu, tetapi Hafizah sangat jutek kepadanya. "Ayah, Tante Hafizah kenapa?" tanya Putri. Bocah itu tertarik pada Hafizah, dia ingin Hafizah menjadi ibunya, apalagi Hafizah tidak jahat seperti ibu tirinya Dera. "Mungkin sakit, kita masuk yuk, sudah malam, kamu harus istirahat dan besok Ayah akan mendaftarkan kamu ke sekolah, kamu mau sekolah, Nak? Di sana pasti kamu mendapatkan banyak teman," kata Hafidz menawarkan pada anaknya. "Mau, mau, mau, Putri mau sekolah, Ayah. Putri mau punya banyak teman," balasnya antusias. Hafidz bersyukur memiliki anak seperti Putri yang penurut dan menggemaskan, apalagi Putri sudah bisa bicara sekarang ini. Saat Hafidz dan Putri sudah masuk ke dalam, terlihat jika Hafizah sedang berhadapan dengan Lestari. "Pel yang benar!" Bentakan ibu mertuanya membuat kepala Hafizah bertambah pusing, tadinya Hafizah mau cepat masuk ke dalam kamar berpikir kalau ibu mertuanya sudah tidur. "I-iya, Nyonya. Aku akan pel dengan benar, tapi kaki nyonya menginjaknya lagi, jadi aku sudah mengepel dengan benar," balas Hafizah. Lestari mengambil ember yang isinya air cucian pel tersebut, dia tidak suka kalau Hafizah terus menjawab jika dirinya sedang marah. 'Byuuurr!' Disiramkan ke kepala Hafizah yang sekarang basah kuyup dengan air kotor tersebut. Air matanya mengalir menerima perlakuan ini dari ibu mertuanya. "Rasakan! Kalau majikan ngomong itu jangan protes terus!" Lestari pergi meninggalkan Hafizah, di sana Hafizah menangis sendiri masih memegangi alat pel, dan akhirnya alat pel di lempar jauh-jauh. "Argghhhhhhh! Kenapa aku memiliki Ibu mertua yang jahat, Tuhan? Hikss.""Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
"Maksud kamu?"Lestari mendongakkan kepalanya lebih berani daripada Hafizah. "Ya, aku akan katakan sesuatu yang mungkin membuat Ibu malu seumur hidup," balas Hafizah masih dengan puncak emosinya. "Malu? Seharusnya kamu yang malu seumur hidup, Hafizah! Kamu itu tidak tau diri, selalu menyusahkan aku di sini."Lestari ingin sekali mengusir Hafizah dari rumah, karena sudah tidak ada penghalang lagi untuknya bisa menikmati harta Hamid yang diincarnya selama ini. "Menyusahkan? Apa Ibu tidak pernah bercermin sama diri sendiri? Selalu aku yang Ibu salahkan, padahal aku yang sepantasnya marah sama Ibu dan Mas Hamid. Kalian jahat! Ibu juga sudah membuang cucu sendiri, coba bayangkan jika anakku kedinginan dan kelaparan di luar sana, Bu! Di mana hati Ibu sebagai seorang Ibu? Ibu sama Mas Hamid memiliki sifat yang sama-sama jahat dan tidak pernah memikirkan orang lain!"Dengan lantang Hafizah berbicara seperti itu pada Ibu mertuanya, apalagi semuanya memang harus diselesaikan agar ibu mertua
Selesai memberikan makanan ke Hafizah membuat Hafidz jauh lebih tenang saat masuk ke dalam kamar anaknya lagi. "Ayah, apa Tante cantik sudah makan?"Mata kecil yang ditatap Hafidz begitu mengkhawatirkan Hafizah, padahal mereka masih baru mengenal dan anaknya yang sulit akrab dengan orang lain bisa begitu perduli pada Hafizah. "Sudah, sekarang Putri tidur dulu ya. Ayah juga mau tidur, kamu harus bangun pagi karena besok mau sekolah," balas Hafidz. "Siap, Ayahku yang paling baik."Dikecupnya dahi Putri oleh Hafidz, anaknya ini selalu bisa memanjakan diri setiap bersamanya. "Aku janji akan menyayangi kamu seumur hidupku," ucapnya membelai halus rambut anaknya. Hafidz segera mandi membersihkan badannya, sedangkan Hafizah ingin menemui Putri sebelum dirinya tidur malam ini, dan dia melihat kalau kamar Putri tidak ditutup dengan rapat. "Putri, ternyata kamu sudah tidur, padahal Tante masih mau ngobrol sama kamu."Ada yang dipandangnya, wajah Putri yang begitu mirip dengan almarhum sua
"Baik, Bu. Aku permisi pergi ingin mengambil alat kebersihannya," pamit Hafizah pada Ibu mertuanya. "Ya, sudah sana!"Lestari yang dari tadi sudah rapih untuk pergi ke tempat biasa dirinya bersenang-senang, tentu bersama teman sosialitanya yang setiap hari selalu belanja barang-barang mewah. "Saatnya aku belanja-belanja, terserah Hafizah di rumah ini, aku juga butuh kesenangan."Lestari sebenarnya tidak merelakan menantunya tenang di rumahnya, apalagi bisa berdua bersama Hafidz. Tetapi Lestari tahu sifat Hafidz yang tidak mungkin menggoda seorang wanita. "Tante cantik, apa yang Tante lakukan?"Putri sudah mengenakan pakaian seragam sekolahnya dengan menggendong tas ranselnya. "Putri, ternyata kamu. Ini Tante mau bersih-bersih," jawab Hafizah menaruh alat kebersihannya karena ingin bicara dengan anak itu. "Tante sudah sarapan? Hari ini aku mau sarapan di luar sama Ayah, tapi perutku sudah lapar, apa di sini ada makanan untuk mengganjal perutku dulu ya, Tante?" tanyanya dengan meme
"Bukan apa-apa Tante, cuma lupa kalau Putri ada tugas sekolah, kalau begitu Putri mau masuk kamar dulu untuk mengerjakan semuanya," jawab Putri. "Rajin ya, Putri. Kalau begitu Putri masuk kamar, nanti Tante buatkan kamu camilan," balas Hafizah. "Asik, Tante cantik memang baik, aku masuk dulu," ujar Putri berlarian menuju kamarnya. Bergegas Hafizah menyiapkan segalanya, karena semuanya sudah disediakan sebelum Putri datang, dan mertuanya juga belum pulang. Selesai menyiapkan makanan untuk Putri dan mengantarkannya ke kamar anak itu, sekarang Hafizah ingin pergi ke kamarnya karena harus merapihkan pakaiannya yang waktu itu di keluarkan semua dari lemarinya. "Kotak perhiasanku, kenapa ada di sini?"Dengan terheran-heran melihat kotak perhiasan dan brankasnya ada di atas tempat tidur, dan ada sepucuk surat yang menempel di atas brankas. Isi surat: "Sembunyikan semuanya di tempat yang aman, jangan sampai Ibu Lestari mengambilnya lagi, aku hanya membantu satu kali untuk hal ini."Tida
Hafidz terus berdoa dengan penuh harapan dan air mata, memohon agar Putri tidak meninggalkannya. Ia telah berjuang keras agar anaknya tidak sakit, meskipun kenyataannya Putri menderita penyakit yang sangat serius."Putri, Ayah tidak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri jika kamu pergi. Bangunlah, sayang. Kamu tahu betapa besar kasih sayang Ayah padamu, dan Ayah tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."Di tengah kecemasannya, Hafidz juga ingin menjenguk Hafizah, yang telah dipindahkan ke ruangan lain yang tidak jauh dari tempat Putri dirawat. Dengan perlahan, ia memasuki ruangan dan melihat Hafizah yang masih terbaring tak sadarkan diri."Hafizah, bangunlah. Aku tidak akan kuat menghadapi semua ini sendirian, terutama saat anakmu berjuang melawan rasa sakitnya sejak kecil. Aku sudah berusaha, tapi kali ini aku tidak tahu harus berbuat apa."Hafidz menangis sambil memegang tangan Hafizah, diliputi rasa takut akan hidup tanpa anaknya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Lestari?"Hafidz memergoki wanita tua itu berdiri dekat pintu ruang perawatan tempat Hafizah dan Putri dirawat. Keberadaannya mengisyaratkan bahwa Lestari mungkin memiliki maksud buruk terhadap kedua wanita yang tengah berusaha untuk sembuh."Hafidz, kamu juga di sini? Apakah kamu tahu betapa aku menikmati permainan ini? Aku akan melaksanakan apa yang sudah seharusnya.""Apa maksudmu?""Putri akan mati, Hafidz!"Ucapan Lestari terucap tegas di depan Hafidz, yang tengah dilanda kemarahan. Mereka saling menatap serius, tatapan tajam Hafidz memperlihatkan kemarahannya atas ancaman Lestari terhadap anaknya."Tidak akan kubiarkan! Semua ucapanmu hanya buntut dari amarahmu belaka. Aku takkan membiarkan itu terjadi dan akan melindungi Putri serta Hafizah.""Tidak! Yang aku katakan akan jadi kenyataan, mungkin bukan saat ini, tapi jika kamu gagal memenuhi permintaanku, kamu akan menyesal. Kamu akan melihatnya sendiri, Hafidz."Hafidz merespons dengan senyum sin
Hafidz berlari menuju mobilnya setelah melihat wajah Putri yang sangat pucat. Dia menyadari bahwa penyakit yang diderita anaknya mulai kambuh dan segera memerlukan penanganan."Putri, jangan tinggalkan Ayah, ya. Ayah tidak akan sanggup hidup tanpamu, sayang. Kita akan pergi ke rumah sakit, kamu pasti akan sembuh. Ayah akan melakukan segalanya untukmu, anak Ayah yang cantik."Setelah Putri masuk ke dalam mobil, Hafidz segera mengemudikan kendaraan menuju rumah sakit, meninggalkan Lestari yang merasa kesal karena kehilangan uang yang sudah dia impikan untuk mengubah masa depannya dan melarikan diri dari masalah yang dihadapinya."Hafidz, kamu salah jika berurusan denganku. Aku pasti akan datang untuk mengambil uang itu, dan aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan semua yang aku inginkan."Lestari bertekad untuk tidak menyerah dan berjanji untuk tidak lagi berbuat jahat kepada Hafidz, Hafizah, dan Putri. Bagi Lestari, mereka adalah sarana untuk meraih kekayaan tanpa harus berusaha kera
"Lihatlah Ayahmu, Putri! Dia tidak mau mengangkat telepon dariku. Apakah aku harus bersikap kasar padamu?"Saat Lestari sedang marah pada Hafidz, Putri tampak tidak sadarkan diri, matanya terpejam ketika Lestari kembali ke ruangan itu."Putri! Apakah kamu mendengar ku? Ini tidak sopan! Tidur di saat seperti ini? Aku rasa kamu pantas mendapatkan hukuman yang setimpal karena Ayahmu mengabaikan ku."Lestari menggoyang tubuh Putri yang terasa dingin, dan wajah anak itu terlihat pucat."Ada apa ini? Apakah dia sakit? Atau mungkin kelaparan? Dasar anak manja, bagaimana bisa kamu seperti ini? Aku tidak akan membawamu ke dokter, jangan harap aku akan membawamu ke sana. Nanti kamu sembuh dan bisa bertemu dengan Ayahmu dengan mudah."Hafidz menatap jam, menyadari bahwa Putri seharusnya sudah meminum obatnya di rumah. Dia merasa cemas memikirkan apa yang akan terjadi pada anaknya jika tidak mengonsumsi obat dari dokter seperti biasanya."Pu
Hafizah sedang berada dalam situasi yang sangat berbahaya. Pisau yang dipegang oleh Lestari kini terarah kepadanya meskipun Hafizah sudah memohon untuk dilepaskan. Namun, Lestari tetap tidak bergeming."Ibu, tolong lepaskan aku. Tidak puas kah Ibu selalu menyiksa sejak aku memasuki hidup Mas Hamid di rumah ini? Aku tidak kuat untuk melawan seseorang yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri."Lestari tetap waspada terhadap Hafidz yang memerhatikan setiap gerakannya saat menyandera Hafizah. Dia enggan mendengarkan ucapan Hafizah yang diutarakan dengan nada lantang."Kamu diam, Hafizah! Kamu telah menghancurkan hidupku. Karena kamu anakku meninggal, dan aku masuk penjara sehingga kini menjadi buronan polisi. Dan kamu masih merasa menjadi korban?"Hafizah menarik napas dalam mendengar jawaban penuh kebencian dari Lestari. Dia tidak berharap lagi bahwa mantan mertuanya akan berubah baik padanya."Bu, itu semua bukan salahku. Apakah Ibu tidak
Hafizah menggenggam tangan Putri setelah melepaskan pelukannya, lalu mereka berjalan beriringan menuju Hafidz yang tersenyum di depan. Hari itu menandai awal kehidupan baru bagi mereka.Tiga bulan berlalu dengan cepat, dan hari-hari indah yang dilalui bersama Putri dan Hafidz terasa begitu singkat. Namun, di hari ini, Hafizah merasakan kegugupan yang luar biasa, jantungnya berdegup kencang saat semua orang memandang ke arahnya dan Hafidz. Mereka berdua kini berdiri saling berhadapan, siap untuk mengucapkan janji suci pernikahan.Tempat yang indah itu dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna, menciptakan suasana seperti taman yang mempesona."Apakah kamu sudah siap, Hafizah?" tanya Hafidz."Iya, aku siap menjadi istrimu," jawabnya.Keduanya saling menggenggam tangan dan melangkah menuju meja di depan, di mana penghulu telah menunggu dengan sabar."Kamu sangat cantik, Hafizah. Aku merasa beruntung bisa bersamamu.""Terima
Hafidz dengan lembut berkata pada Hafizah yang baru mendekatinya, "Kamu terlihat sangat alami saat baru bangun tidur."Hafizah masih mencoba menepuk-nepuk wajahnya, berusaha memahami situasi di depannya. "Apakah ini benar-benar kamu?""Aku di sini, kenapa meragukan kehadiranku?" jawab Hafidz.Hafizah mencubit tangan Hafidz dengan keras, membuatnya berteriak kesakitan. "Hafizah! Lepaskan cubitanmu!"Hafizah tertawa kecil dan mengendurkan cubitannya. "Maaf, sekarang aku percaya ini memang kamu. Bisakah kamu jelaskan kenapa kamu ada di rumah ini?"Hafidz berdiri dekat Hafizah yang menunggu jawaban. "Aku memaafkan mu, tapi seharusnya kamu bangunkan Putri. Sudah saatnya dia berangkat sekolah," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dari kepulangannya."Kamu belum menjawab ku, Hafidz. Tapi Putri pasti sudah siap sendiri kalau memang waktunya," kata Hafizah, yakin bahwa Putri mandiri atau bisa minta bantuan orang rumah."Benar, Putri sudah di meja makan. Apakah kamu mau sarapan bersama kam
"Ya, aku mau, Hafidz."Hafizah tidak menyesali jawabannya setelah mendengar pernyataan Hafidz. Mereka saling menatap dalam keheningan, seolah melupakan bahwa Hafidz masih merasakan sakit. Hafizah terlihat menyentuh luka di tangan Hafidz, dan ia pun meringis kesakitan akibat sentuhan itu. "Maaf, Hafidz. Aku tidak sengaja," katanya dengan penuh penyesalan. "Tidak apa-apa. Kamu tahu aku senang dekat denganmu, dan aku mengerti bahwa kamu tidak bermaksud menyakiti lukaku," jawab Hafidz dengan lembut. "Iya, Hafidz. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kata-katamu membuatku melayang, jadi apakah kita akan melanjutkan persiapan untuk pernikahan kita?" Hafidz menggelengkan kepala, menegaskan bahwa ia tidak akan menunda pernikahan mereka dan ingin segera melangsungkannya bersama Hafizah."Ya, jika memungkinkan, setelah aku diizinkan keluar dari rumah sakit, aku ingin segera melakukannya. Rasanya semua ini terlalu lama."Hafizah hanya tersenyum malu mendengar keingi
Setelah dokter menjelaskan bahwa kondisi Hafidz tidak terlalu serius, Hafizah membawa Putri masuk ke ruangan tempat Hafidz dirawat."Ayah, Tante cantik, apakah Ayah akan sembuh?" tanya Putri dengan polos, menatap Hafidz yang masih tidak sadarkan diri."Tenang, sayang. Ayahmu pasti akan sembuh. Ayah juga tidak ingin jauh darimu terlalu lama, jadi kamu harus percaya bahwa Ayah akan pulih," jawab Hafizah menenangkan."Iya, Tante. Aku percaya Ayah tidak akan meninggalkan anaknya yang lucu ini," balas Putri dengan penuh keyakinan.Hafizah tersenyum mendengar perkataan Putri. Tiba-tiba, ia melihat jari tangan Hafidz bergerak."Putri, lihat! Tangan Ayahmu mulai bergerak. Kita harus segera memanggil dokter!" seru Hafizah."Benar, Tante. Ayah pasti akan sembuh segera!" jawab Putri dengan penuh semangat.Kebahagiaan meliputi Putri saat melihat ayahnya bisa menggerakkan tangan, menandakan bahwa Hafidz merespons kehadirannya di teng